Telah Terbit !

Yang sederhana, yang berserakan, yang tak diperhitungkan dan bertebaran di mana-mana, tetaplah harus dirayakan. Spesial SARBI edisi 8 di akhir tahun!

Segera Dapatkan !

Buku Puisi Karya KOMANG IRA PUSPITANINGSIH.

Toko Buku SARBI

Kumpulan buku bekas pilihan yang asik untuk dibaca dan dikoleksi dengan harga bersahabat.

Telah Terbit!

BULETIN TIKAR EDISI 02/2013 Diterbitkan oleh Komunitas Tikar Merah (KTM)

Dapatkan!

Buku Terbaru SARBIKITA Publishing Karya Heru Susanto

Blogroll

Monday, February 27, 2012

LEMBAR SARBI EDISI #3 FORMAT FLASH


Photobucket

Photobucket

Hasil kolaborasi dengan Era Putra Kiessara aka Johnsound. 
Koleksi karya http://www.soundcloud.com/johnsound Email moccavina@yahoo.com
Silakan download disini untuk menikmatinya Klik

LEMBAR SARBI EDISI #2 FORMAT FLASH

Photobucket

Photobucket

Hasil kolaborasi dengan Bramana DL.
Profil Facebook dapat dilihat di http://www.facebook.com/brother63  Email little_brother63@yahoo.com
Silakan download disini untuk menikmatinya Klik

Friday, February 17, 2012

KETIDAKBERDAYAAN DALAM PUISI JOKO PINURBO


Photobucket
 Karya Donald Zolan Berjudul DayDreamer


KETIDAKBERDAYAAN DALAM PUISI JOKO PINURBO 
"BAYI DI DALAM KULKAS"


Oleh Dody Kristianto


Pengantar
Karya Sastra (KS) adalah sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan bahasa sebagai medium (Pradopo, 1987:121). Bahasa sebagai medium tentu sudah merupakan satu sistem tanda. Untuk menguraikan sistem tanda tersebut diperlukan satu disiplin ilmu yang mengulas tentang tanda. Sistem tanda disebut semiotik. Sedangkan cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda disebut semiotika (Zoest, 1993:1). 


Puisi adalah salah satu genre KS. Dunia perpuisian di Indonesia dewasa ini mengalami kemajuan yang cukup pesat. Baik dari segi bahasa maupun dari segi bentuknya. Bahkan puisi Chairil Anwar yang menjadi fenomena pada masanya, kini sudah terasa sebagai puisi yang biasa saja. Dari segi bentuk, bentuk lama yang terikat seperti syair, pantun, gurindam telah berkembang pesat menjadi bentuk kontemporer, bahkan nirbentuk. Begitu juga dengan tema yang ingin disampaikan penyair. Perkembangan tersebut bias disebabkan karena evolusi selera dan perubahan konsep estetik (Pradopo, 1987 :318).


Puisi adalah ekspresi atau ucapan tidak langsung sebagai acuan ke inti pati masalah, peristiwa atau narasi (Pradopo, 1987:314). Sebagai wujud ucapan atau ekspresi, puisi tidak lepas dari hakikatnya sebagai KS. Dengan demikian, puisi tidak terlepas dari unsur-unsur estetik yang menjadi esensi dari sebuah KS. Dan bisa kita pahami bahwa puisi adalah suatu sistem tanda. Dalam tanda-tanda, suatu inti peristiwa biasanya tersimpan dan disampaikan melalui puisi.


Pada periode 2000-an, bisa dikatakan puisi-puisi yang berkembang adalah jenis puisi-puisi antromorfisme, profeik dan nirbait (Rampan dalam Waluyo, 2003:165). Dengan berbagai tema yang ingin disampaikan oleh penyair. Tema yang dominan muncul dalam puisi-puisi Indonesia yaitu kepedulian terhadap sesama. Tema tersebut bias berupa masalah ekonomi, politik, sosial, budaya maupun sekitar kehidupan sehari-hari.


Untuk membatasi masalah, peneliti ingin mengaji salah satu puisi Joko Pinurbo (JP). Mengapa JP? Karena selain tercatat sebagai salah satu penyair periode 2000-an, puisi JP juga menawarkan sebuah pemikiran cerdas yang dikemas dalam diksi-diksi humor yang segar.


Joko Pinurbo : Pesan dalam Berbagai Tanda
Keunikan yang peneliti rasakan ketika membaca puisi JP adalah ia mampu mengemas pesan dalam berbagai tanda. Tanda tersebut dipadukan dengan gaya bahasanya yang humoris, mengandung ironi tentang kehidupan. Peristiwa sehari-hari bisa dijadikan puisi oleh JP. Ranjang, celana, buku, tubuh adalah sebagian tempat imajinasi JP (Superli,2004;xix). Bahkan batuk, yang oleh sebagian besar orang dianggap sebagai satu penyakit, oleh JP disulap sebagai satu harapan akan kebebasan, dari sebuah situasi yang kaku, yang mengunci, yang membatasi :


Batuk, beri aku letusan-letusan lembutmu
untuk menggempur limbah waktu
yang membatu di rongga dadaku


Berbagai tanda tersebut tidak hanya menampilkan pesan, namun juga menimbulkan kesan humor tersendiri. Tanda telah menghubungkan JP dengan dunia luar. Humor yang ringan tidak akan membuat kita merasa jijik tetapi justru jenaka (Kleden, 2001:xii).


Dalam salah satu puisi JP, Bayi di Dalam Kulkas, peneliti menangkap ada tema ketidakberdayaan. Mengapa ketidakberdayaan? Pada hakikatnya manusia memang mahluk yang serba tidak berdaya. Ada satu kekuatan transendental yang mengikat dalam diri manusia. Manusia memang bisa berdaya dan upaya untuk berbuat suatu hal yang lebih baik, namun hasil akhir tetap manusia tidak berdaya. Ketidakberdayaan ini sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.


Bentuk Ketidakberdayaan
Dalam tulisan ini, peneliti ingin mengungkap tanda ketidakberdayaan dalam salah satu puisi JP, Bayi di Dalam Kulkas. Menurut Esten (1987:9), petunjuk pertama dalam memahami puisi adalah dengan memperhatikan judul. Judul adalah sebuah petunjuk untuk menengok keseluruhan makna puisi. Dilihat dari judulnya, puisi Bayi di Dalam Kulkas sangat unik. Bayi (secara denotative) adalah mahluk yang baru lahir ke bumi, baru merasakan hawa kehidupan. Ia tak berdaya dan sangat rentan terhadap lingkungan sekitar serta membutuhkan bimbingan dan kasih sayang dari orang tuanya. Bayi bisa diartikan sebagai sebuah bentuk ketidakberdayaan. Sedang kulkas adalah lemari pendingin, tempat untuk menyimpan makanan dan minuman. Secara tidak langsung, bisa diartikan sebagai ketidakberdayaan yang tersimpan, membeku, tak bisa dilawan dan harus diterima sebagai takdir hidup manusia.


Manusia sebenarnya bisa merasakan ketidakberdayaan itu. Namun manusia tidak berdaya untuk melawan. Manusia sebagai mahluk yang selalu berharap, tentu mempunyai pengharapan akan kebebasan dari berbagai bentuk ketidakberdayaan. Tapi seringkali harapan manusia hanya tinggal harapan. Hal ini bisa dilihat dari :

Bayi di dalam kulkas lebih suka mendengarkan
pasang surutnya angin, bisu-kelunya malam
dan kuncup-layunya bunga-bunga di dalam taman.
Dan setiap orang yang mendengar tangisnya
mengatakan : “Akulah ibumu. Aku ingin menggigil
dan membeku bersamamu.”


JP sengaja memilih sosok ibu dalam puisi ini karena ibu bisa diartikan sebagai sebuah harapan akan hidup yang lebih baik. Apalagi sosok bayi sangat membutuhkan sentuhan sosok ibu. Ibu adalah sosok harapan bagi bayi.

Di sini peneliti memandang penyair memberikan sosok bayi sebagi bentuk ironi. Bayi yang semestinya lucu menjadi sebuah hal yang miris. Tampaknya sosok bayi tidak akan pernah menemui harapannya.


Jika ingin lebih diperinci, ketidakberdayaan dalam puisi JP bias diartikan juga ketidakberdayaan rakyat kecil. Bagaimana pun rakyat merindukan pejabat yang baik, yang perduli akan penderitaan rakyat


“Bayi, nyenyakkah tidurmu?”
“Nyenyak sekali ibu. Aku terbang ke langit
ke bintang-bintang ke cakrawala ke detik penciptaan
bersama angin dan awan dan hujan dan kenangan.”
“Aku ikut. Jemputlah aku Bayi.
Aku ingin terbang dan melayang bersamamu.”


Bait di atas bisa diartikan sebagai ketidakberdayaan rakyat atas pejabat. Seperti biasa, jika ada kunjungan pejabat ke daerah akan selalu ada jawaban basa-basi. Seperti biasa jawaban yang ada hanyalah menunjukkan sesuatu yang positif saja, keadaan rakyat yang tenang, aman, tidak kekurangan apapun. Padahal jika melihat kenyataan tidaklah sama dengan yang diucapkan. Bayi (rakyat) pun bersembunyi di balik kenyenyakan tidurnya dan impian-impiannya. Hanya itu yang bisa dilakukan Bayi (rakyat) untuk melawan ketidakberdayaannya.


Bayi tersenyum, membuka dunia kecil yang merekah
di matanya, ketika ibu menjamah tubuhnya
yang ranum, seperti menjamah gumpalan jantung dan hati
yang dijernihkan untuk dipersembahkan di meja perjamuan.


Senyuman bayi adalah senyuman sinis dari rakyat ketika sosok ibu (pejabat) ingin menjamah bayi (rakyat). Seperti biasa janji yang diberikan oleh pejabat sudah dianggap sebagai janji kosong. Rakyat hanya dijadikan sarana bagi pejabat yang ingin memperoleh keuntungan pribadi. Hal ini yang ingin ditunjukkan dalam diksi dipersembahkan di meja perjamuan


“Biarkan aku tumbuh dan besar disini Ibu.
Jangan keluarkan aku ke dunia yang ramai Itu.”


Sungguh sangat ironis jika sosok bayi tidak mau keluar dari kulkas yang dingin. Dunia yang ramai memang terlalu berat bagi sosok bayi. Apalagi ibu yang akan mengeluarkan sosok sang bayi masih dipertanyakan. Rakyat lebih baik memilih diam dan tumbuh dalam kebekuan. Sebab jika mereka maju, maka dunia politik yang ramai, yang tidak jujur hanya akan membuat mereka menjadi obyek. Sikap diam dan tak berdaya bisa jadi adalah sikap yang tepat untuk menghadapi dunia yang ramai.


Akhirnya semua kegelisahan rakyat hanya akan menjadi suatu rahasia bentuk ketidakberdayaan dalam menghadapi permainan politik yang memang kejam. Jika berbicara mereka tentu akan menghadapi tindakan represif. Akhirnya ini yang ingin disampaikan JP dalam bait terakhir :


Bayi di dalam kulkas adalah doa yang merahasiakan diri
di hadapan mulut yang mengucapkannya.


Simpulan
Puisi Bayi di Dalam Kulkas karya JP bias diinterpretasikan sebagai sebuah bentuk ketidakberdayaan. Jika ingin lebih mengerucut, bisa diartikan sebagai sebuah bentuk ketidakberdayaan rakyat dalam menghadapi birokrat. Namun pada umumnya manusia juga tidak berdaya dalam menghadapi kehidupan. Akan tetapi sekali lagi sebuah teks puisi tidak hanya tunduk pada satu pemaknaan, satu teks puisi bisa menimbulkan berbagai penafsiran. Bergantung interpretan ingin menginterpretasi teks dari sudut pandang dan seperti apa.


Daftar Pustaka
Esten, Mursal. 1984. Sepuluh Petunjuk dalam Memahami dan Membaca Puisi. Padang : Angkasa Raya
Kleden, Ignas (ed). 2001. Joko Pinurbo : Di Bawah Kibaran Sarung. Magelang : Indonesiatera
Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Superli, Karlina (ed).2004. Joko Pinurbo : Kekasihku. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia
Waluyo, Herman. J. 2003. Apresiasi Puisi. Jakarta : Gramedia
Zoest, Aart van. 1993. Semiotika : Tentang Tanda, cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta : Yayasan Sumber Agung

Wednesday, February 15, 2012

KIAT MENEMBUS RUBRIK SASTRA


Photobucket
Foto www.plotforge.com

Oleh Ahmadun Yosi Herfanda*


Sudah diakui bahwa rubrik sastra di surat kabar dewasa ini merupakan media yang paling strategis untuk pemasyarakatan sastra. Tidak hanya pemasyarakatan karya, tapi juga sosialisasi ide dan event kesastraan. Karena itu, pemuatan karya di rubrik sastra surat kabar menjadi idaman hampir semua pengarang.

Namun, bagi para penulis muda, terutama pemula, menembus “gawang” rubrik sastra surat kabat tidaklah mudah. Ada yang sudah puluhan kali mengirim karya ke surat kabar, tapi tidak kunjung dimuat, lantas putus asa. Ada juga yang baru beberapa kali mengirim, lalu dimuat, dan makin bersemangat. Ada juga yang tidak kenal putus asa, seratus kali lebih mengirim karya, dan akhirnya “tembus” (dimuat) juga.

Ada beberapa faktor penyebab suatu karya sastra, khususnya cerpen, ditolak oleh redaktur rubrik sastra suatu surat kabar:

Pertama, kualitasnya buruk atau di bawah standar estetik dan kualitatif yang dipatok oleh redaktur rubrik sastra bersangkutan. Tiap rubrik sastra surat kabar tentu memiliki standar estetik yang berbeda-beda. Republika, misalnya, lebih longgar dan moderat, karena juga mengemban misi kaderisasi, dan tidak menerapkan selera estetik secara kaku. Rubrik sastra yang diambisikan sebagai “kiblat pencapaian prestasi estetik” tentu akan menerapkan standar estetik yang lebih sempit dan kaku.

Kedua, karya sastra tersebut tidak memenuhi persyaratan teknis yang dikehendaki oleh rubrik sastra tersebut. Misalnya, terlalu panjang atau sebaliknya terlalu pendek (cerpen, puisi, esei), dan tipografinya sulit untuk dipenuhi (puisi). Rubrik sastra Republika, misalnya, hanya bisa menampung cerpen/esei sepanjang maksimal 10 ribu karakter, dan puisi dengan tipografi konvensional sepanjang 2-4 bait per judul, dengan 2-6 baris per bait.

Ketiga, secara ideologis karya sastra tersebut tidak sesuai dengan anutan estetik-tematik-idelologis yang digariskan oleh konsep redaksional, visi dan misi surat kabar yang bersangkutan. Republika yang berideologi Islam kosmopolitan, misalnya, tidak mungkin memuat ataupun mempromosikan karya-karya yang secara estetik dan tematik berlawanan dengan ajaran Islam. Namun, perlu dipahami, bahwa Islam di sini tidak dalam pengertian yang formalistik, tapi substansial.

Visi dan Ideologi Media

Tiap media massa pada dasarnya lahir dari suatu keyakinan ideologis tertentu, atau dari sekelompok orang yang meyakini ideolog tertentu. Memang bisa jadi sekelompok orang itu berasal dari latar belakang keyakinan agama dan ideologi yang berbeda. Tapi, setelah menyatu dalam sebuah tim perumus konsep media mereka biasanya lebih dulu menyatukan pandangan untuk menemukan “anutan bersama” yang menjadi ikatan moral mereka.

Dari “anutan bersama” itulah kemudian lahir yang disebut “visi media massa” yang menjadi cita-cita bersama para pemilik dan pengelola media tersebut. Dari visi, yang kemudian dioperasionalkan menjadi misi, inilah sebuah konsep redaksional suatu media massa dirumuskan dengan berbagai rambu-rambunya.

Pada ranah inilah justru terjadi perbedaan sikap antar media dalam mendekati berbagai persoalan yang menjadi bidang perhatiannya, termasuk sikap terhadap sastra. Surat kabar yang lahir dari ideologi liberal, misalnya, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, akan memberi perhatian lebih pada program-program liberalisasi, termasuk liberalisasi nilai-nilai sastra. Kompas dan Koran Tempo tampak lebih dekat dengan ideologi ini. Media Indonesia pada banyak hal juga lebih dekat dengan ideologi itu. Namun, karena kesadaran publik tertentu, toh Kompas masih tetap tampak sangat berhati-hati dalam meloloskan cerpen. Sementara Koran Tempo dan Media Indonesia justru terkesan lebih “longgar”.

Yang terkesan sendirian di antara koran-koran besar nasional, tampaknya adalah Republika. Secara histories, koran ini lahir dari ICMI, dan karena itu membawa “ideologi ICMI”. Memang sempat terjadi reposisioning terhadap koran ini dengan menggesernya dari “koran partisan” menjadi “koran umum”. Tetapi, tampaknya tarikan “visi primordial” koran ini jauh lebih kuat sehingga visi keislamannya belakangan kembali mengental, sehingga tetap menjadi koran yang memang diskenario untuk membela kepentingan umat dengan misi amal makruf nahi munkar secara elegan.

Begitulah dalam menyikapi masalah-masalah kebudayaan, termasuk sastra. Sesuai dengan visinya untuk ikut membangun masyarakat madani yang berkeadilan, demokratis, cerdas, religius, dan sejahtera; maka dalam bidang kebudayaan Republika memiliki misi untuk ikut menumbuh-kembangkan berbagai bentuk kebudayaan yang dapat meningkatkan martabat dan kepekaan hati nurani. Selain itu juga bersikap kritis-apresiatif terhadap berbagai bentuk ekspresi budaya baru yang berkembang di masyarakat.

Karena sikap kritis-apresiatif itu, Republika tidak terlalu keras terhadap goyang Inul maupun fiksi-fiksi “erotisme-libidal” Djenar, Ayu Utami maupun Dinar Rahayu. Di satu sisi kita perlu memberikan apresiasi yang tinggi terhadap kebangkitan penulis perempuan itu, dan di sisi lain dituntut kritis terhadap “nilai-nilai” yang mereka tawarkan. Memang terkesan kurang tegas, tapi itulah elegansi yang ingin ditunjukkan koran ini dengan moto akrab dan cerdas-nya: mengeritik untuk penyadaran, bukan “mematikan”.

Beberapa Kiat Praktis

Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa kiat yang perlu dicoba oleh para penulis muda, terutama pemula, untuk menembus rubrik sastra surat kabar adalah sbb :

Pertama, mengetahui karakter teknis rubrik sastra bersangkutan. Yang terpenting dalam hal ini adalah panjang naskah yang dapat dimuat oleh rubrik sastra tersebut, yang tiap surat kabar berbeda-beda. Rubrik sastra Republika, misalnya, antara 8-10 ribu karakter (cerpen/esei), sedangkan Suara Pembaruan dan Kompas bisa 10-13.000 karakter. Dengan begitu, jangan sekali-kali kirim cerpen yang panjangnya lebih dari 10 ribu karakter ke Republika, pasti tidak akan dimuat, selain ada pertimbangan khusus bahwa cerpen tersebut sangat istimewa. Untuk mengetahui karakter ini copy saja cerpen yang dimuat, buka dengan format MsWords, dan hitung karakternya dengan mengklik tools dan word count.

Kedua, menengarai “anutan estetik”-nya. Koran Tempo, misalnya, lebih menyukai cerpen-cerpen yang cenderung puitis, dengan pola penuturan atau bahasa pengucapan yang estetis. Media Indonesia lebih menyukai cerpen-cerpen eksperimental. Suara Pembaruan menyukai cerpen-cerpen konvensional. Kompas menyukai keduanya. Begitu juga Republika, dan Jawa Pos, membuka diri terhadap cerpen konvensional maupun eksperimental.

Ketiga, menengarai kecenderungan tematik-nya. Kompas cenderung menyukai tema-tema sosial dengan semangat “pembebasan”. Suara Pembaruan cenderung menyukai tema-tema yang mengangkat potret orang kecil dan kepincangan sosial. Media Indonesia menyukai tema-tema yang kosmopolit dan sekuler. Republika membuka diri terhadap tema apa saja, asal dengan pendekatan Islami dan digarap dengan semangat pencerahan. Tengara ini berkait erat dengan ideologi, visi dan misi media massa bersangkutan.

Keempat, menyerbu satu surat kabar sampai tembus. Ini terutama bagi pemula. Setelah menengarai karakter rubrik sastra media bersangkutan, dan cocok dengan karakter karya sang pemula, kirimkan karya secara bertubi-tubi ke koran tersebut sebagai target utama—sampai dimuat. Dengan mengirim karya secara bertubi-tubi, sang pemula akan “mengundang perhatian khusus” redakturnya, dan di sisi lain, kualitas karya pemula akan terus membaik karena mengalami proses intensifikasi. Perbaiki karya-karya yang ditolak, dan kirim ke koran lain. Jika sudah berhasil menembus rubrik cerpen di satu koran penting, pintu masuk ke rubrik sastra koran lain biasanya akan terbuka.

Kelima, jangan terlalu banyak bertanya atau memaksa redaktur lewat telepon agar karya Anda dimuat. Kalau karya Anda sudah bagus, mungkin pendekatan ini bisa dilakukan. Tapi, jika masih jelek, hanya akan menimbulkan kesan negatif pada anda.

Keenam, jangan gampang menyerah, tapi sadari betul seberapa besar potensi dan bakat Anda dalam tulis-menulis cerpen. Banyak pengarang yang baru dapat menembus koran setelah puluhan kali mengirimkan karyanya. Abdul Hadi WM, misalnya, baru kiriman yang ke-116 dimuat di surat kabar. Tapi, kalau sudah 100 kali lebih mengirim karya dan tidak dimuat juga, sementara dari segi kualitas, karya Anda tidak meningkat juga, lebih baik berpikirlah untuk ganti profesi.

Ketujuh, menjaga kualitas karya dan berusaha keras untuk meningkatkannya. Setelah berhasil menembus media massa, jangan lantas kualitas karya tidak diperhatian, sehingga merosot. Kemerosotan kualitas karya bisa menutup kembali “pintu rubrik sastra media massa” yang sudah terbuka itu.

Menjadi penulis ternama memang membutuhkan kerja keras. Tapi, jika kita sukses, Insya Allah, buahnya sangat lezat, meskipun tetap sulit membuat kita jadi kaya!

Jakarta, 25 Desember 2005

Biografi:
AHMADUN YOSI HERFANDA, lahir di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958. Sejak tahun 1979 banyak menulis cerpen, puisi dan esei. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media sastra dan antologi karya yang terbit di dalam dan luar negeri. Beberapa kali sajak-sajaknya dibahas dalam Sajak-Sajak Bulan Ini Radio Suara Jerman (Deutsche Welle). Cerpennya, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing memenangkan salah satu penghargaan dalam Sayembara Cerpen Kincir Emas 1988 Radio Nederland (Belanda).


Sumber blog Dody Kristianto www.manuskripdody.blogspot.com

MENGOMENTARI SASTRA FACEBOOK

SARBI sebagai komunitas seni disetiap terbitannya selalu merangkul banyak pihak untuk terlibat. Sementara ini memang kerjasama itu masih terbatas di dunia maya. Entah sebuah kebetulan atau memang jalan yang hendak dibentangkan ketika kami mulai membuka diri untuk berkenalan dengan banyak pihak yang terlibat di kesenian secara riil di sekitar kami. Kami bertemu orang-orang menarik yang membuka kemungkinan untuk diajak berkolaborasi. Salah satunya adalah Teater Gedhek, sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa Teater di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo yang kami ajak untuk bekerja sama untuk memantik diskusi kecil untuk mengamati perkembangan Sastra Facebook.

Pada mulanya diskusi ini berasal dari bisikan kecil kawan kami. Sesepuh berkesenian di Sidoarjo, Ir. Soegeng Prajitno(Cak Ugeng) seorang pelukis. Beliau terpikir untuk membuat diskusi kecil secara berkala di tempatnya dan berkeinginan untuk menggandeng kami untuk mengisi soal sastra. Kami pun bersepakat untuk mengisi diksusi pertama, tapi di lain hal ada beberapa halangan yang tak memungkinkan itu digelar ditempatnya. Alternatif selanjutnya beliau menyarankan untuk dialihkan ke basecamp Teater Gedhek. Sambut bergayung pihak Teater Gedhek pun membuka dengan tangan terbuka.

Awal konsep diskusi ini memang masih ngambang, tak ada agenda terang apa yang hendak kami kupas. Beberapa bulan terakhir ini memang kegiatan bersastra sedang mati suri. Entah mitos bersastra hanya menunggu peristiwa-peristiwa besar nan kontroversial itu benar adanya. Ketika semua pelaku sastra tersentak dan ramai-ramai mempergunjingkan, atau diantaranya bersiap kuda-kuda hendak menyerang. Entah? Tapi kami percaya kesetiaan bakal lebih penting. Merawat segala yang hendak tumbuh. Memicu hal-hal baru.

Tak lama kami pun memutuskan untuk mengambil tema: Mengomentari perkembangan sastra facebook. Kami pikir semua paham dan bersemangat dengan media sosial ini telah mempengaruhi perseorangan untuk ambil bagian. Karena begitu populernya semua umur ikut turut menggunakan dengan berbagai alasan.Tak terkecuali sastra, ditarik ke arah lebih luas ke persoalan tulis menulis. Karena alasan-alasan semacam itu penting kiranya untuk dicatat, disimak dan diperbincangkan.

Pengantar diskusi ini Dody Kristianto penyair asal Sidoarjo (bukunya yang hendak terbit Lagu Kelam Rembulan) dan Umar Fauzi Ballah penyair dari Sampang (Bukunya yang sudah terbit, Jalan Kepiting)  Keduanya terlibat di Temu Sastrawan Indonesia 2011 di Ternate Maluku Utara tahun kemarin.

Diskusi berjalan menarik meski terkesan menjadi tanya jawab ke pengantar diskusi. Tapi beberapa hal penting untuk dicatat. Pertama, bahwa sastra facebook atau lebih tepatnya kegiatan bersastra di facebook telah memicu gagasan yang revolusioner. Facebook telah memancing orang kebanyakan untuk ambil bagian di sastra, tentu kita mengesampingkan persoalan kualitas kalau benar itu ada. Berbagai macam orang dengan berbagai latar belakang beramai-ramai dengan berani menunjukkan karyanya. Itu tentu hal yang menarik kalau kita menengok ke belakang 10-20 tahun lalu.

Kedua, facebook yang telah memotong birokrasi pemuatan ke media. Kalau modus selama ini setiap karya bersedia antri dan terseleksi di meja redaktur koran atau majalah untuk dapat dinikmati pembaca. Sekarang facebook cukup tekan publish. Maka setiap karya siap untuk dinikmati setiap orang. Bahkan diantara penulis menggunakan facebook untuk medan eksperimental untuk mengundang banyak orang mengomentari karyanya yang sedikit nyeleneh di luar kebiasaanya.

Ketiga, facebook telah menjadi medan paling banal untuk menyerang berbagai kelompok dengan berbagai alasan di persoalan sekitar sastra. Bahkan diantaranya sampai menggunakan lebih dari satu akun dengan nama samaran yang berbeda-beda hanya untuk menyerang ke pihak lain. Meski banyak hal justru lepas dari esensi persoalan menjadi terlihat sangat personal. Ini memang konsekuensi, karya mudah di publish juga siap dengam mudah di kritik, bahkan tercaci maki. Bahkan diantaranya perdebatan itu pun bisa bergeser ke media massa.

Keempat, facebook ternyata juga cukup rawan di persoalan hak karya cipta. Diantara peserta diskusi mengungkapkan bahwa karyanya pernah diambil orang lain dengan sedikit dirubah entah di sudut pandangnya atau entah di beberapa bagian lain.

Kelima, facebook merupakan bagian dari dunia cyber. Apakah ada tautan dengan ramalan yang ramai diperbincangkan beberapa tahun lalu oleh sekelompok orang yang menamakan gerakannya dengan CyberSastra? Diakui atau tidak facebook telah mempengaruhi dan merubah cara pandang seseorang terhadap sastra. Membuka jalan alternatif untuk keluar dari dominasi kelompok tertentu. Kalau hal itu memang ada. Tapi bagi kami yang sangat penting adalah kegiatan bersastra dan berkesenian menjadi sangat beragam dan terbuka.

 SARBI


Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Sunday, February 12, 2012

SASTRA PENUH SIASAT YANG LICIK

Photobucket
Karya Sandro Botticelli tahun 1490

Reporter : Ribut Wijoto

Sastra adalah dunia artistik, dunia keindahan, ataupun dunia estetika. Tetapi, dalam realitasnya, dunia ini digelibati beragam ketidakindahan dari para pelakunya. Ada intrik kejam dalam sastra.

Demikian salah satu pernyataan yang disampaikan Slamet Wahedi saat mengisi acara Orasi Satu Tujuan di Perpustakaan Dbuku Bibliopolis, Royal Plaza, Surabaya, Minggu (17/4/2011). "Dalam bulan April ini, kami mengambil tonggak Hari Sastra Nasional, 28 April. Nah, kami menampilkan sastrawan muda asal Madura, Slamet Wahedi," kata penggagas Dbuku, Diana Av Sasa.

Sementara itu, dalam orasinya, Slamet mengaku mendapat dasar-dasar kesastraan dari tradisi pesantren di Madura. Saat itu, dia punya anggapan, sastra adalah sebuah dunia yang nyaman dan penuh keindahan.

Sayangnya, ketika berkuliah di Surabaya (dia kuliah di Unesa), Slamet merasakan sesuatu yang cukup menyesakkan. "Saya melihat ternyata dunia sastra penuh intrik dan politik. Dunia sastra penuh siasat yang licik. Saya sungguh tidak mengerti. Ini sungguh sesuatu yang tragis," katanya.

Merasa sesak dengan kondisi saat ini, Slamet mengajak teman-teman seangkatan dengan dirinya untuk merebut kedaulatan sastra. Alasan yang dikemukakan, kondisi tragis dalam sastra saat ini, lebih disebabkan oleh generasi tua yang sudah terkontaminasi.

"Pada kesempatan ini, saya ingin mengajak kepada saudara-saudara seangkatan saya, kepada yang lahir pada periode 80-an, yang naik tanpa dendam, saya ingin mengajak untuk kembali merebut kedaulatan sastra, kemerdekaan sastra," lantangnya.

Bagaimana cara merebutnya, Slamet kembali kepada tugas utama sastrawan ataupun ranah sastra. Ada tiga hal yang disebutkannya. "Pertama, ia harus mampu menjadi seorang manusia. Kedua adalah bagaimana sastrawan mampu menjadi martil kebudayaan dan kemanusiaan. Yang ketiga adalah, sastrawan harus menjadi nabi tanpa wahyu," tandasnya. [but]

Berikut transkrip lengkap orasi yang disampaikan Slamet Wahedi:

Saatnya Generasi 80-an Merebut Kedaulatan Sastra

Di forum Orasi Satu Tujuan ini ada hal yang ingin saya sampaikan ketika saya diminta berbicara mengenai sastra. Ada sebuah pengalaman tragis. Pada sekitar tahun 2000-an saat saya berusia 16 tahun, waktu duduk di kelas 3 SMP, saya diperkenalkan pada sebuah realitas sastra yang bukan hanya sekedar membaca, menulis, atau penikmat, atau sekedar membaca sebuah puisi, cerpen. Tetapi dilingkungan hidup sekolah saya, ustadz saya, mengajarkan lebih dari itu. Sastra juga membutuhkan sebuah mental. Sastra bukan hanya sekedar menulis, bertampang ria, bukan sekedar berbicara di depan forum, sastra juga harus memiliki sebuah dedikasi yang kuat.

Di dalam kehidupan sekolah saya, sastra tidak serta merta diterima sebagai sebuah kehormatan tetapi ia mesti diuji dulu. Banyak anak-anak yang suka sastra tapi dia diolok-olok dulu. Mereka terus diasingkan, mereka terus dicaci maki. Dan semua itu hanyalah untuk menempa mental mereka.

Pertamakali saya mengenal sastra saya sungguh takjub. Saya sungguh sangat membanggakan siapa yang namanya Goenawan Muhamad, yang namanya Taufik Ismail, Ayu Utami. Saya membaca Saman, Catatan Pinggir, saya sungguh terkesan. Bahkan saya membayangkan saya ingin menjadi seperti mereka. Saya sering membacakan sajak-sajak Chairil, saya sering membacakan sajak-sajak Goenawan yang sungguh indah. Itulah pengalaman saya semasa SMP. Saya sungguh terpesona dengan yang namanya sastra. Sampai tidak ada dunia lain yang ingin saya geluti lagi kecuali sastra.

Tapi sayang, pengalaman yang mengesankan, pengalaman yang memukau itu tiba-tiba menjadi berantakan ketika saya memasuki dunia kuliah. Ketika saya hadapi betapa mirisnya dunia sastra. Saya melihat ternyata dunia sastra penuh intrik dan politik. Dunia sastra penuh siasat yang licik. Saya sungguh tidak mengerti. Ini sungguh sesuatu yang tragis. Tiba-tiba dalam dunia sastra saya mengenal yang namanya mitos. Orang yang tulisannya tidak dimuat di Kompas, Tempo itu bukan penulis. Sungguh Ironi. Orang yang tidak diakui oleh Utan Kayu bukan penulis. Sungguh ironi. Dan kenyataan ini yang membuat saya begitu tercekam pada dunia sastra.

Dan saya juga membaca dunia sastra kita begitu dipenuhi oleh keteganggan. Dunai sastra kita dipenuhi oleh sebuah dusta. Kejujuran sudah tidak bisa dipertahankan. Inilah, ini yang saya katakan paradoks. Paradoks kesusastraan. Estetika yang seharusnya bisa menyuarakan kemanusiaan ternyata sudah habis oleh intrik politik. Estetika yang seharusnya mampu memperjuangkan kebenaran dan keadilan ternyata habis oleh proyek-proyek yang mengatasnamakan sastra. Sungguh Ironi bukan?

Ya, ini memang ironi. Pada kesempatan ini, saya ingin mengajak kepada saudara-saudara seangkatan saya, kepada yang lahir pada periode 80-an, yang naik tanpa dendam, saya ingin mengajak untuk kembali merebut kedaulatan sastra, kemerdekaan sastra. Kemerdekaan seperti apa? Sastra seharusnya mampu berpihak pada rakyat, seharusnya sastra memahami rakyat dan mampu memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.

Kenapa kita mesti merebut kedaulatan sastra? Kenapa kita mesti merebut kemerdekaan sastra? Sekedar kilas balik. Pada jaman penjajahan kita sudah tahu, ketika sastra coba coba menyuarakan keadilan, ketertindasan masyarakat, tiba-tiba Belanda dengan Balai Pustakanya coba membredel mereka, coba membonsai mereka. Bahkan para pengarang yang cukup gigih memperjuangkan nasib rakyat diberi tanda silang merah yang cukup mengagetkan, bacaan mereka adalah bacaan liar. Sungguh mengenaskan memang sastra kita di jaman penjajahan. Hanya sastra yang meninabobokan yang boleh terbit.

Itu masih berlanjut. Itu masih belum berakhir. Di era kemerdekaan sekitar tahun 60-an sastra kita digoncang oleh sebuah prahara kebudayaan yang sungguh ironi. Kubu Manikebu dan Lekra terus bertarung, bertarung, bertarung demi politik, demi gagasan, demi humanisme universal. Mereka terus bergulat, bergulat, hingga sekarang. Nyatanya, karya sastra kita tetap kerdil. Kita tetap memuja-muja diri kita. Kalau mau jujur, hanya seorang Pram saja yang mampu berkata di dunia. Hanya seorang Pram saja yang diakui tanpa harus berkoar-koar di media. Pram dari balik jeruji dia tetap bisa diakui dunia. Hanya itu saja sastra kita yang bisa diakui dunia.

Sampai sekarang pun pergulatan antara umanisme universal dan sosialisme sosialis belum berakhir. Kemanusiaan yang kita dengung-dengungkan belum mereka sentuh. Bahkan, ironi itu berlanjut dengan namanya Horison, dengan namanya Utan Kayu, dengan namanya Boemipoetra, dengan namanya sindikat-sindikat lainnya, diam-diam para sastrawan kita, orang yang diharapkan lebih peka, orang yang diharapkan mampu memperjuangkan kemanusiaan ternyata bak politikus juga. Ternyata sastrawan sama saja dengan politikus yang hanya bisa mengatasnamakan demi kepentingan rakyat.

Sama saja. Cuma bedanya, sastrawan kita atas nama estetika, atas nama keindahan, atas nama seni, atas nama pertunjukan, atas nama sebuah puisi yang menggebyar. Tidak tahunya ternyata itu dalam kandang sendiri. Mereka memuji teman-teman sendiri. Mereka memuji diri sendiri. Ah, sungguh ironi. Tapi itulah kenyataan sastra kita.

Lalu bagaimana kita sebagai generasi bangsa? Generasi yang dilahirkan tanpa dendam. Generasi yang dilahirkan tahun 80-an. Apa yang harus kita lakukan? Maka, satu hal yang perlu kita sampaikan pada generasi tua sastra kita.

"Hanya ada satu kata, silakan kalian pergi dan kita akan mengukir sejarah sendiri".

Lalu bagaimana sejarah yang akan kita ukir?

Pada sebuah diskusi sastra, Yasraf Amir Piliang mungkin agak gelisah dengan kehadiran dunia elektronik. Gelisah dengan adanya facebook, dengan datangnya blog, dengan adanya web site. Bahkan ketika Cyber Sastra diluncurkan semua orang kasak kusuk, semua orang perlu mengomentari, bahkan ada yang mempertanyakan apakah itu sastra atau tidak. Tapi bagi saya, sebagai generasi yang harus mempunyai sejarah sendiri saya akan mengatakan,

"Inilah saatnya mempunyai diri sendiri. Inilah saatnya saya harus menyuarakan karya-karya saya pada masyarakat. Sudah bukan saatnya saya harus berada di menara gading. Bukan saatnya saya harus berandai-andai sebagai seorang intelektual. Sudah saatnya saya harus menyebarkan puisi-puisi saya, karya-karya saya kepada setiap lapisan masyarakat".

Sudah saatnya puisi itu tidak hanya memperbincangkan simbol, semiotika, tidak hanya memperbincangkan teori. Tapi sudah saatnya sastra itu harus menjadi jalan lain memperjuangkan kemanusiaan. Memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

Karena itu, sahabat-sahabat sastra, melalui forum Orasi Satu tujuan ini, saya ingin menjelaskan, saya ingin menegaskan kembali. Kita sebagai generasi yang naik tanpa dendam, kita sebagai generasi yang masih muda, yang mempunyai cita-cita panjang, harus tegar, harus berani mengatakan, "Kita tidak butuh generasi-generasi tua. Kita tidak butuh para sastrawan yang sudah berkoloni hanya untuk membuat sindikat, membuat mafia, membuat gengster. Kita punya sejarah sendiri".

Itu yang perlu kita katakan pada dunia. Kita mesti berkarya dengan hakekat diri kita sendiri, kta harus berkarya dengan jati diri kita sendiri. Kita tidak mereka untuk memediakan karya kita. Kita tidak butuh Kompas, kita tidak butuh koran, kita tidak butuh apapun yang terus membonsai imajinasi kita untuk menyebarkan karya. Kita hanya butuh kemerdekaan. Kita hanya butuh eksistensi, kita hanya butuh keberanian. Kita harus bercermin pada Wiji Tukul, hanya kata satu kata terhadap koloni, terhadap kapitalisme, terhadap, terhadap sastrawan-sastrawan yang cuma menelorkan dogma-dogma: Lawan Mereka!

Hadirin dan penikmat sastra yang saya hormati. Dalam kaitan ini saya juga ingin menyampaikan hal terpenting dalam karya sastra. Bahwa sastrawan paling tidak memiliki tiga tugas dalam kesusastraannya.

Pertama, ia harus mampu menjadi seorang manusia. Mengapa ia harus mampu menjadi seorang manusia? Seorang sastrawan adalah orang yang selalu dibayangkan terhadap kemanusiaan. Sastrawan adalah kholifah yang mampu membaca dan mengajarkan ilmu kepada manusia dengan kalam. Sehingga tidak boleh tidak, sastrawan mempunyai tugas penuh untuk menyuarakan kemanusiaan. Adalah hal yang hianat kalau seorang sastrawan, penulis yang diharapkan mampu peka, mampu menyuarakan jamannya, tidak mampu menyuarakan kemanusiaan. Hal inilah yang perlu divamkan oleh setiap sastrawan.

Kedua adalah bagaimana sastrawan mampu menjadi martil kebudayaan dan kemanusiaan. Kalau kita meminjam kata-katanya Seno Gumira, ketika semuanya dibungkam, para hakim sudah disogok, jaksa sudah disuap, presiden sudah disandera, polisi sudah diteror, maka sastrawan harus berbicara lebih banyak. Sastrawan harus menegakkan semuanya. Itu yang harus dikerjakan oleh setiap penulis, oleh setiap sastrawan.

Yang ketiga adalah, sastrawan harus menjadi nabi tanpa wahyu. Seperti apa nabi tanpa wahyu? Kita harus membaca, melihat realitas masyarakat kita, kita harus turun ke jalan. Bagaimana yang namanya masyarakat lumpur belum selesai, bagaimana kasus-kasus belum selesai, bagaimana negara yang morat marit ini. Harus kita lihat, harus kita terjemahkan dalam estetika kita. Yang selanjutnya harus kita kobarkan semangat kepada rakyat kita. Kita tidak perlu memprovokasi rakyat kita dengan estetika kita. Kita tidak perlu mengandai-andaikan mereka sebagai sesuatu yang dininabobokan. Kita tidak perlu membuat 'nyanyian' kosong kepada mereka. Kita hanya perlu mengabarkan sesuatu yang harus kita miliki sebagai seorang sastrawan. Apa itu? Yaitu Iqro bismirobbikalladzi kholaq, adalah sebuah Bacalah dan Sampaikan dengan nama Tuhanmu. Kalau sekali itu sudah bertentangan dengan nilai-nilai Tuhanmu, kabarkan kepada mereka. Didik mereka dengan estetikamu. Dan biarakan bila mereka berontak, kita tinggal mengawalnya dengan karya kita.

Hadirin sastra yang budiman. Sebagai generasi yang lahir tahun 80-an. Sebagai generasi yang dibesarkan dengan berbagai macam keinginan, dan berbagai kemajuan, saya mengingatkan sekali lagi bahwa jika kalian masih bercita-cita menjadi sastrawan, bercita-cita menjadi penulis, maka harus kembali memiliki jati diri. Kalian jangan sampai bergantung pada orang lain, apa lagi kepada generasi tua. Kalian jangan bergantung bahwa koran, bahwa majalah, bahwa mereka yang berada di puncak kekuasaan, semisal di Utan Kayu, semisal di Jogja, semisal Joko Yusuf, semisal dimanapun yang mengatasnamakan kuasa estetika, jangan pernah berharap, jangan pernah minta tolong, tapi tunjukkan kepada mereka kita semua bisa menulis. Sebagai khalifah kita diberi tugas itu. Kita memang suatu makhluk yang paling baik. Kita memiliki tugas untuk memerintahkan kepada yang baik menghindari amar munkar. Itu yang paling penting bagi kita sebagai generasi berikutnya.

Para penikmat sastra yang saya hormati, inilah yang bisa saya sampaikan atas beberapa pemikiran, atas beberapa kegelisahan saya pada dunia sastra. Saya kadang-kadang memang kecewa, tapi ini adalah sebuah pilihan, ini adalah sebuah tugas. Tidak hanya tugas individu, bukan sekedar sebuah tugas nasional seperti dikatakan Pram, tapi sebuah tugas yang dari Tuhan kita.

Penyembahan kita tidak sekadar bagaimana kita beribadah, tapi bagaimana diri kita memahami realitas Tuhan secara keseluruhan. Dalam sejarahnya, dalam kitab-kitabnya, Tuhan selalu menelurkan kitabnya dengan estetika tinggi. Ini adalah sebuah isyarat bahwa kita sebagai manusia memang diwajibkan, memang seniscayanya menjadi sastrawan. Sastrawan tidak harus bermakna seorang yang menjadi redaktur sastra, tidak harus bermakna mahasiswa yang kuliah sastra, tidak harus menjadi penulis karya sastra. Tapi sastrwan adalah orang yang mau membantu, membaca, memahami, setiap ayat-ayat Tuhan. Karena apa? Karena ayat-ayat Tuhan semua dikeluarkan dengan estetika tinggi, dengan simbol-simbol tinggi. Tanpa cernaan sastra tinggi, tanpa kemampuan seni yang tinggi, kita tidak akan mampu memaknai Tuhan secara utuh. Jika kita tak dapat memahami Tuhan secara utuh lalu apa bedanya kita dengan makhluk Tuhan yang lain?


Sumber: Blog Dody Kristianto www.manuskripdody.blogspot.com

Friday, February 10, 2012

PESONA KEEMPAT SUTARDJI CALZOUM BACHRI

Photobucket
Foto Abdul Hafiidh/ Keprifoto.com


Oleh Asarpin*

SEJAUH ini, lebih dari lima puluh ulasan tentang puisi Sutardji Calzoum Bachri (selanjutnya ditulis Tardji). Namun, di antara yang banyak itu, saya melihat jarang sekali sajak-sajak Tardji pasca-O Amuk Kapak (1981) mendapat perhatian.

Mungkin karena puluhan sajak mutakhirnya itu belum dibukukan, hingga perhatian kritikus masih tetap pada sajak-sajak lama. Arif Bagus Prasetya memang sempat menyinggung puisi-puisi Tardji terbaru sedikit membandingkan dengan sajak-sajak sebelumnya hingga Arif sampai pada kesimpulan bahwa sajak-sajak lama Tardji menampilkan "sajak aksi" dan sajak-sajak terbarunya menggemakan "sajak saksi"--sebuah kesimpulan yang hemat saya masih perlu diperdebatkan.

Puluhan puisi terbaru yang ditulis Tardji sangat padat menggunakan kalimat dengan kejutan estetik yang mencengangkan. Di antara puisi terbarunya saya sempat menyimpan puisi La Nosche De Las Palabas, Tanah Air Mata, Berdepan-Depan dengan Kakbah, Idulfitri, Cermin, David Copperfield, Pemulung, Mari, Sudah Waktu, Tanah Airmata, Cari, Atlantis, Para Munafik Ismail, Doa, Gempa Kata, Ini.

Dalam sajak-sajak ini Tardji begitu intim masuk jantung kata-kata, mendayakan kata, mengembalikan harkat kata tidak lagi pada mantra. Metaforanya tampil lewat kata-kata yang menyembul bagaikan ombak yang menghunjam batu karang, menggulung pantai kesadaran tempat burung bakik melantunkan tembang lawa malam.

Puisi La Nosche De Las Palabas bertanggal Madellin Columbia 1997, menggemakan kata-kata hingga sukma mutu menikam, seperti dalam fragmen ini: "palabras palabras palabras/-/--kata kata kata kata --/semakin kental mengucap/cahaya pun memadat/sampai kami bisa buat purnama jatuh/kata-kata menjadi kami/kami menjadi kata-kata". Nada protes dengan kandungan amanat yang posesif--bahkan sejenis "dakwah"--tersirat dalam sajak Pemulung (1990): kalian bikin mesjid/kalian bikin gereja/kalian senang kami selalu wirid/kalian anjurkan kami banyak berdoa/tapi kalian juga paling banyak melahap nikmat dunia".

Tardji tidak lagi menampik arti menjadi sejenis isyarat dengaran belaka atau kembali dari kata ke fonem, sebagaima dalam O Amuk Kapak (1981). Sajak-sajak terbarunya mengusung mentalitas sajak merakit kata dengan kontemplasi dan refleksi.

Dengan kekuatan sampiran, Tardji menghancurkan larik pantun empat bait dan menyusun puisi baru dengan melebur diri dalam gulungan ombak kata-kata. Tardji pernah mengatakan menulis sajak baginya bagaikan debur ombak yang perlahan-lahan mengikis pantai jadi lautan.

Ombak selebu dan alimbubu tidak henti-hentinya datang menyerbu dan mengempas datang lagi dalam mencari kedalaman sajaknya, membentuk dan menciptakan kesadaran imaji diam. Dalam sajak Tanah Air Mata, Tardji mungkin saja tenggelam bila tidak ada air mata yang menolongnya, bila saja tumpah darah tidak menjelma tanah air mata, "mata air airmata kami, airmata tanah air kami" yang kelak tampil dalam wadak yang telanjang dalam sajak Cari kata-kata seperti pemuda kita mencari kata dalam sumpahnya.

Sajak Gempa Kata (2005) seperti datang terlambat dan menjadi penegasan yang implisit terhadap tabiat puisinya dalam O Amuk Kapak yang menolak "tergantung pada kata" (A. Teeuw) sekaligus menolak pada mulanya adalah kata yang dijadikan satu rubrik Tokoh Bicara dalam Koran Tempo. Tardji berteriak: retak/kata kata bertumbangan/runtuh/metafora porak poranda/koyak moyak kamus/makna hapus/dalam banyak tenda/para korban keruntuhan kata/menjerit tanpa kata/negara asing tak sanggup bantu/ini persoalan sendiri/mustahil nyelamatkan korban/lewat asing kata/bahkan terjemahan/pun/tak.

Dalam puisi Para Munafik Ismail (2005), Tardji memang bukan penyair sekadar, kendati puisi-puisinya belakangan ini banyak menjejalkan kalimat-kalimat pejal. Tanpa beban Tardji menohok "Ismail" sebagai yang munafik: para ismail yang munafik/bergegas menyodorkan/leher:/-- sembelihlah kami!/Ibrahim yang hanif bilang:/-- tak, kalian tak boleh mati/agar menjadi pertanda biar umat waspada/.

Ismail dalam sajak Para Munafik Ismail bisa dibaca sebagai nama metaforik dan tak berurusan dengan Ismail putra nabi Ibrahim, bahkan Ismail di situ mungkin "Taufik Ismail", kata rekan saya. Tardji mengulang nama Ismail kembali dalam sajak Doa (2005): "...ini sungguh para ismail bayi ismail renta/ismail kanak ismail pemuda/dibantai/ya Tuhan/kuatkan selamatkan bangsaku/dari derita beberapa Nabi.

Puisi-puisi pasca-O Amuk Kapak hadir bagaikan sang mualim yang diempas angin lasi dari segala daftar kecelakaan yang pernah ditenggaknya di masa lalu. Sekali lagi, inilah tabiat ombak di tengah laut rembang atau olok mulang yang bekelok-kelok, berputar dan menggulung naik dan turun. Sesekali terdengar bunyi-bunyi di pantai kesadaran laut lazuardi sebelum akhirnya bergabunglah nakhoda, mualim, dan kelasi.

Tardji telah melengkapi tiga kumpulan sajak hingga layaklah ia meraih apa yang disebut sebagai sajak obviatif atau pesona keempat, yang sebelumnya telah ditunjukkan pada pesona pertama (O), kedua (Amuk) dan ketiga (Kapak). Dengan demikian, Tardji telah sampai pada kata yang memiliki bentuk khusus, yang membedakannya dengan semua penyair di negeri ini. Dengan watak obviatif ini, Tardji telah menyejajarkan dirinya--kalau bukan malah melintasi--dengan empat pendakian menuju Yang Mahakuasa dalam tradisi irfan dan ghazal Persia.

Bila saja sajak-sajak mutakhir Tardji dibukukan, saya akan memilih lema ombak karena dengan ombak, Tardji telah menghasilkan empat metamorfosis dalam pendakian puncak yang jauh. Mula-mula Tardji mengembara dalam sunyi lewat nol mutlak (dalam atau O) menuju kerinduan yang ganas melalui sembilu kucing batinku ngiau nuju jejak tak mewariskan sampai-luka tak meninggalkan badan walau sejuta mawar kucoba penawar dengan apa mencariMu (Amuk), berlanjut dengan mengembara dari manusia ke manusia dengan kebersamaan saudara kembar aku-kita yang dipertalikan oleh nasib (Kapak) dan hubungan dalam kewargaan dengan membebaskan mahia pengucapan tradisi yang sempit dan membawanya ke lingkungan sastra dunia tentang kedalaman kemaknaan (Ombak) ujung Tanjung, sekapur sirih seulas Pinang.


*Asarpin,  Pecinta Sastra

Monday, February 6, 2012

KARYA FIKSI DI MAJALAH RIWAYATMU DOELOE


Photobucket

Photobucket

Esai Kurniawan Junaedhi


SESUNGGUHNYA fenomena majalah yang secara khusus memuat karya fiksi, baik cerpen atau novel (cerita bersambung) bukan barang baru dalam dunia penerbitan pers Indonesia. Ketika membahas penerbitan majalah-majalah dan suratkabar pada permulaan tahun 1900-an, Sejarawan Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto mengakui bahwa para penulis zaman itu sudah menggunakan bentuk prosa dan puisi sebagai cara untuk menyatakan pikiran para penulisnya.
Pada tahun 1930-an, terutama pada tahun 1950-an kita sudah banyak menemukan cerita-cerita fiksi, khususnya cerpen, dalam penerbitan majalah di tanah air. Bahkan, peranan majalah-majalah itu sangat berarti dalam mengangkat cerpen sekaligus mempopulerkan nama para pengarangnya pada waktu itu.

Maman S Mahayana menulis dalam sebuah artikelnya tentang peranan media massa dalam mengangkat cerpen:
“Selepas merdeka, terutama pada dasawarsa tahun 1950-an, cerpen Indonesia seperti mengalami booming. Sejumlah majalah seperti Kisah, Pujangga Baru, Panca Raya, Arena, Seniman, Zenith, Seni, Sastra, Indonesia dan Prosa boleh dikatakan tidak pernah luput memuatkan cerpen. Menurut catatan E.U. Krazt yang meneliti 55 majalah yang terbit dalam dasawarsa tahun 1950-an itu, cerpen (: prosa) yang dimuat berjumlah 5043 cerpen, hampir mendekati pemuatan puisi yang berjumlah 6291 buah. Jumlah itu tentu saja akan membengkak jika kita menyisir majalah-majalah yang terbit di Indonesia pada dasawarsa itu yang mencapai jumlah 568 majalah. Belum terhitung suratkabar yang terbit waktu itu. Kondisi itu terus berlangsung hingga tahun 1964. Dalam dasawarsa tahun 1950-an itu pula tradisi penerbitan antologi cerpen mulai memperoleh tempat.”

Ajip Rosidi juga menuturkan, kedudukan cerpen yang demikian pada tahun 1950-an dapat dilihat dari jumlah majalah dan suratkabar yang menyediakan rubrik cerpen. Jika para pengarang sebelum perang menempatkan cerpen sebagai bentuk sampingan selain roman yang biasanya mesti ditulis seseorang sebelum diakui sebagai pengarang, maka pengarang sesudah perang menempatkan cerpen dalam kedudukan yang utama dalam dunia kesusastraan Indonesia.

Menurut Ajip Rosidi, pada waktu itu hampir setiap majalah, juga majalah yang tak ada saut pautnya dengan kesusastraan atau kebudayaan memuat cerpen setiap terbit atau bahkan mempunyai ruangan khusus untuk cerpen walaupun cerpen yang dimuatnya bukan cerpen yang berkadar sastra sama sekali.

Berikut sejumlah majalah yang banyak memuat cerpen di masa itu, sebagaimana yang dapat dicatat:
Pada tahun 1953, terbit majalah Kisah. Majalah bulanan ini adalah majalah pertama di Indonesia yang isinya menampilkan cerita pendek dan tidak berpolitik. Sebelumnya, menurut Jassin, cerita pendek hanya dimuat sekali-kali saja dalam majalah, atau hanya merupakan satu rubrik tertentu dalam majalah yang bersifat umum. Ciri khas majalah ini, setiap terbit hanya menampilkan cerita pendek. Pengasuh majalah ini adalah HB Jassin —yang duduk sebagai redaksinya bersama Muhammad Balfas dan Idrus, yang kala itu dikenal sebagai pengarang cerpen yang sohor. Setiap terbit, Kisah memuat antara 10-15 cerita pendek pilihan karangan pengarang Indonesia, di samping menyajikan cerita-cerita terjemahan dari para pengarang dunia terkemuka.

Pada tahun 1955, masih di Jakarta, terbit Kontjo. Kontjo, dalam bahasa Jawa berarti "teman". Majalah bulanan ini didirikan dan diterbitkan pertama kali pada 1 Oktober 1955. Motonya, ditulis dalam dua versi. Pertama, seperti tertulis di cover depan, "Dalam Suka dan Duka"; sedangkan di halaman dua, “Di Waktu Suka dan Duka". Isi majalah selain artikel juga banyak memuat cerpen dan lelucon-lelucon bergambar. Dalam mazed, tertera nama pengelolanya yaitu Sudjati S.A. Ramadhan K.H dan D.S. Moeljanto. Nama-nama yang disebut itu dikenal sebagai pengarang pada zamannya.

Pada tahun 1956 juga di Jakarta terbit majalah Nafsu oleh penerbit Noeniek Press Service. Sebagian besar isinya adalah cerita-cerita fiksi berupa cerpen maupun cerita bersambung. Di beberapa bagian halamannya ditambah dengan kartun dan foto yang tak ada hubungannya dengan isi cerita. Pada salah satu edisinya, dimuat cerpen karya Asmar Hadi berjudul “Tjurang dan Kepuasan” dan cerpen karya Jan Worang yang berjudul “Memperebutkan Gadis”.

Pada tahun 1959 di Surabaya terbit Peristiwa Njata. Majalah bulanan yang diterbitkan oleh Sri Soendari Press ini, mengutamakan cerita-cerita fiksi dan kisah nyata dari dalam maupun luar negeri. Cerita-cerita ini diharapkan bisa menjadi cermin dari kehidupan.
Setahun berikutnya, 1960 juga di Surabaya, terbit majalah Terang Bulan. Isinya didominasi oleh tulisan fiksi (berupa cerpen, cerita wayang, cerita misteri, cerita detektif, humor). Di sini pula karya Toha Mohtar (cerpen dan ilustrasi) banyak muncul

Pada tahun 1966, di Jakarta juga terbit sebuah majalah bernama Tjerpen yang diterbitkan oleh Jajasan Karja Budaya. Sesuai nama majalahnya, isi majalah itu sebagian besar adalah cerpen. Dalam salah satu edisinya dimuat cerpen berjudul "Harimau" karya Zakaria M. Passe, "Dua Buah Hati" karya Ninis Tri Soedarsi dan "Pohon Tjeri" karya Eliza Zondari.
Bertaburannya majalah yang memuat karya fiksi, utamanya cerpen pada waktu itu, menyebabkan lahirnya istilah “Sastra Majalah,” sebuah istilah yang dilansir oleh Nugroho Notosusanto dalam tulisannya “Situasi 1954” dimuat dalam majalah mahasiswa Kompas yang dipimpinnya.

(Dikutip dari buku MAJALAH DI INDONESIA ABAD KE-20, Kurniawan Junaedhie)

Saturday, February 4, 2012

SARASEHAN SASTRA DI BAIT KATA LIBRARY


Photobucket

Photobucket
Bersama Kirana Kejora


Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

BAIT KATA LIBRARY (Sidoarjo)
Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket
Foto-foto Ferdi Afrar/ SARBI

PUISI-PUISI MAS MARCO KARTODIKROMO


Photobucket

SAMA RASA DAN SAMA RATA


Sair inillah dari pendjara,
Waktoe kami baroe dihoekoemnja,
Di-Weltevreden tempat tinggalnja,
Doea belas boelan poenja lama,


Ini boekan sair Indie Weerbaar,
Sair mana jang bisa mengantar,
Dalam boei jang tidak sebentar,
Membikin hatinja orang gentar,


Kami bersair boekan krontjongan,
Seperti si orang pelantjongan,
Mondar mandir kebingoengan,
Jaitoe pemoeda Semarangan,


Doeloe kita soeka krontjongan,
Tetapi sekarang soeka terbangan,
Dalam S.I. Semarang jang aman,
Bergerak keras ebeng-ebengan.


Ini sair nama; "Sama rasa"
"Dan Sama rata" itoelah njata,
Tapi boekan sair bangsanja,
Jang menghela kami dipendjara.


Didalam pendjara tidak enak,
Tertjere dengan istri dan anak,
Koempoel maling dan perampok banjak,
Seperti bangsanja si pengampak.


Tapi dia djoega bangsa orang,
Seperti manoesia jang memegang,
Koeasa dan harta benda orang,
Dengan berlakoe jang tidak terang.


Ada perampoek aloer dan kasar,
Djoega perampok ketjil dan besar,
Bertopeng beschaving dan terpeladjar,
Dengan berlakoe jang tidak terang.


Dia itoelah sama perampoeknja,
Minta orang dengan lakoe paksa,
Tidak mengingat kebangsaannja,
Bangsa manoesia didoenia.


Hal ini baik kami koentjikan,
Lain hal jang kami bitjarakan,
Perkara jang mesti difahamkan,
Dan akhirnja kita melakoekan.


Banjak orang jang mengetahoei,
Doea kali kami kena doeri,
Artikel wetboek jang menakoeti,
Djoega panasnja seperti api.


Kakik kami soeda sama loekak,
Kena doeri jang koeintjak-intjak,
Djoega palang-palang jang koedoepak,
Soedah ada sedikit terboekak.


Haraplah soedarakoe di tendang,
Semoea barang jang malang-malang,
Soepaja kita berdjalan senang,
Ketempat kita jang amat terang.


Boeat sebentar kami berhenti,
Didjalan perempat tempat kami,
Merasakan ketjapaian diri,
Sambil melihati djalan ini.


Djangan takoet kami poetoes hasa,
Merasakan kotoran doenia,
Seperti anak jang beloem oesia,
Dan beloem bangoen dari tidoernja.


Kami sampe didjalan perempat,
Kami berdjalan terlaloe tjepat,
Temen kita jang berdjalan lambat,
Ketinggal misih djaoeh amat.


Kami berniat berdjalan teroes,
Tetapi kami berasa aoes,
Adapoen penharapan ta’ poetoes,
Kaloe perloe boleh sampe mampoes.


Djalan jang koetoedjoe amat panas,
Banjak doeri poen anginnja keras,
Tali-tali mesti kami tatas,
Palang-palang djoega kami papas,


Soepaja djalannja SAMA RATA,
Jang berdjalan poen SAMA me RASA,
Enak dan senang bersama-sama,
Ja’toe: "Sama rasa, sama rata."


Sinar Djawa Rebo 10 April 1918 no. 81


BADJAK LAOET


"Ha! ini tanah bagoes sekali,
Soedah tentoelah kita diami,
Djalan mana jang kita laloei,
Boeat merampas tanah ini!"


Begitoe berkata badjak laoet,
Melihat tanah toemboeh djoewawoet,
Jang bisa membikin kenjang peroet,
Dan bisa djoega membikin gendoet.


"Baik kita orang mendekati,
Poelo jang bagoes tertampak asri,
Berkenalan dengah orang boemi,
Dia oranglah jang mempoenjai"


Begitoelah kata kepalanja,
Badjak laoet bangsa jang doeraka,
Hendak mendekati ditepinja,
tanah jang penoeh harta doenia.


Badjak laoet poerak poerak dagang,
Barang makanan ditoekar oeang,
si Badjak Laoet merasa senang,
Dan timboel tabiat binatang.


Dia orang bikin hiroe hara,
Dia melakoekan dengan paksa,
Bertabiat seperti raksasa,
Pada orang jang tidak berdosa.


Toean tanah selaloe melawan
Dengan gagah dan keberanian,
Banjak badjak jang ditawan,
Diikat tali seperti chewan


Minta dame kepalanja badjak,
Dengan berdjandji jang enak enak,
Asal temannja tidak diroesak,
Ditendang dipoekoel atau didoepak.


Toean tanah djoega menoeroeti
Permintaannja dengan berdjandji,
Tiada boleh berlakoe kedji,
kepada semoea orang boemi.


Badjak, laoet poen soedah menoeroet
Berkata "baik" dan mangoet manggoet,
Bersanggoep tidak membikin kaloet,
Semoea prentah akan menoeroet.


Toean tanah poen soedah mendengar,
Dia poenja djandji jang keloear,
Dia diberi makan sekedar,
Oleh orang boemi jang ta' besar,
Kamoe boleh berdiam disini,


"Kamoe menjadi sahabat kami"
Kata kepalanja orang boemi,
Jang dermawan lagi moerah hati,


Kepala disitoe menjiarkan,
Kepada orang jang di bawah kan,
Orang asing soedah diidinkan,
Bertempat tinggal didesa Bantan.


Semoea orang boemipoetera,
Menganggapnja seperti saudara,
Boleh berlakoe dengan merdika,
Tapi djangan membikin doeraka


"Disini banjak orang sabrang,
Mareka itoe sama berdagang,
Dia hidoep dengan kita senang,
Hidoep roekoen tidak dengan perang."


Begitoe berkata toean tanah,
Pada badjak laoet jang menjerah,
Karena dia orang soedah lemah,
Dia poen soedah mengakoe kalah.


Badjak laoet berdaja oepaja,
Bersepakatan dengan temannja,
Soepaja Djafji kepoenjaannja,
Itoe tanah jang bagoes dan kaja.


Badjak laoet mengirimkan soerat,
Kepada temannja jang mof'akat,
Jang misih ada di tanah melarat,
Minta sendjata dan obat obat!!


Pekakas perang soedah sedia,
Goena merampas tanah jang kaja,
Dan jang poenja dibikin binasa,
Soepaja tanah djadi miliknja.


Banjak orang jang sama diboenoeh,
Oleh si badjak jang djadi tegoeh,
Ditanah itoe mendjadi roesoeh,
si badjak laoet mendjadi moesoeh.


Orang boemi banjak jang melawan
Menjerang keras mati matian,
Soedah tentoe banjak keroesakan,
Banjak orang jang sama di tawan,


Kepala orang boemi jang takoet,
Lebih senang marika menoeroet,
Kehendaknja badjak badjak laoet.
Maskipoen temannja kalang kaboet.


Banjak orang boemi jang ta' soekak
Toeroet kepalanja jang mengadjak,
Berdamai dengan si badjak-badjak,
Dia ta' soekak mendjadi boedoek.


"Lebih baik kita orang mati,
Dari pada kita menoeroeti,
Kehendak badjak jang amat kedji,"
Begitoe kata orang jang berani.


Si kepalanja mentjari akal,
Soepaja temannja ta' menjangkal,
Menoeroet kehendaknja jang nakal,
Boeat menoeroet badjak jang brutaal.


Kepalanja orang boemi,
Tidak memikir dibelakang hari
Tjoema memikir diri sendiri,
Hidoep besar dan berasa moekti.


Marika itoe kena diboedjoek
Oleh temannja jang soedah maboek,
Pangkat besar, pajoeng koening, koeloek,
Itoe barang tanja dia takloek.


Dia takloek pada badjak laoet,
En toch mengakoe orang jang ketoea,
Merentah bangsanja jang menoeroet,
Sabetoelnja dia si pengetjoet.


Si badjak laoet tinggal tertawa,
Karena dia bisa memerentahnja,
Orang boemi jang djadi kepala,
Djoega di pandang seperti Radja,


Si badjak menanam pengaroehnja,
Pada orang jang di bawahkannja,
Agar dia gampang dipidjatnja,
Dan merampas harta bendanja.


Banjak orang tidak mengerti,
Tipoe moeslihat jang mengenai,
Kepada semoea orang boemi,
Sebab ta' berpikir dalam hati.


Dari itoe orang-orang boemi,
Hidoep melarat setengah mati,
Dia bekerdja seperti sapi,
Tjoema mendapat oeang setali.


Si badjak laoet mendjadi gemoek,
Oeangnja banjak bertoempoek,
Hasilnja banjak tinggal menggaroek,
Saban hari moesti main maboek.


Apa kabar orang boemi sitoe?
Banjak jang mengoeli mikoel batoe,
Badannja roesak hatinja piloe,
Pikiran bingoeng mendjadi denggoe.


Saban hari bertambah tambah,
Bangsa badjak jang datang mitenah,
Ditanah itoe jang amat moerah,
Mentjari makan ta' dengan soesah.


Djangan tanja lagi orang boemi,
Bertambah soesah mentjari nasi,
Sebab tanahnja jang keloear padi,
Banjak jang sama di djoeali.


Oentoeng sekali si badjak laoet,
Pinter menipoe bisa memikoel,
Soepaja dia bisa menoeroet,
Perentahnja jang tiada patoet.


Badjak laoet semangkin koat,
Pendjaga'annja poen soedah rapat,
Bertambah pinter pat pat goelipat,
Sampai marika itoe bersambat.


Dua sambat sambat minta makan,
Kerna dia soedah kelaperan,
Dan dihinakan seperti chewan,
Oleh bangsa orang pemaboekan.


Badjak laoet ta' memperdoelikan,
Sambatnja orang jang kelaparan,
Si badjak selaloe meneroeskan,
Mengisap marika sampai pingsan,


Maka hal ini haroes dipikir,
Akan goenanja merobah takdir,
Soepaja kita bisa mengoesir,
Manoesia bangsa orang.....


Semarang, 23-1.2-18
Sinar Hindia 23 Desember 1918. No.255

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post