Telah Terbit !

Yang sederhana, yang berserakan, yang tak diperhitungkan dan bertebaran di mana-mana, tetaplah harus dirayakan. Spesial SARBI edisi 8 di akhir tahun!

Segera Dapatkan !

Buku Puisi Karya KOMANG IRA PUSPITANINGSIH.

Toko Buku SARBI

Kumpulan buku bekas pilihan yang asik untuk dibaca dan dikoleksi dengan harga bersahabat.

Telah Terbit!

BULETIN TIKAR EDISI 02/2013 Diterbitkan oleh Komunitas Tikar Merah (KTM)

Dapatkan!

Buku Terbaru SARBIKITA Publishing Karya Heru Susanto

Blogroll

Monday, September 30, 2013

Monolog Kasir Kita (1)

 photo EdwardHopper_OfficeatNight1940_CollectionWalkerArtCenterMinneapolisGiftoftheTBWalkerFoundationGilbertMWalkerFund1948copy_zpsade16a0d.jpg  
Karya Edward Hopper. Berjudul: Office at Night. Tahun 1940. Koleksi: Walker Art Center, Minneapolis; Gift of the T.B. Walker Foundation, Gilbert M. Walker Fund, Tahun 1948.

karya Arifin C Noer

Catatan : monolog ini termasuk naskah yang sering dijadikan naskah wajib untuk perlombaan monolog tingkat SMA maupun perguruan tinggi. Salah satunya adalah ajang Peksiminal.
_____________________________________


Ruang tengah dari sebuah ruang yang cukup menyenangkan, buat suatu keluarga yang tidak begitu rakus. Lumayan keadaannya, sebab lumayan pula penghasilan si pemiliknya. Sebagai seorang kasir di sebuah kantor dagang yang lumayan pula besarnya. Kasir kita itu bernama Misbach Jazuli
Sandiwara ini ditulis khusus untuk latihan bermain. Sebab itu sangat sederhana sekali. Dan sangat kecil sekali. Dan sandiwara ini kita mulai pada suatu pagi. Mestinya pada suatu pagi itu ia sudah duduk dekat kasregisternya di kantornya, tapi pagi itu ia masih berada di ruang tengahnya, kelihatan lesu seperti wajahnya.
Tas sudah dijinjingnya dan ia sudah melangkah hendak pergi. Tapi urung lagi untuk yang kesekian kalinya. Dia bersiul sumbang untuk mengatasi kegelisahannya. Tapi tak berhasil.
Saudara-saudara yang terhormat. Sungguh sayang sekali, sandiwara yang saya mainkan ini sangat lemah sekali. Pengarangnya menerangkan bahwa kelemahannya, maksud saya kelemahan cerita ini disebabkan ia sendiri belum pernah mengalaminya; ini. Ya, betapa tidak saudara? Sangat susah.

Diletakkannya tasnya

Saya sangat susah sekali sebab istri saya sangat cantik sekali. Kecantikannya itulah yang menyebabkan saya jadi susah dan hampir gila. Sungguh mati, saudara. Dia sangat cantik sekali. Sangat jarang Tuhan menciptakan perempuan cantik. Disengaja. Sebab perempuan-perempuan jenis itu hanya menyusahkan dunia. Luar biasa, saudara. Bukan main cantiknya istri saya itu. Hampir-hampir saya sendiri tidak percaya bahwa dia itu istri saya.

Saya berani sumpah! Dulu sebelum dia menjadi istri saya tatkala saya bertemu pandang pertama kalinya disuatu pesta berkata saya dalam hati : maulah saya meyobek telinga kiri saya dan saya berikan padanya sebagai mas kawin kalau suatu saat nanti ia mau menjadi istri saya. Tuhan Maha Pemurah. Kemauan Tuhan selamanya sulit diterka. Sedikit banyak rupanya suka akan surpraise.

Buktinya? Meskipun telinga saya masih utuh, toh saya telah berumah tangga dengan Supraba selama lima tahun lebih.

Aduh cantiknya.
Saya berani mempertaruhkan kepala saya bahwa bidadari itu akan tetap bidadari walaupun ia telah melahirkan anak saya yang nomer dua, saya hampir tidak percaya pada apa yang saya lihat. Tubuh yang terbaring itu masih sedemikian utuhnya. Caaaaannnnttiiik.

Ah kata cantikpun tak dapat pula untuk menyebutkan keajaibannya. Cobalah. Seandainya suatu ketika gadis-gadis sekolah berkumpul dan istri saya berada diantara mereka, saya yakin, saudara-saudara pasti memilih istri saya, biarpun saudara tahu bahwa dia seorang janda.
Lesu.

Ya, saudara. Kami telah bercerai dua bulan lalu. Inilah kebodohan sejati dari seorang lelaki. Kalau saja amarah itu tak datang dalam kepala, tak mungkin saya akan sebodoh itu menceraikan perempuan ajaib itu.

Semua orang yang waras akan menyesali perbuatan saya, kecuali para koruptor, sebab mereka tak mampu lagi menyaksikan harmoni dalam hidup ini. Padahal harmoni adalah keindahan itu sendiri. Dan istri saya, harmonis dalam segala hal. Sempurna.

Menarik napas.

Bau parfumnya! Baunya! Seribu bunga sedap malam di kala malam, seribu melati di suatu pagi. Segar, segar!
Telepon berdering.

Itu dia! Sebentar (ragu-ragu) Selama seminggu ini setiap pagi ia selalu menelpon. Selalu ditanyakannya :”Sarapan apa kau, mas” Kemarin saya menjawab :”Nasi putih dengan goreng otak sapi”
Pagi ini saya akan menjawab .....

Mengangkat gagang telepon

Misbach Jazuli disini. Hallo? Hallo! Halloooo!

Meletakkan pesawat telepon

Salah sambung. Gilaa! Saya marah sekali. Penelpon itu tak tahu perasaan sama sekali.

Tiba-tiba
Oh ya! Jam berapa sekarang?

Gugup melihat arloji

Tepat! Delapan seperempat. Saya telah terlambat tiga perempat jam. Maaf saya harus ke kantor. Lain kali kita sambung cerita ini atau datanglah ke kantor saya, PT Dwi Warna di jalan Merdeka. Tanyakan saja disana nama saya, kasir Jazuli. Maaf. Sampai ketemu.
Melangkah cepat. Sampai di pintu sebentar ia ragu. Tapi kemudian ia terus juga.
Agak lama, kasir kita masuk lagi dengan lesu.

Mudah mudahan perdagangan internasional dan perdagangan nasional tidak terganggu meskipun hari ini saya telah memutuskan tidak masuk kantor.

Tidak, saudara! Saudara tidak bisa seenaknya mencap saya punya bakat pemalas. Saudara bisa bertanya kepada pak Sukandar kepala saya, tentang diri Misbah Jazuli.

Tentu pak Sukandar segera mencari kata-kata yang terbaik untuk menghormati kerajinan dan kecermatan saya. Kalau saudara mau percaya, hari inilah hari pertama saya membolos sejak enam tahun lebih saya bekerja di PT Dwi Warna.
Seperti saudara saksikan sendiri badan saya sedemikian lesunya, bukan? Tuhanku! Ya, hanya Tuhanlah yang tahu apa yang terjadi dalam diri saya. Saya rindu pada istri saya dan sedang ditimpa rasa penyesalan dan saya takut masuk kantor berhubung pertanggung jawaban keuangan....
Telepon berdering.
Sekarang pasti dia!
Menuju pesawat telepon

Saya sendiri tidak tahu kenapa selama seminggu ini ia selalu menelpon saya.
Apa mungkin ia mengajak rukun dan rujuk kembali...tak tahulah saya. Saya sendiri pun terus mengharap ia kembali dan, tapi tidak! Saya tak boleh menghina diri sendiri begitu bodoh! Bukan saya yang salah. Dia yang salah. Yang menyebabkan peristiwa perceraian ini bukan saya tapi dia. Dia yang salah. Sebab itu dia yang selayaknya minta maaf pada saya. Ya, dia harus minta maaf.

Toch saya laki-laki berharga : saya punya penghasilan yang cukup.
Laki-laki gampang saja menarik perempuan sekalipun sudah sepuluh kali beristri. Pandang perempuan dengan pasti, air muka disegarkan dengan sedikit senyum, dan suatu saat berpura-pura berpikir menimbang kecantikannya dan kemudian pandang lagi, dan pandang lagi, dan jangan sekali kali kasar, wajah lembut seperti waktu kita berdoa dan kalau perempuan itu menundukkan kepalanya berarti laso kita telah menjerat lehernya. Beres!

Nah, saya cukup punya martabat, bukan? Dan lagi dia yang salah! Ingat, dia yang salah. Nah, saudara tentu sudah tahu tentang sifat saya. Saya sombong seperti umumnya laki-laki dan kesombongan saya mungkin juga karena sedikit rasa rendah diri, tidak! Bukankah saya punya tampang tidak begitu jelek?

Telepon berdering lagi.

bersambung

_________________________________

Redaktur SARBI: Dody Kristianto

Tuhan dengan Suatu malam

 photo ArtistEricGill18821940TitleMaryMagdalenDate1926MediumWoodengravingonpaperDimensionsimage63x63mm_zpsd6114953.jpg
Karya Eric Gill (1882‑1940). Berjudul: Mary Magdalen. Tahun 1926. 
Media: Wood engraving on paper. Koleksi: Tate


Cerpen Motinggo Busye

“Maukah kau kawin dengan aku?”

“Kenapa?”

“Aku mau kawin,”

Perempuan ini ketawa sambil menuangkan teh ke cangkir.

Lelaki itu pergi.

“Maukah kau kawin dengan aku?”

“Edan!”

“Edan? Apa kau kira aku ini edan? Aku mengajak kau sungguh-sungguh!”

Dan ketika lelaki itu pergi dari warung itu, diikuti oleh mata perempuan itu sampai di balik penjual-penjual barang lowak, dan perempuan itu berkata kepada perempuan di sebelahnya bahwa lelaki itu sudah gila barangkali.

“Mau kau kawin dengan aku?”

“Tidak!”

Lelaki itu terdiam. Ia benar-benar terdiam mendengarnya. Dipandangnya perempuan itu. Perempuan itu membelah manggis dengan telapak tangannya dan menawarkannya kepadanya. Ia menolak.

“Aku tidak mau manggis. Aku mau kawin,” katanya.

“Makanlah manggis ini dulu. Nanti kita kawin,” jawab perempuan itu.

Dijamahnya manggis itu satu, tapi ia belum memakannya,

“Minum?” tanya perempuan itu.

“Tidak. Mau kau kubawa jalan-jalan? Aku punya uang banyak sekarang. Kemarin aku terima gaji.”

“Ke mana kita jalan-jalan?”

“Ke mana saja kamu suka. Asal jangan ke neraka, “ kata lelaki itu.

Perempuan itu ketawa dengan riahnya, kemudian meladeni seorang lagi dan kemudian memeriksa tas hijaunya, kemudian menepuk bahu lelaki itu, kemudian keluar dari warung itu.

“Naik becak?” tanya perempuan itu.

“Tidak usah. Jalan saja dulu. Kalau kau capek kita naik becak.”

Lalu mereka jalan.

“Aku pernah melihatmu dulu sering menyanyi di rel-rel kereta api,” kata lelaki itu.

“Ya, dekat Jembatan Kewek,” jawab perempuan itu sambil tertawa dan membetulkan selendangnya,

“Siapa namamu?”

“Maria,” jawab perempuan itu.

“Kau Katolik,” kata lelaki itu.

“Ya. Aku masih bisa sembahyang dan hafal lagu-lagu gereja. Kau mau mendengar aku menyanyikan lagu gereja?”

Lelaki itu terdiam. Dan perempuan itu berpikir sebentar lalu bertanya, “Kau juga Katolik, Mas?”

“Ya.”

“Siapa nama baptismu?” tanya perempuan itu.

“Ignatius,” jawab lelaki itu.

“Di mana kau tinggal?”

“Dekat palang sepur sana di utara,” jawab lelaki itu. Dan perempuan itu merasa riang.

“Barangkali namaku yang tepat Maria Magdalena. Aku ingat romo pastor menceritakan hal itu.

Waktu itu aku menyanyi gereja dekat gereja. Aku habis ditipu oleh lelaki yang tidak mau bayar. Lalu aku sedih. Aku pikir Tuhan tidak kasihan denganku lagi. Sehingga aku merasa ditipu, ditipu, ditipu oleh orang-orang. Lalu aku menyanyi. Nyanyi itu nyanyi missa,” perempuan itu ketawa serak, kemudian menepuk punggung lelaki itu, bertanya, “Kita ke mana?”

“Ke mana saja kamu suka,” kata lelaki itu.

“Tapi semua tempat-tempat itu sudah tutup. Kita bisa ditangkap polisi,” kata perempuan itu.

“Besok-besokkan bisa. Jadi gimana kata pastor itu. Maukah pastor itu menegurmu?” tanya lelaki itu lagi.

“Heran! Heran sekali! Pastor itu mau menegurku dan menanyakan di mana aku belajar lagu itu. Aku menjawab, lagu itu kupelajari di gereja. Aku ikut ibu ke gereja dan tiap missa menyanyi sampai pandai.”

“Rupa-rupanya,” lalu perempuan itu ketawa geli, “rupa-rupanya pastor itu heran kalau ada perempuan macamku ini bisa menyanyi. Tapi kemudian pastor itu bertanya, siapa namaku. Dan kujawab bahwa namaku Maria. Dan pastor itu menyuruhku insaf.
Aku bilang aku tidak bisa dapat pekerjaan. Dan pastor itu bercerita tentang Maria Magdalena. Kau kan tahu cerita itu bukan?

“Berapa umurmu?”

Lelaki itu menjawab, “Empat puluh lima.”

“Sudah tua juga kau ini,” kata perempuan itu.

“Memang,” jawab lelaki itu.

“Kau kira aku bisa dimaafkan Yesus seperti Maria Magdalena'?” tanya perempuan itu.

“Maria Magdalena! Itu cerita kudapatkan dari seorang kawanku yang juga Katolik. Dongeng itu akan kuingat selalu. Ya, kisah. di mana seorang pelacur akan dilempari batu oleh semua orang dan Yesus melarangnya,” kata lelaki itu.

Lalu orang-orang itu berkata, “Bunuhlah wanita jalang itu. Ia wanita berdosa. Lempari dengan batu-batu,” sambung perempuan itu menyambungi cerita lelaki itu.

“Tapi Yesus bertanya: 'Apa kalian sudah bersih dari dosa? Benarkah begitu ceritanya?” tanya lelaki itu.

“Ya, ya. Kira-kira begitu. Lalu orang-orang itu menyadari, bahwa mereka pun orang-orang yang berdosa dan setelah dijelaskan Yesus mereka tak jadi melemparinya,” kata perempuan itu.

Kemudian perempuan itu bertanya, “Ke mana kita sekarang. Aku capek.”

“Kita naik becak.”

“Biarlah kita jalan saja,” kata perempuan itu lagi.

“Kau ini siapa?” tanya perempuan itu.

“Aku?”

“Ya. Kau!”

“Aku orang yang berdosa!” jawab lelaki itu.

“Aku khawatir tadi,” kata perempuan itu.

“Kenapa?”

Perempuan itu melepaskan nafasnya sambil ketawa dan mengebut-ngebut selendangnya. Kemudian berkata, “Kaukira kamu ini Yesus.”

Laki-laki itu ketawa. Tiba-tiba ia merasa benar-benar senang dengan perempuan itu.

“Kamu berasal dari mana? “tanya lelaki itu,

“Dari Muntilan,” jawab perempuan itu. “Di Muntilan ada gereja!”

“Aku barusan saja membunuh,” kata lelaki itu tiba. “Tapi bukan aku yang berbunuh-bunuhan. Tapi aku percaya, rohku telah membunuh mereka. Atau Tuhan telah membunuh mereka,” kata lelaki itu.
Perempuan itu terdiam. Lelaki itu terdiam pula. Kedua-duanya semakin terdiam. Tiba-tiba kedua-duanya sama mengingat Tuhan. Bila kedua-duanya sama mengingat Tuhan, kedua-duanya ingat pada masa kecilnya.

“Kamu mendongeng atau sungguh-sungguh?” tanya perempuan itu.

“Sungguh-sungguh,” kata lelaki itu.

“Nanti kau bisa ditangkap polisi. Apa polisi tidak tahu kejadian itu?” tanya perempuan itu.

“Barangkali besok polisi tahu.”

“Besok kau dicari polisi dan ditangkap,” kata perempuan itu.

Perempuan itu terdiam, Dalam terdiam ia ingat ayahnya.

“Ayahku setelah membunuh ibuku lalu tertangkap. Biarpun ayah kejam dan aku sayang padanya. Ayahku sayang padaku. Ibu yang jahat,” kata perempuan itu.

“Ayah dihukum sepuluh tahun. Mati di dalam penjara,” kata perempuan itu.

“Kenapa ibumu dibunuhnya?” tanya lelaki itu.

“Ibu berdosa,” kata perempuan itu.

“Kenapa?”

“Main-main dengan laki-laki,” kata perempuan itu.

“Istriku juga demikian. Rumah itu dekat jembatan dekat palang sepur. Aku selama ini bekerja sebagai tukang palang sepur. Sampai sore tadi aku masih malang sepur. Aku bekerja sampai pagi. Aku sudah tahu bahwa istriku main-main. Sudah tiga kali aku diamkan. Akhirnya hilang kesabaranku. Aku tahu lelaki itu masuk jam delapan dan pulang jam dua belas. Dan tadi, aku sudah tidak sabar lagi. Aku batuk-batuk keliling rumah ketika mereka berada di rumahku. Laki-laki itu rupanya tidak berani ke luar, Aku batuk-batuk kecil, Dekat sumur. Lalu aku batuk-batuk besar dekat pintu. Aku berkata keras-keras seperti bercakap-cakap dengan seseorang. Dan aku sendiri yang menjawabnya dengan suaraku: 'Kepung saja rumah ini', kataku seperti bercakap-cakap dengan seseorang. Lalu kukecilkan suaraku dan berkata seperti menjawab: 'Kamu bawa pisau?' Dan aku menjawab: 'Si Paidin bawa golok'. Dan dekat pohon-pohon pisang aku berseru: 'Masuk dari kakus, Paidin', Dan aku lari ke dekat pohon pisang, menjawab suaraku sendiri: 'Biar dulu. Kalau dia berani ke luar pintu kita bunuh saja'. Lalu aku lari ke dekat kamarku. Aku mendengar istriku dan laki-laki itu bertengkar. 'Kau larilah ke luar!' kata istriku. Laki-laki itu tidak berani 'Jangan ribut-ribut. Aku membawa pisau. Bisa kubunuh kau!' dan istriku menjawab: 'Coba kalau kau berani bunuh aku. Kau tidak punya tanggung jawab sebagai lelaki'. Lelaki itu mengancam lagi: 'Jangan berisik. Kucekik kau nanti'. Dan istriku berkata; 'Coba kalau berani. Kau yang kucekik'. istriku rupanya pintar berkelahi. Mereka bergulat. Akhirnya, akhirnya, kudengar dua-duanya merintih. Mereka dua-duanya rupa-rupanya saling bunuh-membunuh,” lelaki itu letih bercerita dan menarik nafas.

“Kedua-duanya mati?” tanya perempuan itu.

“Mati. Betul-betul mati.”

Perempuan itu kemudian berkata, “Kenapa kau lari?”

“Aku tidak lari. Aku jijik menginjak rumah itu. Sebab itu aku jalan-jalan. Aku mau menghirup udara. Sekarang giliran kawanku jaga palang sepur,” kata lelaki itu.

“Kau tidak sedih istrimu mati?”

'Tidak.”

“Aku memang pernah lihat kau jaga palang. Waktu itu kau lama-lamakan, sehingga orang-orang menggerutu menunggu palang terbuka,” kata perempuan itu.

“Aku suka sekali bikin lucu,” kata perempuan itu lagi.

Mereka kini telah berada di depan Gereja Bintaran.

“Tahu-tahu kita sudah sampai di Gereja Bintaran,” kata lelaki itu.

“Ke mana kita sekarang?” tanya perempuan itu.

“Masuk ke gereja. Sembahyang. Kau mau?”

“Aku malu. Pastor sedang tidur barangkali,” kata perempuan itu.

“Kita ketuk saja pintunya. Kita katakan kita mau sembahyang,”

“Tapi aku wanita jalang. Gereja akan kotor.”

“Ah, tak apa.”

Perempuan itu berdiri saja. Tapi tangannya kemudian menekan-nekan manggis.
“Kau mau manggis?” kata perempuan itu.

“Aku mau sembahyang,” kata lelaki itu.

“Sudah dua puluh tahun aku tidak masuk-masuk gereja,” kata lelaki itu.

“Aku mau pulang,” kata perempuan itu. “Kau punya uang buat becak aku ke pasar? Aku tadi ada janji sama seorang lelaki,” kata perempuan itu lagi.

“Marilah masuk. Yesus telah memaafkan Maria Magdalena. Kenapa kau takut masuk?”
Perempuan itu kemudian berkata, “Sekarang tidak ada lagi orang yang seperti Yesus yang mau memaafkan Maria Magdalena.”

“Ada!” kata lelaki itu.

“Siapa?” tanya perempuan itu.

“Aku!” teriak lelaki itu.

Perempuan itu terkejut amat sangat. Dipandangnya lelaki tinggi itu. Lelaki itu berjanggut seperti Yesus dan dengan gemetar ia menangkap sekilas-sekilas dongeng-dongeng masa kecil dan gambar-gambar Yesus yang pernah dilihatnya. Lalu perempuan itu sangat menggigil, tidak dapat berkata, dan lari, ia lari sekuat-kuatnya melewati jalan-jalan Bintaran, Sayidan dan kemudian masuk pasar. Di warung dengan nafas; mendegap-degap ia berkata, “Aku ketemu Tuhan Yesus. Laki-laki tadi!”

Orang-orang di warung semua heran, tapi mereka kemudian ketawa. Perempuan itu marah-marah.
Lalu dia bercerita.

Ketika perempuan itu bercerita di warung itu, dalam sebuah gereja, seorang lelaki berjanggut sedang berlutut berdoa, minta ampun atas segala dosa-dosanya.

Ketika itu ia sendiri. Sangat sendiri.

Ia adalah seorang manusia.

NB : cerpen di atas diambil daru kumpulan cerpen Motinggo Busye yang berjudul Keberanian Manusia.

Redaktur SARBI: Dody Kristianto
� $e s x ` mal; widows: 2; word-spacing: 0px; -webkit-text-size-adjust: auto; -webkit-text-stroke-width: 0px; font-size: medium; ">Perempuan itu melepaskan nafasnya sambil ketawa dan mengebut-ngebut selendangnya. Kemudian berkata, “Kaukira kamu ini Yesus.”

Laki-laki itu ketawa. Tiba-tiba ia merasa benar-benar senang dengan perempuan itu.

“Kamu berasal dari mana? “tanya lelaki itu,

“Dari Muntilan,” jawab perempuan itu. “Di Muntilan ada gereja!”

“Aku barusan saja membunuh,” kata lelaki itu tiba. “Tapi bukan aku yang berbunuh-bunuhan. Tapi aku percaya, rohku telah membunuh mereka. Atau Tuhan telah membunuh mereka,” kata lelaki itu. 
Perempuan itu terdiam. Lelaki itu terdiam pula. Kedua-duanya semakin terdiam. Tiba-tiba kedua-duanya sama mengingat Tuhan. Bila kedua-duanya sama mengingat Tuhan, kedua-duanya ingat pada masa kecilnya.

“Kamu mendongeng atau sungguh-sungguh?” tanya perempuan itu.

“Sungguh-sungguh,” kata lelaki itu.

“Nanti kau bisa ditangkap polisi. Apa polisi tidak tahu kejadian itu?” tanya perempuan itu.

“Barangkali besok polisi tahu.”

“Besok kau dicari polisi dan ditangkap,” kata perempuan itu.

Perempuan itu terdiam, Dalam terdiam ia ingat ayahnya.

“Ayahku setelah membunuh ibuku lalu tertangkap. Biarpun ayah kejam dan aku sayang padanya. Ayahku sayang padaku. Ibu yang jahat,” kata perempuan itu.

“Ayah dihukum sepuluh tahun. Mati di dalam penjara,” kata perempuan itu.

“Kenapa ibumu dibunuhnya?” tanya lelaki itu.

“Ibu berdosa,” kata perempuan itu.

“Kenapa?”

“Main-main dengan laki-laki,” kata perempuan itu.

“Istriku juga demikian. Rumah itu dekat jembatan dekat palang sepur. Aku selama ini bekerja sebagai tukang palang sepur. Sampai sore tadi aku masih malang sepur. Aku bekerja sampai pagi. Aku sudah tahu bahwa istriku main-main. Sudah tiga kali aku diamkan. Akhirnya hilang kesabaranku. Aku tahu lelaki itu masuk jam delapan dan pulang jam dua belas. Dan tadi, aku sudah tidak sabar lagi. Aku batuk-batuk keliling rumah ketika mereka berada di rumahku. Laki-laki itu rupanya tidak berani ke luar, Aku batuk-batuk kecil, Dekat sumur. Lalu aku batuk-batuk besar dekat pintu. Aku berkata keras-keras seperti bercakap-cakap dengan seseorang. Dan aku sendiri yang menjawabnya dengan suaraku: 'Kepung saja rumah ini', kataku seperti bercakap-cakap dengan seseorang. Lalu kukecilkan suaraku dan berkata seperti menjawab: 'Kamu bawa pisau?' Dan aku menjawab: 'Si Paidin bawa golok'. Dan dekat pohon-pohon pisang aku berseru: 'Masuk dari kakus, Paidin', Dan aku lari ke dekat pohon pisang, menjawab suaraku sendiri: 'Biar dulu. Kalau dia berani ke luar pintu kita bunuh saja'. Lalu aku lari ke dekat kamarku. Aku mendengar istriku dan laki-laki itu bertengkar. 'Kau larilah ke luar!' kata istriku. Laki-laki itu tidak berani 'Jangan ribut-ribut. Aku membawa pisau. Bisa kubunuh kau!' dan istriku menjawab: 'Coba kalau kau berani bunuh aku. Kau tidak punya tanggung jawab sebagai lelaki'. Lelaki itu mengancam lagi: 'Jangan berisik. Kucekik kau nanti'. Dan istriku berkata; 'Coba kalau berani. Kau yang kucekik'. istriku rupanya pintar berkelahi. Mereka bergulat. Akhirnya, akhirnya, kudengar dua-duanya merintih. Mereka dua-duanya rupa-rupanya saling bunuh-membunuh,” lelaki itu letih bercerita dan menarik nafas.

“Kedua-duanya mati?” tanya perempuan itu.

“Mati. Betul-betul mati.”

Perempuan itu kemudian berkata, “Kenapa kau lari?”

“Aku tidak lari. Aku jijik menginjak rumah itu. Sebab itu aku jalan-jalan. Aku mau menghirup udara. Sekarang giliran kawanku jaga palang sepur,” kata lelaki itu.

“Kau tidak sedih istrimu mati?”

'Tidak.”

“Aku memang pernah lihat kau jaga palang. Waktu itu kau lama-lamakan, sehingga orang-orang menggerutu menunggu palang terbuka,” kata perempuan itu.

“Aku suka sekali bikin lucu,” kata perempuan itu lagi.

Mereka kini telah berada di depan Gereja Bintaran.

“Tahu-tahu kita sudah sampai di Gereja Bintaran,” kata lelaki itu.

“Ke mana kita sekarang?” tanya perempuan itu.

“Masuk ke gereja. Sembahyang. Kau mau?”

“Aku malu. Pastor sedang tidur barangkali,” kata perempuan itu.

“Kita ketuk saja pintunya. Kita katakan kita mau sembahyang,”

“Tapi aku wanita jalang. Gereja akan kotor.”

“Ah, tak apa.”

Perempuan itu berdiri saja. Tapi tangannya kemudian menekan-nekan manggis.
“Kau mau manggis?” kata perempuan itu.

“Aku mau sembahyang,” kata lelaki itu.

“Sudah dua puluh tahun aku tidak masuk-masuk gereja,” kata lelaki itu.

“Aku mau pulang,” kata perempuan itu. “Kau punya uang buat becak aku ke pasar? Aku tadi ada janji sama seorang lelaki,” kata perempuan itu lagi.

“Marilah masuk. Yesus telah memaafkan Maria Magdalena. Kenapa kau takut masuk?”
Perempuan itu kemudian berkata, “Sekarang tidak ada lagi orang yang seperti Yesus yang mau memaafkan Maria Magdalena.”

“Ada!” kata lelaki itu.

“Siapa?” tanya perempuan itu.

“Aku!” teriak lelaki itu.

Perempuan itu terkejut amat sangat. Dipandangnya lelaki tinggi itu. Lelaki itu berjanggut seperti Yesus dan dengan gemetar ia menangkap sekilas-sekilas dongeng-dongeng masa kecil dan gambar-gambar Yesus yang pernah dilihatnya. Lalu perempuan itu sangat menggigil, tidak dapat berkata, dan lari, ia lari sekuat-kuatnya melewati jalan-jalan Bintaran, Sayidan dan kemudian masuk pasar. Di warung dengan nafas; mendegap-degap ia berkata, “Aku ketemu Tuhan Yesus. Laki-laki tadi!”

Orang-orang di warung semua heran, tapi mereka kemudian ketawa. Perempuan itu marah-marah.
Lalu dia bercerita.

Ketika perempuan itu bercerita di warung itu, dalam sebuah gereja, seorang lelaki berjanggut sedang berlutut berdoa, minta ampun atas segala dosa-dosanya.

Ketika itu ia sendiri. Sangat sendiri.

Ia adalah seorang manusia. 

NB : cerpen di atas diambil daru kumpulan cerpen Motinggo Busye yang berjudul Keberanian Manusia

Berburu Fakta dalam Puisi Esai


 photo MiraSchendelGraphicObject_ColeccioacutenPatriciaPhelpsdeCisneros_copy_TheestateofMiraSchendelcopy_zps3c74c827.jpg
Karya Mira Schendel Graphic Object_
Colección Patricia Phelps de Cisneros_©_The estate of Mira Schendel


Esai Dessy Wahyuni

Puisi adalah salah satu genre sastra yang berisi ungkapan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif, diungkapkan dengan pilihan kata yang cermat dan tepat dengan mengerahkan semua kekuatan bahasa.
Karangan yang terikat oleh rima, ritma, atau pun jumlah baris, serta ditandai oleh bahasa yang padat ini merupakan pengucapan gagasan yang bersifat emosional dengan mempertimbangkan efek keindahan.
Ekspresi yang konkret dan bersifat artistik tersebut merupakan ungkapan dengan makna yang tersirat secara implisit dan samar. Oleh sebab itu, kata-kata yang digunakan dalam puisi juga biasanya cenderung bermakna konotatif.
Puisi pada hakikatnya merupakan suatu bentuk komunikasi. Ada pesan yang disampaikan seorang penyair ketika menuliskan sebuah puisi. Namun, apa yang terjadi?
Dengan berlindung di balik licentia poetica, penyair kerap tergoda untuk mengutak-atik cara berbahasa dalam mencipta puisi. Banyak yang menganggap bahwa makin tidak lazim diksi yang digunakan, maka puisinya akan terlihat semakin baik, atau bahkan makin menyalahi tata bahasa, puisi yang tercipta makin bercahaya.
Dengan mengatasnamakan licentia poetica, para penyair dapat menciptakan sebuah karya yang keluar dari konvensi yang berlaku, termasuk konvensi bahasa sebagai media karya sastra itu sendiri.
Lisensi atau izin tidak tertulis yang diberikan kepada para penyair untuk menerjang kaidah tata bahasa yang baik dan benar adalah semata-mata untuk menimbulkan efek-efek tertentu sesuai keinginannya.
Berbagai penyimpangan kaidah yang kerap terdapat dalam puisi ternyata membuat puisi itu semakin sulit untuk dipahami publik. Tentu saja hal ini menimbulkan multitafsir.
Penikmat puisi hanya bisa meraba-raba pesan yang disampaikan penyair melalui karyanya tersebut. Besar kemungkinan pesan yang dikomunikasikan penyair tidak dapat tersampaikan sebagaimana mestinya.
Berangkat dari ketidakpahaman publik terhadap pesan yang disampaikan banyak puisi belakangan ini, menggelitik Denny Januar Ali (Denny JA) untuk bereaksi.
Menurutnya, puisi seharusnya bisa dinikmati masyarakat luas dan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti. Ia lantas melakukan riset terhadap dua sumber, yaitu pakar puisi dan masyarakat luas dengan menggunakan sampel.
Dua sumber itu sampai pada kesimpulan dan harapan yang sama. Mereka merindukan puisi yang lebih peduli kepada publik luas, di luar dunia para penyair itu sendiri. Mereka juga rindu dengan bahasa puisi yang lebih mudah dipahami (Denny JA, 2013:34).
Untuk menjawab kesimpulan dan harapan masyarakat sebagai hasil riset yang dilakukannya, Denny JA  memperkenalkan genre baru, yaitu puisi esai. Ini sebuah puisi yang sangat panjang, berbabak, dengan catatan kaki, serta bahasa yang mudah mengerti. Puisi esai mengangkat isu sosial.
Puisi esai ditulisnya sebagai reaksi atas puisi dengan bahasa  rumit, yang membuat puisi semakin terisolasi dari publik luas.
Denny JA menerbitkan sebuah buku puisi esai yang berjudul Atas Nama Cinta (Maret 2012). Buku kumpulan puisi ini menyajikan puisi-puisi dengan bahasa yang mudah dan memberikan tema yang kerap menjadi kegelisahan masyarakat.
Buku ini juga dengan dapat diakses melalui jaringan media sosial seperti Twitter, smartphone,  dan internet, sehingga memudahkan pembaca untuk memperolehnya.
Puisi esai merupakan salah satu fenomena penting dalam sastra Indonesia. Menurut Nenden Lilis Aisyah dalam tulisannya yang berjudul “Alun Biduk Puisi Esai di Laut Zaman”, puisi esai pada intinya adalah suatu bentuk pengucapan yang dipilih untuk menggambarkan, memberi pemahaman, dan merefleksikan isu sosial berdasarkan fakta dengan cara yang menggetarkan hati, yakni dengan mengeksplorasi sisi batin manusia melalui puisi.
Jadi,  hal ini merupakan penggabungan antara fakta dan fiksi. Dalam hal ini, fakta merupakan permasalahan yang berisi peristiwa-peristiwa sosial, sementara puisi merupakan sarana pengucapan fakta tesebut yang diramu sedemikian rupa untuk menyentuh hati nurani pembaca.
Tujuan gagasan dan gerakan puisi esai ini lebih pada fungsi puisi untuk mengetengahkan masalah-masalah sosial ke hadapan masyarakat luas.
Oleh sebab itu puisi esai tidak menuntut eksplorasi bahasa di wilayah estetik. Bahasa yang diharapakan justru bahasa yang mudah dipahami dan dengan pemanfaatan aspek-aspek puisi dapat menggetarkan hati.
Selain itu, puisi esai bertujuan agar pembaca menyadari bahwa yang dikemukakan dalam puisi tersebut bukan sekadar fiksi, tetapi fakta yang didukung oleh catatan kaki.
Denny JA mengemukakan dalam tulisannya yang berjudul “Puisi Esai: Apa dan Mengapa?” bahwa terdapat beberapa platform puisi esai tersebut.
Pertama, puisi esai mengeksplorasi sisi batin individu yang berada dalam sebuah konflik sosial. Puisi esai tidak hanya memotret sebuah kisah, tetapi lebih dalam lagi, sebuah puisi esai menggambarkan satu problema dalam komunitas tertentu. Kedua, puisi esai menggunakan bahasa yang mudah dipahami.
Sebagai sebuah media komunikasi, puisi esai diupayakan dapat dipahami oleh setiap lapisan pembaca. Semua perangkat bahasa seperti metafor, analogi, dan sebagainya tetap menjadi pilihan utama, namun dengan rangkaian kata yang mudah dimengerti.
Prinsip puisi esai, semakin sulit  puisi itu dipahami publik luas, semakin buruk puisi itu sebagai media komunikasi penyair dan dunia di luarnya.
Ketiga, puisi esai adalah fiksi. Puisi esai dapat saja memotret tokoh nyata yang hidup dalam sejarah, namun realitas itu diperkaya dengan aneka tokoh fiktif dan dramatisasi. 
Hal yang menjadi penting dalam puisi esai adalah renungan dan kandungan moral yang disampaikan lewat sebuah kisah, bukan semata potret akurat sebuah sejarah. Keempat, puisi esai tidak hanya lahir dari imajinasi  penyair, tetapi hasil riset (minimal realitas sosial).
Semua isu sosial yang terjadi pada sebuah komunitas dapat diangkat menjadi puisi esai. Meskipun ini adalah fiksi, tetapi berada pada latar realitas sosial.
Catatan kaki menjadi sentral dalam puisi esai ini. Hal ini menunjukkan bahwa fiksi tersebut berangkat dari fakta sosial.
Dalam catatan kaki itulah bisa terlihat realitas sosial secara rinci yang dieksplor ke dalam puisi esai. Kelima, puisi esai berbabak dan panjang.
Pada dasarnya puisi ini adalah drama atau cerpen yang dipuisikan. Dalam sebuah puisi esai, selayaknya tergambar dinamika karakter atau perubahan sebuah realitas sosial. Oleh sebab itulah sebuah puisi esai disajikan berbabak dan panjang.
Kaum realisme sosialis meyakini bahwa sastra mencerminkan kehidupan atau proses sosial. Pada hakikatnya  sastrawan tidak bisa terlepas atau melepaskan diri dari kenyataan sosial.
Pengarang tidak sekadar menampilkan kembali fakta yang terjadi dalam kehidupan, melainkan telah membalurinya dengan imajinasi dan wawasannya.
Oleh karena itu puisi yang dihasilkan tidak sama persis dengan kehidupan nyata, akan tetapi tetap saja dalam  menghasilkan karyanya, pengarang dipengaruhi oleh lingkungannya.
“Sapu Tangan Fang Yin” adalah salah satu puisi Denny JA yang terangkum dalam Atas Nama Cinta, sebagai sebuah contoh. Melalui pendekatan historis, terlihat bahwa puisi ini bercerita tentang kasus perkosaan seorang gadis keturunan Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998. Membaca “Sapu Tangan Fang Yin” mengingatkan kita kembali akan Kerusuhan Mei 1998 tersebut.
Bila diamati secara mendalam terdapat pertentangan antara karya sastra yang bersifat fiksi dan sejarah yang bersifat fakta.
Karya fiksi biasanya lebih mementingkan unsur imajinasi yang bersifat subjektif, sedangkan sejarah lebih mementingkan fakta yang bersifat objektif (Junaidi, 2009).
Namun dengan mengandalkan kreativitasnya, Denny J.A. mampu menyatukan dua hal yang berbeda itu ke dalam puisi rekayasanya.
Dengan mengambil Jakarta sebagai latar tempat peristiwa, pengarang menggambarkan situasi yang miris; rumah-rumah dibakar, toko-toko dijarah, kerumunan massa membuas, serta perkosaan dan penganiayaan merajalela.
Saat itu Indonesia benar-benar menjadi sasaran kemarahan dunia karena peristiwa memalukan dengan adanya kejadian pemerkosaan dan tindakan rasialisme yang mengikuti peristiwa gugurnya pahlawan reformasi.
Mungkin, terlalu dini menabalkan puisi esai sebagai genre baru sastra Indonesia, karena sebenarnya, tanpa embel-embel “puisi esai” di belakang atau depannya, banyak penyair Indonesia, bahkan dunia, yang memotret realitas masyarakat dalam karya-karya.
Tetapi, sebagai sebuah gaya penulisan puisi yang sedikit berbeda, apa yang dilakukan Denny JA dan rekan-rekannya yang kini “berjuang” menerbitkan puluhan buku berlabel “puisi esai”, pantas diapresiasi, sekaligus dikritisi.

Dessy Wahyuni, Alumni Pasca-sarjana Manajemen Pendidikan  Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

NB : esai (opini) ini diambil dari laman situs www.riaupos.co

Redaktur SARBI: Dody Kristianto

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post