Telah Terbit !

Yang sederhana, yang berserakan, yang tak diperhitungkan dan bertebaran di mana-mana, tetaplah harus dirayakan. Spesial SARBI edisi 8 di akhir tahun!

Segera Dapatkan !

Buku Puisi Karya KOMANG IRA PUSPITANINGSIH.

Toko Buku SARBI

Kumpulan buku bekas pilihan yang asik untuk dibaca dan dikoleksi dengan harga bersahabat.

Telah Terbit!

BULETIN TIKAR EDISI 02/2013 Diterbitkan oleh Komunitas Tikar Merah (KTM)

Dapatkan!

Buku Terbaru SARBIKITA Publishing Karya Heru Susanto

Blogroll

Wednesday, August 14, 2013

Sajak-Sajak Bunda Djibril Djuhra

 photo ilustrasibundajibrilcopycopy_zpsc73cc333.jpg
Karya Patch Work Ferdi Afrar

MAHAR!

kunikahi kau dengan mahar
malam telanjang
bulan retak, beserta isinya
berikut tanah, kerikil, pasir juga air

seperti itu pula kelak kusetubuhi kau
seperti menyetubuhi diriku dan baumu di dadaku
rendamlah malam pada matamu
biar cecah bulan
dan bekulah angin
biar kubelah tanah di dadamu

adalah kau sebagai pengantinku
di hempasan batu kali,
kikir, kain, pahat, juga peniti
kain dan deretan kaji, kulepas dari kandang nabi

kau pengantinku..
kawinlah denganku
kubuka gaunmu
lalu lentanglah dalam kehampaanku

KUCURI SAJAK DARI KATUP MATAMU, KEKASIH!

aku tersesat di ranjang ilalang
entah apa yang menyuburkan jalang 
dan sunyimu hilang

aku gagal mencuri tidurmu
padahal telah kuangkut mimpimu
dan rusakkan lubang kunci kamarmu
kau begitu rapi menyusun dengkurmu
nafasku terkelupas
tercampak di sprei dan lantai
berserak doa-doa mengendap langit
baiklah, biar kukutipi dan kubalut dalam jemari

tapi kembalilah dalam benam dadaku
dengan rumah yang dapurnya terbakar

kau menyugut, 
alamak! mata itu. 
aku selalu ingin menyelam dalam kedasaran yang kandas rindu
biar kita terka ruas senja
dalam gelas tuak
yang buihnya menggumpal doa bertelinga
yang diam dan tak punya mata

mari sayang, 
kita datangi malam yang tak pernah melambai
senyumlah pada ciumanku
kuingin kau melayang tanpa arah

Bunda Djibril Djuhra, lahir di Medan Alumnus
Universitas Panca Budi. Sekarang tinggal dan
bekerja di kampung halamannya.

Dimuat Lembar Sastra SARBI edisi #4

Puisi-Puisi I Gusti Putu Bawa Samar Gantang

 photo KaryaFrancisTowne_1739-1816_berjudulLakeofComotahun1781MediumInkandwatercolouronpaper_Dimensi_154x210mm_Koleksi_Tatecopy_zps62004f3b.jpg
Karya Francis Towne (1739-1816) Berjudul: Lake of Como Tahun1781. Medium: Ink and watercolour on paper. Dimensi_154 x 210 mm. Koleksi: Tate


Padang Kucium Aromamu
Aroma pantun, syair, talibun
Aroma gurindam, sajak-sajak Melayu
Aroma soneta Nusantara
Aroma kisah-kisah permai
Aroma cerpen, novel, roman sejati
Aroma masakan enak, gurih, renyah
Aroma panorama indah, udara segar nyaman
Aroma rumah gadang
Aroma tari piring
Aroma asah intuisi
Aroma matahari simponi burung pagi

Tabanan, Senin, 22 Agustus 2011

Padang Biru Seribu Aura, Aurora Nusantara
Padang aura purbani Melayu Austronesia
Aurora budaya Nusantara
Dunia pustaka purba
Anggun bahasa, santun bicara
Negara seribu satu kisah
Gunung, bukit, taman bestari

Dahulu di pesisir barat pulau Sumatera
Berdirilah kerajaan Pagaruyung
Semula ibu kotanya Bukittinggi
Kini Padang berseri

Pukau danau Singkarak, Maninjau
Gemilang danau Talang, Diatas dan Dibawah
Jadi hulu sungai Siak, Rokan
Indragiri, Kampar dan Batanghari
Padang bersulam gunung Talaman
Bersalam gunung Marapi, Sago, Singgalang
Bersopan gunung Tandikat, Talang, Pasaman
Beramah gunung Kalabu, Rasan, Mande Rubiah
Beranggun gunung Tambin dan Ambun

Padang berpagar taman sorga
Taman Nasional Siberut di pulau Siberut
Taman Nasional Kerinci Sebelat
Taman Raya Bung Hatta
Padang berpermaikan Cagar Alam Rimbo Panti
Lembah Anai, Batang Palupuh
Lembah Harau, Beringin Sakti
Padang beramu batu bara, batu besi, batu galena
Beruah timah hitam, seng, mangan, emas, semen
Padang damai Ngarai Sianok
Elok jalan kelak kelok sembilan

Padang berlanggam suku dan ras beragam tuju satu jiwa
Minangkabau, Batak, Mandailing
Mentawai, Tionghoa, Tamil, Nias, Jawa
Beragam bahasa ibu : Batak, Melayu, Mentawai
Bhinneka agama : Islam, Kristen, Hindu, Budha
Ika toleransi santi, damai, permai
Adi Wali Nagari, Anak Nagari, Adat Nagari
Ada Alim Ulama, Cadiak Pandai, Niniak Mamak
Ada Balairung, Sari Nagari, Rumah Gadang
Ada musik Minangkabau, Salung, Bansi
                   Talempong, Rabab, Gandang Tabuik
Ada tarian Pasambahan, Piring, Payung
                   Indan, Randai, Turuk Langgai
Ada flora Rafflesia Arnoldi
Ada fauna harimau Sumatera
                   Siamang, tapir, rusa beruang
                   Beribu burung dan kupu-kupu
Ada kuliner Padang, enak awet berpekan-pekan
                   Rendang, dendeng, balado
                   Itiak lado mudo
                   Sate dan soto Padang
Adalah Padang
Adalah Padang
Padang biru seribu aura, aurora Nusantara

Tabanan, Kamis, 15 September 2011

Leak Jagat
Ong , Ang Ung Mang Ah
Aku leak jagat
Buru waktu ruang kelabu
Kabut asap menyatu
Beradat tikus
Berbudaya belut
Berhukum bajul bunting
Berhakim bergajul kulit kentang
Ah ha ha ha ha ha ha ha ah !
Biarlah prajurit angin terjaring musim
Disiram minyak kelapa sawit
Wangi seksi Mesuji
Gurih manis cantik Jambi
Aroma illegal logging
Jubah emas Papua, Bima
Aura tikus sulap uang jadi Tuhan
Tuhan jadi hantu
Hantu jadi aurora segala tipu daya
Hantui kebenaran dan keadilan
Jadi hukum rimba agama
Bakar cinta kasih sayang
Jadi abu bencana
Tikam tanah purba
Jadi lumpur neraka Lapindo
Biarlah gunung meletus
Gempa gonjang ganjing
Tanah bongsor banjir longsor
Laut lampar garang
Hutan gundul lancing
Anjing bingung berkalung tulang
Aaaaah !
Aku leak jagat
Biang segala bencana
Berwujud angsa hitam
Atau tikus belang berekor panjang
Atau bajul bunting berkelamin ganda
Atau kucing putih bersayap garuda
Atau babi ngepet berwujud nabi
Atau tuyul, bajang, genderewo, memedi
Atau blorong, bhuto hijo, samar gamang
Atau malih warna berwujud seribu rupa
Seribu karakter durjana
Seribu tipu daya
Aaaaah !
Aku leak jagat
Bisa protagonis
Bisa antagonis
Bisa tetragonis
Bisa basa basi bisu
Basuh diri mandi api
Hitung ruang waktu beranjang uang
Bertuhan gamang
Ya aku leak jagat
Sri Nararya Ratu Raja Prabu Nata Narendra
Ah ha ha ha ha ha ha ha ah !
Api geni aku api
Geni putih di jantung
Geni merah di hati
Geni kuning di nyali
Geni ireng di paru-paru
Geni para bhuta di jeroan
Keluar dari ubunku
Melesat melayang di angkasa
Bara lima warna rupaku
Bara sinar jagat
Bergulung bergunung api mengiringiku
Api leak, desti, teluh, tranjana
Bhuta pisaca, raksasa, danawa
Bhuta kala dengen
Merambah jagat
Bumi mandi api
Rep pulas sirep pada menyembahku
Sng sng sng sssr
Sembah aku leak jagat
Sembah aku sembah
Bssr bssr bsssr
Melayang di belantara awan
Biyur biyur biyur
Berenang antara bintang bintang
Melesat turun ke bumi
Geseng bakar geseng
Bakar kafe maksiat
Bakar AIDS dan HIV jagat
Bakar narkoba laknat
Bakar bromocorah illegal logging kualat
Bakar koruptor murtad
Bakar makelar kasus bajingan
Bakar sundel tanah
sundel air
sundel angin
sundel angan
Bakar tikus ireng
angsa ireng
bajul ireng
Ya ireng ya selem ya hitam
Ya kegelapan
Ya ya ya ya ya
Ong, aku leak jagat
Sri Nararya Ratu Raja Prabu Nata Narendra
Ratu jing ratu leak ningrat
Leak hitam, putih, abu-abu
Leak merah, kuning, biru
Leak oranye, hijau, ungu
Ong, Ang Ung Mang Ah
Aku juga Sang Hyang Sukla Wisesa
Sang Hyang Ardha Candra
Mengendara Kala Rahu
Mahkotaku putih cemerlang
Jubahku putih cemerlang
Sorot mataku Sang Hyang Cintya
Bakar geseng bakar
Leak geseng
Banaspati Raja geseng
Dating pergi geseng
Mandi api mandi
Api geni api
Api leak jagat
Ah ha ha ha ha ha ha ha ah !
Aaaaaaaaaaaaah !

(Tabanan, Senin, 23 Januari 2012

Wuku Sungsang, Sasih Kapitu)


 I Gusti Putu Bawa Samar Gantang, lahir di Tabanan, 27 September 1949. Bekerja sebagai guru. Tinggal di Jalan Kenanga No. 7 Tabanan, Bali. Pada tahun 2012 diundang membaca puisi pada ajang Forum Penyair Internasional Indonesia 2012 : What is Poetry?

Redaktur SARBI: Dody Kristianto

Tuesday, August 13, 2013

Gingsul

 photo gingsulcopy_zps8dc9c817.jpg
Karya Deni Dessastra, a.k.a Doeasembilanpro

Cerpen Salamet Wahedi

“Dokter, sebelum dokter memeriksa gigi saya. Saya ingin mengutarakan duduk persoalan yang saya hadapi. Seperti kata dokter, dua bulan lalu, saat saya memutuskan mencabut gigi saya, saya sebenarnya tidak ingin mengutak-atik gigi saya. Seperti kata dokter pula, saya sebenarnya tidak ingin membuang satu-satunya barang saya yang paling berharga. Saya selalu teringat kata-kata dokter, selalu mengandaikan hidup dengan kata-kata dokter. Dalam hidup kita harus memiliki ‘harga’. Harus berharga”
Pagi ini, 06.00, sebelum dentang jam kerja berseru di setiap kepala, Evi Joe seperti ingin menumpahkan segala isi kepalanya di meja dokter Zopick. Evi Joe, pasien nomor antri lima. Nomor antri terakhir pasien praktik pribadi Dokter Zopick sebelum berangkat ke rumah sakit. Rumah dokter Zopick bertemu dengan semua orang dari semua lapisan.
Evi Joe, dara yang duapuluh empat tahun lalu tangisnya pecah di sebuah rumah sakit. Tangis yang lebih muda kira-kira dua tahun dibanding tangis dokter Zopick. Joe tumbuh kembang di sebuah keluarga sederhana. Keluarga yang pagi-pagi sudah harus menyela dingin embun dan udara bukit Padike. Keluarga yang bersetia dengan lenguh kerbau. Dengan arit. Dengan keranjang. Dengan rumputan yang segar.
Tapi tidak dengan Joe. Ia tidak ingin mencecap dingin embun. Ia tidak ingin bersetia dengan ritus lereng bukit Padike. Ritus yang menyanggulkan hidup pada perjalanan berangkat-pagi-pulang-sore hanya demi selenguh kerbau. Ritus Sisiphus yang ketika mendongakkan kepala hanya kesederhanaan yang paling purna membayang.
Setelah lulus SMP, setelah usia muda mulai diintai pernikahan pedesaan, Joe memutuskan melanjutkan sekolah. Joe, yang tumbuh sebagai gadis belia, tumbuh dengan sederhana. Ia hanya ingin sekolah ke jenjang yang paling tinggi. Jenjang sekolah yang tidak akan lagi memedulikan atau mempermasalahkan penampilannya. Joe, tidak seperti temannya, tidak dikaruniai wajah yang wah. Bentuk tubuh yang aduhai. Atau suara solek yang membangkitkan sejuta cerita dan gairah.

***
“Masalah apa yang Anda hadapi? Sehingga Anda bolak-balik ke sini hanya memeriksakan gigi yang menurut saya sudah wajar. Gigi anda sungguh bagus. Dapat memperindah senyum Anda”, setengah menggoda setengah kesal, Dokter Zopick menanggapi cerita pasien terakhirnya pagi ini. Cerita yang seolah membentang seribu rupa kesibukan. Bermacam kebisingan. Sedang jam menunjuk pukul 06:15.
“Gigi saya sebenarnya tidak bermasalah. Saya sangat bersyukur dikaruniai gigi seperti ini. Tapi gigi saya yang gingsul ini, yang kata dokter bisa menambah harga diri saya, ternyata menimbulkan masalah. Membuat orang-orang yang melihat saya, jadi gelisah. Mereka gelisah. Lebih tepatnya sering bergairah”
Kali pertama orang jatuh cinta pada Joe, adalah ketika Joe duduk di kelas 2 SMA. Adalah Ahmad Mubassir, teman sekelasnya, orang yang pertama mengungkapkan kekagumannya pada keistimewaan gigi gingsul Joe. Waktu itu, Joe dan teman-temannya baru usai mengikuti mata pelajaran olahraga. Lari-lari kecil dan jalan jarak jauh.
“Joe, ke kantin yuk”, seperti biasa, Mubassir selalu mengajak Joe makan bareng. Joe selalu tidak punya alasan untuk menolak. Joe selalu sendirian. Tapi kali ini Joe merasakan ajakan Mubassir tidak seperti biasanya. Nada suara Mubassir menyiratkan hawa yang membuat dada Joe bergetar.
“Joe”, setengah ragu, sambil melahap dua helai mie ayam, dan dengan raut yang memancar rona kemalu-maluan, Mubassir menatap mata Joe. Ia seolah-olah sedang mencari kata-kata yang pas, mengulur waktu hingga saatnya tiba. “Joe aku suka kamu Joe” setengah tersedak, Joe membalas tatapan Mubassir. Tapi cuma sebentar. Joe buru-buru berpikir. Mencar-cari alasan apakah yang membuat Mubassir nekad. Nekad, sebab pilihan ini, menurut Joe, di luar kewajaran anak-anak yang jatuh cinta. Joe dalam hitungan detik, seolah masih ingin menyadarkan diri, bahwa tak ada yang istimewa dari penampilannya. Joe, juga ingin menyadarkan Mubassir, tidak salahkah ia mengucapkan kata-kata yang ‘sakral’, melegenda dan bahkan memenuhi setiap cerita besar anak manusia. Joe sekali lagi ingin memastikan bahwa Mubassir lagi bergurau.
Tapi sayang Mubassir tidak bergurau. “Joe aku serius. Kalau kau tanya kenapa aku suka kamu, karena kau bergingsul. Gingsulmu yang telah membuatku kepincut

***
“Apakah karena cinta teman Anda, Anda gelisah dan merasa bersalah dengan gigi Anda? Sehingga Anda mencabut gigi gingsul Anda?”, dokter Zopick membetulkan letak kaca-matanya. Tangannya meraih ballpaint dan menuliskan beberapa keterangan Joe yang dianggap perlu. Nama lengkap Joe. Usia Joe. Juga tidak lupa alamat lengkap Joe.
Mendengar pertanyaaan yang dilempar dengan nada menggoda dan bercanda, Joe agak sedikit tersipu. Wajahnya sejenak merona. Tapi buru-buru ditepis Joe dengan senyum menidakkan.
Setelah lulus SMA, Joe benar-benar sadar bahwa Mubassir memang suka padanya. Mubassir melamar Joe untuk menjalin hubungan yang diikat dengan tali kasih. Hubungan yang direstui oleh kedua orang tua terkasih. Tapi Joe menolaknya dengan halus. Joe masih bingung. Sebab selain Mubassir, ternyata sudah banyak orang-orang yang bisik-bisik ke orang tuanya. Dengan alasan melanjutkan sekolah, Joe meminta waktu untuk hidup sebagai remaja sederhana.
Tapi sayang, untung tak dapat dikejar, malang tak dapat ditolak. Keputusan Joe menolak Mubassir, ternyata seperti tombol nyala bom waktu. Dalam hitungan menit siap meledak. Tersiarlah kabar Joe menolak pinangan Mubassir. Meledaklah bom watu itu. Orang-orang yang selama ini sembunyi-sembunyi mencintai Joe, atau enggan mendekati Joe karena sungkan pada Mubassir, anak kepala desa Padike, mulai menampakkan diri. Bahkan tak jarang mereka mulai berdebat tentang siapa yang bisa meluluhkan hati Joe. Bisa mendapatkan cinta Joe. Bisa menikmati gigi gingsul Joe seutuhnya.
Kaum lelaki Desa Padike; para pemuda, orang yang sduah beristri dan jenis lelaki lainnya semisal duda; mulai ramai memperbincangkan Joe. Mereka mulai menimbang kekurangan dan kelebihan Joe. Mengukur kekuatan mendapatkan Joe. Atau bahkan terang-terangan melakukan lobi untuk saling menjinakkan. Sehingga bermacam-macamlah rupa orang-orang yang mencintai Joe. Ada yang terang-terangan mengakui dan menyebut Joe  sebagi pujaan hati. Joe pemilik gigi gingsul yang melukai hati. Juga ada yang masih sembunyi-sembunyi mengakui keunikan gigi gingsul Joe.
Setiap hari, orag-orang pecinta Joe terus mendebatkan Joe. Tiada henti mereka mencari dan mengurai jejak-rekam hidup Joe. Maka tidak heranlah, kalau suatu waktu mereka terpilih sebagai anggota dewan, akan berputar-putar menyelesaikan suatu masalah. Mereka akan hadir sebagai empu kata-kata. Sebagai generasi bangsa yang malas kerja.
Joe resah. Joe gelisah. Joe juga merasa bersalah. Joe akhirnya mencabut gigi gingsulnya untuk mengakhiri masalah.

***
“Keperluan Anda sekarang? Ingin mencabut gigi lagi?”, dokter Zopick memastikan keperluan pasien terakhirnya. Pasien yang dua bulan lalu, membuatnya melemparkan pertanyaan-pertanyaan gelisah dan menggoda. Sedang jam sudah menunjuk pukul 06: 45.
“Itulah masalahnya Dokter. Saya ke sini masih bingung. Saya tidak tahu mesti berbuat apa-apa”, Joe tampak gelisah. Rasa bersalah begitu membuncah. “Setelah saya cabut gigi gingsul saya, orang-orang, yang konon katanya mencintai saya, jadi marah. Saya bingung dengan tetangga saya. Dengan masyarakat desa saya”.
“Lantas?”
“Saya minta pendapat Dokter. Apa yang sebaiknya saya lakukan? Atau bagaimana saya mesti bersikap dan mengambil keputusan? Atau … Saya bingung bagaimana cara menyelesaikan masalah ini. Tolong beri saya saran Dokter?”
“Lantas?”
“Menurut dokter, saya harus bagaimana?”
“Saya hanya seorang dokter gigi”
“Lantas?”
“Anda bingung dengan masyarakat Anda?
“Ya. Lantas?”
“Bagaimana kalau Anda jadi istri saya?” dokter Zopick benar-benar membetulkan letak kaca-matanya. Ia menatap lurus ke mata Joe yang berkaca-kaca. Joe tak bisa berkata ‘lantas’ dengan tanda baca lagi.
Sedang jam menunjuk pukul 06:59. Pukul untuk berangkat kerja. Dan deru mobil di depan rumah dokter Zopick, seolah ingin memastikan pagi yang tidak biasa. Pagi yang membuat Joe tambah gelisah.

Lidahwetan, 2010

Salamet Wahedi, lahir di Sumenep, 3 Mei 1984. Alumnus Ponpes Mathali'ul Anwar.

Dimuat Lembar Sastra SARBI edisi #4, Agustus 2011

Nani Puspasari

 photo designanidotnet_vintagenanishopcopy_zpsdc8d9ee2.jpg
Doc. www.designani.com

Nani Puspasari, adalah graphic designer alumnus S2 Fine Art di Melbourne, Australia. Sejak tahun 2006 terjun dalam dunia freelancer dan selalu menikmati dirinya di beberapa pameran seni dan grafis. Nani bereksperimen dengan berbagai media seperti street art, illustration, craft dan painting. Salah satu karyanya itu ditampilkan di Lembar Sastra SARBI edisi #2.

 photo designanidotnet_progress-mushroomcopy_zpsa0274848.jpg

 photo designanidotnet_pillowcovercopy_zps4290fb01.jpg

 photo designani-yahoobook-950x442copy_zps9d521bf0.jpg


Koleksi karya yang lain dapat dijumpai di www.designani.com

Menolak Realisme, Merayakan Sejarah Mental

 photo coverpenggalisumursjaicopy_zpsb9807ce7.jpg
Doc. Blog S.Jai


Oleh S. Jai *

/1/
SAYA menciptakan masalah tersendiri, ketika membaca kumpulan cerpen Penggali Sumur karya Zaki Zubaidi.  Ini keputusan saya, karena sebagai pembaca, saya—sebagaimana Zaki Zubaidi—juga seorang pengarang. Apalagi Zaki Zubaidi seorang wartawan dan saya pernah cukup lama menjalani profesi yang sama, dan bahkan saat ini pun terkadang saya masih terjun dalam kegiatan jurnalistik.

Saya pilih cara pembacaan seperti itu karena saya khawatir tidak ada masalah dalam diri saya karena alasan-alasan kemiripan latar belakang ini. Semisal dalam benak saya sebelum membaca, telah muncul bahwa cerpen-cerpen Zaki Zubaidi ini cerpen media massa—karena memang informasi dari Mashuri (editor buku ini), keseluruhannya telah dimuat di media.

Begitulah saya menganggap hubungan cerita pendek dengan media, sudah tak ada masalah. Alih-alih persoalannya berkutat jumlah karakter, aktualitas, seringkali bercorak realisme, atau tidak mengutamakan satu bentuk karya, menghibur dan mencerahkan, bahasa prosa dsb. Toh kini banyak sekali media. Jika tak sesuai media yang satu, bisa dikirim ke media lain, atau bila perlu media teman kita sendiri, atau bahkan media buatan kita sendiri.

Namun demikian, meski sama-sama sebagai pengarang dan punya latar jurnalistik saya musti tetap membaca kritis karya Zaki Zubaidi. Sebab itu, semula saya coba acak membaca setiap judul cerpen dalam buku ini—judul pertama (hal 1), disusul tengah (hal 31), dan judul terakhir (hal 93).  Berikutnya saya lantas mencoba membacanya secara berurutan sejak judul pertama sampai judul paling buncit.

Setelah itu saya mengurutkan kronologi penulisan cerpen ini sesuai dengan angka tahun penulisan Zaki Zubaidi. Cerpen Lurah (1998). Bapak  (1998), Penipuan  (1999), Bak Air dalam Kamar Tidur (2001), Jam Tangan Tuan Presiden (2002), Ledak  (2002),  Penggali Sumur  (2003), Badai (2004), Lelaki di Tiang Gantungan (2005),  Pak  Mandor (2006)  Sang Pembunuh  (2008),  Meong (2011).

Dengan cara itu saya mendapati masalah pada buku Penggali Sumur ini yang perlu saya kritisi mengalir lebih banyak dari yang saya duga. Walau demikian saya menyambut gembira ‘masalah’ ini kemudian sebagai pembaca kritis, sesama pengarang saya menyusunnya dalam catatan-catatan kesan dan bukan mencoba menggali atau mencari pesan di dalamnya.

Terus terang, pesan saya abaikan. Sehingga seperti inilah catatan yang saya buat atas kumpulan cerpen Penggali Sumur karya Zaki Zubaidi.

/2/
MENGABAIKAN pesan cerita-cerita Zaki Zubaidi, berbuah kompensasi yang sangat berat bagi saya. Banyak sekali pertanyaan. Mula awal cover buku Penggali Sumur dengan lukisan sejumlah pria berjas yang dibenamkan kepalanya pada sebuah lapangan—lebih cocok disebut ilustrasi dari pikiran-pikiran absurd atau lukisan dari alam pikiran surealisme.

Resiko lain dengan mengabaikan pesan, sekaligus mengunduh kesan memunculkan banyak sekali nama pengarang yang berebut masuk dalam benak saya saat membaca cerpen-cerpen Zaki Zubaidi. Sejak O Henry, Stainbeck, Kuntowijoyo, Mochtar Lubis, Ahmad Tohari, Sony Karsono, Seno Gumira, Putu Wijaya, Hamsad Rangkuti, bahkan Danarto atau Idrus.

Namun demikian, sekali lagi ini semata-mata persoalan saya yang memilih metode pembacaan tertentu—dan usaha untuk menciptakan masalah dalam pembacaan saya.  Munculnya, nama-nama besar dalam sastra Indonesia di kepala saya ini, justru menjadi daya tarik pembacaan saya pada cerita-cerita Zaki Zubaidi. Bermula dari pertanyaan sederhana; realitas apa yang ditawarkan dan dibangun Zaki Zubaidi dibandingkan para pendahulunya?

Hemat saya, sudut pandang penceritaan ‘dia’ dan ‘aku’ (saya) dalam cerita-cerita buku Penggali Sumur ini berpengaruh pada prespektif Zaki Zubaidi terhadap corak realisme dalam karyanya. Pada cerpen-cerpen dengan point of view ‘diaan’—Lurah, Primas, Jam Tangan Tuan Presiden, Badai, Pak Mandor, Meong—realisme kerap kali disampaikan dengan cara yang tidak disiplin.

Zaki Zubaidi, wartawan yang jebolan sastra itu, memahami realisme dari fakta-fakta sosial dalam 5 W + 1 H (peristiwa, sebab, akibat, manusia, tempat, waktu dan kronologi kejadian). Namun ia, hanya disiplin pada bahwa subtansi dari cerita pendek adalah tokoh dan penokohan. Karena itulah realisme yang didekati dengan sangat baik melalui sudut pandang ‘diaan’ itu dihidupkan dengan pijar imajinasi yang keluar dari frame realisme—yakni cenderung memasuki wilayah psikologi tokoh.

Dengan kata lain, pada cerpen-cerpen realis itu Zaki Zubaidi melompat pagar untuk membuktikan tokoh sedikit lebih penting ketimbang peristiwa nyata.

Cerpen Lurah (1998) berkisah tentang Samijo, lurah yang pada masa kecilnya disodomi guru SMPnya.  Diwarnai kemunculan arbitrer (sewenang-wenang) tokoh Sutaji. Kisah cintanya dengan Joko yang mendorongnya tetap mengajukan diri sebagai lurah, boleh jadi sesungguhnya agak sensitif.

Cerpen Primas (1999) bagi saya ini cerita anak—setidaknya cerita tentang anak. Kisah anak yang mendapat burung gereja yang mati dan kemudian menguburkannya. Pertanyaan tentang kematian oleh anak itu menjadi kenangan paling memilukan ibunya, menyusul kematian putranya itu akibat kebakaran rumah yang bermula dari usaha pangkalan bensin miliknya.

Cerpen Jam Tangan Tuan Presiden (2002). Kisah Tuan Presiden yang jatuh cinta lagi pada perempuan dari negeri tetangga yang tengah terlibat perang dingin akibat rebutan perbatasan.  Cerpen Badai (2004) Kisah jimad, pengamen yang terus menyanyikan lagu-lagu dan syairnya, sementara orang sibuk karena percaya badai akan menyerang kota. Bahkan orang-orang itu menyakini kiamat bakal tiba. Namun bagi Jimat kehidupannya hanyalah berkutat masalah kopi, supermi, rokok dan petikan gitarnya. Ketika badai betul-betul datang, laki-laki itu justru memilih tidur.

Cerpen Pak  Mandor, (2006)  kisah pria penderita asma yang pelit dan berjumpa dengan pengemis yang minta uang receh seribu. Cerita ini mengingatkan saya pada cerpen Ahmad Tohari—sepasang mata yang enak dipandang, atau kenakalan cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti.

Cerpen Meong (2011), Kisah pengusaha sepatu yang bangkrut, Rojali. Lalu buka warung belut goreng. Syukuran kepala belut goreng. Cerita ini melemparkan ingatan saya pada cerita Kuntowijoyo—anjinganjing menyerbu kuburan.

Jelas Zaki Zubaidi bukan pemuja realisme—sebaikbaik cerpen realismenya yang berhasil dalam Cerpen Primas (1999). Menurut saya ini cerpen ini sangat berhasil sebagai cerita bercorak realisme justru dari sudut pandang anak. Cerpen ini berhasil sebagai cerpen realisme karena ada pesan moral yang sengaja tidak saya baca di situ. Meski demikian ia cenderung menampilkan gaya artistik dan masalah kejiwaan (sosiatri) ketimbang kemasyarakatannya.

Bahkan cerpen Jam Tangan untuk Presiden lebih mirip sketsa ketimbang cerpen realisme. Mirip gabungan sketsa dan imajinasi. Kisah tentang perkutut yang terlepas, pada cerpen itu sebetulnya lebih menarik. Ada sketsa perkutut yang diganti dengan vas bunga.

/3/
SATU-SATUNYA cerpen dari buku ini dengan sudut pandang ‘aku’ yang masih percaya dan berkutat pada realisme sastra adalah cerpen Penggali Sumur  (2003),
bertutur perihal tokoh ‘Aku’ seorang perempuan yang diwarisi pekerjaan sebagai penggali sumur dari kakeknya. Namun seiring perjalanan waktu, sukses sebagai penggali sumur diprotes pamannya Wak Huda, karena warga banyak yang pilih melihat pantat perempuan penggali sumur ketimbang sholat dhuhur dan ashar di mushalanya. Meski—seperti halnya, pada cerpen Primas yang bercorak realisme—cerpen ini berani beresiko memasuki wilayah sosiatri ketimbang peristiwanya. Dengan kata lain laki-laki yang melihat pantat perempuan bukan masalah realisme tapi masalah kejiwaan.

Memang, saya melihat masalah kejiwaan dalam cerpen-cerpen Zaki Zubaidi ini begitu kuat dorongannya untuk keluar dari frame realisme berkat sudut pandang ‘aku’ (saya). Dari ketiga belas cerpen, ada tujuh cerpen yang demikian. Cerpen Bapak, Penipuan, Bak Air dalam Kamar Tidur, Ledak, Penggali Sumur, Lelaki di Tiang Gantungan, dan Sang Pembunuh.

Cerpen Bapak  (1998) menceritakan tokoh ‘Aku’ dan kakaknya, Halimah yang tinggal bersama seorang bapaknya yang telah pikun. Menganggap Halimah seorang pelacur, dan bahkan membunuh perempuan anaknya itu untuk hidangan sarapan pagi. Mengingatkan sejumlah cerpen Sony Karsono, sentimentalisme calon mayat, gerhana, dan insomnia.  Sayang ending cerita ini membingungkan—karena dunia prosa yang dibangun Zaki Zubaidi kembali menjadi puisi.

Cerpen Penipuan  (1999) bertutur tentang tokoh ‘Saya’ dan istrinya, Aryanti. Kisah pertemuan saya dengan sahabat lama, Sunaryo yang kemudian hanyalah memanen kecurigaan dalam keluarga itu.  Cerita ini berkesan karena melibatkan pembaca ‘saya sependapat dengan Anda saya curiga melihat gelagatnya’ walau menurut saya kurang berhasil, dan ragu-ragu dari aspek psikologis. Apalagi tak ada kejutan sebagaimana cerita lain yang mengingatkan saya pada cerita-cerita O Henry.

Cerpen Bak Air dalam Kamar Tidur (2001) menceritakan tokoh ‘Saya’ yang dimasa kecilnya dimasukkan rumah sakit selama dua tahun oleh orangtuannya—hanya karena memasukkan bak air dalam kamar tidur dan berimajinasi menikmati kerinduannya pada hujan di dalamnya. Menurut saya cerita ini sempurna dalam melibatkan pembaca—teknik dan gaya yang sekarang banyak dicoba AS Laksana—bahkan kali ini Zaki Zubaidi mengaduknya dengan teknik monolog. Dikisahkan, kesukaan seorang anak membawa bak mandi ke dalam kamar dan merindukan hujan di sana itu terulang pada Bambang—anak dari tokoh ‘Saya.’ Kegetiran tokoh ‘Saya’ yang tak ingin menyaksikan anaknya dimasukkan rumah sakit sebagaimana masa kanaknya, berbuntut pembunuhan yang dilakukan tokoh ‘Saya’ pada anaknya itu.

 Cerpen Ledak  (2002) adalah kisah cinta ‘Aku’—teroris yang hendak meledakkan diri—dengan Andin,  bekas pelacur yang tobat.  Kisah cinta sang teroris menjadi menarik disitu, karena tidak berbaur dengan dogma agama, walau sang tokoh percaya pada surga, namun telah berkali tidur dengan para pelacur. Kisah cinta itu masih mengalir hingga semenit sebelum ‘pernikahan’. Dan pernikahan itu adalah upacara  bersama memasuki gerbang surga—mungkin meledakkan diri, mungkin juga upacara lainnya.  Teknik berceritanya, memikat. Mengingatkan saya pada cerpen-cerpen Sony Karsono atau Seno Gumira atau Putu Wijaya.

Cerpen Lelaki di Tiang Gantungan (2005)  bertutur tentang tokoh ‘Aku,’ wartawan yang berhasil menyeret terduga koruptor hingga tiang gantungan. Pergulatan batin tokoh Aku yang pada akhirnya keluar dari pekerjaannya karena ternyata ia hanyalah mengirim ke tiang gantungan seorang yang dikorbankan saja oleh koruptor yang sebenarnya.   Pada cerpen ini, munculnya tokoh yang bersifat arbitrer (sewenang-wenag) oleh pengarang tepat karena sekaligus sebagai kejutan untuk mendongkrak ide sentimentalisme pada kematian itu.

Cerpen Sang Pembunuh  (2008)  mengisahkan tokoh ‘Aku’ yang mendendam pada bapaknya karena telah meracun ibunya demi menikahi perempuan lain bernama Mira.  Suatu saat, ketika rumah sedang sepi Mira, ibu tiri tokoh saya ini mengajak ‘Aku’ bercinta. Hasrat bercinta Mira yang besar pada ‘Aku’ di kemudian hari menyebabkannya harus membunuh tokoh bapak. Terlebih karena Mira tahu ada dendam tokoh ‘Aku’ pada bapaknya. Cerita berujung tokoh ‘Aku’ yang menghuni penjara karena memutilasi Mira sehabis keduanya bercinta.

Dari ketujuh cerpen dengan sudut pandang narator ‘Aku’ ini, tiga diantaranya menyebut diri ‘Aku’ sebagai Ahmad. Dugaan saya, Ahmad ini boleh jadi adalah Ahmad Baihaqi—nama pena lain dari Zaki Zubaidi. Dan sebuah cerpen dengan tokoh wartawan. Artinya, saya hanya ingin mengatakan bagaimana ekspresi tokoh-tokoh cerita Zaki Zubaidi ini bergelut dan bergulat menjadi impresi-impresi dari dirinya selaku pengarang dengan segenap daya imajinasi, persepsi, interpretasi dan intuisinya.

Sekali lagi, jelas Zaki Zubaidi bukanlah pemuja corak realisme dan itu makin kuat impresi-impresinya melalui sudut pandang ‘aku’ dalam cerpen-cerpennya untuk memberontak realisme, sekalipun cerita bermula dari peristiwa realis dan ada pesan moral di situ. Dalam hal ini cerpen yang paling berhasil menurut hemat saya adalah  Bak Air dalam Kamar Tidur (2001) di samping Ledak (2002). Menyusul kemudian cerpen Bapak (1998). Ketiga cerpen ini saya katakan berhasil dalam hal menolak realisme. Boleh jadi satu dari ketiga cerpen ini adalah cerpen paling kuat dari temuan pergulatan pencarian estetik dan artistik (gagasan dan gaya serta teknik penceritaan) yang selama ini digumuli Zaki Zubaidi.

/4/
DUGAAN saya sukses Zaki Zubaidi menolak realisme itu lebih karena keberaniannya memasuki wilayah psikologi (imajinasi, persepsi, interpretasi, intuisi). Tentu saja, diantara keempat hal itu satu diantaranya ada yang paling menguasai proses kreatifnya.

Pada hemat saya, persepsilah yang menjadi kekuatan paling memikat dari cerita-cerita. Cara menulisnya yang sabar, yakin dengan kekuatan mental dan perasaannya. Saya curiga Zaki Zubaidi memiliki keadaan psikologis entah pengalaman masa lalu, fisik, mental serta emosional yang berpengaruh pada cara pandang dan penilaiannya pada peristiwa lingkungannya.

Persepsi pada hakekatnya merupakan proses kognitif (keyakinan akan pendapatnya) dan affect (kekuatan mental emosional dan perasaaannya) terhadap suatu soal atau lingkungan yang ditangkap oleh indra, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan dan penciuman.

Dunia wartawan, melatih diri untuk itu, namun ajang latihan paling efektif tentu adalah pengalaman. Keduanya, pengalaman maupun latihan disokong oleh imajinasinya, visinya, serta reaksi panca indranya.

Perhatian pada masalah psikologi lingkungannya dalam cerita-cerita Zaki Zubaidi, menggerakan impresinya cenderung melukiskan ‘keburukan-keburukan’ (lebih tepatnya keanehan) dalam kehidupan tanpa mempedulikan norma susila atau etika. Tentu saja, pilihan itu diperkuat dengan sebagian besar ketidakpeduliannya atas itu diletakkan pada kelompok masyarakat miskin—kehidupan yang tidak pernah ada puisi di sana.  Cerita Surabaya milik Idrus, mengingatkan pada situasi ini. 

Laku kreatif pengarang yang memilih jalan sunyi demi merebut puncak-puncak integritas individualnya menemukan ruang dan waktunya ketika menyadari pada visi susastranya—sebagaimana bahasa Chaldun “Jiwa menatap kilatan dari berbagai citra realitas. Melalui tatapan itu jiwa mendapatkan pengetahuan mengenai hal-hal mendatang yang ia rindukan.”

Zaki Zubaidi memiliki tradisi bercengkerama dengan realitas, peristiwa, berita, sekaligus ia mengambil jarak dengannya. Menjadi wartawan kriminal adalah persoalan yang sama sekali lain ketika menjadikan masalah interpersonal (orang lain adalah neraka—Sartre) sebagai masalah kreatif. Dengan kata lain, masalah interpersonal baginya sebagai masalah kreatif dan bukan masalah corak realisme, semisal maraknya peristiwa pembunuhan.

Namun demikian, kiranya pengarang Penggali Sumur ini bersepakat bahwa tradisi yang digeluti Zaki Zubaidi yang kemudian diambil jarak karenanya itu, adalah situasi krisis kemanusiaan—secara umum pada masalah moral,  kehilangan orientasi hidup bermakna, kerusakan lingkungan yang semakin parah, kekerasan, keserakahan dan secara khusus pada gangguan jiwa yang sering disebut skizofrenia.

Sekali lagi masalah interpersonal Zaki Zubaidi adalah masalah laku kreatif dan bukan corak realisme—apalagi memberikan pesan moral, karena sastra tak bisa mengambil alih tugas agamawan, psikiater atau hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan. Zaki Zubaidi punya tradisi menggumuli manusia yang secara ekstrem bisa dikategori abnormal, irrasional alias gila. Yaitu orang yang dalam definisi Kartono Mohamad (1989: 165) mengalami disintegrasi kepribadian dan maladjustment sosial berat, tidak mampu menyandarkan hubungan sosial dengan dunia luar bahkan terputus sama sekali dengan realitas hidup.

Terputusnya para pengidap skizofrenia ini dengan realitas hidup rupanya inhern dengan laku kreatif Zaki Zubaidi yang mengambil jarak dan menolak corak realisme. Keduanya tidak bertemu. Akan tetapi keduanya seakan ‘bersepakat’ pada dunia baru—dunia yang dibangun, dipercaya dan diyakini adanya dari keadaan mental tertentu.

Dengan kata lain, sebetulnya Zaki Zubaidi sedang mendiskripsikan secara kreatif fakta-fakta mental yang diketahuinya bermula dari fakta-fakta sosial (keadaan zaman, lingkungan masyarakat dan sistim kemasyarakatan) yang sepanjang menjalani kegiatan jurnalistiknya telah menjadi santapan rohani dan indrawinya.

Inilah yang saya kira paling berharga dari laku kreatif Zaki Zubaidi sebagai pengarang: merayakan fakta mental (ia sedang bekerja keras menuliskan kenyataannya sendiri). Namun demikian saya diingatkan kembali bahwa ‘harga’ dari sebuah laku kreatif musti disikapi secara hati-hati jika tidak ingin kembali terjatuh pada pesan dari sebuah karya sastra sebagaimana menentukan harga jual atau harga beli seekor sapi atau buku sastra.

Meski demikian menggali pesan—dalam arti mengisi absennya mentalitas dalam dunia nyata dari realitas sastra—kumpulan cerpen Penggali Sumur ini bukanlah sebuah kutukan. Karena itu, saya membayangkan pesan dari buku ini bisa dikaji lebih serius dari sisi sejarah mental. Setidaknya, saya pribadi bisa tertarik ke arah sana.

Saat ini saya belum menemukan referensi yang membetot perhatian saya pada hal ini—boleh jadi karena memang pembahasannya yang belum populer.  Saya hanya menjumpai Generalisasi fakta mental masyarakat dari Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Sartono Kartodirdjo itu.

Bahwa, fakta mental (mentifact) adalah keseluruhan dari tatanan mental yang berkembang dalam masyarakat pada suatu zaman menjadi penggerak sejarah yang meliputi konsep konsep, ide-ide, gagasan, paham, opini, semangat, ideologi, aspirasi dan sebagainya.

Meski demikian saya cukup berbahagia menemukan referensi mentifact sejarah lisan yang disusun Pramudya Ananta Toer, juga  John Rosa, Ayu Ratih dan Hilmar Farid itu. Mungkin nantinya saya bisa mulai dari sana untuk menelisik pesan Penggali Sumur Zaki Zubaidi ini.

Sampai detik ini saya masih menyakini kesamaan tugas sejarawan dan kritikus sastra (Barthes)—bukan menemukan makna rahasia dari sebuah karya, melainkan membangun pemahaman untuk zaman kita sendiri.

/5/
DENGAN model pembacaan seperti itu, sehingga sedikit banyak saya bisa memprediksi pergulatan dan pencarian gagasan estetis dan artistik Zaki Zubaidi dari waktu ke waktu. Pun pada kesempatan ujung tulisan ini, saya bisa mengkritiknya, meski secara implisit telah terungkap pada bagian sebelumnya.

Lebih tepatnya kali ini sebagai penegasan, yang menginspirasi tulisan ini ‘Menolak Realisme, Merayakan Sejarah Mental.’ 

Ketidakpedulian saya pada ada/tidaknya pesan cerpen-cerpen Zaki Zubaidi sepertinya ibarat bermula dari daya tarik sampiran pantun dan bukan pada isinya. Atau keengganan Sutardji Calzoum Bachri pada ide atau rumusan pikiran yang memberi arah apapun pada kesusastraan, apalagi ideologi.  Cerita Idrus, Surabaya, juga gagal didekati konsepsi angkatan 45 karena kejujurannya memasukkan segi-segi negative revolusi.

Entah ada atau tidak pesan dalam cerita Zaki Zubaidi saya tak peduli. Jikapun ada saya tak percaya, atas dasar itu. Sihir ungkapan kematian yang begitu enteng disampaikan Zaki Zubaidi dalam cerita-ceritanya, bukan berarti itu pesan moral ajakannya untuk berdamai dengan kematian. Demikian pula keindahan cinta atau kenyataan tak berarti ajaran untuk sayang pada dunia—apalagi menolak kematian.

Dalam sejarah sastra, pesan-pesan (moral) seperti itu memang menjadi gagasan dari sastra realisme. Termasuk realisme sosial. Sehingga, melalui pembacaan saya seperti ini, dengan penolakan seperti itu, saya lebih percaya pada laku kreatif—daya hidup pengarang menempatkan diri dalam suasana jiwa yang sunyi sepi dan terbuka menerima relativitas kebenaran—ketimbang berhibuk ria dengan pesan.

Pada saat mengekplorasi cerita realisme Zaki Zubaidi musti berperang dalam suasana pasang surut dengan persoalan sensitif, berekperimen ragu-ragu dalam melibatkan pembaca, mencuri sketsa imajis, tergoda pada bahasa puisi, simbolisme. Sepintas grafiknya naik turun dan puncaknya justru 1998-2002.

Sebaliknya, ekperimen-ekperimen itu semua untuk memberontak pada realisme  telah membuahkan tiga buah cerita yang spektakuler. Sebagai cerpen yang paling berhasil dalam bentuk dan isi. Dari ketiganya, saya kira cerpen Bak Air dalam Kamar Tidur (2001) adalah cerpen yang sangat orisinil khas gagasan estetik dan artistik Zaki Zubaidi terlebih memperlihatkan kesempurnaannya dengan teknik dan gaya melibatkan pembaca.

Tentunya, hal itu bukanlah temuan dari sebuah pergulatan pencarian estetik dan artistik yang sepele bagi Zaki Zubaidi sebagai seorang pengarang. Untuk selanjutnya, kita bersama-sama bisa menunggu, setelah psikologisme dan laku kreatif pengarang yang memilih jalan sunyi demi merebut puncak-puncak integritas individualnya, apa yang digumuli pengarang Zaki Zubaidi ini.[]


Surabaya, 6 Maret 2013
 
S. Jai adalah penulis cerpen, novel, naskah drama, dan esai. Salah satu novelnya adalah Tanah Api (LKiS, 2005)


Redaktur SARBI: Dody Kristianto

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post