Telah Terbit !

Yang sederhana, yang berserakan, yang tak diperhitungkan dan bertebaran di mana-mana, tetaplah harus dirayakan. Spesial SARBI edisi 8 di akhir tahun!

Segera Dapatkan !

Buku Puisi Karya KOMANG IRA PUSPITANINGSIH.

Toko Buku SARBI

Kumpulan buku bekas pilihan yang asik untuk dibaca dan dikoleksi dengan harga bersahabat.

Telah Terbit!

BULETIN TIKAR EDISI 02/2013 Diterbitkan oleh Komunitas Tikar Merah (KTM)

Dapatkan!

Buku Terbaru SARBIKITA Publishing Karya Heru Susanto

Blogroll

Tuesday, May 28, 2013

Buku dan Sebatang Cokelat

 photo man-reading-51281_zpsb3c06f5b.jpg
Man Reading karya Georges Lemmen 

Oleh: Fandy Hutari

Di kamar kontrakan berukuran empat kali lima meter, mata saya masih tenggelam di dalam layar netbook yang terpenuhi oleh huruf-huruf. Sebotol minuman soda tumpah membasahi hamparan buku yang menyesaki kamar sempit ini. Saya masih tercenung, mengingat saat-saat perpisahan kita, lebih dari dua bulan yang lalu. Kepala saya yang botak menjadi berkilap karena terpantul sinar bola lampu lima puluh watt yang menerangi setiap sudut kamar ini. Pantulannya membalikkan tabir memori masa lalu yang teramat pedih. Seekor kuda menyeringai dari bawah kasur kapuk yang menghampar tepat di belakang saya. Suara kayu yang dibenturkan di tiang listrik tepat di depan kamar kontrakan saya nyaring berbunyi tiga kali.                                                     Ting! Ting! Tiiiinggg!                                                                                                  Suara-suara itu membawa saya keingatan usang yang sebenarnya sudah saya bakar menjadi arang. Cerita soal buku dan sebatang cokelat.

1
Kita terbiasa jalan-jalan bersama. Menyusuri gunung-gunung yang menjulang ke langit, menelusuri rimbunan pepohonan yang akarnya menyentuh bumi, menyeberangi sungai-sungai yang mengelok dan berarus deras, hingga terbang menuju angkasa yang luasnya segenggaman Tuhan. Kita terbiasa jalan-jalan bersama, namun itu semua cuma dalam pikiran kita berdua.                                                                                                      Kamu terbangun dan menyingkirkan lengan saya yang mendekapmu semalaman ini. Matamu yang belum dilapisi lensa membuat saya terpacu membayangi lagi malam tadi.                                                                                                                                                 Mana bukumu, katamu mengagetkan lamunan jorok saya.                                        Saya seperti sedang tersengat pantat lebah di hidung.                                           Belum. Kata penerbitnya akan terbit akhir bulan ini, jawab saya.                                    Saya juga bangun. Lalu duduk di depan cermin. Memakai lipstik dan parfumnya.

2
Matahari menyeruak menerobos fentilasi yang terdapat di sudut kamar mandi satu-satunya di kontrakan ini. Saya sedang mencuci. Mencuci pakaian. Nah, inilah hobi saya selain menulis di kamar. Dari lubang jamban, terdengar suara gemercik air. Seekor kobra keluar dari sana. Membawa aroma bau kotoran yang tak enak jika engkau menciumnya. Busa-busa dalam ember membentuk gelembung yang terbang ke udara. Pecah, dan menghadirkan memori yang membalikkan ingatan saya ke cerita buku dan sebatang cokelat.

3
Ada seekor kupu-kupu yang keluar dari kelopak matamu, menembus lensa kacamatamu, dan menusuk bola mata saya. Setelah itu, kupu-kupu berubah menjadi cairan yang menembus urat-urat darah saya. Menuju jantung dan menulari hati saya yang sudah lama membeku bagaikan es.                                                                                                   Itu mungkin yang dimaksud orang-orang dengan cinta. Padahal, saya tak pernah menanggapi perasaan itu. Namun, karena kita sering berjalan-jalan dan sering bersama, perasaan itu timbul secara otomatis.                                                                                      Sore itu, kamu mengajak saya ke dataran tinggi tengah kota Bandung. Kita berdua, bersama-sama menyaksikan pemandangan gedung-gedung yang seperti tumpukan balok kayu. Di mata saya cuma ada kamu. Orang-orang yang hilir-mudik saya anggap kapas-kapas yang melayang-layang. Mulut saya yang sejak tadi terkunci, tiba-tiba mengucapkan sesuatu. sesuatu yang selama ini saya pendam dalam-dalam.    Saya sayang kamu, ucap saya.                                                                                 Maaf, aku tidak bisa menerimamu. Ada lelaki lain dalam hidupku, katamu.     Air matamu jatuh. Air itu, menguap di udara saat hampir menyentuh tanah yang sama-sama kita pijak. Saya cium kening kamu. Mengusap air matamu. Memelukmu erat-erat. Enggan saya berpisah darimu setelah ini.                                                                 Tiba-tiba, kaus yang kamu pakai itu bertukar dengan kaus saya. Saya sekarang memakai pakaianmu. Aroma parfum tubuhmu yang khas dapat saya endus dengan tegas. Mata kapas-kapas tadi memerhatikan saya dengan tatapan aneh yang menelanjangi seluruh tubuh saya.

4
Menjemur pakaian sendiri ibarat mengeringkan tubuh saya sendiri. Menyinarinya dengan sengatan matahari yang panas dan terik. Saya suka menjemur pakaian. Menjepit kaus, jaket, jeans, kemeja, dan celana dalam saya supaya angin yang menggoda mereka tak melepaskannya dari tambang yang membentang.                                                                        Seekor laba-laba membuat jaring berantakan di atap rumah tetangga. Laba-laba itu menggelayut di benang yang ia buat sendiri. Saya seperti melihatnya menggantung pakaiannya sendiri. Angin sepoi-sepoi membelai kepala botak saya. Membuat kesejukan yang memacu adrenalin emosi. Irama musik dangdut mengalun dari kamar tetangga. Suara Bang Haji Rhoma Irama yang menyanyikan lagu “Begadang.”                   Begadang jangan begadang…Kalau tiada artinya…Begadang boleh sajaaaa…Kalau ada perlunya, saya spontan menyanyikan reff-nya.                                                Nah, tiba-tiba saya ingat lagi masa-masa itu. Cerita soal buku dan sebatang cokelat.

5
Valentine. Saya sendiri tak tahu mengapa anak-anak muda merayakan hari yang jatuh pada tanggal empat belas Februari setiap tahun ini. Padahal, sejarahnya Valentine identik dengan pesta seks. Nah, sekarang pesta seks dirayakan setiap tahun beramai-ramai, berarti hehehe...                                                                                                         Lelaki lain yang mengungkung hatimu memberikan sebatang cokelat kepadamu.    Aku dapat cokelat dari Rizal semalam dan mengucapkan selamat hari Valentine, katamu kepada saya saat kita berdua berada di lantai dua, tempat menjemur pakaian di kontrakan saya. Duduk di bawah cahaya bulan yang bulat penuh.                                          Saya terdiam.                                                                                                              Kemarin tukang pos ke sini. Dia memberikan sepuluh eksemplar buku saya. Sebelumnya, penerbitnya menelepon saya, dan mengatakan buku saya sudah terbit, ucap saya.                                                                                                                           Serius? Mana? Aku mau lihat, sahutmu.                                                                     Saya masuk ke kamar, setelah menuruni tiga belas anak tangga yang terbuat dari kayu yang telah lapuk karena dilahap rayap. Mengambil buku saya yang berada di meja kecil, samping netbook yang masih menyala.                                                             Ini, kata saya setelah memberikan buku itu kepadanya.                                           Wah, bagus bukumu, pujimu kemudian.                                                                     Saya berikan buku itu untuk kamu. Buku lebih abadi daripada sebatang cokelat. Lihat di lembar pertama. Ada namamu di sana. Dan, namamu akan terus tercatat di buku saya, selama-lamanya, bahkan saat kita berdua mati dan dikerubungi oleh belatung-belatung tanah, Margianna, ujar saya menatap dalam-dalam kedua bola matanya.                                                                                                                             Kamu tertunduk. Mungkin malu. Mungkin pula jijik. Tapi, saya tidak peduli apa yang kamu rasakan setelah ini. Bulan hilang ditelan awan kelabu. Rintik gerimis ambles dari langit, membasahi kita berdua. Kacamatamu saya pakai. Dan, kamu berkepala botak.   

6
Foto kamu saya gilas asbak yang sudah penuh puntung rokok. Saya benci kamu yang sudah memilih lelaki itu menjadi tunanganmu. Bara rokok yang terjatuh membakar pinggiran gambar fotomu. Saya masih terus mengembuskan asap. Menikmati nikotin berbatang-batang sambil membayangi kamu di sini lagi.                                                  Kata orang-orang, saya ini penulis ecek-ecek. Penulis yang masih kerdil karena tidak populer. Kamu juga menganggap saya demikian.                                                       Lalu, buat apa populer bagi seorang penulis?! tanya saya kepadamu di ujung gang menuju kontrakan saya malam itu. Saya mencintai buku, sama seperti saya mencintai kamu! tegas saya kepadamu.                                                                                  Kamu cuma terdiam. Kamu lebih memilih seorang dokter daripada seorang penulis rupanya. Suara anjing menggonggong. Kemudian malam menjadi sepi. Senyi. Senyap. Lampu yang menggelantung di badan tiang listrik di atas kita seakan-akan menutup matanya. Ia redup, lalu mati.                                                                                   Mata saya mengedip, menyapu asap rokok yang menusuk penglihatan. Rokok pun saya lumat di asbak yang, seperti saya katakan tadi, sudah sesak akan puntung rokok. Saya melihat buku saya sendiri, bertumpuk di meja kecil samping netbook. Buku itu sekarang terlihat sangat menjijikan bagi saya karena ada nama kamu. Lebih baik saya membaca koran kemarin sore. Tiba-tiba telepon seluler saya berdering. Rupanya si Anto yang menginginkan saya berdiskusi soal buku saya di perpustakaan miliknya di Jatinangor. Saya membanting telepon di genggaman ke arah buku saya sendiri. Brak! Hancur.                                                                                                                                   Jati! Jati! Jati! teriak Anto yang terdengar pelan setelah tutup baterenya terlepas dari badan telepon itu. Lalu mati.                                                                                         Alunan lagu “Will You Still be There” Daniel Sahuleka mengalun menyayat-nyayat pendengaran saya. Menggarami hati saya yang tergores luka. Jarum jam dinding yang terpaku miring di atas jendela berdetak.                                                         Tak…Tak..Tak…Pukul dua dini hari.                                                             Apakah saya seorang pria yang amatiran mendekati perempuan? Kata hati saya seketika, saat meremas kaleng bir berwarna putih. Perut saya masih kosong. Dari siang belum ada nasi yang merasuk ke perut ini. Cuma berkaleng-kaleng bir dan isapan rokok. Saya ingin muntah. Rasanya ada seekor naga yang ingin keluar dari mulut saya.                   Ah, cinta sejati saya sekarang cuma sepi dan buku. Saya mencintai buku lebih daripada saya mencintai kamu. Saya tutup cerita soal buku dan sebatang cokelat sampai di sini.

7
Tiga ketukan mendarat di pintu kamar saya. Membuat saya terpaksa menarik seluruh mimpi menuju ke alam nyata. Masih pukul lima subuh. Saya bergegas bangkit dari kasur, menuju pintu. Mungkin si Amir yang ingin membayar hutangnya. Kebetulan, uang saya juga sudah menguap beberapa hari belakangan ini. Gagang pintu saya tekan, dan pintu saya buka. Ternyata, yang datang adalah perempuan yang membawa buku saya dan sebatang cokelat. Dia memakai kaus yang tadi saya kenakan sewaktu tidur.           Aih…

Bandung, dini hari, 21 Juni 2011

Fandy Hutari, lahir di Jakarta 17 Agustus 1984, penulis, editor buku, dan jurnalis lepas. Bukunya yang sudah terbit Sandiwara dan Perang; Politisasi Terhadap Aktivitas Sandiwara Modern Masa Jepang (Ombak, 2009), Ingatan Dodol (IMU, 2010), Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal (INSISTPress, 2011). E-book berjudul Menulis di Media Massa, Why Not. Kumpulan cerpennya yang akan terbit berjudul Manusia dalam Gelas Plastik. Tinggal di Bandung.

Redaktur SARBI: @Dody Kristianto

Monday, May 27, 2013

Pacar Makam

 photo surrealism-painting-grandfather-clock-grave-digger-irony-humor-art_zps780e9a81.jpg

Cerpen Wawan Setiawan

Rasanya, udara dingin ini berguna bagi yang hidup, alias tak berguna bagi yang mati. Memang malam sudah cukup lama datang, dan siang yang kalah tak lagi menang. Dan, kegelapan bertengger di semua keremangan, beberapa bocah bersayap melayang-layang di atas makam, berhinggapan di pohon-pohon kamboja.
“Mau apa? Berisik amat!” kata salah seorang. Bocah di sampingnya cemberut, kemudian sayapnya melesat ke kamboja lain. Mereka adalah peri kamboja yang asupan nutrisinya dari cahaya matahari (kalau malam bulan), harum kamboja, dan uap mayat-mayat tercinta.
Di bawah daunan kamboja, pasangan gaek menguatkan hati menikmati sisa hidup yang semakin tak jelas. Mereka saling membuka dunianya dengan terengah-engah. Satu engahan seperti satu abad lewat cepat dan sia-sia. Sedang di atas nisan ada tikar, di atas tikar ada sarung, dan di atas sarung gumulan tubuh melampiaskan dendam paling dalam.
“Kamu enak sih! Senang aku ketemu.”
Suara satunya menjawab, “Kamu senang, aku senep.”
“Kok bisa?”
“Kamu pelit! Lelaki kok pelit.”
Namun suara mereka kemudian tertelan bisikan bumi kepada makam yang sudah sangat lama titip pesan dan selalu titip pesan bahwa mereka, manusia-manusia tikar itu, adalah manusia baik-baik, bahwa mereka sedang melakukan pendekatan, harus siap dibantu kapan pun.
Memang di sejumlah nisan yang bertebar, pasangan-pasangan berembuk secara intens dalam ketubuhannya masing-masing. Mereka saling merespons seperti zat-zat kimia saat bertemu. Sedang di atas, alangkah indahnya gerak-gerik kelelawar yang mencoba menutupi bulan dengan sayapnya. Namun mereka selalu gagal, dan itu adalah kegagalan yang indah. Dan besok malamnya mereka tetap tak menyerah, sendirian atau berkelompok berusaha menutup bulan dengan kepak sayap-sayap. Begitulah seterusnya, kegagalan yang indah! Mumpung bulan masih purnama, bisa dimainkan, meski diam-diam bulan juga asyik memainkan!
Para kelelawar seolah mengerti, suasana demikian harus dibantu dengan menggelapkan sesekali. Alangkah segarnya bila bulan bundar tertutup sayap-sayap. Meski kegelapan total hanya muncul sebentar, pengaruhnya sangat lama. “Aku ingin hidup seribu tahun lagi!” demikian satu contoh jeritan dari dunia kegelapan.
Setiap sayap kelelawar itu menutup bulan, jantung manusia berdetak lebih cepat, itulah tanda pengakuan dan penghormatan kepada kegelapan.
***
Saat pagi, kicau prenjak terasa renyah. Suasana makam hanya sedikit berubah. Matahari tak dapat menembus tanah, daun-daun kamboja menghalanginya. Kelebatan daun kamboja berdempet ketat, dan keketatannya tanpa kompromi. Namun kicauan prenjak mampu sedikit mencairkan kebekuan makam. Para pengunjung di atas nisan-nisan tadi malam sudah hengkang sebelum dini. Mereka membawa kelelahan yang tanpa sesal.
“Makam kakakku jarang dirawat. Saudara-saudaraku sadar atau tidak, rasanya telah melupakannya. Mentang-mentang kakakku yang satu ini cacat fisik,” kata seorang pemuda kepada kekasihnya. Kekasihnya tercenung saja. Pemuda itu membersihkan nisan dengan khusuk, rumput-rumput dicabuti, kerikil disirami (airnya diambil dari sumur di pojokan), bunga kemudian ditaburkan di bagian kepala, perut, dan kaki.
Lalu. pagi cerah itu, di bangku sudut, di bawah pohon ceri yang tampak satu-satunya, muda-mudi itu berciuman. Sangat seru ciuman itu melebihi dengus kerbau yang menyimpan amarah. Entah apa yang membuat mereka jadi begitu. “Honey, dari mana madu berasal?”
“Ya, dari Tuhan.”
“Kalau ngomong kok gitu.”
“Ya semua kenikmatan dari Tuhan; karena itu, sebelum ciuman harus basmallah, kamu sudah basmallah?”
“Kalau aku sudah basmallah, mana kamu tahu? Masa aku harus bilang?”
“Buktikan kalau kamu sudah mengucap,” tantang si cewek.
Di bangku pojok itu, pasangan muda itu kemudian mengeluarkan amarahnya lagi.
***
Siang itu sungguh tak ramah. Pencopet terengah-engah (seperti kecoak yang baru terpusar air) masuk ke dalam kompleks makam. Wajahnya berdebu dilengketi keringat hasil langkah seribu. Maklum kalau tak demikian, ribuan bogem wakil dari masyarakat terhormat akan menjadikannya sansag. Ia bernapas lega meski sementara. Tangan kanannya merogoh saku celana. Mungkin kalung berlian yang diembat.
“Kalau tertangkap, berlian pasti pindah ke tangan penangkap,” pikirnya.
Jaket kulit krem yang sudah kumal dibuang begitu saja ke salah satu nisan agak ke dalam. Ketika pedagang bakso lewat di jalan setapak ia memanggilnya pelan takut terdengar orang. Dengan kaos kuning tanpa leher, dan asyik makan bakso, ia sudah separo menyamarkan diri.
“Cacak asli mana,” tanya pencopet.
“Asli Bangkalan, Mas.”
“Saya dari Lumajang,” jawab pencopet ngawur.
“Saya punya saudara di Lumajang, tinggal di Kapten Ilyas.”
“Oya, saya di Kapten Sarpan,” pencopet ngawur lagi.
Bakso mengepul dimakan lahap. Kalau tak ada sendok mungkin mangkuk itu sudah diobok-obok kelaparannya. Sambil mengunyah, kepalanya berhitung, habis ini segera ke toko emas Sidoarjo langganannya. Wajahnya berseri. Tapi ia lupa yang diduduki adalah nisan yang baru seminggu. Bunga-bunga masih melayu di atasnya. Ia membokonginya dengan hati penuh. Sedang di bawah, bumi dan makam menjadi saksi yang taat asas.
“Lihatlah itu, yang baru datang. Dia kerasan jadi tukang copet,” bisik bumi.
“Aku sudah lama belajar menjadi bagian darimu, diinjak-injak dan diludahi tetap diam, itulah simbol kasih,” jawab makam.
“Sok filosofi, ingin diistimewakan ya.”
“Aku istimewa atau tidak, tetap bagian dirimu.”
Bumi hanya tersenyum melihat kegigihan makam dalam berargumen. Dalam hati, bumi menyadari sejarah pembentukannya, yang dirinya ikut pula membentuknya.
“Pencopet itu sudah sering ya bertandang ke sini.”
“Ya, aku tahu, ia mengambil rasa amanku. Setiap dikejar massa, cari amannya selalu ke sini. Dan memang demikian.”
“Kita terima dia dengan baik, satu saat kelak.”
“Rasanya tak jauh. Aku sudah nggak sabaran memangkunya dengan kegemasan beda.” Setelah mendengar ocehan makam, bumi beringsut, terjadi gempa kecil di sekitar.
***
Di atas tanah seluas dua hektare itu, selain hidung belang, pasangan ABG, pencopet, penjual bakso, pejabat muda yang gagal korupsi (sering berdoa ke leluhur), penjual bunga, dokter kandungan, juga kyai yang sudah sangat tua dan sulit mati. Mereka sering datang sendirian atau berdua. Rata-rata alasannya nyekar. Kepekaan mereka bertambah sepulang dari makam, entah dari siapa mereka mendapat wejangan menyejukkan. Ketika pulang, wajah mereka lebih segar daripada saat datang.
“Tidakkah aku telah berfungsi dengan baik?” tanya makam.
“Peliharalah perananmu yang sudah sepatutnya itu. Banyak makam yang harus kukunjungi, dan kau adalah salah satu yang sering kukunjungi. Di kabupaten A, ada makam kurang terawat, padahal aku sering menegurnya. Soalnya di sekitarnya sering terjadi kelaparan. Bantuan sering datang tapi oleh pejabat dikorup, banyak yang tak sempat makan. Banyak yang mati mendadak. Makam di sana sering kewalahan, sangat sibuk.”
Selang beberapa hari, bumi datang lagi ke makam. Wajah bumi sedih. Wajah makam juga tanpa ekspresi karena bingung cara menyembunyikan yang satu ini.
“Kemarin ada yang mati bunuh diri, ya,” kata bumi.
“Betul. Gantung diri pakai sarung. Suami pengangguran menyelingkuhi rentenir. Lalu kepergok. Lalu wajah istrinya memucat seperti kertas putih belum ditulisi. Anaknya tiga. Aku ikut sedih, seharusnya tidak sekarang. Masih banyak kerjaan yang harus dilakukan. Meski telah kuhibur-hibur istri pucat itu tetap tak nyambung. Senyap wajahnya tanpa reaksi.”
Lantas bumi ikut prihatin melihat kesedihan makam dan sang istri. Masalahnya, almarhum sangat jarang ke makam. Kalau mendengar cerita makam, bulu kuduknya berdiri. Namun tindakan gantung dirinya adalah tindakan luar biasa, seperti orang takut macan, tahu-tahu bisa membunuh macan. Makam sedikit merumit, karena harus ekstra menghibur, memberikan cerita-cerita, dongeng-dongeng, fantasi-fantasi, bahwa dunia ini indah namun sumber bencana, bahwa dunia ini enggan disapa, bahwa hutan-hutannya, sungai-sungainya, gunung-gunungnya, sawah-sawahnya, cenderung menciptakan pengangguran. Padahal bekerja itu ibadah, kalau tidak bekerja berarti kurang ibadah. Betapa tertekannya para penganggur, salurannya ke langit tertutup. Padahal masa depannya di langit!

Surabaya, Agustus 2006

Wawan Setiawan adalah dosen pengajar di Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Surabaya.

NB : cerpen ini dimuat di harian Jawa Pos, 24 September 2006


Redaktur SARBI: @Dody Kristianto

Hypermarket

 photo 130219904aS_zps29aa4cc7.jpg
The artist and his two dogs visit the hypermarket, from the series The rake's progress (1989) Medium: etching and aquatint karya Ron McBurnie (Australia 1957– )

Cerpen Wawan Setiawan

Bulan tetap bundar seperti jaman purba. Tapi serigala sudah diganti anjing. Harimau diganti kucing. Keduanya berkejaran di bawah bulan. Cemara-cemara berjajar. Mobil-mobil diparkir di bawahnya. Napas orang mabuk menembus angin.
"Aku sudah meramal bahwa aku kelak sampai di sini. Namun waktu tetap menatapku kelu. Dan lalu waktu bukan giliranku. Demikian penyair Amir Hamzah."
"Kamu bicara seperti orang mau dieksekusi. Rapuh benar jiwamu. Fasilitas yang kuberikan dulu tak kau gunakan?"
"Fasilitasmu sudah berubah menjadi minimarket. Lalu supermarket. Kemudian hypermarket. Jangan pura-pura tidak tahu."
"Tapi justru karena itu kamu kehilangan sejarah. Kronologi hidupmu tak menciptakan sejarah."
"Sejarah? Sejarah untuk siapa?"
"Sejarah tidak untuk siapa-siapa bukan? Itu maksudmu?"
"Sejarah untuk bulan, serigala, dan kucing, ya kan?"
Malam tak dapat mepertahankan diri untuk menjadi siang. Pada waktunya kelak siang akan dirampas malam. "Diriku akan digeser anakku. Anakku akan diganti cucuku. Dan cucuku akan menciptakan dinasti. Dinasti pemberani, serigala pemberani yang tahu dominasi manusia dalam dirinya. Tak ada jalan lain kecuali kompromi."
***

Demikian anganku mengejar bayangannya. Kutarik resliting celana ke atas setelah kunikmati kencing selega udara malam. Kuhirup aroma daun cemara gugur, bau kematian yang indah. Dan mataku ketagihan menyesap bulan.
Bulan sudah lama ditaklukkan, tapi diriku belum. Tak apa, selama serigala masih berkeliaran di tengah kota, penemuan diri tetap tak semudah memanjat wanita.
"Kamu telah mengkhianatiku!"
Aku kaget. Seorang pemabuk begitu saja membentakku dari mobilnya yang pintunya terbuka.

"Bagaimana mungkin itu. Kapan kamu kenal aku?"
"Kamu dibesarkan bahasa. Lihai kata-katamu."
"Kamu dibesarkan minuman. Pedih suaramu."
Pemabuk itu terbahak-bahak. Mulutnya menganga seakan mau menelan semua sejarah bintang ke dalam tenggorokannya.
"Aku tak mabuk. Aku tahu, betul-betul tahu, bahwa kamu pengkhianat, bahwa kamu tak lebih dari sampah. Sumpah!"
"Kamu insomnia. Kamu mencaplok dunia malam semua wanita kota ini. Inkarnasimu sia-sia. Isi perutmu baiknya disedot mesin kuras tinja," ia berkata-kata begitu sambil berteriak-teriak. Kutarik tangan si pemabuk itu, kumasukkan tubuhnya ke dalam mobil. Kugebrak pintu depannya keras-keras. Biar tahu rasa dia. Saat ekonomi sesulit sekarang, pemabuk makin tambah saja.
Kumasuki segera hypermarket itu dengan amarah. Kuturuti semua yang diminta.
"Kuturuti apa yang kamu mau, aku telah menjadi konsumen sejati, biar puas dirimu." Dengan gaya pesta agung kucomoti bermacam botol berbagai merk. Sampai kereta dorongku berjubel. Kulihat setiap botol itu dengan gagah menampilkan satu bayangan sundel, seikat uang, dan setumpuk kehinaan.
"Mas beli sebanyak ini apa ada pesta penting. Pesta ultah ya?"
Kassanya bertanya kalem. Matanya genit, berkedip-kedip, mengundang masuk. Kini hypermarket menyediakan kassawati 24 jam.
"Ya, untuk kecerdasan, untuk kesantaian. Tapi, Mbak Lia," begitu nama yang kulihat di dadanya yang montok, "Mbak harus lapor ke manager bahwa aku konsumen sejati, kalau bisa lapor ke Muri, sebagai konsumen minuman yang memecahkan rekor."
"Muri?" Matanya yang berkedip berubah mendolong.
"Ya, saudaranya burung nuri!" Mbak Lia tanda tanya tapi setelah itu
senyum-senyum penuh harap agar aku datang lagi selarut begini suatu malam kelak. Kudorong kereta keranjang itu. Bertumpuk botol menuju mobil dan akan siap mendongkrak mereka ke dunia entah berantah.
Mataku tergoda cewek berkaos merah bercelana pendek ketat gelap berjalan melenggok menuju sebuah Corona. Sialan, si banci itu begitu berduit.

Pelayan hypermarket tergopoh-gopoh mendorong kereta menuju mobil dan kemudian memasukkan seluruh belanjaannya ke bagasi. Si banci memberi sejumlah tip. Pelayan membungkuk sempurna.
Segera kugelontor botol-botol itu ke sejumlah mobil yang tertidur di bawah cemara. Mereka tertidur karena nikmat. Bau napas mereka menyaingi bau daunan cemara yang berguguran. Kalau nanti mereka bangun, pasti botol-botol itu akan didekapnya begitu saja. Sambil membayangkan keberhasilan para konglomerat, mereka akan terus menenggak botol-botol itu tanpa tanya dari mana.
Setelah menggelontor botol ke para pemabuk buduk, aku kembali ke mobil. Tapi belum sempat masuk ke jok depan, suara pisuhan panjang menggempur kupingku lagi.
"Kamu gadaikan hidupmu demi barang-barang basi!"
Aku segera berlari ke arahnya.
"Apa katamu?" Kebenturkan mataku ke matanya yang merah-kosong.
"Kau gadaikan hidupmu demi barang-barang basi."
"Sok tahu lu. Barang basimu kali."
"Kamu jilati barang-barang basi itu. Takut kehilangan, ya. Kamu gopok."
"Sejak tadi barang basi melulu mulutmu itu."
"Kamu menyembah popularitas."
"Tapi kamu menyembah botol."
"Ya, kamu menyembah teori."
"Tapi, kamu jilati botol sampai kau temu malaikat."
"Kamu jilati teori sampai kau temu juru selamat."
"Sudah, sudah. Minum saja biar pencerahanmu tak terkalahkan. Kamu memang gigolo sejati. Nikmatilah dirimu dengan penuh keriangan."
Kudesak tubuhnya ke dalam mobil. Kugebrak pintunya lebih keras dari yang tadi. Masing-masing lima botol kutaruh ke jok samping. Lima tutupnya kubuang jauh-jauh.
***

Aku terengah-engah. Mengapa aku tadi ikut parkir di bawah cemara. Kupikir aku bisa santai sambil membayangkan peradaban baru yang bakal tiba, suatu peradaban yang tak terkalahkan oleh akal licik manusia. Padahal, sambil berandai-andai demikian aku berharap peroleh terapi setelah jenuhku tak tertolong di tempat kerja. Puluhan tahun dan hampir setiap hari aku harus memandikan mayat di RS Teruna di sebelah timur Rutan Tulangresik.
Banyak orang menjauhi pekerjaan itu. Menurut mereka, pekerjaan ini membuat orang sering menemui banyak peristiwa aneh seperti malam ini. Bayangkan ada lima mobil berderet, semuanya dihuni para pemabuk. Saking kerasnya bau mulut mereka, bau daunan cemara yang berguguran dapat dikalahkan.
Kalau siang, lokasi di bawah cemara ini sering dipakai parkir mobil-mobil anak remaja yang bolos sekolah. Mereka berpacaran sambil menenggak minuman ringan, dan sering menyuntikkan cairan seribudewi ke nadi. Nah, kalau malam para pemabuk yang sudah parah mangkal di sini. Halaman hypermarket memang luas, lima kali luas bangunannya. Padahal bangunan hypermarket itu dua kali luas lapangan bola, dan berlantai tujuh persis tujuh lapis semesta yang ada di sorga.
Lokasi kelompok cemara seribu meter jaraknya ke tepian gedung. Bisa leluasa di sini karena jalan besar juga masih seribu meter ke arah berlawanan, suara deru lalin hanya sayup. Jarak-jarak itu disatukan oleh jalan paving, rumput-rumput halus, dan bunga-bunga kecil. Di jalan besar banyak polisi patroli malam tapi mereka tak akan berani menyentuh wilayah ini. Bukan kaplingannya. Ini adalah wilayah para satpam penembak jitu yang sudah disogok dengan gaji ketiga belas disertai satu truk bingkisan yang isinya pasti perempuan garukan, puluhan kaleng biskuit, baju-baju factory outlet, buah-buah negeri dingin, dan juga minuman keras merk-merk ternama.
Padahal aku jenuh di tempat kerjaku. Pikiran, hati, dan tubuhku, sibuk memandikan mayat. Jangan-jangan, aku nanti akan memandikan salah satu dari mereka. Sebab mereka telah memenuhi tahap awal yang sangat memungkinkan: menjadi pemabuk, menyetir mobil sendiri, menabrak mobil sipil atau polisi, tiang listrik, atau kereta api. Masya Allah, secara tak sadar aku telah menggiring kematian mereka.
Selain itu, banyak perempuan kudekati, setelah menikmati madu dan racun, mereka menolak. Alasan mereka sederhana: kerjaku pemandi mayat. Padahal aku butuh mereka seperti halnya mereka butuh aku. Hidupku akhirnya dari short time ke short time. Kadang-kadang cairan seribudewi berpatroli ke urat-urat nadi. Seribudewi ini sarat janji-janji perihal peradaban baru yang tak ada di realita karena hyperrealita.
"Masum," demikian pengakuan seorang perempuan. "Meski kauberi aku seluruh hypermarketmu, takkan kugadaikan hidupku pada hidup seorang pemandi mayat."

Dengan sepatu hak tingginya dan kakinya yang lencir, ia kemudian ngacir meninggalkanku menuju lelaki lain, dunia lain. Aku hanya berdeham-dehem melihat laku lajaknya.
Tapi aku tadi sudah dihantam mulut mereka. Aku katanya takut kehilangan barang-barang basi yang diperjualbelikan hypermarket: negara, agama, wanita, popularitas, dan juga keabadian. Mereka telah menghantamku bergantian dan habis-habisan. Dan aku tak tak tinggal diam. Kugelogok mulut mereka yang terus menganga dengan berbotol-botol minuman berbagai "atas nama". Mereka kemudian berkejat-kejat, berkhayal-khayal, membangun negeri yang tak pernah ada, sampai akhirnya mereka diam dalam gerak yang sempurna. ***

Surabaya, 24 Juni 2004
NB : cerpen ini termuat pada harian Jawa Pos, tanggal dan tahun tidak terlacak.

Wawan Setiawan Adalah Dosen Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Surabaya

Redaktur SARBI: @Dody Kristianto

Sekilas Mengenai Interlude

 photo 166423_16475703_lz_zps124f98db.jpg
White People karya Doug Smock

Pengantar
Tulisan saya ini sebenarnya hanya pengantar singkat menuju esai Mas Mochammad Asrori, salah satu senior saya pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Saat itu, Mas Asrori adalah angkatan 2001 dan saya angkatan 2004. Harus diakui bahwa Komunitas Interlude adalah salah satu cikal-bakal berdirinya SARBI. Di komunitas itulah, saya berjumpa dengan Arfan Fathoni dan Umar Fauzi Ballah, dua kawan akrab saya sejak kuliah.
Di sana saya pertama kali mengasah kemampuan menulis. Adalah Mas Yusuf Ariel Hakim yang juga banyak memberi masukan, terutama setelah beliau kembali ke kampus sehabis menunaikan tugas sucinya. Akhirnya, saya dan Umar Fauzi Ballah mengembangkan proses dengan belajar di Komunitas Rabo Sore. Sementara Arfan Fathoni belajar berorganisasi. Inilah sekilas mengenai Interlude.


Howdy : Komunitas Menulis Interlude

Esai Mochammad Asrori

Ide membentuk sebuah komunitas memang bisa jadi bermula dari suatu obrolan ringan di warung kopi disertai senda gurau tentang berbagai hal. Beberapa kesamaan mengenai minat dan kegemaran biasanya menjadi faktor pertama yang melatarbelakangi. Katakanlah seperti saya dan teman-teman semasa di bangku kuliah. Dipertengahan masa kuliah, beberapa orang yang punya intensitas dan mimpi di lahan sastra, terutama pada penulisan esei, cerpen, dan puisi, mulai menggagas berdirinya Interlude, suatu komunitas menulis di lingkungan kampus Bahasa dan Sastra Indonesia Unesa. Namun tidak semudah obrolan di warung kopi, merintis suatu komunitas, apalagi komunitas sastra, memang butuh lebih dari sebuah kesamaan minat.
Kampus adalah sarang bagi menjamurnya ragam aktifitas, banyak komunitas yang terbentuk di sudut-sudut fakultas atau jurusan. Beberapa bernaung di jalur resmi di bawah payung Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), tapi banyak pula yang berdiri sendiri. Awalnya, Komunitas Menulis Interlude berada di jalur yang kedua. Tapi karena di jalur ini ada beberapa hal yang tidak bisa kami penuhi, apalagi kalau bukan masalah dana, jadilah Interlude diusahakan agar fit and proper di jalur pertama.
Interlude adalah produk kegelisahan saya dan beberapa rekan mengenai wadah yang pas bagi kami. Di kampus memang banyak sekali wadah kreatifitas, tapi yang menonjol bergerak di bidang sastra dan banyak melakukan kegiatan hanyalah panggung teater, sementara apresiasi di jalur tulisan sangat kurang. Yang banyak bertebaran adalah komunitas menulis non-sastra, atau wadah langsungnya, media-media kampus yang banyak menjadi jujugan para penulis.

Founding Interlude
Mari saya perkenalkan Anda dengan Interlude dan orang-orang yang pertama turut andil membangun Interlude. Komunitas Menulis Interlude hadir menjelang reses masa kuliah tahun 2004, hasil gremang-gremeng panjang lima orang angkatan 2001 yang bermimpi eksis di jalur menulis: Yusuf Ariel Hakim (Probolinggo), Bungkos (Pamekasan), Hari Nurdi (Sumenep), Tri Cahyadi (Ponorogo), dan saya sendiri, Moch. Asrori (Surabaya). Nama Interlude sendiri berarti jeda. Awalnya kami memang menginginkan wadah inilah yang mengisi waktu-waktu jeda perkuliahan kami. Tapi asal Interlude sendiri kami peroleh dari judul puisi Gunawan Mohamad, Interlude Pada Sebuah Pantai.
Motivasi utama jelas menjadi wadah bagi kami untuk saling berbagi ilmu menulis, dan ujung-ujungnya memuaskan karakter narsis kami untuk bisa menjadi besar sebagai penulis. Kami berlima cukup bersemangat dalam hal ini. Beberapa hal mengenai visi dan misi kami perbincangkan. Berbagai kegiatan kami rencanakan. Rupa-rupa strategi untuk menarik minat mahasiswa yang lain pun kami lakukan. Kami terlalu bernafsu untuk cepat mengangkat Interlude ke komunitas level atas, setidaknya di lingkungan Universitas.
Ada sisi-sisi unik mengenai pribadi kelima orang ini. Pertama, diantara kami pada tahun itu, orang yang pertama getol mengupas permasalahan kepenulisan adalah Yusuf Ariel Hakim. Bisa dibilang dialah yang paling pertama memiliki kesadaran untuk menjadi penulis. Dia juga banyak memberikan masukan bagi karya-karya anak-anak semester awal di kampus. Berbeda dari yang lain, dialah satu-satunya mahasiswa Sastra Indonesia diantara kami, sementara yang lain berada di prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dia menghilang di semester akhir kuliah untuk merawat Bundanya tercinta yang sakit. Jadwal kuliahnya terbengkalai, demikian juga nafsu menulisnya. Baru di tahun ini dia comeback di kampus saat semua rekan-rekanya telah menyelesaikan kuliah.
Kedua, Bungkos, adalah orang yang rajin berorganisasi. Minat utamanya adalah penyair, bisa dibilang tampangnya dan gayanya Rendra sekali. Tapi soal idola tetap tidak berpaling dari Si Celurit Emas, D. Zawawi Imron. Jadi bisa dibilang, bila berpoetry reading dia segagah Rendra, namun berkarya seelok Zawawi, menggali habis akar Madura. Dialah yang aktif membawa Interlude masuk dinaungan jajaran organisasi BEM. Dialah yang membuat loby-loby dengan dosen, paling sibuk membuat proposal-proposal kegiatan, dan aktif memburu tanda tangan birokrat kampus.
Ketiga, Hari Nurdi, saya kenal sebagai orang yang bermulut manis. Mudah sekali akrab dengan siapapun. Saya rasa tradisi lisannya jauh melebihi tradisi tulisnya. Sebagai penulis bisa dibilang produktifitasnya rendah sekali. Tapi saya sering mengumpat bila ada karyanya yang jadi dan dimuat di media kampus. Cara mengolah cerita dan bahasanya terlalu bagus untuk orang yang malas menulis.
Keempat, Tri Cahyadi, adalah tipe orang yang manut-manut saja. Dalam aktifitasnya di Interlude dia selalu berpartner denga Bungkos melakukan aksi-aksi birokrasi. Tapi dari segi karya, ia tergolong rajin dan produktif. Tiap karyanya memiliki sifat yang unik, temanya selalu menarik, walaupun susunan cerita dan gayanya kadang tergagap-gagap mirip Joni Ariadinata. Permasalahan sosial menjadi garapan cerita dan puisinya. Namun kini rekan-rekan memuji keberuntungannya sebagai orang pertama di kalangan angkatan 2001 yang masuk sebagai PNS di kota asalnya.
Kelima, saya sendiri, adalah tipikal orang dibelakang meja. Saya hanya menambal sulam sana-sini dan menjadi penengah perseteruan yang kadang terjadi. Saya kurang menyukai partisipasi aktif dalam kegiatan masal. Dalam pikiran saya waktu itu, bagaimana saya dapat menambah ilmu menulis jika saya disibukkan oleh hal-hal birokrasi. Hal itu yang akhirnya menjadi awal perdebatan Interlude masuk dalam naungan BEM. Suatu kesadaran untuk mempunyai katalis yang kuat memberikan riak di tengah kegersangan iklim menulis di  kampus. Konsekuensinya tentu harus ikut menikmati imbas intrik-intrik persoalan seputar kampus di luar persoalah menulis.

Second Gen dan Recently
Bisa dibilang kami terlambat merealisasikan Interlude, nyatanya gagasan Interlude hadir jauh sebelum Launching Interlude resmi di ketuk melalui diskusi oleh dosen-dosen dan mahasiswa mengenai karya-karya pilihan anggota Interlude. Setelah diresmikan, Interlude malah merosot dari segi kegiatan. Hal ini tak terlepas dari para founding yang telah menginjak masa akhir perkuliahan. Banyak yang disibukkan oleh persoalan skripsi dll.
Interlude kemudian lama vakum karena para founding telah resmi diwisuda dan hengkang dari dunia kampus. Tapi bisa dibilang Interlude lumayan membuat dunia tulis menulis di kampus bergairah. Apalagi kami bisa memaksa dosen-dosen turun dari singgasana dan cawi-cawi memberikan masukan dan pandangan-pandangan. Dari sini muncul generasi kedua Interlude yang di komando oleh Rodhi Murtadho. Saya sebagai satu-satunya founding asal Surabaya pun turut membantu beberapa masukan dalam membangkitkan kembali Interlude.
Generasi kedua Interlude ditandai dengan second launching Interlude yang menghadirkan diskusi tentang karya juga permasalahan seputar penerbitan. Saya ingat betul waktu itu menghadirkan Budi Pangestu dari Mizan untuk memberikan panduan-panduan tentang sisi-sisi dalam dunia penerbitan. Interlude generasi kedua mencoba membawa ide-ide segar dan kegiatan-kegiatan praktis dan pragmatis dalam dunia tulis menulis. Intensitasnya lumayan. Tiap minggu ada pertemuan yang mengupas tentang karya sastra; menerbitkan buletin tiap dua minggu; mengadakan kunjungan ke rumah-rumah sastrawan yang di agendakan tiap bulan; malam apresiasi puisi dan cerpen tiap bulan penuh; dan arsip karya yang nantinya bakal disusun sebagai antologi karya. Nothing more perfect right?
Persoalan yang sama melanda ketika generasi kedua ini juga mulai hilang dari kampus. Namun karena sadar regenerasi, tongkat estafet jauh-jauh hari sudah dipersiapkan dan diberikan pada angkatan di bawah. Di tambah masuknya kembali satu orang founding ke kampus dari cuti panjangnya, saudara Yusuf Ariel Hakim. Saya dengar dia turut memberi masukan bagi nama-nama generasi mutakhir Interlude seperti Arfan, Dodik, dan Fauzy. Tapi entahlah sekarang. Saya kurang memantau lagi pergerakan mereka. Kabar yang saya dengar banyak yang kemudian beralih ke komunitas rabu sore yang eksis di jalur penulisan dan wacana puisi. Tulisan ini sekedar nostalgia bagi saya, mengenang rekan-rekan menulis semasa kuliah yang rata-rata sekarang sudah berprofesi sebagai guru. Howdy Sanggar Menulis Interlude?

NB : esai ini diambil dari www.kedaipuisi.wordpress.com, blog pribadi milik Mochammad Asrori.

Redaktur SARBI: @Dody Kristianto

Tuesday, May 21, 2013

Kupu-Kupu Tidur

 photo tumblr_m7x87oUEI11rp4m2co1_500_zpsaca2948b.jpg

Cerpen Wawan Setiawan

Kupu-kupu itu bersayap kuning, terbang ke sana kemari di tanah samping. Coba lihat, ia sedang mencari sesuatu, di balik daun bunga sepatu. O, ternyata benar, ia sedang menitipkan telurnya. Nanti telur-telur itu jadi ulat. Ulat-ulat itu merayap dari daun ke daun. Memangsa daun-daun itu, nyaem nyaem nyaem, ia besar, gemuk, lalu masuk ke kepompong. Nah sudah. Coba lihat, dari satu ujung lubang kepompong, lepaslah seekor kupu-kupu, warnanya kuning, seperti induknya.

Aku mengimajikan proses itu. Sebuah proses alami. Alam telah menyediakan segala sesuatunya, agar semuanya dapat berproses, tentu secara alami pula. Kupu-kupu kuning tadi telah pergi, ke halaman rumah tetangga. Di samping rumah ada sirsak, pisang, mangga, dan pepaya. Ada juga bluntas dan gambas. Di bawah pohon dan perdu itu, sedikit menghampar rumput hijau, halus, enak di kaki. Di halaman depan, sama, ada rumput hijau. Di atasnya, ada pepaya, alamanda, cemara pipih, dan melati. Tanaman itu mengisi hari-hariku, ya di tengah-tengah alam semesta yang besar dan "tenang" ini, aku ditimpa keraguan, kebimbangan.

"Hesti, aku sudah mempertaruhkan hidupku, tapi jalan hidup ternyata lain. Aku tak sanggup lagi mampir di rumah kita, yang konon bertabur bintang berjuta. Berbulan bundar, persis harapanku. Tapi bulan dan bintang di rumah kita adalah milikmu. Aku ditakdirkan tidak memilikinya."

Itu ucapan Sapto. Lelaki itu kemudian tak lagi kembali. Sapto telah pergi, lenyap ditelan kebiruan gunung. Sapto mengembara dari gunung ke gunung yang konon wilayah warisan nenek moyangnya.

"Ya, Sapto, bila itu jalan hidupmu, pilihanmu, setialah pada janjimu, pada dirimu. Aku tak kuasa. Jalan hidup kita memang beda. Memang telah kuserahkan diriku padamu, tapi tampaknya tak dapat penuh. Kuserahkan diriku hanya separuh, dan kau menerimanya juga dengan separuh dirimu. Kita sama-sama mengerti. Dan akhirnya memaklumi. Di tengah alam semesta yang besar ini, aku akhirnya sendiri. Bapak ibuku sudah pergi. Adik satu-satuku sudah dibawa suami. Di rumah ini, bagai seorang paranormal, aku merajut masa depan yang gambar-gambarnya samar-samar."

Tak kusadari air mata menetes, tak banyak, hanya satu dua. Tapi itu sudah cukup. Keterharuanku pada jalan  hidupku membuatku mengerti, bahwa setiap orang akan digiring kepada jalan hidupnya masing-masing. Ada yang ikhlas menerima, ada yang memberontakinya.

Lelaki itu dulu kutemui di bangsal sebuah gedung teater. Saat itu ada latihan drama. Saat itu aku baru lulus sarjana akuntansi. Meskipun aku suka hitung-menghitung, aku juga suka nonton drama. Bahkan latihan sebelum main, kutonton juga. Itu seperti kita kalau makan kue Hari Raya yang akan dipanaskan dalam van. Rasanya sudah enak, dan memang sudah bisa dinikmati. Dalam kisah drama yang kutonton, ada bagian peristiwa yang menampilkan sisi kehidupan seorang paranormal. Dikisahkan, paranormal pamit pada istrinya untuk bertapa di sebuah lereng gunung di selatan kota. Tapi pertapanya gagal karena tergoda seorang wanita. Sang pertapa kemudian kembali lagi menjadi orang biasa. Entah dari mana Sapto tahu ada latihan drama di Gedung Pemuda pusat kota itu. Sapto sendiri hanya tamat SMA. Ia memilih belajar sendiri dari hal-hal yang dia sukai, dan sangat antusias dengan astronomi, astrologi, serta ekonomi makro. Selain itu, ia menggandrungi puisi dan pijat refleksi. Mungkin background inilah yang mendorongnya datang ke Gedung Pemuda.

Waktu itu, entah bagaimana, aku dan Sapto terlibat diskusi perihal paranormal yang tergoda tadi. Dari diskusi itulah, perkenalan berlanjut. Sapto ternyata orang yang sangat menyayangi tubuhnya. Setelah pernikahan, ia pelit berhubungan seks. Alasannya, tubuh adalah kuil Tuhan, rumah ruh berdomisili. Dan jika ruh menempati sebuah tubuh, itu merupakan perjuangan yang sangat berat, sungguh berat. Sang ruh harus bernego dulu dengan para malaikat pengurus kelahiran. Karena begitu banyak ruh yang ingin atau harus lahir di bumi, maka negosiasi sungguh alot. Dihitung dulu talenta, kemungkinan-kemungkinan prestasi, fleksibilitas dengan cuaca tempat tubuh dilahirkan, atau komplikasi-komplikasi yang mungkin muncul dengan keluarga inti, keluarga besar, suku, dan masyarakat luas. Melihat kesulitan negosiasi, dan kecermatan seleksi di dunia sana, Sapto sangat bersyukur telah bisa lahir ke bumi. Karena itu, sekali lagi, Sapto sangat menghormati tubuh. Tubuh tak boleh semena-mena dikorbankan demi sensasi seks yang tak kunjung habis.

Hernowo? Ya, dialah itu, Hernowo. Lelaki itu adalah suami keduaku. Aku bertemu dengannya, lagi-lagi, ketika ada acara latihan drama. Waktu itu pagi nan dingin, di pinggirian kota, sebuah kelompok teater sedang berlatih pernapasan. Aku diajak seorang teman, aku ikut namun sekadar menonton; sambil baca-baca koran pagi, kudengar mereka teriak-teriak. Mereka disadarkan oleh Hernowo: baik ketika udara masuk atau keluar, yang bergerak hanyalah Tuhan. Dengan sugesti itu, mereka tak hanya diingatkan oleh pentingnya udara, namun juga oleh pentingnya "Tuhan".

Hernowo adalah seorang suami yang nafsu seksnya kuat. Mungkin dampak dari latihan pernapasan digabung dengan bawaan dari sono-nya. Tak seperti Sapto yang kikir seks, Hernowo boros. Sehingga sering aku dibikin kewalahan.

"Hesti, kecerdasanku adalah maksimal. Namun tampaknya aku kewalahan meladenimu diskusi. Semangat hidupku terlalu besar, sayang kurang diimbangi daya intelektual." Demikian pengakuan Hernowo suatu malam, setelah melakukan hubungan suami istri entah yang ke berapa ribu kali.

"Tapi kau pelaku yang baik, man of action. Kamu mampu menghimpun orang-orang, menggerakkan mereka, meski gerakan mereka di atas panggung. Aku lega dipertemukan Tuhan bersuamikan dirimu." Demikian hiburku pada malam yang lain sambil melap-lap tubuhnya yang penuh keringat. Kusuapi dia dengan STMJ khas diriku seperti yang diminatinya.

Sebenarnya aku sudah mulai bisa tinggal di dalam hatinya. Dia juga sangat kerasan hidup di hatiku. Tapi sayang seribu sayang, melalui cerita seorang teman, dan juga aku pernah tahu sendiri, Hernowo masih punya waktu berpacaran dengan salah satu anak buah teaternya. Kerinduanku pada keindahan romantisme perkawinan pupus sudah. Mungkin karena dia menganggapku janda yang kesetiaannya sudah terkoyak.

"Sudahlah, sudah. Kau bisa bayangkan sendiri, di sudut kamarmu yang remang-remang, bahwa akhirnya aku bercerai dengan Hernowo. Hernowo itu terlalu alamiah. Termasuk dalam hal bercinta. Tak apalah. Biarlah semua mengalir, Pantha Rei. Aku mengalir. Sapto mengalir. Hernowo juga mengalir."

Kembali mataku menangkap kepak kupu-kupu kuning itu dengan kesepianku yang lengkap. Aku tak mau lagi jadi ulat. Aku ingin jadi kupu-kupu. Ulat merayap dari daun ke daun. Kupu-kupu itu terbang dari bunga ke bunga, taman ke taman. Aku ingin terbang. Dan ini yang penting, aku tak ingin memakai dua sayap yang di situ ada Sapto dan Hernowo. Dulu aku terbang dengan sayap Ibu dan Bapakku. Kemudian aku terbang dengan sayap Sapto dan Hernowo. Aku ingin menciptakan sayap sendiri, sayap khas Hesti. Mungkin bahan  bakunya dari Ibu, Bapak, Sapto, dan Hernowo, atau yang lain.

Dalam kesepianku, kini, aku menekuri diriku yang sibuk merajut sayap. Tak apa, mumpung angkasa masih menyediakanku ruang. Diriku belum sama sekali hampa. Lingkunganku masih tertawa dan terbuka. Kotaku, meski tetap angkuh, toh masih mau menyapa.

Kulihat diriku menekuri diriku. Di sela-sela berbagai daunan berembun, bagai peri, aku mulai melesat dari daun ke daun. Dan kulihat dari pohon ke pohon. Sedang di atas angkasa membuka mulutnya yang tak bertepi, dibanjiri sinar mentari.

Surabaya, 2005

Wawan Setiawan adalah Dosen Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Surabaya.

NB : cerpen ini pernah dipublikasikan di harian Jawa Pos, 31 Juli 2005

@Redaktur SARBI: Dody Kristianto

Cerpenis Koran Tak Akan Mati

 photo Typewriter_Ideal_Seidel_und_Naumann_zps2e481744.jpg


Esai Fahrudin Nasrulloh

Persoalan “sastra koran” ternyata masih menjadi cakap-kecap yang debatable (jika bukan kadaluwarsa) bagi sejumlah cerpenis, penulis puisi, atau esais. Kendati hal ini sudah lama dibahas dan menautkan berbagai wacana kesusastraan komtemporer Indonesia. Sebut saja semisal esai Katrin Bandel berjudul “Sastra Koran di Indonesia” (Jurnal Cerpen Indonesia, edisi 3, 2003), atau esai Saut Situmorang “Politik Cerpen (Koran) KOMPAS” (Jurnal Cerpen Indonesia, edisi 8, 2007). Saya di sini akan coba menanggapi esai Eko Darmoko “Pembunuh Cerpenis Adalah Koran” (SP: 28/6/09, dan 5/6/09).

Esai Eko sebenarnya tidak menghadirkan problem baru atau paparan yang analitik jika memang ia niatkan untuk memancing polemik. Tapi boleh jadi itu bisa terjadi. Tapi ia hanya menghamburkan kenyinyiran yang genit dan dangkal, pembacaan yang sempit, dan impen-impen pesimistik seputar nasib cerpen dan cerpenis koran. Lebih-lebih, esainya terlalu berpanjang-panjang, yang sebenarnya bisa dibikin ringkas, fokus, dan tajam. Muatan sudut pandangnya masih berkutat soal koran nasional sebagai kiblat cerpenis, cerpenis terkenal yang menggusur bahkan membunuh cerpenis pemula, sastra Koran vis a vis sastra serius, dan lain sebagainya. Saya kira asumsi-asumsi demikian tak perlu dipikir ngotot dengan dahi berkerut, sebab memang begitulah fenomena sastra koran sekarang. Ada beberapa hal yang bagi saya penting dicatat di sini.

Pertama, pertarungan berkarya. Keberadaan koran nasional yang menyediakan rubrik budaya atau seni semisal Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Republika, Surya, Surabaya Post, dan lain-lain, sekarang ini adalah sesuatu yang tidak bisa ditampik dan dicibir. Puluhan bahkan ratusan penulis muda terus bertumbuhan, baik yang nulis cerpen, puisi, atau esai. Namun, susahnya, kenyataan tersebut samar-samar nyaris mustahil terdeteksi. Memang ada di beberapa kota di Jatim misalnya, yang bertebaran semacam komunitas sastra, tapi tak pernah ada suatu jaringan interaksi yang intens yang terjalin untuk saling berdialog dan dijadikan tolok-imbang akan sejauh mana gerak kreativitas dan produktivitas antar mereka. Lalu bagaimana dengan sejumlah penulis yang nyata-nyata tidak memiliki komunitas? Berapa jumlah mereka? Sejauh mana perkembangan karya-karya mereka. Karena itu, bagi penulis-penulis yang menggodok karyanya di jalan “sunyi nan gelap” itu, jika mereka ingin mengaktualisasikan karya mereka, maka media koranlah barangkali salah satu yang mereka lirik untuk berkirim karya. Jadi, adalah sah bagi siapa pun cerpenis untuk bertarung masuk ke koran-koran yang dikehendakinya. Tanpa harus merasa diserbu kalut, bahwa cerpen-cerpen mereka akan digusur cerpenis-cerpenis kelas mapan. Toh, semisal di Koran Tempo dan Surabaya Post, redaktur koran ini juga kadangkala menurunkan cerpenis-cerpenis muda. Mari, kita lihat hal ini dari perspektif yang positif. Sekedar cerita, cerpenis Joni Ariadinata, di awal-awal tahun 1990-an ia menggeluti cerpen, pernah sampai puluhan kali cerpen-cerpennya ditolak dan ia tak jemu-kelu juga untuk terus berkirim cerpen ke koran, hingga cerpennya Lampor dimuat di Kompas.

Kedua, menakar produktivitas. Semangat pertarungan yang tergodok di batin cerpenis tampaknya menjadi hal penting. Ia akan terus memacu sekaligus mematangkan kerja kreatifnya untuk terus dan terus berkarya. Produktivitas ini bisa dipantik oleh banyak hal, semisal diskusi rutin antar kawan cerpenis atau upaya pembacaan dan penjelian dalam mengamati perkembangan cerpen-cerpen koran dari yang lawas sampai yang teranyar. Namun saya menangkap satu sisi negatif bahwa sebuah koran memang memiliki karakter dan selera tertentu (dari redaktur misalnya). Maka si cerpenis, paling tidak, jika ingin karyanya lolos di koran ia akan mempertimbangkannya berdasarkan selera si koran, yang akibatnya ia akan membikin semacam keserupaan baik dari segi gaya bercerita, alur, corak penokohan, dan muatan aktualitas, dengan yang cerpen-cerpen yang lazim dimuat di dalamnya. Dari sini, mungkin ia akan terus melecut produktivitasnya, tanpa memikirkan segi kebaruan cerpennya, namun ia pada akhirnya akan jatuh tanpa sadar bahwa cerpennya ternyata mirip dengan si cerpenis “ini atau itu”, meski tujuan utamanya tercapai: cerpennya dilirik dan dimuat si redaktur. Di sinilah produktivitas dipertaruhkan, dan kebangkrutan kreativitas jadi bayang-bayang yang mencekam.

Ketiga, surutnya citra majalah sastra. Tak disangkal satu-satunya majalah sastra di Indonesia yang bercokol dari tahun 1960-an sampai sekarang adalah majalah sastra Horison. Majalah ini tetap terbit tiap bulan, namun sudah tidak lagi menjadi perbincangan dan dialektika sastra yang terus bergerak. Mungkin karena honornya yang masih berkisar 200-an ribu, atau selektivitas pemuatannya yang sulit. Meski demikian majalah ini tetap menjadi borometer bagi sebagian penulis. Ada beberapa majalah atau jurnal lain yang juga menyediakan rubrikasi cerpen, seperti majalah GONG (Yogyakarta), majalah Kidung (Dewan Kesenian Jawa Timur), Jurnal Cipta (Dewan Kesenian Jakarta, tapi sudah tidak terbit sejak pertengahan 2008), atau Jurnal Cerpen Indonesia (Yayasan Akar Indonesia, Yogyakarta), dan lain-lain. Maka, sekali lagi, cerpen koran (atau sastra koran), dalam konteksnya kini, bisa dipandang turut serta menentukan perkembangan arus kesusastraan kita, jika bukan “mengambil-alih”nya. Bagi yang tidak ikut merayakannya, silakan ambil jalan lain!

Keempat, koneksitas, aktualitas, dan selera redaktur. Tiga hal pokok ini mau tidak mau akan menjadi pertimbangan penting bagi cerpenis dan sangatlah menentukan akan dimuat tidaknya cerpen-cerpennya itu. Kendati tidak sepenuhnya demikian, namun hal ini tetap jadi sorotan utama. Ada juga sejumlah cerpenis yang cerpen-cerpennya dipandang layak muat di beberapa koran (semisal di Jawa Pos, Kompas, Koran Tempo) seperti cerpen-cerpen Mardi Luhung, Sunlie Thomas Alexander, Raudal Tanjung Banua, atau Gunawan Maryanto. Ada juga yang tidak, yang cuma diapresiasi satu koran saja.

Kelima, honorarium. Siapa pun cerpenis akan mempertimbangkan soal honor ini. Dari pertimbangan mengirim cerpen di Koran yang honornya 200-an ribu sampai yang 1 juta-an, tetap jadi topik konsentrasi mereka.

Keenam, mental narsis dan ingin cepat terkenal. Terkadang segala cara yang tidak terpuji dilakukan demi hal itu agar karyanya lekas dimuat. Lepas dari karyanya memang jelek atau agak bagus. Di sini saya tidak ingin memberi contoh, tapi dari sejauh pengalaman saya dengan kawan-kawan tertentu, peristiwa demikian pernah saya dengar dan ketahui, dan jadi kembang lambe, cas-cis-cus dari mulut ke mulut.

Dengan sengkarut problematik di atas, mungkinkah cerpenis koran akan surut berkarya oleh dan atas sebab yang cuma diandai-andaikan dengan perspektif yang tidak utuh? Sementara fenomena sastra koran telah menjadi bagian inheren dari perkembangan arus kesusastraan kita kini. Tapi saya masih yakin, ada banyak cerpenis yang akan tetap bertaruh-karya di koran apa pun.

Fahrudin Nasrulloh, cerpenis dan penggiat Komunitas Lembah Pring Jombang

NB : Ini adalah salah satu esai tanggapan atas esai Eko Darmoko "Pembunuh Cerpenis Adalah Koran" yang termuat di Surabaya Post.

@ Redaktur SARBI: Dody Kristianto

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post