Oleh Umar Fauzi Ballah
Judul Buku :
Rantau 1 Muara
Pengarang :
A Fuadi
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Tebal :
xii + 407 hlm.
Cetakan :
pertama, Mei 2013
ISBN :
978-979-22-9473-6
Harga :
Rp75.000,00
Demi
sebuah hasil yang mengesankan untuk sebuah majalah terkemuka di Indonesia,
seorang wartawan bernama Alif harus “mewawancari” pocong guna laporan investigasinya
berkaitan dengan peristiwa awal Reformasi yang bergulir di Indonesia. Inilah
era baru bagi Indonesia juga bagi kehidupan Alif.
Bagi
penggemar A Fuadi, mungkin sudah tidak asing dengan tokoh Alif dan mungkin sudah
menerka-nerka bagaimana kisah pamungkas novel ketiga trilogi Negeri 5 Menara, bertajuk Rantau 1 Muara ini. Sebagai salah satu
genre novel motivation-autobiography,
tidak sulit untuk menebak aura novel ini sebagaimana novel-novel serupa yang
mulai menjamur awal 2000-an di Indonesia: tokoh adalah seorang hero, melewati rintangan bahkan pada
saat-saat terakhir, dan segala macam tindak-tanduk positif lainnya. Novel jenis
ini seolah menjadi antitesis dari novel “serius” yang mengernyitkan dahi. Tentu
saja, saya tidak bermaksud menyempitkan pemahaman. Dugaan itu masih perlu
ditelaah lebih lanjut.
Karena
aura novel seperti ini sudah bisa ditebak, kiranya yang perlu diperhatikan
dalam novel ini adalah bagaimana pengarang menyajikan kerangka latar. Selain
itu, yang tidak kalah penting adalah bahwa novel ini meninggalkan “jejak-jejak”
tekstual yang begitu akrab dengan sejarah Indonesia.
Dalam
Rantau 1 Muara, pengarang mengutip beberapa
latar, seperti sejarah Indonesia masa Reformasi, sebuah kisah pada peristiwa
11/9 di Amerika Serikat, dan persoalan yang masih mengambang, G30S/1965. Novel
ini pun tidak bermaksud menjadikan bagian itu sebagai pusat cerita. Namun,
paling tidak sang pengarang telah meramu novel “pop” ini dengan usahanya membuka
ingatan kita tentang apa yang terjadi di Indonesia pada rentang 1998—1999,
apalagi salah satu segmen pembaca novel ini rata-rata adalah remaja.
Setelah
lulus Jurusan Hubungan Internasional Unpad, Alif yang sejak kecil sudah
terbiasa menulis, akhirnya bekerja sebagai wartawan di sebuah majalah paling
top yang ada di Indonesia, Derap.
Majalah yang oleh Alif dikatakan didirikan oleh seorang jebolan sekolah teknik,
menjadi penyair, dan wartawan yang amat disegani, Sang Aji atau SA (hlm. 51).
Sejak
semula, Fuadi menyebut beberapa nama atau tempat faktual dalam novelnya dengan
metafora yang malu-malu kucing, seperti Pondok Pesantren Modern Gontor sebagai
Pondok Madani. Dalam Rantau 1 Muara, lebih banyak hal yang
“dibenturkan.” Alif bekerja di majalah Derap
yang secara tersirat tidak lain adalah majalah Tempo. Dia menulis Sang Aji yang taklain adalah Goenawan Mohamad.
Namun, di sisi lain, dia menulis fakta sejarah sebagaimana adanya, seperti
tumbangnya Orde Baru.
Yang
cukup menarik disimak dalam novel ini adalah bagaimana pengarang dengan
gamblang “membuka” dapur kerja jurnalisme yang dalam hal ini adalah majalah Derap dengan cukup detail. Akhirnya,
pembaca pun dibawa pada fantasi dapur jurnalisme majalah Tempo. Bisa dikatakan
lebih dari separuh kisah dalam novel ini adalah kerja seorang jurnalis. Barangkali,
novel ini akan asyik dibaca oleh junior jurnalis atau mereka yang hendak
menjadi jurnalis. Setidaknya, Alif adalah sosok yang diciptakan sebagai
motivator kerja jurnalistik.
Alif
adalah lelaki yang beruntung bisa bekerja di majalah Derap. Majalah yang dihuni oleh dua orang hebat yang disebut duo dinamic, Sang Aji dan Malaka. Sang Aji adalah pimred yang bekerja secara
profesional dan jujur sebagaimana sambutannya ketika menerima rekan wartawan
baru, “Kita bukan majalah dengan
jurnalisme kebanyakan. Karena kita fokus kepada seni menyampaikan yang
sebenarnya. Tugas kita melacak, mencatat, dan menyebarluaskan informasi kepada
masyarakat, selanjutnya aparat hukumlah yang kita harapkan bergerak…” (hlm.
53). Lain Aji, lain pula dengan Malaka. Malaka memiliki prinsip “sersan” dalam
proses bekerja, yakni “serius, tapi santai.” Karena itu, dia dikenal paling
nyantai, bahkan memakai sarung di kantor dan membawa gitar.
Sambil
menikmati kerja sebagai jurnalistik, Alif masih memendam keinginan terbesarnya
melanjutkan studi ke Amerika. Ini adalah lakon kedua yang melekat dalam diri
Alif selain jurnalisme. Cerita pun seperti bisa ditebak, berkat mantra man jadda wajaddah, Alif menjelma hero yang mampu lolos kuliah di Amerika.
Bukan hanya ketekunan yang hendak diamanatkan dalam novel ini dalam rangka thalabul ‘ilmi, tetapi juga kesabaran Alif bisa meluluhkan hati perempuan
pujaannya dan calon mertuanya.
Cerita
berikutnya berlanjut pada kisah melankolis Alif dan istrinya di Amerika sebagai
pengantin baru dan masyarakat baru di sana. Lagi-lagi, Alif bersinggungan
dengan jurnalistik. Di sana dia menjadi kontributor untuk Derap. Alif pernah diminta Sang Aji untuk menelusuri peran Amerika
pada peristiwa 1965. Selain itu, tentu saja adalah peristiwa 9/11 WTC di mana
Alif dan Dinara, istrinya, masih tinggal di Amerika.
Tiga
latar sejarah yang membingkai alur novel ini memang bukanlah unsur utama yang
hendak disampaikan pengarang. Ini adalah motivation
fiction. Karena itu, cerita berjalan
menurut logika superhero.
Pada
akhirnya, novel ini ditulis bukan dalam angel
Sejarah (dengan S besar) pun untuk menjadi sumber sejarah, semisal karya
Pramoedya Ananta Toer yang namanya turut disebut dalam novel ini (hlm. 157).
Ini adalah novel dengan angel
membangun andrenalin positif bagi mereka yang hendak mewujudkan mimpinya. Kenangan
pribadi yang diciptakan untuk berbagi.
*) Umar Fauzi Ballah pengajar di Ganesha Operation
Sumenep dan pengelola buletin SARBI. Twitter @uf_ballah.