Telah Terbit !

Yang sederhana, yang berserakan, yang tak diperhitungkan dan bertebaran di mana-mana, tetaplah harus dirayakan. Spesial SARBI edisi 8 di akhir tahun!

Segera Dapatkan !

Buku Puisi Karya KOMANG IRA PUSPITANINGSIH.

Toko Buku SARBI

Kumpulan buku bekas pilihan yang asik untuk dibaca dan dikoleksi dengan harga bersahabat.

Telah Terbit!

BULETIN TIKAR EDISI 02/2013 Diterbitkan oleh Komunitas Tikar Merah (KTM)

Dapatkan!

Buku Terbaru SARBIKITA Publishing Karya Heru Susanto

Blogroll

Tuesday, August 26, 2014

Fiksi dan Sejarah Setengah Hati

 photo IMG_0176copy_zps7d3bdf2f.jpg

Oleh Umar Fauzi Ballah

Judul Buku     : Rantau 1 Muara
Pengarang      : A Fuadi
Penerbit         : Gramedia Pustaka Utama
Tebal              : xii + 407 hlm.
Cetakan          : pertama, Mei 2013
ISBN                : 978-979-22-9473-6
Harga              : Rp75.000,00



            Demi sebuah hasil yang mengesankan untuk sebuah majalah terkemuka di Indonesia, seorang wartawan bernama Alif harus “mewawancari” pocong guna laporan investigasinya berkaitan dengan peristiwa awal Reformasi yang bergulir di Indonesia. Inilah era baru bagi Indonesia juga bagi kehidupan Alif.
            Bagi penggemar A Fuadi, mungkin sudah tidak asing dengan tokoh Alif dan mungkin sudah menerka-nerka bagaimana kisah pamungkas novel ketiga trilogi Negeri 5 Menara, bertajuk Rantau 1 Muara ini. Sebagai salah satu genre novel motivation-autobiography, tidak sulit untuk menebak aura novel ini sebagaimana novel-novel serupa yang mulai menjamur awal 2000-an di Indonesia: tokoh adalah seorang hero, melewati rintangan bahkan pada saat-saat terakhir, dan segala macam tindak-tanduk positif lainnya. Novel jenis ini seolah menjadi antitesis dari novel “serius” yang mengernyitkan dahi. Tentu saja, saya tidak bermaksud menyempitkan pemahaman. Dugaan itu masih perlu ditelaah lebih lanjut.
            Karena aura novel seperti ini sudah bisa ditebak, kiranya yang perlu diperhatikan dalam novel ini adalah bagaimana pengarang menyajikan kerangka latar. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah bahwa novel ini meninggalkan “jejak-jejak” tekstual yang begitu akrab dengan sejarah Indonesia.
            Dalam Rantau 1 Muara, pengarang mengutip beberapa latar, seperti sejarah Indonesia masa Reformasi, sebuah kisah pada peristiwa 11/9 di Amerika Serikat, dan persoalan yang masih mengambang, G30S/1965. Novel ini pun tidak bermaksud menjadikan bagian itu sebagai pusat cerita. Namun, paling tidak sang pengarang telah meramu novel “pop” ini dengan usahanya membuka ingatan kita tentang apa yang terjadi di Indonesia pada rentang 1998—1999, apalagi salah satu segmen pembaca novel ini rata-rata adalah remaja.
            Setelah lulus Jurusan Hubungan Internasional Unpad, Alif yang sejak kecil sudah terbiasa menulis, akhirnya bekerja sebagai wartawan di sebuah majalah paling top yang ada di Indonesia, Derap. Majalah yang oleh Alif dikatakan didirikan oleh seorang jebolan sekolah teknik, menjadi penyair, dan wartawan yang amat disegani, Sang Aji atau SA (hlm. 51).
            Sejak semula, Fuadi menyebut beberapa nama atau tempat faktual dalam novelnya dengan metafora yang malu-malu kucing, seperti Pondok Pesantren Modern Gontor sebagai Pondok Madani. Dalam Rantau 1 Muara, lebih banyak hal yang “dibenturkan.” Alif bekerja di majalah Derap yang secara tersirat tidak lain adalah majalah Tempo. Dia menulis Sang Aji yang taklain adalah Goenawan Mohamad. Namun, di sisi lain, dia menulis fakta sejarah sebagaimana adanya, seperti tumbangnya Orde Baru.
            Yang cukup menarik disimak dalam novel ini adalah bagaimana pengarang dengan gamblang “membuka” dapur kerja jurnalisme yang dalam hal ini adalah majalah Derap dengan cukup detail. Akhirnya, pembaca pun dibawa pada fantasi dapur jurnalisme majalah Tempo. Bisa dikatakan lebih dari separuh kisah dalam novel ini adalah kerja seorang jurnalis. Barangkali, novel ini akan asyik dibaca oleh junior jurnalis atau mereka yang hendak menjadi jurnalis. Setidaknya, Alif adalah sosok yang diciptakan sebagai motivator kerja jurnalistik.
            Alif adalah lelaki yang beruntung bisa bekerja di majalah Derap. Majalah yang dihuni oleh dua orang hebat yang disebut duo dinamic, Sang Aji dan Malaka.  Sang Aji adalah pimred yang bekerja secara profesional dan jujur sebagaimana sambutannya ketika menerima rekan wartawan baru, “Kita bukan majalah dengan jurnalisme kebanyakan. Karena kita fokus kepada seni menyampaikan yang sebenarnya. Tugas kita melacak, mencatat, dan menyebarluaskan informasi kepada masyarakat, selanjutnya aparat hukumlah yang kita harapkan bergerak…” (hlm. 53). Lain Aji, lain pula dengan Malaka. Malaka memiliki prinsip “sersan” dalam proses bekerja, yakni “serius, tapi santai.” Karena itu, dia dikenal paling nyantai, bahkan memakai sarung di kantor dan membawa gitar.
           
            Sambil menikmati kerja sebagai jurnalistik, Alif masih memendam keinginan terbesarnya melanjutkan studi ke Amerika. Ini adalah lakon kedua yang melekat dalam diri Alif selain jurnalisme. Cerita pun seperti bisa ditebak, berkat mantra man jadda wajaddah, Alif menjelma hero yang mampu lolos kuliah di Amerika. Bukan hanya ketekunan yang hendak diamanatkan dalam novel ini dalam rangka thalabulilmi, tetapi juga kesabaran Alif bisa meluluhkan hati perempuan pujaannya dan calon mertuanya.
            Cerita berikutnya berlanjut pada kisah melankolis Alif dan istrinya di Amerika sebagai pengantin baru dan masyarakat baru di sana. Lagi-lagi, Alif bersinggungan dengan jurnalistik. Di sana dia menjadi kontributor untuk Derap. Alif pernah diminta Sang Aji untuk menelusuri peran Amerika pada peristiwa 1965. Selain itu, tentu saja adalah peristiwa 9/11 WTC di mana Alif dan Dinara, istrinya, masih tinggal di Amerika.
            Tiga latar sejarah yang membingkai alur novel ini memang bukanlah unsur utama yang hendak disampaikan pengarang. Ini adalah motivation fiction. Karena itu, cerita berjalan menurut logika superhero.
            Pada akhirnya, novel ini ditulis bukan dalam angel Sejarah (dengan S besar) pun untuk menjadi sumber sejarah, semisal karya Pramoedya Ananta Toer yang namanya turut disebut dalam novel ini (hlm. 157). Ini adalah novel dengan angel membangun andrenalin positif bagi mereka yang hendak mewujudkan mimpinya. Kenangan pribadi yang diciptakan untuk berbagi.

*) Umar Fauzi Ballah pengajar di Ganesha Operation Sumenep dan pengelola buletin SARBI. Twitter @uf_ballah.

Tuesday, June 24, 2014

Aceh Pascadarurat Militer, Majalah Kalimas No 2 April 2014

 photo IMG_0176copy_zpscd942235.jpg

Oleh Umar Fauzi Ballah


DATA BUKU
Judul               : Burung Terbang di Kelam Malam
Penyair           : Arafat Nur
Penerbit         : Bentang Pustaka
Tahun             : Februari, 2014
Tebal              : xvi + 376 halaman
ISBN                : 978-602-7888-93-7


Setelah sukses dengan novel Lampuki yang memenangkan KLA 2012, Arafat Nur kembali menerbitkan fiksi terbarunya berjudul Burung Terbang di Kelam Malam (BTdKM). Seperti halnya Lampuki yang berlatar Aceh, BTdKM masih menempatkan Aceh sebagai latar pusat narasinya. Karena itu, tidak berlebihan sekiranya BTdKM disebut sekuel kedua dari Lampuki.
            Pengarang memang tidak melanjutkan keberlangsungan  protagonis dalam Lampuki untuk disebut sebuah sekuel. Ia menghadirkan tokoh baru dalam BTdKM. Akan tetapi, persamaan latar dan kronik alur seolah menjadikan dua novel itu sebagai sekuel. Lampuki berlatar masa pendudukan TNI dalam membasmi pemberontak GAM dan BTdKM berlatar pemilihan kepala daerah di Aceh pascadarurat militer.
            Kondisi chaos Aceh baik pada masa darurat militer maupun setelahnya pada dasarnya sama saja. Inilah yang menjadi deskripsi utama sang pengarang.  Sebagai pelaku sejarah, pada saat konflik itu terjadi, pengarang menjadi pewarta sebuah sisi lain tentang Aceh. Sisi lain itulah yang membuyarkan anggapan kebanyakan kita tentang Aceh.
            Aceh, baik dalam Lampuki maupun BTdKM, adalah sebuah kota yang menanggung stereotip tidak terduga melalui perilaku-perilaku tokohnya. Kali ini beban stereotip itu ada pada pandangan Faiz, sang protagonis.
            Diceritakanlah tentang Faiz, seorang wartawan harian lokal yang sangat populer, hendak menyelidiki kebusukakan seorang bernama Tuan Beransyah. Namun, penyelidikan itu bukan untuk kepentingan pekerjaannya, tetapi untuk sebuah cita-cita terciptanya sebuah novel. Begitulah, cerita beralur pusat pada proses Faiz mengambil data untuk novelnya.

            Kebusukan yang ia selidiki adalah riwayat hidup perempuan simpanan Tuan Beransyah yang tak terbilang banyaknya. Itu semua menjadi rahasia umum. Sebagai rahasia umum, ia adalah sebuah kewajaran yang di mata Faiz bukanlah jenis kewajaran. Tuan Beransyah sendiri sedang digadang-gadang menjadi Wali Kota Lamlhok.
            Begitulah sebuah niat yang diawali oleh letupan amarah (hlm. 67) dikemudian hari menjadi rentetan peristiwa dan perilaku penuh dusta dan kemunafikan. Faiz menyelidiki perihal keburukan seseorang dengan niatan baik akan menjadikannya sebagai data sebuah novel. Namun, yang terjadi adalah dia masuk dalam perangkap macan. Tanpa disadari, Faiz meniduri perempuan-perempuan kesepian bekas Tuan Beransyah.
            Faiz digambarkan sebagai seorang rupawan. Tulisannya di harian Warta dikenal sebagai tulisan jurnalistik bermutu. Selain itu, ia adalah tokoh yang dilingkupi kebaikan dalam pandangannya sebagai lelaki yang rajin beribadah dan gampang mengingat dosa-dosanya. Dosa-dosa yang ketika diingat-ingat justru melahirkan godaan lain.
            Begitulah cerita dihadirkan. Melalui novel yang hendak ia ciptakan, Faiz pada dasarnya sedang menulis sebuah cita-cita kebencian yang di dunia realita tidak tercapai. Ia benci setengah mati pada perilaku Tuan Beransah, tetapi di harian Warta dia dihadapkan pada tuntutan untuk menuliskan perihal kebaikan lelaki itu. Kondisi ini, juga kondisi pengarangnya, telah membenarkan sebuah tesis sebagaimana diucapkan Sigmund Freud (dalam Hardjana, 1984:63) “Seniman pada mulanya adalah seorang yang berpaling dari kenyataan hidup karena dia tidak dapat berdamai dengan dirinya sendiri berhubungan adanya tuntutan akan kepuasankepuasan nalurinya yang tidak terpnuhi dan yang kemudian membiarkan hajat erotik dan ambisinya bermain leluasa dalam khayalan. Dengan bakatnya yang istimewa dia menjalin khayalan-khayalannya menjadi suatu kenyataan hidup baru yang oleh orang-orang lain disambut sebagai cerminan hidup yang berharga.”
            Kebaikan-kebaikan Tuan Beransyah yang ditulis Faiz ibarat sebuah bara api. Pada puncaknya, tulisan Faiz tentang kejelekan Tuan Beransyah termuat di harian Warta. Ia pun menjadi buronan preman suruhan Tuan Beransyah untuk dihabisi nyawanya.
            Melalui pengarangnya, digambarkan ketakutan-ketakutan Faiz. Namun, dalam rencana novelnya, ketakutan-ketakutan itu tidak ia tampakkan. Novel ini diakhiri sebuah kisah melodramatis bahwa Safira, kekasihnya,  adalah darah daging Tuan Beransyah dari perempuan simpanan kesekiannya.
            Arafat Nur melalui fiksi terbarunya ini hendak menghadirkan dunia jungkir balik. Ke hadirat pembaca, dia menjungkirkan stereotip agung Aceh sebagai “Serambi Mekkah yang selama ini melekat dalam benak masyarakat. Dengan demikian, ia juga menghadirkan perilaku-perilaku jungkir balik tokoh-tokohnya melalui Faiz.
            Faiz menulis novel. Novel dalam pikiran Faiz adalah sebuah sastra yang agung. Kepada perempuan-perempuan simpanan Tuan Beransyah, dia mengatakan perihal apa itu novel, bukan sebuah cerita cabul sebagaimana lekat dalam pikiran tokoh-tokohnya. Namun, pada saat yang sama Faiz sendiri adalah tokoh yang cabul. Melalui pengarang, kecabulan memang tidak dengan secara gamblang digambarkan, seperti persetubuhan.
            Melalui pikiran-pikiran Faizlah, otokritik terhadap realitas didedahkan. Selain pandangannya tentang novel, dengan demikian juga sastra, Faiz juga menyampaikan otokritik tentang kerja jurnalistik. Dia seorang jurnalis, tetapi pada bagian tertentu dia menyampaikan kebobrokan kerja jurnalis. Dia menuliskan tetang bagaimana perempuan Aceh, tentang hukum syariah, dan sebagainya.
            Hidup dalam serba kegelapan dunia yang Faiz rasakan itulah kemudian ia metaforkan dirinya laiknya burung terbang di kelam malam. Faiz berjalan dari rumah ke rumah untuk menemui perempuan-perempuan bekas Tuan Beransyah. Nasibnya sebagai bujang penuh godaan berahi begitu ia sadari.
            Secara intrinsikBTdKM berjalan dengan tempo yang agak lambat. Pada sisi yang lain, ditemukan bahasa yang tampak picisan. Namun, bagaimanapun narasi di dalamnya dihadirkan, karya sastra adalah sebuah mimesis. Ia memiliki hubungan genetik dengan realitas ekstrinsik. Arafat Nur sepertinya takgentar menggambarkan itu semua.

*) Umar Fauzi Ballah kritikus sastra lulusan Sastra Indonesia Unesa. Saat ini bekerja sebagai pengajar sekaligus penanggung jawab di Ganesha Operation, Sumenep. Twitter @uf_ballah

Tuesday, April 1, 2014

Dongeng dan Bahasa AS Laksana, Kompas 30 Maret 2014

 photo IMG_0176copy_zps00b18253.jpg

Oleh Umar Fauzi Ballah

Judul Buku          : Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu
Pengarang            : AS Laksana
Penerbit                 : Gagas Media
Tebal                        : 214 hlm.
Cetakan                  : pertama, 2013
ISBN                         : 979-780-644-8
Harga                      : Rp49.000,00


Ketika berhadapan dengan AS Laksana sesungguhnya kita sedang berhadapan dengan dua rupa, yakni esai dan fiksinya. Selain piawai berbahasa dengan esai, ia juga piawai berbahasa dengan cerpen.
Pengalaman menakjubkan, bahkan jauh lebih menakjubkan dari esai-esainya, adalah ketika berhadapan dengan Murjangkung. Ketika menikmati Murjangkung, mau tidak mau dan tanpa sadar akan ingat pula pada esainya. Cara berbahasanya di beberapa bagian nyaris serupa. Namun, tentu AS Laksana sadar bahwa ia sedang menulis cerpen, bukan esai. Hal terpenting yang perlu dipahami dari cerpennya adalah teknik (men)dongeng sebagai style dan gaya khas AS Laksana. Walaupun demikian, secara interteksutual, gaya cerita AS Laksana dalam khazanah sastra Indonesia mengingatkan saya pada absurdisme fiksi-fiksi karya Budi Darma.

Klausa kau tahu
Jika kita awas pada apa yang menjadi karakter AS laksana, kita akan paham bahwa pengarang ini gandrung dengan klausa kau tahu, tidak hanya dalam esainya, tetapi juga dalam cerpennya. Klausa tersebut selalu muncul dalam setiap cerpennya. Setidaknya, ada 76 klausa kau tahu yang diucapkan narator, 2 klausa kau tahu sebagai bentuk percakapan antartokoh (hlm.71 dan hlm. 160), dan sebuah klausa yang dijamakkan, kalian tahu, yang terdapat pada cerpen “Cerita untuk Anak-anakmu.” Khusus pada cerpen tersebut, klausa kalian tahu memang tepat karena narator sedang berdongeng kepada anak-anak. Namun ternyata, tetap muncul klausa kau tahu pada paragraf yang lain.
Klausa kau tahu adalah pintu masuk bagaimana pengarang sebagai narator menempatkan posisinya dalam cerpen dan pembacanya. Pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama yang seolah secara langsung membacakan cerita kepada pembaca dengan sapaan “kau tahu.” Karena itu, penting bagi kita memahami pengarang dan narator. Pengarang adalah AS Laksana. Narator adalah “yang hadir” membacakan cerita. Dialah yang selalu mengatakan kau tahu dan menyapa kau. Karena itu, dalam beberapa cerpen yang seolah menggunakan sudut pandang orang ketiga, menjadi batal karena kehadiran kau yang taklain disapa sang narator, pendongeng, sebagai aku yang tersembunyi.
Lain dari itu, karena sedang membacakan dongeng, dan sebagaimana umumnya dongeng, narator taklupa menyampaikan amanat-amanat yang disampaikan secara tersurat. Dalam hal ini, narator menyampaikannya dalam berbagai nasihat. Amanat (baca, nasihat) dalam cerpen-cerpennya bertaburan seperti bintang. Ada yang baik dan ada yang sinis. Perhatikan petikan cerpen “Seorang Utusan Memotong Telinga Raja Jawa” ini.  Karena itu, kau tak perlu cemburu jika suatu saat berpapasan di jalan dengan lelaki buruk rupa yang sedang menggandeng tangan perempuan jelita. Perlu kutegaskan nasihat ini karena kau mungkin pernah memaki dalam hati ketika melihat lelaki buruk rupa berpasangan dengan perempuan cantik. Ingatlah bahwa pada tengah malam nanti, ketika si perempuan mencium kening lelaki itu, si buruk akan menjadi tampan.

Karnaval
Bahasa AS Laksana yang satire dan sinis itu tidak lain adalah efek sebuah karnaval. Dalam bahasa yang lebih sederhana, karnaval dalam sastra, sebagaimana dikatakan Letche, adalah canda tawa, seperti parodi, ironis, dan satiris. Ia tidak memiliki objek. Karnaval bersifat struktur ambivalen. Logikanya bukan benar atau salah, melainkan logika ambivalen. Dengan perkataan lain, karnaval adalah hakikat karya sastra sebagai kirab, struktur pawai, tokoh-tokoh secara bebas bersembunyi di balik topeng, parodi terhadap bentuk, dan konvensi yang sudah stabil. Karya sastra memberikan kemungkinan terhadap hal-hal yang dalam kehidupan sehari-hari takmungkin terjadi (Ratna, 2007:264).
Karena itu, dalam Murjangkung kita bisa menjumpai berbagai anakronisme seperti kisah nabi, mitos, dan dongeng-dongeng yang ditabrakkan dengan kondisi kekinian dan dengan caranya yang parodis. Tokoh-tokoh yang ganjil dengan nama-nama yang antonomasia seperti si cacing, si belatung, Kadal, Kondom dan sebagainya. Nasihat-nasihat pun bisa dicomot berdasarkan mitos-mitos.
Karena AS Laksana pada saat yang lain adalah seorang esais ternama, sesungguhnya cerpennya pun menjadi bias antara bahasa fiksi dan nonfiksinya. Barangkali inilah bentuk karnaval yang lain. Ia bisa mencampur adukkan hal itu. Namun, pada saat itu, lahirlah ornamen baru yang mengakibatkan bahasa dan ceritanya menjadi gemerlap.
Keterampilan dan kerajinan berbahasa dalam Murjangkung, bahkan sampai pada tataran diksi. Kata-katanya berkilauan. Mungkin, cerita bisa kita dapati. Namun, dalam Murjangkung, diksi adalah unsur tersendiri yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Di dalamnya kita bisa memetik sesuatu yang membuat kita tercengang, tersenyum, dan tertawa lebar seperti petikan ini, Begitulah, pagi itu, sebelum para pemalas turun dari tempat tidur, sebuah persekongkolan telah terbangun… pada saat-saat tertentu ia sengaja memperlihatkan kepada ayahnya betapa dekat ia dengan ibunya, menggelendot-gelendot manja, menyerempet-nyerempet bahaya.. (“Seto Menulis Peri, Pelangi, dan Para Putri”)
AS Laksana tidak punya pretensi untuk menuliskan sejarah dalam cerita-ceritanya. Namun, hal itu mengalir dengan sendirinya. Ia juga tidak hendak dengan sengaja mencantumkan secara tersurat unsur amanat dalam cerpennya.Namun, hal itu muncul laiknya seorang pendongeng dalam tuntutannya mendongeng.
Satu hal yang pasti bahwa AS Laksana menulis dengan cara satire yang membuat pembaca bisa tersenyum sekaligus terhenyak. Dia sangat pandai mengolah itu semua menjadi hiburan dan perenungan. Karya sastra, sebagaimana pada teori yang cukup purba, bertujuan seni untuk seni atau seni untuk masyarakat. AS Laksana mampu merengkuh itu semua. Karena itu, dia menulis dengan cara mendongengkan, bisa juga dengan cara resensi, atau cara esai. Semua teknik itu menjadi karnaval seperti pelangi. Semuanya menjadi sebuah anekdoke yang mengasyikkan.

*) Kritikus dan pengajar di Ganesha Operation, Sumenep. Twitter @uf_ballah

Thursday, January 23, 2014

Suatu Malam Suatu Warung

 photo T03051_10_zps9f0d03c7.jpg
Artist: Edward Burra (1905‑1976) | Title: The Snack Bar | Date: 1930
Medium: Oil paint on canvas | Dimensionssupport: 762 x 559 mm
Collection: Tate



Cerpen Sutardji Calzoum Bachri

Tiga orang lelaki muda dan seorang pelacur tua duduk di depan meja sebuah warung. Warung itu muram karena lampunya muram dan sumbunya kecil pula dipasang.Sedang malam sudah larut dan bulan di luar sebelah saja kelihatan.
Ketiga lelaki itu bajunya lusuh, dan malam dan warung yang muram membikin lusuh bajunya bertambah kumal kelihatan.Seorang dari mereka, yang bersampingan dengan pelacur tua, memakai topi. Topi itu disediakannya untuk mentari siang tadi., tapi bila malam datang dibiarkannya saja di sana, di atas kepalanya, di bawah bulan dan pada malam yang dingin datangnya. Debu jalanan menutupi jaket tipis dari yang seorang lagi.Debu itu ada tebalnya karena itu debu jalanan sepanjang siang.Tapi, biru baru jaket itu masih dapat kelihatan.Sedang yang satu lagi belum bercukur.Bulu-bulu banyak di mukanya membikin dia yang paling kumal di antara mereka.
Ketiga lelaki itu diam saja karena mereka dari tadi sudah lelah dnegan percakapan.Ketiga lelaki itu saling mereguk kopinya sebentar-sebentar, merenung-renung dan meminta tambah lagi kopi bila kehabisan.
Lelaki yang bertopi memandang kalender dinding warung.Kalender itu banyak kumalnya karena banyak digunakan.Ada tanda silang ada tanda bulatan pada beberapa angka-angkanya.Di bagian yang kosong ada pula angka-angka dari tulisan tangan yang sangat jelek kelihatan. Dan coretan sepasang paha ada pada samping kosong yang lain. Paha itu sedap digambarkan.Ada bulunya dan bila kau melihtanya kau takkan bisa tahu paha itu lelaki atau perempuan.Lelaki yangn bertopi terus merenung pada kalender.
“Tiga bulan lagi Desember, habis pula sebuah tahun,” katanya.
“Hm,” kata lelaki yang di sampingnya.Sedang yang satu lagi, yang paling kumal, diam karena dia lagi menuangkan kopi ke mulutnya.
“Tahun ini sedikit sekali aku mencipta.Aku kurang kreatif,” katanya dan dia terus merenung-renung ke kalender itu, “Aku takut.”
“Hm?” kata yang tadi bilang hm. Sedang yang satu lagi masih menghirup kopinya.
“Aku takut daya kreatifku menyusut terus.Kau tahu aku hanya dapat membuat tiga cerpen dan delapan sajak saja tahun ini.Sedangkan novelku itu majunya seperti siput.”
“Samalah aku,” kata yang tadi bilan hm, “Cuma enam sajak.Kamu masih mendingan, Har.”
Yang tadi menghirup kopi meletakkan gelasnya ke meja.
“Aku dua puluh empat sekarang,” kata Nahar, “Mengerikan bila orang seumurku telah melewati puncak kreativitasnya yang cuma belasan cerpen dan sajak.Aku benar-benar takut.Kau takut, Man?”
“Hm,” kata Rahman.
“Bukan banyaknya yang penting,” kata yang meletakkan gelas kopi.
“Memang,” kata Nahar. Dia agak palak karena Rahman cuma bilang hm dan Amir menjawab seenaknya.
“Orang bisa saja jadi penyair yang baik dengan membuat satu sajak saja dalam hidupnya,” kata Amir.
“Siapa penyairnya!” kata Nahar menantang. Palaknya jadi terangsang karena Amir masih menjawab sesedap-sedapnya.
Amir diam. Dia memang tak dapat menyebutkan. Dan bila dia demikian, diam dalam perdebatan itu, artinya dia memang tak tahu apa yang harus dijawabkan. Karena dia tak pernah diam karena sebab-sebab persahabatan dalam perdebatan.
“Coba kaubayangkan bila kita yang begini muda kehabisan daya cipta,” kata Nahar, “Aku benar-benar takut.”
“Hm,” kata Rahman.
“Aku tak takut hutang.Aku tak takut sipilis dan gonorrhoea.Aku takut Tuhan menghilangkan daya kreatifku,” kata Nahar.
“Lagipula, kalau kau sipilis atau gonorrhoea, kau tak bisa menulis,” kata Amir.
“Tidak, aku tak takut sipilis.Aku tak takut gonorrhoea,” kata Nahar.Dia mencekam cepat-cepat pada antara dua pangkal paha pelacur tua itu. Pelacur itu menjerit, “Au,” kemudian ketawa kecil, “Ha… ha…”
“Aku tak takut Tuhan,” kata Nahar lagi.
“Semua orang takut Tuhan dan juga sipilis,” kata Amir.
“Aku tak takut sipilis,” kata Nahar, “Kau bayarkan aku, Man. Biar aku main dengannya.”
“Aku tak sipilis,” kata pelacur tua itu.Dia memaksa membuat dirinya marah karena dia dari tadi sendirian saja dengan pikirannya dan tak mendengarkan mereka.Dia meletakkan tangannya pada paha Nahar.Dia memandang Nahar dan matanya mengharapkan. Rahman diam. Amir ketawa pelan-pelan.
“Bayarkan dia, Man,” kata Amir, “Biar dia rasa sipilis itu apa.”
“Aku tak sipilis!” pelacur itu marah dan marahnya datang sendirian.Rahman tetap diam. Sesuatu yang kosong mengisi dadanya diam-diam. Yang punya warung, perempuan tua yang lebih tua lagi karena beban kantuknya mulai memperhatikan mereka. Diusapnya bibirnya dengan telapak tangan, dia mengusir kantuknya di sana. Dan matanya berusaha memadatan pandangan pada mereka.
“Aku tak peduli kau sipilis atau tidak.Aku berani main dengan kau.Bayarkan aku, Man,” kata Nahar.
“Aku memang tak sipilis,” kata pelacur itu lagi.
“Gajah pun bisa disipilisnya,” kata Amir pada Nahar, “Apalagi kau! Ujung kakimu sampai rambut bisa sipilis semua.”
“Tidak , aku tidak sipilis. Aku tidak gonorwa!” pelacur itu menjerit marah.Dia memandang Amir.Dia memandang Rahman.Dia memandang keduanya dengan garang.Amir diam. Rahman tetap diam dan sesuatu yang kosong dalam semakin besar rasa kosongnya.Dan dia diam-dian memandang mata pelacur tua itu yang jadi bertambah merah dalam marahnya.Pipi yang dibedaki merah jadi seperti tomat yang mau busuk kelihatan. Bibir keriput agak segar kena air liur dari teriakan. Urat lehernya membuat cekung yang panjang dalam dongakan menantang.Pelacur tua itu memandang yang punya warung.
“Aku tak pernah sakit.Ibu kan tahu aku tak pernah sakit?” katanya.Dan dia memandang pada lelaki bertiga.
“Tanyakan pada dia. Dia tahu aku tak pernah sakit,” katanya.
Pelacur tua itu memandang lagi pada yang punya warung, minta diiyakan.Yang punya warung diam. Dia sering mendengar pertengkaran di warungnya dan biasanya dia diam saja. Karena setiap pertengkaran selalu asalnya sama saja, mempertahankan kepura-puraan. Tapi, lelaki ini memang ada benarnya, pikirnya.Aku memang takut sipilis.Aku memang takut gonorwa.Yang punya warung itu mengingat-ingat kembali sakitnya.
Dia tak tahu benar apa sakitnya. Apa itu sipilis apa itu gonorwa. Bagaimana pun yang mereka maksudkan, pikirnya.Dan dia mengingat kenanya.Lama, sudah lama sekali, pikirnya. Dan dia mengingat kembali besar takutnya hingga ia pun mencoba membuka warung dengan mengumpulkan uang. Dan Inah ini benar juga, pikirnya. Bila sakit-sakitan, orang tak kan dapat setiap malam datang kemari, pikirnya. Memang sudah lama kelihtan orang tak mengambilnya lagi.Orang hanya memegang-megang dadanya, memegang-megang pahanya, memegang-megang pantatnya saja di sini.Dan lelaki yang memegang membayarkan kopi dan kue-kue yang dimakannya.Memang tak pernah kelihatan lagi dia pergi dengan lelaki yang memegangnya, pikirnya.Tapi, ini bukan berarti dia telah sakit-sakitan.Tepatnya mungkin karena dia telah tua, pikirnya.Ketuaan mengingatkannya pada dirinya sendiri.Sesuatu yang duka menyerap pikirannya.Dia tak lagi mau meneruskan dan dia pun mendiamkan pikirannya diam-diam. Jadi, ketika pelacur tua itu minta diiyakan dia tetap diam.
Pelacur tua yang pipinya seperti tomat mau busuk itu matanya berair sekarang karena yang punya warung diam tak mengiyakan.
“Aku tak sipilis.Aku tak gonorwa.Aku tak pernah sakit,” dia menjerit kuat-kuat agar air di matanya tak kelihatan.
“Ayolah main,” katanya pada Nahar.
“Bayarkan aku, Man,” kata Nahar.
“Tak usah bayar,” kata pelacur itu, “Aku tak sakit.”
“Aku tak mau prai.Kau kan cari makan.”
“Ayolah main. Tak usah bayar!”
“Bayarkan aku, Man.”
“Ayolah main!”
“Bayarkan aku, Man.”
Rahman diam.
“Aku tak sakit tak sakit tak sakit!” pelacur itu menangis dan tomat yang mau busuk itu pecah sekarang.Dia keluar berlari ke jalan sambil memaki-maki dalam malam yang muram.
Mengapa kau tak bayarkan saja, Man. Biar dia tahu sakitnya, Amir bilang demikian. Jerit tangis pelacur itu membuatnya hanya dapat mengucapkan dalam pikiran.Sesuatu rasa kosong dalam dada Rahman makin besar rasa kosongnya.Tempat kosong bekas pelacur itu, gelasnya yang kosong dan sekerat kue yang tinggal, membesarkan rasa kosongnya. Rahman menatap sisa kue pelacur itu, mencari bekas giginya di sana agar rasa kosongnya mungkin dapat dilupakan. Tapi kosong itu tetap makin besar rasa kosongnya, menangkup segala yang tinggal dari pelacur tua itu, tempat duduknya, gelas yang kosong, sisa kue, dan sisa-sisa makian yang masih dapat kedengaran ditinggalkanya di ujung jalan. Rahman memandang yang punya warung.Yang punya warung telah dari tadi kembali menunduk dalam kantuknya.
“Tiga bulan lagi Desember.Ah habis pula sebuah tahun,” kata Nahar. Dia ingin mengatakan lagi tentang tahunnya, tapi kelihatan Amir ingin tetap diam dan Rahman tetap dalam renungan. Jadi, dia pun diam merenung sendiri akan tahunnya.
Rahman cepat-cepat menghabiskan kopinya dan menampakkan gerak agar Nahar dan Amir juga berbuat demikian. Nahar dan Amir menurutkannya karena Rahmanlah yang membayar. Nahar dan Amir tak punya uang. Nahar dan Amir tak punya uang sekarang seperti kemarin, seperti kemarinnya, seperti kemarin kemarin kemarinnya lagi tak punya uang. Nahar dan Amir selalu kehabisan uang karena hampir tak ada uang mereka untuk dihabiskan karena mereka mengharapkan uang dari honor puisi dan lain-lain karangan. Jadi, rahmanlah yang selalu membayar.Rahman tak merasa payah untuk selalu membayar karena uang dari orangtuanya tak payah datang.
Yang punya warung dengan ngantuk menghitung jumlah kopi yang diminum dan apa-apa yang dimakan mereka.Dan bila dia telah menjumlahkan semua, Rahman menyuruhnya menggabungkan pula dengan apa-apa yang dimakan pelacur dan minumnya.
Malam bertambah panjang malamnya, dan ketiga lelaki itu melangkah kakinya dalam malam yang panjang (***)


_______________________________


NB : bahwa Sutardji Calzoum Bachri pernah menerbitkan kumpulan cerpen, redaktur sudah mengetahuinya sejak lama. Namun, pada kesempatan inilah redaktur baru menemukan salah satu cerpen Tardji yang berjudul Suatu Malam Suatu Warung yang termaktub dalam kumpulan Hujan Menulis Ayam (IndonesiaTera, 2001). Karenanya, redaktur banyak berhutang pada laman www.matakata.tumblr.com. Selamat menikmati.

Redaktur SARBI: Dody Kristianto

Puisi-Puisi Teguh Trianton

 photo T06564_10_zpscf871189.jpg
Artist: James Barry (1741‑1806) | Title: Divine Justice
From:  A Series of Etchings by James Barry, Esq. from his Original and Justly Celebrated Paintings, in the Great Room of the Society of Arts | Date c.1802 | MediumEtching and line engraving on paper | Dimensionsimage: 752 x 504 mm | Collection: Tate
Pledoi Sufi

tuhan, benarkah sholatku
lebih baik dari tidurku?

jika dalam terjaga
aku tak dapat melihatmu

sedang, pada tidurku
tak seorang pun tahu
aku mendekapmu

Purbalingga, Mei 2008

Pledoi Penyair

malam menunjamkan kedewasaannya
begitu ramun, serupa harpa dawai siter
memetik sendiri kemerduaannya

membentuk notasinotasi
mengirim sakramen paling sunyi
menyihir sajakku jadi doa
yang paling doa yang paling sepi

Purbalingga, Mei 2008

Pledoi Puisi

bukan, bukan kecupan
yang selalu tertinggal di dada usai bercinta
lantaran kau kian berjelaga
setelah merah padam, bukan?

bukan, bukan luka
yang selalu nyeri di leher sejarah
lantaran kau tak pernah merasa terluka
meski sejarah mengandung serapah

bukan, bukan ciuman yang tersisa di tubuhmu
tapi puisi tanpa diksi

Purbalingga, Mei 2008

Pledoi 2
Puncak kebahagiaan adalah airmata


akadku padamu
di dadamu kutulis puisi
lengkap dengan sajadah
dan airmata

seperti pemburu yang mengeja anak panah
di dadamu kutemukan yang melebihi jantung
dari puncak airmata

Purbalingga, Februari 2008

Pledoi 3
Seperti Malam

kangen

seperti malam
batinku telah larut
oleh mimpi
tentangmu
berkalikali

Purbalingga, Februari 2008

Pledoi 4
Kebencian


seperti hujan
cinta selalu saja
tumbuh dari kebencian

tubuh yang menggigil
batin yang basah

seperti hujan
cinta adalah kebencian
yang membatu
di dada

sehingga
aku benci
membencimu

Purbalingga, Februari 2008

Pledoi 5
Mengais Cahaya


saat segala cahaya lindap
justru di situ aku melihat
bayangan diri ini mengendapendap
mengais cahaya direnruntuhan
tubuhku

Purbalingga, Maret 2008

Pledoi 6
Meditasi Tepi Laut

di kelam hari
di tepi laut
aku tak menemukan apapun
selain ombak pecah
yang gaduh
membuatku merasa
paling sunyi

Purbalingga, Maret 2008

Pledoi 7
Di Kelam Hari


entah siapa yang memulai
sehingga tercipta percakapan
yang kian batin

dan kau bertanya
kenapa kupilih laut serupa kiblat
dan pantai sajadah yang menghampar
dan pasir butir tasbih

wiridku debur ombak
yang selalu pecah di keheningan
yang terus berulang
mendaratkan ciuman sepi

Purbalingga, Maret 2008

Pledoi 8
Nusakambangan

melompati laut
mengejar matahari senja
pada matamu kakiku tersangkut prasangka
dan waktu menjatuhkan ingatanku

tak ada yang lebih ibu
tak ada yang lebih anak
tak ada yang lebih ayah

tak ada yang lebih sayang
tak ada yang lebih rindu
tak ada yang kian dendam
tak ada yang lebih rendezvous

setelah tali buritan terikat daratan

yang paling ombak
yang kian pantai
yang paling romantis
adalah nusakambangan

Cilacap, Maret 2008

Teguh Trianton lahir di sebuah desa terpencil di kaki Gunung Slamet, Desa Pagerandong, Kec. Mrebet Kab. Purbalingga, Jawa Tengah, tanggal 28 Desember 1978. Pernah bekerja sebagai wartawan. Kini menjadi guru Bahasa dan Sastra Indonesia pada SMK Widya Manggala Purbalingga. Tulisannya berupa puisi, artikel dan  esai telah diterbitkan di Harian Bernas Jogja, Tabloid Minggu Pagi, SKH Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Koran Sore Wawasan, Suara Pembaruan, Radar Banyumas, Seputar Indonesia (Sindo), Suara Karya, Suara Merdeka, Jurnal Sastra Pesantren Fadilah Yogyakarta, Buletin Sastra Literra Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Majalah Rindang, Annida, dll.

NB : puisi-puisi diatas diambil dari laman www.oase.kompas.com dan www.penyairnusantarajawatengah.blogspot.com 

Redaktur SARBI: Dody Kristianto

Saturday, January 18, 2014

Sejarah Terus Berulang, Hanya Pelakunya Berbeda

 photo T07454_10_zpsf9c5a85f.jpg
Artists: Jake Chapman (born 1966) & Dinos Chapman (born 1962) 
Title: Disasters of War, Date 1993 | Medium: Plastic, polyester resin, synthetic fibres, wood and guitar strings | Dimensionsdisplayed: 1300 x 2000 x 2000 mm | Collection: Tate 

Esai Arfan Fathoni*

Ya. Itulah kutipan yang cukup terngiang dalam otak saya saat melihat pementasan Putu Wijaya di acara Reuni Emas JBSI Unesa sekitar dua tahun lalu. Sekejap, saya jadi teringat tentang kisah Kerajaan-keraajan yang ada di Indonesia. Ternyata, sejarah di tanah air ini tak lebih dari sejarah penghancuran. Sebut saja yang paling fenomenal Kerajaan Majapahit. Kebesaran Majapahit tak lebih dari keberhasilan kerajaan tersebut menguasai(menghancurkan) kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara. Hal itu pun berulang ketika Majapahit Runtuh. Tak satu pun dari sisa kejayaannya yang tersisa. Pun yang ada hanya puing-puing yang coba untuk direvitalisasi kembali.

Suatu ketika ada sebuah ramalan (maaf penulis lupa ramalan siapa) yang menyebutkan jika yang akan manjadi raja-raja di Tanah Jawa adalah keturunan dari Ken Dedes. Akhirnya ramalan tersebut terjadi. Ken Dedes diperistri Tunggul Ametung dan akhirnya Tunggul Ametung sendiri mati di tangan Ken Arok dengan senjata keris Mpu Gandring. Ken Arok pun bertahta jadi raja Singosari. Namun, kutukan keris Mpu Gandring juga membunuh Ken Arok.

Terus apa hubungannya dengan Indonesia? Runtuhnya rezim (era) kita tak lebih karena kasus-kasus, sebut saja korupsi. Selain karena terjadi Pemberontakan G30S PKI, era Soekarno tidak lebih dari era yang korup. Rakyat susah sedang para pejabat makan enak. Orde ini lantas tumbang oleh Orde baru yang menjanjikan kesejahteraan. Namun sekali lagi ,Orde Baru juga runtuh oleh hal serupa, tapi dengan kondisi yang berbeda. Selanjutnya, hadir Habibie yang sedikit lain tapi tetap tumbang. Dilanjut oleh era Gus Dur yang juga harus lengser karena kasus Brunei gate. Megawati yang masih keturunan Soekarno juga harus kalah dalam pemilu karena kasus penjualan Indosat dan korupsi kroni-kroninya yang mayoritas saat ini sudah masuk penjara. Dan saat era Susilo Bambang Yudhoyono yang dalam iklan kampanyenya selalu berkata "KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI," ternyata hanya iklan retorika dalam kampanye belaka.

Kembali ke masalah tumbangnya rezim per rezim, saya mencoba mengambil istilah Budiman Soedjatmiko. Budiman menandaskan bahwa tumbangnya rezim demi rezim saat ini tak lebih dari "Kutukan Keris Mpu Gandring" di mana rezim yang berkuasa harus tumbang dengan senjata sama yang dipakai untuk menumbangkan rezim sebelumnya.

Kasus Nazarudin
Kenapa saya bersepakat dengan "Kutukan Keris Mpu Gandring?" Bagaimana tidak, saat Soekarno didakwa korup, ia segera ditumbangkan oleh kekuatan pemuda. Ternyata pengganti Soekarno justru lebih korup. Seolah deja vu, Jenderal Besar Soeharto juga harus tumbang oleh kekuatan pemuda seperti Anas Urbaningrum (Ketua PB HMI), Dita Indah Sari (PRD) dan pemuda lainnya. Yang menarik, saat ini kedua orang yang saya sebut sedang dekat dengan kekuasaan. Anas pernah menjadi ketua partai pemenang pemilu, sedangkan Dita saat ini menjadi Staf Khusus kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Pun pelengseran Anas dari kursi ketua umum Partai Demokrat karena namanya disebut oleh Nazarudin sebagai penerima uang APBN untuk pemenangan dirinya pada pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat.

Ah kok semakin melebar? Kembali ke masalah "Kutukan Keris Mpu Gandring," jika memang terbukti Anas dkk menerima APBN, kutukan itu sekali lagi bakal terbukti. Penumbang kekuasaan juga tumbang oleh sesuatu yang sama digunakan menumbangkan Status Quo.

Jadi, tidak salah kiranya apa yang diungkapkan Putu Wijaya pada monolognya perihal Sejarah Pasti Berulang, Hanya Pelakunya yang berbeda. Salam!


* Arfan Fathoni, penikmat dan pengamat politik, seni, budaya, dan sastra.
   Sekarang menjadi pemimpin Lembar SARBI
 

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post