Telah Terbit !

Yang sederhana, yang berserakan, yang tak diperhitungkan dan bertebaran di mana-mana, tetaplah harus dirayakan. Spesial SARBI edisi 8 di akhir tahun!

Segera Dapatkan !

Buku Puisi Karya KOMANG IRA PUSPITANINGSIH.

Toko Buku SARBI

Kumpulan buku bekas pilihan yang asik untuk dibaca dan dikoleksi dengan harga bersahabat.

Telah Terbit!

BULETIN TIKAR EDISI 02/2013 Diterbitkan oleh Komunitas Tikar Merah (KTM)

Dapatkan!

Buku Terbaru SARBIKITA Publishing Karya Heru Susanto

Blogroll

Monday, December 30, 2013

Cerpen Puitis dan Pembaca(an)nya

 photo ArtistDamienHirstborn1965TitleMotherandChildDividedDateexhibitioncopy2007original1993MediumGlassstainlesssteelPerspexacrylic_zps6accf9fe.jpg
Artist: Damien Hirst (born 1965)| Title: Mother and Child (Divided)  
Date exhibition copy: 2007 (original 1993) | Medium: Glass, stainless steel, Perspex, acrylic paint, cow, calf and formaldehyde solut


Oleh Umar Fauzi Ballah

            “Pada dasarnya, Mardi Luhung adalah penyair, dan karena itu, cerpen-cerpennya pun tidak lepas dari ciri-ciri puisi, yaitu, suasana lebih penting daripada alur dan tokoh serta penokohan” (Budi Darma)
            Kutipan Budi Darma tersebut tertera sebagai endorsment kumpulan cerpen tunggal perdana karya Mardi Luhung berjudul Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku (Komodo Books, 2011). Saya kutip pernyataan tersebut sebagai acuan dasar untuk ‘menengahi keributan” di grup Facebook, “Sastra Minggu” mengenai cerpen “Gizli” karya Sule Sumbaweh (Kompas, 22 Desember 2013). “Keributan” itu “dipromotori” seorang cerpenis Bamby Cahyadi. Saya merasa perlu menghadirkan catatan ini mengingat, setidaknya dua hal, (1) memaknai fiksi puitis dan (2) kondisi kritik sastra kita di era sosial media.
/1/
Fiksi puitis adalah istilah yang saya kemukakan untuk merujuk pada kehadiran prosa fiksi yang mengetengahkan unsur gaya bahasa di atas unsur yang lain. Dalam khasanah sastra Indonesia, itu bukanlah hal baru. Kita bisa membaca Pengakuan Pariyem-nya Linus Suryadi AG atau Sareyang-nya M. Faizi. Keduanya mewakili genre prosa liris. Pada tataran lain, kita temui pada Cala Ibi-nya Nukila Amal. Djenar Maesa Ayu, selain rajin mengekplorasi unsur sudut pandang, juga begitu gandrung pada bahasa yang puitis pada beberapa cerpennya. Dengan menyebut nama lain, tentu saja adalah Mardi Luhung, Seno Gumira Ajidarma, dan beberapa yang lain. Begitulah ketika kita berhadapan dengan “Gizli”. Bahkan, cerpen tersebut mengingatkan saya pada cerpen “Pemetik Air Mata” karya Seno.
Sule dan beberapa pengarang yang lain mengambil ranah eksplorasi bahasa di sana. Pengarang menjadikan gaya bahasa sebagai unsur dominan selain unsur intrinsik seperti penokohan, latar, sudut pandang, tema, dan amanat. Ini bukan berarti unsur yang lain tidak dihadirkan yang kemudian dikatakan sebagai cerpen yang tidak berhasil. Karena itu, pembaca harus memahami bahwa gaya bahasa menjadi pusat perspektif fiksinya. Fiksi demikian menghadirkan sisi kenikmatan berbahasa, meliputi bahasa yang imajis ataupun bahasa yang ritmis. Pun ada sebuah pembacaan yang keliru ketika fiksi mengambil ranah gaya bahasa ia tergolongkan sebagai fiksi surealis.
            Pengelompokan itu penting dihadirkan untuk bisa membaca secara objetif sebuah fiksi dalam kerangka kritik sastra yang sehat. Karena ini fiksi, cerita rekaan, mau tidak mau unsur pembangun utamanya: alur serta tokoh dan penokohan, harus dikaji pula sebagai sebuah kesemestaan harmonis meskipun pengarang memusatkannya pada gaya bahasa.
Mari kita membahas “Gizli.” Cerpen ini menghadirkan dua orang tokoh yakni, tokoh “perempuan” dan tokoh “dia” atau oleh narator dikatakan “orang itu.” Perlahan dia duduk di samping perempuan itu dengan nafas terengah-engah. Perempuan adalah tokoh yang dirudung kesepian dalam penantian sia-sia menunggu kekasihnya yang dihempas badai. Ia dihibur oleh kedatangan tokoh “orang itu.” Orang itu datang bersama cahaya yang bertengger di atas ubun kepalanya. Ini adalah simbol yang sudah umum diketahui, yakni malaikat atau orang yang sudah meninggal.
Secara umum, cerpen ini hendak melukiskan oposisi biner kehidupan, kebahagiaan dan kesedihan; kerinduan dan penantian. Dengan mengambil latar malam, pengarang hendak memperjelas suasana kemurungan dalam cerpen ini. Dari situ, pengarang mengambil ornamen bulan dan bintang sebagai metafor yang menjadi kesatuan dengan air mata perempuan. Sebuah kombinasi pas untuk sebuah cerpen roman picisan. Aku adalah kebahagiaan pemuja keramaian seperti pecahan bintang-bintang yang menjelma rembulan. Aku memunguti kesedihan dan kesunyian yang tercecer dikegelapan.
“Gizli”, judul cerpen ini, adalah bahasa Turki yang artinya tersembunyi. Yang tersembunyi adalah kenangan yang melahirkan air mata, kerinduan, dan kebahagiaan yang mesti dicari. Dalam cerpen ini, diceritakan bagaimana perempuan menari berputar ala sufi. Ini adalah ramuan ekstinsik di mana kita bisa teringat pada Rumi. Bahkan, secara bahasa, ingatan lain muncul sebagai intertekstualitas pada karya-karya Kahlil Gibran pun bahasa-bahasa romantis sastra Arab.
/2/     
Kondisi kritik sastra Indonesia saat ini adalah kondisi di mana batas kritik yang secara leksikal berarti penilaian mulai menjauh dari hakikatnya. Maka, timbullah sebuah fenomena gosip kesusastraan Indonesia mutakhir. Istilah ini merujuk pada perbincangan di sosial media yang mulai ditasbihkan sebagai kritik. Itulah yang terjadi pada perdebatan di grup Facebook “Sastra Minggu” pekan ini. Sebuah grup yang menjadi laboratorium maya kesusastraan media cetak Indonesia.
            Sosial media adalah risiko bagi kondisi posmodernisme sastra Indonesia. Buah pikiran yang di sosial media—Facebook—disebut komentar adalah kualitas intelektual dan kritik sastra saat ini. Sosial media telah meleburkan yang ahli dengan yang seolah ahli. Kondisi ini saya bayangan mirip komentar di warung kopi ketika menyaksikan sepak bola yang berjibun dengan komentar sebagai ahli yang diundang sebagai jubir pertandigan. Akhirnya, yang tejadi adalah yang tidak ahli menjadi seolah-olah ahli. Pembicaraan pun merembet pada persoalan yang tidak esensial sebagai kriteria kritik.
            Sosial media pada hakikatnya adalah sama seperti media yang lain. Saya tidak hendak menafikan bahwa kritik tidak bisa disampaikan melalui media tersebut. Namun, yang terkesan naif adalah apa yang mereka sampaikan adalah gosip, caci maki, dan puja-puji (istilah Goenawan Mohammad yang dikutip Bamby Cahyadi). Mengapa demikian? karena komentar—dalam FB—bukanlan entitas yang utuh sebagai karya tulis. Mereka merasa nyaman menyampaikan ide dalam kondisi seperti itu. Padahal, di FB misalnya, ada kolom “cacatan” atau dalam Twitter bisa disajikan dalam kultwit.
            Dengan demikian, mungkin kita bisa memaklumi mengapa beberapa sastrawan kita gelisah terhadap kondisi minimnya kritik sastra Indonesia, alih-alih sebuah kritik yang bermutu. Sosial media sedianya adalah ruang alternatif untuk menyampaikan gagasan. Ini adalah perayaan dokumentasi yang meriah. Bukankah tidak sedikit beberapa buku muncul dari gagasan-gagasan yang awalnya dituangkan di media sosial? Maka, persoalan berikutnya adalah bagaimana gagasan itu lahir dengan selamat dan nikmat untuk sebuah tulisan yang layak tamat.

Twitter @uf_ballah.


Monday, December 23, 2013

Lembar SARBI edisi #8 Desember 2013

 photo cover-_zps1e585888.jpg

 photo daftarisi_zps1516dbe8.jpg

 photo hlm28-29_zpsc1545f1a.jpg

Lembar SARBI edisi 8 Desember 2013

- Kulit Muka
Angkasapura

- Penulis
1. Ledo Ivo
2. Choirul Wadud
3. Oktarano Sazano
4. Misbahus Surur
5. Bagus Burham
6. Ramayda Akmal
7. Selendang Sulaiman
9. Much Khoiri
10. Akmad Fatoni

- Perupa
2. Siddharta
3. Kristijan Jerkovic
5. Staats Fasoldt
6. Wahyu Nugroho
7. Spyros Verykios
8. X-Go W
9. Alan Taylor Jeffries

-Pemusik

Lembar SARBI edisi 8 versi flash player dapat diunduh di link ini:

Versi PDF:

Versi cetak hitam putih menggunakan kertas bookpaper dapat dipesan di redaksi dengan sms
No 085851857130

*Kritik, saran dan semua yang hendak dikirim perihal SARBI dapat dialamatkan ke sarbikita@gmail.com



TERIMA KASIH

Thursday, December 19, 2013

Monolog Kasir Kita (3)

 photo HenryFuseliPercivalDeliveringBelisanefromtheEnchantmentofUrmaexhibited1783Oiloncanvassupport991x1257mmframe1248x1510x108mm_zps678bf986.jpg
Henry Fuseli Percival Delivering Belisane from the Enchantment of Urma 
exhibited 1783 | Oil on canvas support 991 x 1257 mm frame 1248 x 1510 x 108 mm

Akhirnya, inilah akhir dari naskah Monolog Kasir Kita setelah sebelumnya blog sarbikita menayangkan secara berseri naskah karya Arifin C Noer ini. Selamat membaca.

___________________________

Persetan! Saya yakin istri saya pasti kehabisan uang sekarang. Apakah saya mesti mengasihani dia? Tidak! Saya mesti membunuhnya.
Seakan menusukkan pisau.
Singa betina! Ya, sebaiknya dengan pisau saja, pisau.

Telepon berdering.

Persetan! Sekarang pasti dia.

Mengangkat telepon.

Kasir disini! Kasir PT Dwi Warna! Apa lagi! Jahanam! Ular betina yang telah menjadikan aku koruptor itu! Jangan bicara apa-apa! Tutup mulutmu! Mulutmu bau busuk! Aku bisa mati mendengar kata-katamu lewat telepon! Cari saja laki-laki lain yang hidungnya besar. Penggoda bah! Cari yang lain! Toch kau seorang petualang!

Meletakan pesawat telepon.

Jahanam! Apakah saya mesti membunuh tiga orang sekaligus dalam seketika? O, ya. Tadi saya sudah memikirkan pisau. Ya, pisaupun cukup untuk menghentikan jantung mereka berdenyut. (geram). Sayang sekali. Pengarang sandiwara ini bukan seorang pembunuh sehingga hambarlah cerita ini.

Tapi tak apa. Toch saya sudah cukup marah untuk membunuh mereka. Namun sebaiknya saya maki-maki dulu alisnya yang nista itu. Saya harus meneleponnya!

Mengangkat telepon.

Kemana saya harus menelepon? Tidak! (meletakan telepon)
Lebih baik saya rancangkan dulu secara masak-masak semuanya sekarang. Demi Allah, saudara mesti mengerti perasaan saya. Bilanglah pada isteri saudara-saudara : “Manis, jagalah perasaan suamimu, supaya jangan bernasib seperti Jazuli.”
Ya, memang saya adalah laki-laki yang malang. Tapi semuanya sudah terlanjur. Sayapun telah siap. Dengan menyesal sekali saya akan menjadi seorang pembunuh dalam sandiwara ini.

Seperti mendengar telepon berdering.

Hallo? Jazuli disini. Jazuli (sadar)
Saya kira berdering telepon tadi. Nah, saudara bisa melihat keadaan saya sekarang. Mata saya betul-betul gelap. Telinga saya betul-betul pekak. Saya tidak bisa lagi membedakan telepon itu berdering atau tidak. Artinya sudah cukup masak mental saya sebagai seorang pembunuh.

Tapi seorang pembunuh yang baik senantiasa merancangkan pekerjaan dengan baik pula seperti halnya seorang kasir yang baik. Mula-mula, nanti malam tentu, saya masuki halaman rumahnya. Saya berani mempertaruhkan separuh nyawa saya, pasti laki-laki itu ada disana. Dalam cahaya bulan yang diterangi kabut : ..Saya bayangkan begitulah suasananya.

Bulan berkabut, udara beku oleh dendam, sementara belati telah siap tersembunyi di pinggang dalam kemeja, saya ketok pintu serambinya.
Mereka pasti terkejut. Lebih-lebih mereka terkejut melihat pandangan mata saya yang dingin, pandangan mata seorang pembunuh.

Untuk beberapa saat akan saya pandangi saja mereka sehingga badan mereka bergetaran dan seketika menjadi tua karena ketakutan. Dan sebelum laki-laki itu sempat mengucapkan kalimatnya yang pertama, pisau telah tertancap di usarnya. Dan pasti isteri saya menjerit, tapi sebelum jerit itu cukup dapat memanggil tetangga-tetangga maka belati ini telah bersarang dalam perutnya. Tentu. Saya akan menarik nafas lega. Kalau mayat-mayat itu telah kaku terkapar di lantai, saya akan berkata : “Terpaksa. Jangan salahkan saya. Keadilan menuntut balas.”
Tiba-tiba pening di kepala.
Tapi kalau sekonyong-konyong muncul kedua anak saya? Ita dan Imam? Kalau mereka bertanya : “Pak, ibu kenapa pak? Pak, ibu pak?
Memukul-mukul kepalanya.
Tuhanku!

Duduk.

Dia melamun sekarang. Dua orang anaknya, Ita dan Imam, 5 dan 4 tahun menari-nari disekelilingnya. Di ruang tengah itu dengan sebuah nyanyian kanak-kanak : Bungaku.
Saudara-saudara bisa merasakan hal ini? Mereka sangat manisnya. Lihatlah. Saya tidak bisa lagi marah. Saya pun tak bisa lagi peduli pada apa saja selain kepada anak-anak yang manis itu. Saya tidak tahu lagi apakah isteri saya cantik apakah tidak. Saya tidak tahu lagi apakah laki-laki itu jahanam apakah tidak.

Saya hanya tahu anak-anak itu sangat manisnya. Betapa saya ingin melihat lagi bagaimana mereka tertawa. Tak ada yang lain mutlak harus dipertahankan kecuali anak-anak itu. Saudara-saudara mengerti maksud saya? Apakah hanya karena cemburu saya mesti merusak kembang-kembang yang telah bermekaran itu?

Balerina-balerina kecil itu menari bagai malaikat-malaikat kecil.
Semangat hidup yang sejati dan keberanian yang sejati timbul dalam diri begitu saya ingat Ita dan Imam anak-anak saya. Seakan mereka berkata : “Pak susulah ibu, pak. Pak, ke kantorlah, pak.”
Ya, Ita. Ya, Imam.
Malaikat-malaikat kecil itu gaib menjelma udara.

Saya harus pergi ke kantor. Akan saya katakan semuanya pada pak Sukandar. Saya akan mengganti uang itu setelah besok saya jual beberapa barang dalam rumah ini. Setelah semua beres saya akan mulai lagi hidup dengan tenang dan tawakal kepada Tuhan. Hari ini hari Jumat, di masjid setelah sembahyang saya akan minta ampun kepada Allah.
Saya tak mau tahu lagi apakah laki-laki Rahwana atau bukan. Saya tak mau tahu lagi apakah Sinta itu serong atau tidak. Saya tidak peduli. Tuhan ada dan laki-laki yang macam itu dan perempuan itu ada dalam hidup saya. Semuanya harus saya hadapi dengan arif, sebab kalau tidak Indonesia akan hancur berhubung saya menelantarkan anak-anak saya, Ita dan Imam.

Telepon berdering.

Jahanam! Kalau saudara mau percaya, inilah sundal itu. Setiap kali saya tengah berpikir begini, jahanam itu menelpon saya.
Telepon berdering lagi.
Jahanam! Inilah sundal itu sesudah uang kantor ludes, apakah ia mengharap rumah ini dijual.

Mengangkat pesawat telepon.

Ya, Misbach Jazuli

Tersirap darahnya.

Saudara, jantung saya berdebar seperti kala duduk di kursi pengantin. Demi Tuhan, tak salah ini adalah suara istri saya. Oh saya telah mencium bau bedaknya. Hutan mawar dan hutan anggrek. Ya, manis. Saya sendiri. Saya yakin dia pun sepikiran dengan saya. Saya akan mencoba menyingkap kenangan lama.
Hallo?..Tentu...Tentu. kenapa kau tidak menelepon tadi? Ya...ke kantor, bukan? Memang saya agak flu dan batuk-batuk.
(akan batuk tapi urung) ...Ya, manis. Kau ingat laut, pantai, pasir, tikar, kulit-kulit kacang..ah, indah sekali bukan?...Tentu...Tentu...He...?...Bagaimana?....Kawin? Kau?...Segera?

Lihatlah, niat baik selamanya tidak mudah segera terwujud. Apa?...Apa? Ha??? Saudara, gila perempuan itu. Apakah ini bukan suatu penghinaan? Dia mengharap agar nanti sore saya datang ke rumahnya untuk melihat apakah laki-laki calon suaminya itu cocok atau tidak baginya. Gila. Hmm, rupanya laki-laki yang dulu itu cuma iseng saja. Ya, tentu..bisa!

Meletakan pesawat dengan kasar.

Jahanam. Saudara tentu mampu merasakan apa yang saya rasakan. Beginilah, kalau pengarang sandiwara ini belum pernah mengalami peristiwa ini. Beginilah jadinya. Saya sendiri pun jadi bingung untuk mengakhiri cerita ini.
(tiba-tiba) Persetan pengarang itu! Jam berapa sekarang? Persetan semuanya! Yang penting saya akan ke kantor meski sudah siang. Dari kantor saya akan langsung ke masjid. Dari masjid langsung ke rumah mertua saya. Langsung saya boyong semuanya.
Anak-anak itu menanti saya. Persetan! Sampai ketemu. Selamat siang.
Melangkah seraya menyambar tasnya. Tiba-tiba berhenti. Setelah mengeluarkan sapu tangan, batuk-batuk dan menyedot hidungnya.
Saya influenza, bukan ?

SELESAI

________________________

Redaktur SARBI: Dody Kristianto

Gembritt Foury

 photo ArtistJulianTrevelyan19101988TitleCretanWitchesFightingDate1964MediumIntaglioprintonpaperDimensionsimage350x476mmCollectionT_zpsbda9a020.jpg
Artist: Julian Trevelyan (1910‑1988) | Title: Cretan Witches Fighting | Date: 1964 
Medium: Intaglio print on paper | Dimensions: image 350 x 476 mm | Collection: Tate

Cerpen M Shoim Anwar

Dia adalah anak keempat dari dua bersaudara. Orang tuanya memberikan nama Foury. Lengkapnya Gembritt Foury. Tetapi saya lebih senang memanggilnya Gembritt. Dia adalah seorang imigran dari Mobile, Alabana. Di sana dia tinggal di daerah pemukiman campuran, tepatnya di Herndon Avenue. Ibunya seorang kulit hitam bernama Mary Gellhorn, dan ayahnya seorang kulit putih bernama Robert Duke. Banyak orang yang bersimpati pada keluarga ini. Namun banyak juga yang sinis karena nafas rasialisme masih berkembang di mana-mana.

Tiba-tiba gerakan kelompok Ku Klux Klan yang anti kulit hitam itu menggila. Ibu Gembritt suatu ketika ditemukan di belakang rumah dalam keadaan luka parah, bahkan hampir tewas. Ini tentu disiksa oleh kelompok itu. Korban kulit hitam memang terus berjatuhan secara misterius. Orang tua Gembritt akhirnya pindah ke Havana, Kuba.
Di Havana ini saya menemukan Gembritt dan mengenalnya untuk kali pertama saat ada pertunjukan orkestra di Teatro Nacional. Gembritt mengaku bersekolah di Akademi Dansa yang terletak di kompleks ini pula. Malam itu kami mencoba untuk berdansa. Liuk-liuk dan gerakan kaki Gembritt memang rapi. Kali ini saya belum sempat bicara banyak dengannya. Acara dansa itu pun terjadi karena ada seorang teman yang menggeret saya.

Pertemuan kedua dengan Gembritt terjadi di bar Floridita. Seperti dulu kami berdansa lagi. Bahkan hingga puas, setelah gagal pasang taruhan Jai Alai Fronton, saya mengajak Gembritt menenggak cocktail: campuran sari jeruk, es batu, dan rum.
"Kau tinggal di mana, Gembritt ?" saya bertanya kepadanya.
"Di Ambos Mundos," jawab perempuan itu.
"Sendirian ?" saya mencoba mengorek.
"Ya", jawab Gembritt," lebih tenang daripada kumpul keluarga. Kau mau ke sana Shoim Anwar ?"
"Ooo...senang sekali," saya mengangguk-angguk.
"Nanti kau boleh ikut."
Lonceng di bar berdentang sebelas kali. Kami keluar dari bar dan berjalan membelakangi gedung yang luas itu. Potongan kayu tiba-tiba menghantam pagar di dekat kami. Saya dan Gembritt terjingkat. Gembritt saya tahan sejenak.
"Orang mabuk," katanya, lantas ia mengajak pergi cepat-cepat. Setelah belok ke barat sampailah di Ambos Mundos. Kami naik elevator ke lantai enam sebelah timur, ke apartemen Gembritt.

Dari kamar ini Havana tampak tersepuh cahaya warna-warni. Di sepanjang broadway sisa-sisa mobil yang lewat sorot lampunya seperti bianglala meleot-leot. Gedung-gedung menebarkan gemintang berjuta-juta yang beraneka bentuk dan warna. Bangunan Palaciao de los Capitanes Generales, hotel yang terkenal itu, tampak bagai raksasa kota yang gagah. Sedangkan di sebelah utara katedral tua kelihatan seperti cemara tambum.
"Di sini nyaman," kata Gembritt mendekati saya, "kalau siang kita bisa menikmati semenanjung Casablanca dengan kapal yang mondar-mandir di mana-mana. Lihatlah!" Gembritt menuding ke timur, tampak lampu-lampu kapal dipantulkan air semenanjung.
Beberapa saat saya berdiri di mulut jendela. Udara sangat dingin. Bulan November seperti ini angin sudah mulai mengangkut udara salju. Gembritt menyodorkan sesloki anggur warna merah darah. Seusai minum, saya duduk di bibir dipan. Gembritt mengganti lampu berwarna hijau. Malam itu kami belum sempat tidur. Darah kami terus terkesirap dan gelora hidup jadi menggelegak.

Mendekati pukul dua malam tiba-tiba terdengar tembakan di luar. Saya dan Gembritt terkejut. Tampaknya tembakan terjadi di bawah apartemen ini. Gembritt segera bangkit dan saya menyusulnya. Kami melihat ke bawah melalui kaca jendela.
"Mereka pasti kaum oposisi, " kata Gembritt.
"Siapa mereka itu?"
"Anak buah Fidel Castro. Castro telah menunggangi mereka."
Tembakan terdengar kembali. Kelihatan sekelompok orang berlari menyeberangi jalan. Kemudian terdengar teriakan. Tiga menit setelah itu datang mobil patroli dengan mengangkut sepasukan tentara. Perburuan sepertinya terjadi di bawah sana. Situasi politik di Havana akhir-akhir ini memang menghangat, insiden-insiden sering terjadi, beberapa kelompok pasukan siap di tempat-tempat tertentu dan sisanya mondar-mandir di jalanan. Selebaran-selebaran gelap beredar di mana-mana, isinya menyatakan ketidakpuasan rakyat terhadap sistem politik dan kepemimpinan Gerardo Machado.
Tiba-tiba pula terdengar sirine mobil di sebelah barat sana. Kami berusaha melihat dari lantai enam ini. Tetapi tetap tak jelas. Kemungkian besar ambulan mengangkut mayat. Tiga hari lalu terjadi penembakan atas seorang pejabat kementrian dalam negeri. Gembritt sekonyang-konyong tertawa sinis.

"Apa?" saya bertanya.
"Politik!" jawabnya sambil meninggalkan jendela.
"Mengapa politik ?"
"Kata orang, politik itu ladang yang paling banyak ditaburi dosa karena ambisi kekuasaan. "
"Kau melihat begitu?"
"Tentu saja! Mulanya berjanji akan memperjuangkan nasib rakyat. Tapi lama-lama rakyat diperas. Kekayaan negara diserap dan ditumpuk untuk anak cucunya dengan didirikan perusahaan di mana-mana. Pemimpin ini memberikan jabatan-jabatan penting pada segenap keluarga, kendati sebenarnya tidak becus. Mereka membentuk jaringan-jaringan politis dan ekonomis. Aku takut penggantinya nanti juga demikian. Sejarah telah membuktikan bahwa politikus itu punya prinsip seperti yang dikatakan Machiavelli : It is better to be feared than to be honored. Atau seperti kata Caligula : Oderintum dum metuantum."

"Jadi mereka lebih suka ditakuti daripada dihormati ?"
"Yes! It's right! Mereka ini kalau pensiun akan dicibirkan oleh orang-orang kecil. Tidak heran banyak pensiunan yang stres."
Kami terus bicara. Gembritt ternyata punya wawasan yang baik. Dan malam terus meluncur. Darah kami menggelegak sampai malam tiba.


*****

SEPERTI yang telah disepakati bersama, pertemuan saya dengan Gembritt menjadi sering. Saya sering tidur di apartemennya. Demikian pula dia sering tidur di apartemen saya, di Parcue Central, di Malencon Street. Hubungan kami berjalan sangat mesra. Saya memang merasa cocok dengan Gembritt. Karena perpaduan kulit hitam dan kulit putih dari orang tuanya, warna kulit Gembritt jadi sawo matang seperti saya. Tubuh Gembritt tinggi besar dan sedikit sangkuk. Orang bilang postur demikian nafsu seksnya besar dan kuat. Suka menghabiskan sekian banyak lelaki. Sedang rambutnya yang hitam bergelombang dipotong setinggi pundak. Hidungnya besar dan mancung serta sedikit mengelembung pada bagian tengahnya. Mirip hidung istri saya di Tanah Air. Untung tidak seperti paruh burung betet.
Ada satu yang aneh sekali. Saat berjalan dengan Gembritt terlalu sering kami digampar orang dengan potongan kayu, batu, atau benda-benda kasar lainnya. Dua hari lalu kaki Gembritt hampir pincang karena terserempet hantaman batu. Memang, dari sekitar ini orang dengan mudah dapat menelikung, atau langsung membaur dengan kerumunan orang di depan bar. Laki-laki mabuk banyak gentanyangan di kafe-kafe seafood. Tidak jarang mereka menjegal orang lewat dan minta uang. Gembritt selalu menganggap peristiwa ini biasa-biasa saja. Sementara itu insiden-insiden dan intrik-intrik politik terus terjadi di mana-mana.

Meski sudah sering bersama Gembritt, saya masih belum paham benar kegiatan apa yang dilakukannya tiap malam hingga selalu keluar. Setiap kali saya menjumpainya pasti di sekitar bar Floridita, atau kalau siang di tempat pemancingan ikan Slpoy Joe's di Key West. Pemilik pemancingan ini, Joe Russel, ternyata sudah kelewat akrab dengan Gambritt. Kadang-kadang Gembritt juga berbaring di tepi pemandian dekat pemancingan itu. Sekolahnya di Akademi Dansa juga tidak layak disebut sekolah.
Suatu ketika saya berhasil menemukan Gembritt di kawasan Key West. Dia membawa bungkusan agak besar. Kami berbicara beberapa saat. Waktu saya bertanya apa isi bungkusan itu, Gembritt menolak menjawab dengan amat tegas.
"Tidak semua urusanku perlu kauketahui," katanya.
"Tapi aku cuma bertanya?"
"Kalau cuma bertanya itu namaya iseng. Pekerjaan iseng tidak akan memberi manfaat yang berarti.

Setelah berjanji untuk bertemu besok malam, Gembritt dengan cepat menyeberang dan menuju ke halaman kantor pemerintah bertingkat tiga. Gembritt melewati celah-celah mobil yang diparkir. Saya sendiri tidak bisa terlalu lama di sini. Urusan lainnya harus segera beres. Langsung saja saya mencegat taksi.

Secara kebetulan, dua jam setelah itu, saya kembali melewati jalan tempat berjumpa dengan Gembritt tadi. Ternyata di halaman gedung yang dimasuki Gembritt tadi baru saja terjadi ledakan bom. Beberapa mobil rusak berat dan bagian depan gedung babak belur. Adakah hubungan meledaknya bom ini dengan Gembritt?


*****

MALAM itu telepon di kamar Gembritt terus berdering tiap tiga menit sekali. Tapi penelponnya tak juga mau bicara. Tampaknya ia cuma mau main-main, atau sengaja menteror barangkali. Kejadian itu berlangsung sekitar setengah jam.
"Aku mau keluar," kata Gembritt sambil melemparkan kunci pada saya. Sepertinya sudah tidak sabar dan ingin melesat saja. Tapi saya segera menyabet lengannya dan menarik mendekat.
"Ke mana kau?"
"Tunggu di sini!"
"Kau jangan terpancing oleh godaan, Gembritt."
"Ini bukan lagi godaan! Tapi teror!" katanya sambil mendelik.
"Apakah kau tahu siapa yang menelepon itu?"
"Dia pasti.... " kata-kata Gembritt terputus. Saat itu pula Gembritt membetot lengannya dan melesat pergi.
Telepon tak lagi berdering. Satu jam setelah itu Gembritt menelepon saya. Dia bilang akan ke rumah orang tuanya di Finca Vigia, sebuah kawasan luar kota Havana, selama seminggu. Ayah Gembritt sendiri katanya adalah mantan legiun Amerika yang sekarang mengalami cacat kaki karena diberondong oleh musuh.

Tiga hari setelah kepergian Gembritt, situasi Kuba mendidih. Tembakan sering terdengar di mana-mana. Para mahasiswa turun ke broadway sambil meneriakkan yel-yel. Mereka menentang rezim diktator Gerardo Machado. Dikabarkan pula bahwa di sekitar bandara Havana terjadi hal serupa. Delapan mahasiswa tewas ditembak tentara, lainnya luka-luka. Sementara dari kelompok sempalan yang didalangi Fidel Castro mengajukan protes keras terhadap penguasa yang dianggap tiran itu. Sementara itu golongan mahasiswa katanya belum jelas aspirasinya terhadap sosok pemimpin yang dijago mereka. Sikut-sikutan antar kelompok masih amat sengit, khususnya antara kelompok sosialis dan demokrat. Fidel Castro sendiri kabarnya menganut aliran sosialis-komunis.
Sebagai orang asing, saya tidak mempunyai kepentingan langsung dengan situasi ini. Orang-orang bergerombol di sana-sini saya lewati begitu saja. Sementara polisi patroli mondar-mandir di jalanan. Hari sudah sore. Dari sini saya langsung melesat ke Akademi Dansa. Saya agak tak percaya kalau Gembritt jadi ke Finca Vigia. Dalam perjalanan ini mata saya menjilat-jilat ke setiap kerumunan, barangkali saja Gembritt tercecer di antara mereka.
Ternyata dugaan saya betul, Gembritt saya jumpai di bar Floridita. Suasana di sini tetap ramai, para pengunjung berkelompok-kelompok menghadapi meja masing-masing, ada yang bermain kartu, bermain gitar, mabuk, dan ada pula yang berdansa. Orang-orang ini sepertinya tak punya kepentingan dengan politik. Cepat-cepat saya mendekati Gembritt di dekat pilar.

"Gembritt!" saya memanggil, dia menoleh, matanya tajam berkilat. Bersamaan dengan itu laki-laki tua pengamen datang menyanyikan lagu rakyat. Cepat-cepat saya beri, lantas dia pergi terbongkok- bongkok.
"Kenalkan tema saya," Gembritt memperkenalkan laki-laki di sampingnya. Laki-laki itu memperkenalkan namanya, "Morris Dees."
"Shoim Anwar," saya membalas.

Tampaknya Gembritt tak punya minat bicara dengan saya. Sayapun tak bicara apa-apa. Setelah duduk beberapa saat saya putuskan untuk pergi saja. Gembritt tidak memberikan reaksi apa-apa. Dia telah dicengkeram oleh lelaki lain. Petang itu pula saya langsung pulang ke apartemen saya di Malencon Street. Kukuhlah dugaan saya bahwa Gembritt mengantongi ketidakberesan. Dia selalu keluyuran tiap malam.


*****

SITUASI Havana semakin kacau. Yel-yel mahasiswa tambah berani di jalan-jalan. Pertumpahan darah mulai terjadi antar tentara dan massa. Karena keadaan semakin mengkhawatirkan, rindu tanah air tiba-tiba menjadi kuat dalam diri saya. Saya ingin pulang ke Indonesia cepat-cepat. Setyowati, istri saya, tentu sudah amat rindu dengan saya. Pada bulan seperti ini pohon jambu di belakang rumah pasti sudah berbuah. Bumi Surabaya seperti telah memanggil-manggil. Bunga-bunga yang terawat dengan rapi di halaman rumah sana sepertinya sudah di depan mata. Rambut dan jenggot saya pun sudah amat panjang. Setyowati biasanya memotong rambut dan jenggot saya itu dengan lembut. Rindu istri dan tanah air sudah amat menggumpal di dada.

Sudah seminggu pula saya tak bertemu dengan Gembritt. Saya ingin menemuinya. Terus terang, walau saya menyadari Gembritt mengantongi ketidakberesan, saya kesulitan untuk melupakan dia dengan begitu saja. Paling tidak, saya bertekad untuk meremasnya sebelum pulang ke Tanah Air.
Saya ingat bahwa kunci kamar Gembritt masih saya bawa. Ini berarti dia belum pulang, atau mungkin dia membawa kunci dua.

Dari Malencon Street saya langsung melesat ke Ambos Mundos untuk memburu Gembritt. Barangkali saja dia di kamarnya. Saya ingin menelannya.

Kamar Gembritt ternyata masih terkunci. Beberapa saat saya mondar-mandir di depannya, lalu duduk di teras. Entah mengapa perasaan saya jadi tidak enak. Saya merasa cemas tanpa suatu sebab yang jelas. Sebenarnya saya dapat membuka kamar itu cepat-cepat. Tapi saya seperti kehilangan semangat. Sekali lagi saya mondar-mandir di depannya.
Akhirnya keinginan saya menjadi kuat untuk segera membuka kamar itu. Saya pun segera menusukkan kunci ke lubangnya. Dan rontoklah jantung saya seketika: glarrr! Saya terkejut alang kepalang. Saya melihat Gembritt terkapar di lantai. Tampak darah berceceran dan sudah mulai mengering. Tampaknya darah itu bekas mengalir dari dadanya. Saya bergetar dan amat takut untuk mendekat dan menyentuhnya. Saya menatap sekeliling. Ternyata semua jendela masih tertutup rapi dari dalam. Tidak ada tanda-tanda kerusakan. Pun tidak ada tanda-tanda dia mati bunuh diri dengan benda tajam. Kulihat mulut Gembritt menganga dan menakutkan.

Jantung saya berdegup-degup kencang. Rasa kehilangan muncul dalam diri saya. Saya jadi tak mengerti apa yang harus saya lakukan. Tapi yang jelas, saya tak ingin terlibat dengan masalah ini secara berkepanjangan. Sebab, tak urung nanti saya pasti terlibat karena kunci kamar saya yang membawa. Gembritt tetap tak saya sentuh. Saya menjadi oleng. Saya harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Saya hanyalah orang asing di sini. Saya harus segera pulang ke tanah air biar terlepas dari kasus ini. Surat jalan harus cepat-cepat saya dapatkan. Rindu istri dan tanah air bertambah mendedak dalam dada.
Lantaran situasi Havana kacau, pengurusan surat tersendat-sendat jadinya. Sementara bayangan Gembritt terus mengejar-ngejar saya. Gembritt sepertinya berdiri di setiap sudut sambil memanggil saya dengan lambaian tangan. Dua hari berikutnya surat jalan telah saya dapat. Kebetulan pesawat ke Kuala Lumpur akan terbang nanti sore. Dari sana dengan mudah saya dapat transit ke tanah air.
Hari ini saya menginjak bumi Kuba untk yang terakhir kalinya. Di lobi bandara Havana saya sudah siap-siap menghadapi pemeriksaan, bersama penumpang-penumpang lainnya. Sementara itu Gembritt masih saja mengejar-ngejar saya di setiap sudut, bahkan semakin menghebat.

Beberapa penumpang telah lolos. Kini giliran saya untuk diperiksa para petugas bandara. Paspor dan segala perbekalan saya siapkan dengan seksama. Saya berdoa semoga sampai ke tanah air dengan selamat. Seorang di antara petugas tiba-tiba menatap saya dengan tegas. Dia segera menunjukkan kartu anggota kedinasan. Ternyata dia dari anggota intelejen polisi kota praja.

"Anda terlibat dalam pembunuhan Gembritt Foury di Hotel Ambos Mundos. Sekarang Anda harus ikut kami untuk dimintai keterangan !"
Jantung saya benar-benar rontok. Dengan cepat saya digiring dua orang polisi kota praja. Menuju ke pintu bandara. Di sana telah siap sebuah mobil dinas. Orang-orang sama memperhatikan saya.

Mobil dengan cepat melasak ke pusat kota Havana. Tubuh saya benar-benar mandi keringat. Apa yang harus saya katakan dalam interogasi nanti, sementara kunci kamar Gembritt memang saya yang membawa. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan. Pun saya tak mau lapor saat mengetahui kejadian itu. Sidik jari saya tentu masih melekat di pegangan pintu kamar. Saya jelas bersalah dalam perkara ini. Urusan jelas berkepanjangan sebelum semuanya terungkap. Atau barangkali saya terpaksa mendekam di penjara karena kasus itu tak dapat diungkap polisi. Dalam perjalanan ini saya selalu berdoa, semoga rezim Gerardo Machado dan pengikutnya segera ditumbangkan dan ditembak mati oleh kelompok sempalan. Dengan demikian nantinya akan terjadi abolisi massal.
Tapi tiba-tiba saya punya pikiran lain. Havana sedang kacau. Para demonstran sudah banyak yang tewas oleh moncong senjata. Dalam kekacauan hanya senjalah yang lebih banyak bicara. Mata saya terasa basah. Sepertinya ada firasat bahwa beberapa jam lagi saya sudah menjadi mayat! ***

*) Cerpen bertitimangsa Surabaya, 2003, ini dipetik dari Suara Merdeka  12/28/2003.


M. Shoim Anwar dilahirkan di Jombang, Jawa Timur, 16 Mei 1963. Karya-karyanya antara lain Sang Pelancong (1991), Angin Kemarau (1922), Oknum (1992), Musyawarah Para Bajingan (1993), dan Pot dalam Otak Kepala Desa (1995). Cerpennya terdapat pula dalam banyak antologi bersama antara lain New York After Midnight (1991).

___________

Redaktur SARBI: Dody Kristianto


Haji Budiman Sujatmiko: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya



Judul buku : Anak-Anak Revolusi (Buku I)
Penulis : Budiman Sudjatmiko
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : xv + 473 hal, cet 1, 2013
ISBN : 978-979-22-9943-4














[Membongkar Sifat Megalomania dalam Buku Anak-Anak Revolusi] 
Oleh: Ubaidilah Muchtar

Pada ulang tahun yang ke-150 novel Max Havelaar, tahun 2010 lalu, panitia membuat tema yang cukup mengejutkan. Tema peringatan itu: “Ini bukan roman. Ini sebuah gugatan.” Max Havelaar ditulis Multatuli. Max Havelaar sebuah roman kepahlawanan pembela rakyat tertindas.

Sementara itu, Haji Budiman Sujatmiko tidak menulis novel, “Aku memang tidak cukup nekad,” tulisnya, “untuk menulis novel yang dia maksud, tapi hanya catatan refleksi ini yang bisa aku buat.” Maka anggap saja ini sebagai catatan atas catatan refleksi Budiman Sudjatmiko yang tertumpah dalam Anak-Anak Revolusi (Gramedia, 2013).
Multatuli menulis novel Max Havelaar dalam keadaan lapar dan miskin. Pada awal 1858 Multatuli tiba di Brussel, Belgia. Tinggal di kamar loteng sebuah penginapan yang kumuh bernama “Au Prince Belge”, di Jalan De La Fourche Nomor 52.
Di kamar kecil itu lahir kreasinya yang kemudian menjadi termasyhur, berjudul Max Havelaar. Dalam novel yang lebih merupakan otobiografi ini, dengan keras Multatuli mengecam pemerintah Belanda yang membiarkan berlakunya tindakan yang sewenang-wenang, di mana dia sendiri selaku saksi mata.

Di tempat penginapan itu, Multatuli menderita kedinginan. Willem Frederik Hermans, dalam bukunya Multatuli yang Penuh Teka-Teki menulis menulis, “Ia bergerak di kalangan rendah, karena di sanalah ia menemukan manusia-manusia, dan manusia tidak ditemukan di kalangan tinggi.”
Dengan singkat Max Havelaar mengemukakan tiga dalil:
Pertama, orang Jawa dihisap dan dianiaya. Kedua, pejabat yang menentang perlakuan itu oleh pemerintah tertinggi disalahkan, demi kehormatannya ia harus minta berhenti, dan hidup dalam kelaparan. Ketiga, negeri Belanda berkepentingan dengan penganiayaan orang Jawa. Mereka menutup mata dan mengantongi keuntungan.
Jadi kesimpulannya tidak bisa lain dari: sistem kolonial adalah keaiban, harus diakhiri. Dan dilihat secara demikian maka Max Havelaar adalah suatu serangan terhadap kolonialisme dalam bentuk roman.

Kita boleh bertanya apakah maksud Multatuli memang demikian?
Namun rasanya kurang pas jika terus membicarakan Max Havelaar. Baiklah, kita memulai saja membaca Anak-Anak Revolusi.
Anak-Anak Revolusi berisi kisah hidup kepahlawanan Budiman. Mungkin lebih tepat disebut otobiografi politik Budiman. Membaca buku Budiman akan mengingatkan pada buku Soeharto yang berjudul Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989). Tidak mengherankan kalau seperti buku Soeharto, kisah heroisme Budiman akan kita dapatkan di seluruh batang tubuh buku tersebut. Bukalah halaman berapa saja, maka Anda akan mendapatkan kisah kepahlawan ala Rambo, Superman, Batman atau Steven Seagal: tidak terkalahkan.

Yang pasti, Budiman tidak menuliskan karyanya seperti kondisi ketika Multatuli menulis Max Havelaar. Kalau Multatuli menulis dalam keadaan kelaparan dan kedingan, Budiman sebaliknya, ia menulis dalam keadaan serba kecukupan. Pundi-pundi yang didapatkannya dari menjadi anggota DPR cukup membuatnya menulis dalam situasi nyaman. Capek menulis di rumah, ia dengan mudah bisa pindah ke café kelas atas sambil menghisap cerutu dan menegak wine. Maka, kalaupun memakai kata “refleksi” di sana, Anak-Anak Revolusi adalah “refleksi” orang berduit. Atau Anda bisa juga menyebutnya semacam buku motivasi semacam Laskar Pelangi atau Negeri 5 Menara—yang sejak dalam kandungan sudah ditakdirkan menjadi hero. Yang akan memotivasi Anda bagaimana menjadi orang yang sukses. Di sini peran Haji Budiman 11-12 dengan Mario Teguh.

Anak-Anak Revolusi Buku 1 berkisah sejak kelahiran Budiman hingga masa ditahan. Sebagai  pembaca, saya hampir mencampakkan buku ini. Tetapi saya terus menamatkannya. Bahkan membukanya kembali ketika hendak menuliskan catatan ini. Dan mendapati bahwa meski di bagian ucapan terima kasih, Budiman menyebutkan bahwa buku ini bukan tentang diriku, tetap saja ini tentang diri Budiman. Budiman yang heroik. Budiman yang tidak pernah kalah. Budiman yang selalu menang. Budiman yang tidak pernah setengah-setengah. Budiman yang selalu berada dalam lindungan Tuhan di setiap kesempatan. Budiman yang selalu mendapati keberuntungannya sendiri. Budiman yang sempurna, Budiman yang menjadi “manusia lengkap”. Persis film hero ala Hollywood.
Loh, kok bisa begitu? Tentu bisa! Baik saya coba uraikan satu demi satu.

Buku ini tentang Budiman, tidak dengan yang lain. Semua yang tertulis adalah aku. Aku, Budiman. Aku yang penuh kepahlawanan. Aku yang heroik. Aku yang kelak diberi status sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996. Tiga cap lantas menempeli Budiman: buronan, subversif, dan komunis. Sejak saat itu Budiman memulai kehidupan dalam pengejaran dan pemenjaraan.
Situasi ini ternyata di luar perkiraanku. Setiap jam namaku muncul di radio maupun televisi. Rezim ini menuduhku sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996. Aku peroleh status seperti yang pernah disandang oleh Jesse James, Kusni Kasdut, atau Carlos The Jackal. Aku disebut sebagai buronandan komunis. Ketiga cap itu, disadari betul oleh Budiman, adalah license to kill yang akan dipakai oleh para pengecut itu untuk membuang mayat kami ke mana saja mereka suka, seandainya mereka mendapatkan kami. Mereka beramai-ramai mengutuk PRD. (hal 15-16)

Tentu saja, Budiman tahu. Tidak hanya ia, tetapi PRD. Namun dalam Anak-Anak Revolusi, PRD adalah Budiman—sederatan nama memang disebut di situ, tetapi hanya figuran; tokoh-tokoh yang bernama tetapi tidak ada karakternya sama sekali; sang Steven Seagal tetap saja Haji Budiman Sudjatmiko.
Tak kusangka bahwa kekerasan massal serupa akan terjadi dua belas tahun setelah itu, dan akulah yang menjadi salah satu figur sentralnya. (hal 200)
Lagi-lagi aku. “Aku terpilih sebagai ketua PRD melalui voting,” tulis Budiman. Lalu masih menurut Budiman, “Aku terpilih sebagai ketua setelah mendapat bisikan dari seorang kawan: “Siapa pun yang tidak berani berperang,” bisiknya, “tidak layak merayakan kemenangan.”” (hal 428)
Maka aku merayakan kemenangan.

Aku terpilih sebagai anggota dewan. Sebuah cita-cita yang sudah melekat di kepala Budiman sejak masih belia, sejak SMP. Pada persimpangan kehidupan ini akhirnya kutetapkan sebuah pilihan. Aku ingin menjadi seorang politisi di era demokrasi (hal 202). Ah, sungguh baru saya tahu! Sayang sekali jalan hidup PRD ini. Anggotanya dikibuli oleh Budiman. Mereka tidak tahu bahwa Budiman sudah merencanakan hidupnya sejak belia. Budiman ingin menjadi politisi. PRD hanyalah jembatan dan kawan-kawan seperjuangannya hanyalah undakan untuk sampai pada singgasana yang ingin digapainya. Widji Thukul, Suyat, Bima Petrus, dan Herman Hendrawan hanyalah kepala-kepala yang diinjak Budiman agar ia bisa sampai ke atas.

Bagaimana dengan kawan yang tak kembali? Entahlah. Mungkin tidak ambil pusing. Namun, tidak demikian. Ada juga rasa Budiman untuk mereka yang tak kembali. Bagi Budiman mereka yang tidak kembali itu bukan “dihilangkan” namun ”menghilang”—silakan pembaca merenungkan perbedaan makna kata itu.

Thukul adalah seorang penyair kampung kumuh dari Solo, yang sehari-hari hidup bersama pemulung dan tukang becak. Yang menyamakan keduanya (Thukul dan Neruda—pen) adalah meraka hidup dan mati (dalam kasus Thukul: menghilang) bersama konjungtur perjuangan rakyat jelata yang mereka cintai sepenuh hati. (hal 350)

Menghilang. Sengaja saya tebalkan. Bukan dihilangkan, bukan dibunuh. Tidak seperti syarat yang begitu menakutkan jika hendak menjadi ketua PRD atau menjadi pengurusnya, 3B: Bunuh, Buang, Bui. Ya, 3B sebagai sebuah konsekuensi yang mungkin akan dialami oleh pimpinan PRD. “Namun syarat yang ada cukup untuk menyiutkan nyaliku. Syarat itu kami sebut dengan 3B: Bunuh, Buang, Bui.” Tulis Budiman. Soal 3B ini diulang sebanyak tiga kali. Budiman seolah menegaskan bahwa 3B adalah syarat mutlak yang tidak bisa ditawar.
Namun mengapa mengatakan Thukul menghilang. Bukankah Thukul adalah bagian dari pimpinan? Seperti yang ditulis Budiman sendiri: Yang bergerak membangun “Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker). Organisasi yang bergerak di sektor kebudayaan ini dideklarasikan di akhir tahun 1994. Widji Thukul, sastrawan rakyat dari Solo, menjadi motor organisasi ini. (418-419)

Lain Thukul lain pula Bima Petrus. Bima tentu saja sudah bersama Budiman sejak peristiwa 27 Juli. Hari itu, menjelang sore, Budiman bersama Bima menuju kantor NU. Dari sana mereka bergerak ke Utan Kayu. Bertemu Goenawan Mohamad, Marsilam Simanjuntak, Bondan Gunawan, dan sejumlah aktivis LSM. [Aduhai, ternyata teman-teman Budiman orang-orang PSI, yang pada tahun 1965 ikut mengganyang orang-orang komunis] Menjelang tengah malam, bersama Bima Budiman pergi ke rumah tanteku di daerah Rawasari. Budiman tentu sangat dekat dengan Bima.

Maka ditulisnya: “Sangat menyedihkan, saat kejatuhan Soeharto tiba, Bima tak sempat menyaksikannya.” Dua tahun kemudian, beberapa minggu sebelum Soeharto jatuh, Bima hilang sampai sekarang. (hal 13)

Budiman tidak pernah tidak beruntung. Budiman selalu beruntung. Keberuntungan selalu menyertai Budiman. Budiman lolos dari kecemasan akan kematian yang mengerikan. Budiman juga beruntung sebab penjaga sel tidak mengambil obat maag dan pulpennya. Kecerobohan Orde Baru juga merupakan keberuntungan bagi Budiman. Apa itu? Dibiarkannya menyimpan banyak buku di ruang sel.
“Oh… rupanya kantor BIA”, pikirku.
Saat itu ketakutan atas kematian sudah mulai memudar. Kupikir sudah lebih aman sekarang. Kami dibawa ke kantor mereka dan para pemimpin mereka telah menampakkan wajahnya. Bila kami akan segera dibunuh, pasti tidak akan dibawa ke kantor dan bertemu dengan pimpinan mereka. Ada kelegaan yang mulai menjalar. (hal 212)
Aku cukup beruntung karena penjagaku tidak mengambil obat maag dan pulpen yang ada di sakuku. Keduanya adalah benda berharga yang beguna untuk menjaga kewarasanku. (hal 220)

Salah satu “kecerobohan” Orde Baru saat mereka memvonisku 13 tahun penjara pada 1997 adalah mereka membiarkanku menyimpan banyak buku di ruang sel kami. (hal 88)
Juga betapa beruntungnya Budiman selamat dari kejaran tentara di Blangguan, Sumberwaru, Banyuputih, Situbondo. Beruntung dapat berkumpul dengan kawan-kawan. Dan beruntung dilindungi oleh penduduk desa. Lalu apa yang dilakukan Budiman dengan begitu banyak keberuntungan dalam hidupnya ini? Mungkin tidak melakukan apa-apa. Bagaimana bisa yang begitu banyak keberuntungan menjadi seorang politisi? Apa prestasinya? Apakah menjadi bagian dari peristiwa 27 Juli? Pernah di penjara? Menjadi ketua PRD? Mengapa bertanya demikian? Sebab banyak yang dilunasinya setelah Budiman menjadi anggota dewan. Menyelesaikan kuliah yang terbengkalai—hidup di apartemen milik Haryono Isman [mantan politisi Golkar dan sekarang di Partai Demokrat, yang nyaman di Inggris sana]. Juga membayar janji kepada petani.

Aku cukup beruntung janji tersebut berhasil kupenuhi 13 tahun kemudian. (hal 344)
Sebuah janji yang ternyata baru berhasil kupenuhi delapan belas tahun kemudian saat aku sudah menjadi anggota DPR. (hal 346)
Baik kita kembali ke pokok.

Suatu hari di bulan Juli tahun 1996, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dengan wajah serius, Munir, memintaku dan Kurniawan bertemu di kantor YLBHI. Keesokan harinya aku bersama Petrus dan Kurniawan mendatanginya. Pria kelahiran Malang ini menyambut kami di halaman kantor YLBHI. Dia lalu mengajak kami bertiga ke salah satu ruangan di dalam kantor. Sambil berbisik dia berkata:
“Bud, aku punya informasi rahasia.” (hal 2)

Budiman menjadikan peristiwa 27 Juli 1996 sebagai pembuka bukunya. Sebagai tema utamanya, selain tentu jejak kehidupannya. Membaca buku Anak-Anak Revolusi seakan hanya berisi kisah heroisme dan teror Orba dalam situasi interogasi pasca peristiwa 27 Juli. Sebuah kejadian yang luar biasa diingatnya. Bagaimana bisa begitu detail proses interogasi itu? Apakah ia mendapatkan transkripnya? Mengingatnya di kepala? Atau merekamnya? Peristiwa 27 Juli 1996 serupa bagian yang sengaja dicabut dan dipisahkan dari bagian buku ini. Terletak di akhir bagian “Sebuah Manifesto Perjuangan”.
Akhirnya pada tanggal 27 Juli 1996, benturan itu terjadi. Ia memercikan bunga api yang kemudian membakar ilalang politik negeriku yang sudah meranggas kering …… (hal 448)
Seolah ingin menegaskan sebuah pepatah: karya seorang penulis tidak akan jauh dari apa yang dibacanya—dan ingin menunjukkan ia kutu buku dan melek budaya—Budiman memasukkan banyak buku yang dibacanya dalam Anak-Anak Revolusi. Dalam catatan saya setidaknya terdapat 50 buku, 15 film, dan 17 lagu. Deretan buku dan film ini seakan ingin menegaskan sekali lagi pernyataan Budiman, bahwa, “ Nonton film dan membaca adalah dua hobiku sejak kecil.”

Anak-Anak Revolusi menyimpan banyak kalimat-kalimat yang layak dicatat. Juga beberapa  ungkapan dari penulis di pembuka setiap bagian. Namun tentu tidak lepas dari kekurangan. Salah satunya. Kapan peristiwa tabrakan motor bersama paman itu terjadi?
Catatan lain, Anak-Anak Revolusi tersandung-sandung di sejumlah urusan detail. Segala benda dan tindakan harus dijelaskan. Tidak mengenal metafora dan implikasi. Di setiap rumah ada tulisan “Ini rumah, lho!”. Semua yang ingin dicapai disampaikan oleh Budiman. Ia seperti takut jangan-jangan pembaca tidak tahu tujuan membaca bukunya. Maka segala hal diterangkan dalam cara yang lugu dan dalam rumusan yang membuat pembaca tidak menjadi lebih paham tentang apa yang dirumuskan. Setiap bagian yang terdapat di Anak-Anak Revolusi dijelaskan. Maka jangan heran kelak ada yang berseloroh. “Ini serupa diktat, diktat pergerakan.” Budiman seolah tidak percaya bahwa setiap orang akan menemukan pemahaman sendiri berdasarkan pengalaman masing-masing, yang tentu saja berbeda satu dengan lainnya. Inilah buku yang ceriwis.

Seolah Haji Budiman menempatkan diri sebagai pengkhotbah ayat-ayat suci kepada segerombolan domba yang dungu.  Ya, memang Haji Budiman memang sedang berkhotbah tentang kepahlawanannya: inilah aku, maka pilihlah kembali aku dalam Pemilu 2014, biar aku bisa melanjutkan kepahlawanku membebaskan orang miskin dari ketertindasan.
Selain itu, masih terdapat kesalahan penulisan di halaman 410, 413, 416, 423, 428, 441, 464.
Satu lagi, apakah sebuah dosa tidak menampilkan secara utuh puisi Widji Thukul? Apakah puisi “Peringatan” tidak lebih layak dari lagu “Ambilkan Bulan, Bu”, karya A.T. Mahmud? Ah, itu kan prasangka saja! Ya, saya percaya Multatuli pernah berkata, “Anggota Dewan,” katanya, “tidak layak untuk diikuti dan disalahpahami.”

Budiman menulis bukunya dalam kondisi kenyang dan kaya. Juga tinggal di kota besar. “Kota-kota besar,” katanya, “hanyalah muara tempat berkumpulnya sampah dan bangkai yang diseret banjir bandang kemiskinan dan ketakutan yang melanda desa-desa.” Lalu mengapa Budiman meninggalkan desa dan memilih kota? Meninggalkan petani yang katanya dibelanya. Semoga Budiman tidak termasuk ke dalam golongan sampah dan bangkai. (hal 187)

Dan apakah Budiman takut jika pembacanya kelak lebih banyak yang hafal puisi Thukul daripada lagunya A.T. Mahmud?
Sebagai penutup saya sampaikan puisi “Peringatan” karya Widji Thukul.

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa berpidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa

Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: LAWAN!

(Solo, 1986)
Saya tutup catatan ini dengan ungkapan dari Multatuli. “Sikap setengah hati tidak akan menghasilkan apa-apa. Setengah baik berarti tidak baik; setengah benar berarti tidak benar.”***

Ubaidilah Muchtar, Guru SMPN Satu Atap 3 Sobang, Pemandu reading group Max Havelaar di Taman Baca Multatuli, Lebak, Banten.
 NB : Diambil dari laman situs www.tikusmerah.com milik Kamerad Tikus Merah!

______________


Redaktur SARBI: Dody Kristianto

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post