Telah Terbit !

Yang sederhana, yang berserakan, yang tak diperhitungkan dan bertebaran di mana-mana, tetaplah harus dirayakan. Spesial SARBI edisi 8 di akhir tahun!

Segera Dapatkan !

Buku Puisi Karya KOMANG IRA PUSPITANINGSIH.

Toko Buku SARBI

Kumpulan buku bekas pilihan yang asik untuk dibaca dan dikoleksi dengan harga bersahabat.

Telah Terbit!

BULETIN TIKAR EDISI 02/2013 Diterbitkan oleh Komunitas Tikar Merah (KTM)

Dapatkan!

Buku Terbaru SARBIKITA Publishing Karya Heru Susanto

Blogroll

Wednesday, January 16, 2013

Puisi-Puisi Agam Wispi

Photobucket

Agam Wispi adalah salah satu sastrawan Lekra terkemuka selain Pramoedya Ananta Toer. Penyair ini meninggal pada tahun 2003 lalu di sebuah panti jompo di Amsterdam. Berikut dua puisinya yang dipetik dari situs www.marxist.org

Surabaja

tiap kita djumpa
surabaja
aku selalu remadja
gembira kepada kerdja
pasti kepada harapan
surabaja
laut dan kota
rata

surabaja bau keringat
bau kerdja
ketegarannja harum semerbak
dan malamnja malam bertjinta
deritanja
terisak-isak
dalam dengus napas
darah bergelora
tjemara bersiut
meliut semampai
wilo merunduk
merenung sungai
besok ke laut
dia akan sampai

tapi ini!
malam pelaut
buih hidup
jang menggapai!
surabaja
lebih remadja
dalam bantingan usia

kutjinta surabaja
sebab dia kota kelasi
kurindukan surabaja
sebab trem berlari-lari
(djakarta? Term diganti impala!)
kusukai surabaja
sebab betja dan taman
ditepi kali
kubanggakan surabaja
sebab dia kota berani
kusenangi surabaja
sebab kedjantanan bernjanji
kepahlawanan bergolak
dari kantjah-kantjah jang menggelegak
dan tahun-tahun kenangan
jang diwariskan
mogok pertama
buruh kereta api
zeven provincien
buruh pelabuhan dan pelaut
bersatu hari
disiram hudjan peluru
dan dentjing belenggu
rantai besi, bendera pertama
internasionalisme proletar
dipantjangkan
proklamasi ? sitiga-warna diturunkan
dan dalam pelukan sang saka
dipandjatkan kepuntjak perlawanan
kemudian
diantara serpihan bom
jang mengojak
dan kota jang terbakar
terbakarlah semangat pertempuran
njalanja
tak terpadamkan
hingga kini
nanti
dan kapanpun
njalanja panas menempa
badja kemerdekaan
badja kehidupan
ketika kita tidak lagi bertanja
pilih njala atau pilih badjanja?
dan kita merebut
kedua-duanja!
djauh mengatasi segala
pekik pilu dan djerit sendu
ratapan kehilangan dan erang kesakitan
adalah bagai ibu jang melahirkan baji
jang kemudian memeluk dan menjusui
serta mengusap-usapnja dengan kesajangan kebahagiaan
disitu Hari Pahlawan
dilahirkan
kko pesiar
menunggu trotoar
kelasi-kelasi
melambaikan dasi
jang bernama “kesenangan” memperpandjang umurnja
maka itu djadi terlambat
tapi bus dan truk tidak menunggu
ajo, pulang djalan kaki!
tjinta sudah ketinggalan
ditembok-tembok kota
o, ketika kapal merapat lego djangkar
pelabuhan mengulurkan tangannja
dan lampu kota mengerdipkan matanja
dan bus-bus kadet menderu
megah
dan di tundjungan sikadet melangkah
gagah
putih-putih
dan gadisnja dua
jang satu pedang jang satu wanita
dan si gadis punja mata kedjut pelita
dan si pedang punja mata gelegak darah mudah
si kadet djua permata dari lautan
bukan main!
namun adakah permata berkilau
tanpa sebersit tjahja mentjekau?
dan tiadalah angkatan perang
tak bertulang-punggung
kukuh
merekalah
kelasi dan pradjurit
darat laut udara
polisi
milisia dari rakjat pekerdja
tangan-tangan badja jang keras menghentam
tidak perduli bom nuklir
tapi tangan!
tangan jang menentukan
jang menghajunkan pedang kemenangan
selama di djantungnja
debur-mendebur
gelora repolusi
mengabdi rakjat pekerdja
sokoguru
buruh
tani
matahari tenggelam
di djembatan wonokromo
surabaja berdandan
bagi malam berdesau
tjemara
tjadar kota
jang disingkapkan
surabaja
napas merdeka
jang dipertaruhkan
pahlawan-pahlawan lahir
pada djamannja dan diukur
oleh pengabdiannja
kepada rakjat
dan hari depannja
djaman lampaupun berlalu
djaman baru datang
melahirkan pahlawan baru
namun pahlawan sebenarnja
hanja tumbuh dalam lumpur dan debu
pembesar-pembesar boleh bermatian
orang-orang besar boleh berlahiran
tenaga segar dari kepahlawanan
djuga sekarang
djika muda-mudi berperasaan
merasakan hidup sampai ke tulang-sumsumnja
dan jang tua-tua teguh
membatu karang oleh hempasan gelora
merekalah orangnja
dan kebanjakannja
tak bernama
merekalah petani jang dirampas tanahnja
kembali merebutnja dari setan-setan desa
mereka jang berdjuang membebaskan dirinja
dari belenggu perbudakan tanah
dan buruh-buruh pelabuhan buruh pabrik
jang beruntun-rutun pagi hari
berkilat-kilat oleh keringat
dan hitam oleh matahari
pengangkut pasir jang menunggu
perahu menghajut ke gunung sari
betja jang berkerumun di lubuk djalanraya
kko – kelasi – pradjurit
jang ingat kepada asalnja
pegawai-pegawai jang sadar kepada klasnja
(bukan pemabok “karyawan jang mengingkari “makan-gadji”)
si miskin-kota jang kehilangan desanja
dan mengisi sudut-sudut gelap kota
dengan kerdap-kerdip pelita
petani-petani jang dirampok panennja
dan tepat menghidjaukan bumi, memerahkan tanah
pemuda peladjar mahasiswa jang membakar buku USIS*
dan mengusir setan-setan ilmu dari amerika imperialis
untuk mematahkan belenggu kebodohan
ratjun kemerdekaan jang berbungkus kenikmatan hampa
dan surabaja
berderap dalam tempik-sorak
meski bau tengik dan sarang malaria
sama banjak njamuk dan lalat dimana saja
tunggu! suatu hari pernjataan perang
djuga kepadamu!
disini ketegaran berkata sederhana
keras dan langsung kehulu-hatimu
jang sudah mati, ja sudah!
jang hidup sekarang, menjiapkan repolusi
dimana masing-masing beri djanji
merdeka atau mati!
bagi keringat kaum buruh
bagi tanah-tanah petani
bagi kepertjajaan kepada harapan
MANUSIA
ja, sekarang kita bertanja
sudahkan tanah bagi petani?
sudahkan keringat bagi kaum buruh?
jang sudah – sedikit!
jang belum – banjak!
menteri-menteri tetaplah turun naik
jang belum, kepingin djadi menterei
jang djelek, tak mau turun
jang baik, masih di podium
dan rakjat tetap menuntut: kabinet nasakom!
dan kabir-kabir main sunglap dengan peluru, wang, dan senjum
dengan tuantanah dan imperialis?
seketurunan! satu medja-makan dan sama-sama minum dan pemimpin-pemimpin munafik menghamburkan budi ikut berteriak “ganjang malaysia! Berdiri di atas kaki sendiri!”
kemak-kemik pantjasila, manipol, djarek, sukarnoisme
tapi main mata dengan modal monopoli
gudang ratjun komunisto-phobi
buruh phobi
tani phobi
partai phobi
imperialisme amerika? Tunggu dulu!
dan sardjana-sardjana membalik-balik bukunja
tapi tak mengenal aspirasi tanahairnya sendiri
dan seniman memabokkan diri dengan kepuasan murah
tak tahu kemelaratan dan kebangkitan rakjatnja sendiri
dan politikus mentjatut teori dengan “ala indonesia”
munafik-munafik ini mau melupakan sumbangan dunia
kepada sedjarah dan perdjuangan klas
sungguh, kekerdilan yang memalukan dan hina
adalah mereka jang mau menutup laut dengan telapak tangannja
laut daripada kebenaran perdjuangan klas
o, sudahkah keringat bagi kaum buruh?
sudahkah tanah bagi kaum tani?
jang menggarap!
jang menggarap!
jang menggarap!
betapa berbelit-belit
plintat-plintut
tapi adakah jang lebih tegas dari kebenaran?
sebab dia tak dapat digeser dari relnja repolusi?
abad-abad telah menjumbangkan lokomotip-lokomotip raksasa
jang menderu kentjang menembus belantara kegelapan
dengan perdjuangan klas dan repolusi
dengan marx, engels, dan lenin
dengan mau tje-tung, bung karno, dan aidit
dengan diri sendiri; rakjat tertindas
antara sabang dan sukarna-pura
di seluruh dunia dimana sadja

o, djanganlah hanja membaca hurup-hurup
tapi tak menangkap hakekat dan arti
o, djanganlah sungai lupa kepada laut
dan kemerdekaan tinggal abu tanpa api
sebab kami
surabaja
sudah banjak mati

sebab kepahlawanan sehari-hari
tidak pada jang sudah mati
berkata pemimpin besar repolusi
djaman ini djaman konfrontasi
pemimpin tengahan bitjara lain lagi
katanja: perdamaian universil dan konsepsi

dan perdamaian djadilah dewi ketjantikan
dan pedang kemerdekaan ditumpulkan

maka konsepsipun berlahiran diatas kertas
dan kertas-kertas berhamburan setjepat inflasi
mereka jang bekerdja dilaparkan oleh djandji
mereka jang malas berpikir tanpa batas

jang tak tahu ekonomi politik
mau bikin ekonomi politik
maka begitu naik djadi menteri
harga beras melambung tinggi
maka berkatalah rakjat suatu hari
bisa sekarang bisa nanti
stop!
mau konsepsi apa lagi?
kami sudah banting kemudi ke u.u.d empatlima
kami sudah bikin manipol dan nasakom
land reform dan dekon
ajo, konfrontasi
melawan tudjuh setan-desa
imperialis amerika
atau
sebelum roda ini melindas
minggir!

kami mau repolusi
kami mau buku dan pedang ditangan
kami mau tanah dan bedil dibidikkan
kami mau palu dan meriam didentumkan
kami mau pukat dan kapal-selam berkeliaran
kami mau indonesia dan rakjatnya jang gesit berlawan
bagi repolusinya dan bagi dunianya
bagi dunia dan bagi repolusinya

dan surabaja
senatiasa remadja
dalam bantingan usia
berdjuang
beladjar
kerdja

kutjinta surabaja
dia kota kelasi
kurindukan surabaja
sebab trem berlari-lari
kusukai surabaja
betja dan taman ditepi kali
kubanggakan surabaja
kota berani mati
kusenangi surabaja
kedjantanan jang bernjanji

surabaja
menghadang pukulan
menghantam
bertubi-tubi
disini tjemara bersiut
meliuk semampai
dan wilo merunduk
merenung sungai

kelasi, djika besok kelaut
djangan lupa kepada pantai

Keterangan: *USIS adalah United States Information Service, aparatus propagandanya Amerika Serikat untuk mengedepankan kepentingan nasionalnya ke negara-negara asing.


Dia jang lahir dalam kantjah perdjuangan*

dia jang lahir dalam kantjah perdjuangan
kini sudah besar dan mendjadi dewasa;
dia jang dibesarkan dalam dadung pertempuran
beribu-ribu gugur, namun berdjuta mengangkat pandjinja.

orang-orang munafik dan kerdil pikiran sia-sia mengintip rahasia:
mengapa sedjarah berpihak kepada klas jang paling muda?
mengapa komunisme kian merata, terudji, dan ditjinta?
dan bagi rakyat pekerdja, pedjuang proletariat ubanan tetap remadja?

siang bertukar malam dan malam berganti pagi
ribuan tahun manusia terbenam di lumpur perbudakan
dan di kegelapan pikiran itu marx dan engels memertjikkan api
dan di tiap negeri berkumandanglah lagu kebangkitan.

seorang egom mati di tiang-gantungan
seorang aliarcham tewas di tanah-buangan;
generasi baru datang, beladjar tentang keberanian dan kearifan
satu demi satu musuh dikalahkan dan satu demi satu direbut kemenangan.

marxisme-leninisme menemap perdjuangan kelas
dan perdjuangan klas menjemai marxisme-leninisme;
o, repolusi tjermelang, jang sedang disiapkan nasion-nasion tertindas
dalam abad ini djuga kita punahkan imperialisme.

pada hari ke-empat-puluh-lima
dia sudah besar dan dewasa;
diutjapkan atau tidak, rakyat pekerdja menjebut namanja
sederhana dan terang: Partai Komunis Indonesia

*Judul diambil dari baris pertama. Puisi ini sebenarnya tak berjudul.


/Redaktur SARBI: Dody Kristianto


Tuesday, January 8, 2013

Puisi Pratiwi Parmawati

Photobucket
Rain from www.blirk.net

Sejenak, Mengingat Aromamu, Hujan

sesakku memandang ribuan tanya pada tatapanmu.
sama sepertiku sesak memandang dua burung pipit berebut senja.
aku pun ingin bertanya, mengapa?

gerimis sore itu menenggelamkan senja dalam petang
yang diam dan sunyi yang meradang.
aku teringat kau menghilang tiba-tiba tanpa sepatah kata,
saat gerimis merubah takdir, hujan.
harus dengan apa ku ucapkan, maukah kau sejenak
nikmati suasana ini?
menikmati indahnya hujan dari tumpukan-tumpukan gerimis petang.

dan malam semakin larut, melabuhkanku pada muara hujan
yang menutup senja.
dan sesaat ku tersadar.
aku terjebak dalam nuansa gerimis yang menghujani tanda tanya
yang mendekap dalam benak.
tentang inginku ...
dan tentang yang tak mungkin terungkapkan
karena bukan untuk diungkap oleh ucap.

'kan kutunggu hujan yang lain datang 'tuk menutup petang
dalam balutan hangatnya fajar.
dan 'kan kusebut hujan dalam irama terakhir
sebelum malam memudar dan lilin terakhir redup berpijar.

17042012

Pratiwi Parmawati lahir di Lamongan, 17 Mei 1992. Saat ini tengah
menempuh S-1 Pendidikan Matematika di Universitas Negeri Malang.

Sumber: Harian Jawa Pos, 6 Januari 2013

/Redaktur SARBI: Guntur Sekti Wijaya







Monday, January 7, 2013

PUISI ESHA TEGAR PUTRA

Photobucket

Karya Srihadi Sudarsono - 3 Penari Bedoyo 1995

Pada Retakan Patung Singa

Pada retakan patung singa, pada porselin gambar naga, pada jendela
sirah penghisap cahaya, pada ambin yang tiap sebentar menjatuhkan
serbuk kayu, aku kenang kau dalam gerak udara masih serupa itu.

Di sini orang-orang masih berdendang tentang sepertiga gunung
diruntuhkan ombak gadang, tentang belasan anak gadis yang hilang
di jalan bersimpang lima, tentang jodoh serta maut yang tak
boleh disebut apabila malam sudah larut, dan kita berembut tempat
berdiam di setiap babakan dendang itu dihentikan.

Pada retakan patung singa. Aku pandang matamu masih sirah begitu
juga, aku rasakan di dadamu masih berisi gemuruh ombak gila.

Kandangpadati, 2012

Melawat Pagu, Merawat Hari Lalu

Yang terletak di atas pagu. Cincangan kayu gaharu, patahan tulang
kaki rusa, tebaran biji kapulaga, dan mantera ibu menanak nasi
dengan sugi tersangkut di geraham tepi.

Yang terletak di atas pagu. Pedas bubuk lada hitam, dendeng kering
dari rabu sepi, aroma gula gardamunggu dan pisau berkarat buat
mengerat putus leher ayam jantan.

Aku melawatmu, yang terletak di atas pagu, sisa demam pada hari lalu
seperti gaduh magrib penuh cerita hantu dan peria pahit yang terus
dipaksa untuk digigit. Aku melawatmu, yang terletak di atas pagu, sisa
mimpi buruk pada jalur ladang tempat orang hilang dan rimbun
batang tebu udang yang tak kunjung manis sampai sekarang.

Aku terbayang dentang bunyi sendok panjang beradu dengan kuali
Para ibu dengan lengan jilah sedang menari. Gelakak santan panas
Bergelumbai menyimpan dusta air susu dari bekas uap air menanak nasi.

Aku melawatmu lagi, hari-hari penuh air pencucian perut ikan, hari-
hari penuh dengan patahan senapang pelepah pisang.

Kandangpadati, 2012
Oslan dan Lagu Palinggam

Palinggam adalah orkes lama,
dalam lagu berdayung sampan, dalam joget angin selatan.

Bandarnya berair hitam, tepian dengan bangkai kapal dagang
apabila bulan susut dinding gudang-gudang tempah di seberang muara
merupa dahi kulit angkut tua dengan kerutan panjang kait-berkait.

Aku tergiang dendang lama, Oslan memainkan gitarnya, ombak menari
bersibantun di karang bukit Palinggam. Sampan sedang bertaut tenang.

Duhai, tengah hari pekak dalam panas sedang berdengkang
Gadis-gadis bertali kutang genting mencuci periuk nasi. Seakan hari
dada jilah mereka pepaya masak sedang berbuai.

Serasa sampai, serasa sampai
- Kalau Oslan sudah memainkan gitar, pasir basah bakan berderai.
Di Palinggam, roman percintaan 1000 tahun sudah lama dikalahkan
tebing bukit landai berpengang-gadai dengan sisik ikan karang, patahan
tulang ekor pari, dan isi dada penarik pukat yang terbelit selusin peniti.

Duhai, apabila malam naik maka angin samudera mendesir, seakan
serunai dibunyikan tukang dendang paling mahir, seakan dukun pulau
sedang memiuh jantung-hati dengan pukau, “Oslanm mainkan gitar
lagu getar selangkang kuda jantan penarik bendi…”

- Kalau Oslan memainkan gitar, air susut bakal meninggi.
Kandangpadati, 2012

Di Pagaruyung

Di Pagaruyung
langit dengan retakan tempurung

aku mimpi
kerumunan sialang mematahkan kayu gadang
tiga-empat-mungkin lima burung balam
serentak jatuh limbung.

“Asah pisau, anak, asah pisau.
Sampai punggung jadi mata, sampai
mata jadi jantung.”

Di Pagaruyung
barangkali ini semacam permainan tukang tenung

aku mimpi memanjat dinding
bertopangkan kuku sebentuk mata lembing
lima ribu bisa lipan bunting menaikkan bisa
dari tungkai kaki hingga lambung.

“Raut bilah, anak, raut bilah.
Jika tajam pisau akan menusuk ke dalam, jika
ke dalam tangis sudah diperam.”

Pagaruyung, 2012

Makan Gulai Tembusu

Telanlah gulai tembusu pedas itu, Abigail
di sini malam akan terus berasap
orang-orang duduk bersila.
sambil meremas kantung kemih dipenuhi uap air

mereka saling berbagi cerita, tentang
kuda besi hitam melintasi kota, naga belang sirih-hijau
bergelung di tiang rumah duka, kucing bermata juling
mencuri ikan kering dari satu kedai ke kedai lain.

Dan tentang lengkisau angin petang
yang merobohkan ketapang gadang
di sepanjang muara jalur peranakan udang.

Tenggaklah air perasan empedu lembu itu, Abigail
sebab apabila jam malam sudah diketuk
dan lampu-lampu sepanjang jalan bergelabau
angin pun tak akan berani mendesau.

Tenggaklah, Abigail, sebelum bulan mengayunkan sabit
dan segerombolan kelelawar berhenti menjerit.

Maka yang termakan bakal mendaging,
yang terminum belum tentu bikin usus mendingin.

Kandangpadati, 2012

ESHA TEGAR PUTRA lahir di Solok, Sumatera Barat,
29 April 1985. Buku puisinya berjudul Pinangan
Orang Ladang (2009)

Sumber: KOMPAS, MINGGU, 9 DESEMBER 2012

/Redaktur SARBI: Ferdi Afrar




Musim Kedua!

Photobucket

Ilustrasi oleh Ryan aka Mighty Monkey untuk SARBI

Oleh Mochammad Asrori*

Aku sedikit kaget ketika ia perlahan membimbing Bapak untuk bertahmid menyebut yang Esa karena menduga telah tiba saatnya Bapak menghembuskan nafas penghabisan. Rupanya ada beberapa hal yang berubah darinya. Apa karena ia sudah beristri? Mungkin, tapi ternyata malam itu belum waktunya Bapak pergi. Saat racauan Bapak reda, ia mengajak semuanya keluar dari bangsal perawatan. Ia menyuruh istrinya dan Sumi, istri bapak, untuk pulang beristirahat dan kembali esok pagi. Sedang kami tetap tinggal menjaga Bapak.
Di luar bangsal, kami merokok bersama sepanjang malam. Ia dengan rokok lintingannya, dan aku dengan rokok kretek kesayanganku. Ia keluarkan tembakau yang disimpan dalam kantong plastik khusus. Dengan gerakan teratur tembakau itu ia linting dengan kertas rokok, hingga di akhir proses, ia jilat ujung kertas rokok sebagai perekat. Suatu upacara tersendiri baginya. Lagipula malam ini memang dingin sekali.
Kini ia sudah menjadi perokok berat. Kuperhatikan ini dari jari telunjuk dan tengahnya, bagian yang biasa digunakan menjepit rokok, yang berwarna kecoklatan. Baru kali ini aku menemui jari orang yang coklat karena merokok. Mungkin reaksi yang sama dengan bibir atau gigi orang menjadi gelap karena banyak merokok.
”Heran masih melihatku setia melinting rokok?” tanyanya tiba-tiba. Rupanya ia memperhatikan juga pandangan wajahku yang tak lepas dari gerakan ritualnya.
”Di Jakarta ternyata ada juga rokok lintingan,” jawabku sekenanya.
”Tanya sana-sini lah,” 
Aku tidak tahu kapan pertama kali ia merokok, tapi aku ingat kapan pertama kali aku melihatnya melinting rokok. Waktu itu ia makin berat saja membeli rokok eceran yang harganya terus naik. Aku kebagian imbas sebagai suruhannya ke toko Pak Wan, penjual aneka macam tembakau dan barang dagangan sebangsanya, seperti pipa cerutu, kertas rokok, dan rokok-rokok lintingan yang sudah jadi dalam plastik.
Aku tak ingat berapa hari sekali aku ke toko itu, tapi yang jelas begitu tembakaunya habis ia akan langsung mengulurkan uang agar aku segera berangkat. Jaraknya tidak jauh, sekitar sekilo yang kutempuh dengan sepeda. Jalanan saat itu belum ramai seperti sekarang, dimana akses jalan menjadi padat seiring makin maraknya perumahan dan berdirinya kampus perkuliahan. Kepadatan yang kemudian menjalar, bukan hanya tumbuh di jalan, tapi juga di dalam kampung karena warga berlomba membangun tempat kos bagi para mahasiswa atau kuli-kuli bangunan. Tidak ada bedanya.
Rumah sakit lengang, tapi lampu di atas kami benderang betul.
”Tidak ada proyek?” Ia membuka pembicaraan. Ia masih berpikir aku seperti dirinya dan kebanyakan warga kampung di sini yang dari dulu sebagian besar mencari rejeki menjadi tukang dan kuli bangunan. Tapi ia benar.
”Baru selesai, belum ada lagi.”
Dia mulai ngobrol macam-macam hal di tempat barunya, mulai dari rumah kontrakannya, pernikahannya, istrinya, keluarga istrinya, dan beberapa tips persoalan pertukangan. Jika aku berminat, dia juga mengajakku mengadu nasib di sana. Ia pulang setelah lima tahun lebih bekerja di Jakarta tanpa pernah pulang. Bapak sakit keras, dan memang ia datang untuk itu.
Ia datang bersama istrinya yang baru dinikahinya lima bulan lalu. Bisa dibayangkan, pengantin baru melakukan perjalanan untuk menemui Bapak yang sudah sekarat. Kemungkinan besar mereka akan menjadi saksi saat nafas Bapak megap-megap seperti orang yang jatuh tenggelam dalam lubuk sungai, lalu lemas setelah mengejan panjang tanda telah menyeberang ke alam lain. Semalam saja mereka sudah menjadi saksi racauannya.
. Setelah beberapa tempo kelengangan, hembusan asap rokoknya menjadi lebih panjang dari sebelumnya, tanpa menoleh padaku ia membuka lagi pembicaraan.
”Bagaimana keadaan di sini? Kulihat Sumi lagi bunting,”
Aku hampir saja tersedak oleh asap rokok. Tapi memang Sumi, istri bapak, sedang hamil. Kupikir karena fokus kepada Bapak, Sumi luput dari perhatiannya. Ternyata tidak.
”Yah benar. Ia hamil lima bulan,”
”Lima bulan? Hah, jadi waktu aku menikah Bapak malah... Ah Bapak, Bapak, masih sempat-sempatnya kau bikin anak lagi.” Ia mengucapkannya sambil tertawa panjang.
Sambil memandangku, ia berkata lagi, ”Jadi kita akan punya adik lagi?”
Aku hanya tersenyum, ”Yah, mungkin, sepertinya begitu,”
Tiba-tiba tawanya reda,  raut mukanya berubah. Aku belum sadar benar apa penyebabnya. Tapi wajahnya yang meremehkan tadi berubah tampak emosi. Apakah karena jawabanku.
”Mungkin? Yah mungkin, sepertinya begitu,” ia menirukan jawabanku, ia tertawa hambar. ”Pasti dalam hatimu kau meralat pertanyaanku, bukannya kita bakal punya adik lagi, tapi kau akan punya keponakan lagi, begitu?”
Rupanya benar. Ini karena jawabanku. Ia menatapku lama tanpa berpindah haluan. Padahal aku sama sekali tidak bermaksud menggiring pembicaraan ke arah yang ia maksud. Jawabanku hanyalah pretensi ketidakpercayaan semata bahwa Sumi bisa hamil, bukannya pretensi untuk mengatakan perbedaan ”punya adik lagi” dan ”keponakan lagi” seperti yang diucapkannya.
”Baiklah, tak masalah jika kau menganggap akan memiliki keponakan lagi,” lanjutnya. Ia berdiri mengerak-gerakkan pinggangnya. Mengusir sisa remuk perjalanan yang masih melekat di tubuhnya. ”Aku tahu, pastilah berat bebanmu di rumah saat aku pergi.”
Beban berat? Aku sendiri tak tahu apakah yang aku rasakan merupakan beban berat, atau sekedar ikut merasakan malu berat. Saat ia pergi memang keadaan sangat kacau di rumah. Saat itu Sumi juga hamil. Mungkin ini yang membuatnya tertawa tadi. Dulu saat kepergiannya Sumi sedang hamil, dan sekarang saat ia pulang setelah sekian lama, Sumi juga sedang hamil lagi.
Saat Sumi hamil dulu, Bapak segera mendesaknya menikahi Sumi. Orang-orang kampung cuma tahu ia yang paling dekat dengan Sumi, dan aku yang baru belasan tahun juga tahu ia menyukai Sumi. Tapi ia menolak. Ia membantah bukan ia yang menghamili Sumi. Ketika hal ini mulai terendus orang-orang dan Bapak semakin keras memaksanya untuk mengikuti proses pernikahan yang sudah ditetapkan, ia memilih kabur.
Tapi walau ia kabur, Sumi tetap menikah. Andai aku tidak terlalu muda, Bapak pasti sudah memaksaku untuk menikahi Sumi. Tapi entah juga, yang jelas Bapaklah yang kemudian menikahi Sumi, toh tak ada salahnya ia mengakhiri masa duda panjangnya dan ada yang merawat saat ia uzur.
”Dulu saat kau pergi, orang-orang kampung semua bisik-bisik, sama juga soal kepulanganmu saat ini,”
”Oh ya, apa kata mereka?”
”Macam-macam,”
”Aku yang tidak tahu malu?”
”Tidak juga, sama ketika kau tertawa saat tahu Sumi hamil. Mereka menganggap hal ini lelucon yang menghibur. Katakanlah omongan, ’bekas milik Bapak di pakai anak biasa, tapi bekas anak di pakai Bapak, baru luar biasa!’ Memalukan sekali bukan? Mereka begitu bersemangat mengorek kembali apapun.”
”Bagaimana mereka bisa enteng sekali membuka mulut. Jika aku pulang kemari beberapa bulan yang lalu, pasti semakin ngap-ngap suara mereka.”
Aku diam tidak menanggapi komentarnya, karena yang terjadi sebenarnya tetap saja sama. Semua sudah kadung menjadi lelucon. Mereka berasumsi  bahwa ia sebenarnya telah sempatkan beberapa kali pulang ke kampung diam-diam dan bertemu dengan Sumi. Mereka pikir bagaimana Bapak yang ringkih dan sakit-sakitan itu masih bisa memberikan keturunan kepada Sumi. Aku menyimpan komentar ini, kasihan juga melihatnya berpikir ia akan terus menjadi bulan-bulanan omongan orang.
Ia melangkah ke sudut pekarangan rumah sakit. Mungkin ia sedang meredakan kekesalan, atau sedang menyusun kata-kata yang pas untukku sebagai rangkuman singkat masa lalu. Sebenarnya aku tidak berniat sama sekali menyinggung masalah kepergiannya dulu. Walaupun aku ingin bicara dari hati ke hati antara dua saudara kandung mengenai jalan cerita sebenarnya, karena selama ini, sama seperti orang-orang kampung, aku hanya tahu ia kabur setelah menghamili Sumi.
Ia menjentikkan batang rokok lintingannya ke tanah dan menginjaknya. Ia kembali ke arahku dan kembali duduk di sampingku. Ia keluarkan tembakau lagi dari kantong plastik khususnya. Masih dengan upacara yang sama, ia melinting dengan kertas rokok dan di akhir pelintingan ia jilat ujung kertas rokok sebagai perekat. Rokok sudah menjadi kebutuhan vital baginya.
”Bagaimana Indra? Apakah dia mendapat perlakuan yang baik?”
Aku memandangnya. Indra adalah jabang bayi yang kemudian lahir dari rahim Sumi. Secara otomatis ia diposisikan sebagai adik karena Sumi dinikahi oleh Bapak. Lucu juga awalnya. ”Yah, dia tumbuh sehat. Jarang sakit. Sudah bisa kusuruh beli rokok kretek di warung samping. Akhirnya aku punya pesuruh untuk beli rokok.”
Ia tersenyum. ”Mungkin dahulu yang terpikir padaku hanya ketidakadilan yang ditimpakan kepadaku. Aku pacar Sumi, lalu Sumi hamil. Tapi aku tidak menghamilinya. Aku juga tidak ingin tahu siapa. Aku terlanjur muak dan patah arang. Malu, sama seperti Bapak atau sepertimu. Kadang aku menyesal juga. Jika aku menikahi Sumi, persoalannya tentu akan beres. Tidak akan ada yang menganggapnya lelucon. Hanya hubungan dua pemuda yang hamil sebelum nikah.”
Yah ia benar. Kungkungan antara siapa sebenarnya yang pengecut dan siapa sebenarnya orang yang bertanggung jawab membuat kabur pandangan. Seorang anak, bagaimanapun merupakan satu anugerah. Apakah yang terpental dan memutuskan keluar untuk bertanggung jawab adalah sang pengecut? Apakah yang bertahan dan tabah menerima berbagai sengat dari mulut-mulut adalah sang penanggung jawab yang jantan?
Saat ia mulai menyedot rokoknya, aku ingin sekali bertanya, ”Apa benar Indra bukan anakmu?” Karena hingga detik ini pun ia masih mengatakan Indra bukan anaknya. Aku ingin sekali memojokkannya dengan beberapa kalimat sehingga ia mengakui perbuatannya. Mengakui bahwa ia yang menghamili Sumi. Mengakui bahwa Indra adalah anaknya. Tapi pertanyaan itu kutelan dalam hati.
Ya kutelan benar pertanyaan itu, karena sebenarnya jika pertanyaan itu terlontar dan ia menjawab jujur bahwa Indra adalah anaknya, maka aku akan berkata padanya, ”Sebenarnya yang benar adalah kita tidak sedang menunggu adik lagi, tapi kaulah yang sedang menunggu keponakan baru, karena Sumi mengandung anakku. Ya, aku, pria pengecut yang ingin merasakan kedewasaan, dan ternyata dari bekas pacarmu dulu, yang juga ibu tiriku, aku merasakannya.”■

Mochammad Asrori, lahir di Surabaya, 24 Juni 1980. Alumnus Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya. Menulis berbagai genre sastra di luar aktivitas sebagai guru. Email: roristory@gmail.com

Dimuat lembar sastra SARBI edisi #3, Februari 2011





Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post