Telah Terbit !

Yang sederhana, yang berserakan, yang tak diperhitungkan dan bertebaran di mana-mana, tetaplah harus dirayakan. Spesial SARBI edisi 8 di akhir tahun!

Segera Dapatkan !

Buku Puisi Karya KOMANG IRA PUSPITANINGSIH.

Toko Buku SARBI

Kumpulan buku bekas pilihan yang asik untuk dibaca dan dikoleksi dengan harga bersahabat.

Telah Terbit!

BULETIN TIKAR EDISI 02/2013 Diterbitkan oleh Komunitas Tikar Merah (KTM)

Dapatkan!

Buku Terbaru SARBIKITA Publishing Karya Heru Susanto

Blogroll

Thursday, January 23, 2014

Suatu Malam Suatu Warung

 photo T03051_10_zps9f0d03c7.jpg
Artist: Edward Burra (1905‑1976) | Title: The Snack Bar | Date: 1930
Medium: Oil paint on canvas | Dimensionssupport: 762 x 559 mm
Collection: Tate



Cerpen Sutardji Calzoum Bachri

Tiga orang lelaki muda dan seorang pelacur tua duduk di depan meja sebuah warung. Warung itu muram karena lampunya muram dan sumbunya kecil pula dipasang.Sedang malam sudah larut dan bulan di luar sebelah saja kelihatan.
Ketiga lelaki itu bajunya lusuh, dan malam dan warung yang muram membikin lusuh bajunya bertambah kumal kelihatan.Seorang dari mereka, yang bersampingan dengan pelacur tua, memakai topi. Topi itu disediakannya untuk mentari siang tadi., tapi bila malam datang dibiarkannya saja di sana, di atas kepalanya, di bawah bulan dan pada malam yang dingin datangnya. Debu jalanan menutupi jaket tipis dari yang seorang lagi.Debu itu ada tebalnya karena itu debu jalanan sepanjang siang.Tapi, biru baru jaket itu masih dapat kelihatan.Sedang yang satu lagi belum bercukur.Bulu-bulu banyak di mukanya membikin dia yang paling kumal di antara mereka.
Ketiga lelaki itu diam saja karena mereka dari tadi sudah lelah dnegan percakapan.Ketiga lelaki itu saling mereguk kopinya sebentar-sebentar, merenung-renung dan meminta tambah lagi kopi bila kehabisan.
Lelaki yang bertopi memandang kalender dinding warung.Kalender itu banyak kumalnya karena banyak digunakan.Ada tanda silang ada tanda bulatan pada beberapa angka-angkanya.Di bagian yang kosong ada pula angka-angka dari tulisan tangan yang sangat jelek kelihatan. Dan coretan sepasang paha ada pada samping kosong yang lain. Paha itu sedap digambarkan.Ada bulunya dan bila kau melihtanya kau takkan bisa tahu paha itu lelaki atau perempuan.Lelaki yangn bertopi terus merenung pada kalender.
“Tiga bulan lagi Desember, habis pula sebuah tahun,” katanya.
“Hm,” kata lelaki yang di sampingnya.Sedang yang satu lagi, yang paling kumal, diam karena dia lagi menuangkan kopi ke mulutnya.
“Tahun ini sedikit sekali aku mencipta.Aku kurang kreatif,” katanya dan dia terus merenung-renung ke kalender itu, “Aku takut.”
“Hm?” kata yang tadi bilang hm. Sedang yang satu lagi masih menghirup kopinya.
“Aku takut daya kreatifku menyusut terus.Kau tahu aku hanya dapat membuat tiga cerpen dan delapan sajak saja tahun ini.Sedangkan novelku itu majunya seperti siput.”
“Samalah aku,” kata yang tadi bilan hm, “Cuma enam sajak.Kamu masih mendingan, Har.”
Yang tadi menghirup kopi meletakkan gelasnya ke meja.
“Aku dua puluh empat sekarang,” kata Nahar, “Mengerikan bila orang seumurku telah melewati puncak kreativitasnya yang cuma belasan cerpen dan sajak.Aku benar-benar takut.Kau takut, Man?”
“Hm,” kata Rahman.
“Bukan banyaknya yang penting,” kata yang meletakkan gelas kopi.
“Memang,” kata Nahar. Dia agak palak karena Rahman cuma bilang hm dan Amir menjawab seenaknya.
“Orang bisa saja jadi penyair yang baik dengan membuat satu sajak saja dalam hidupnya,” kata Amir.
“Siapa penyairnya!” kata Nahar menantang. Palaknya jadi terangsang karena Amir masih menjawab sesedap-sedapnya.
Amir diam. Dia memang tak dapat menyebutkan. Dan bila dia demikian, diam dalam perdebatan itu, artinya dia memang tak tahu apa yang harus dijawabkan. Karena dia tak pernah diam karena sebab-sebab persahabatan dalam perdebatan.
“Coba kaubayangkan bila kita yang begini muda kehabisan daya cipta,” kata Nahar, “Aku benar-benar takut.”
“Hm,” kata Rahman.
“Aku tak takut hutang.Aku tak takut sipilis dan gonorrhoea.Aku takut Tuhan menghilangkan daya kreatifku,” kata Nahar.
“Lagipula, kalau kau sipilis atau gonorrhoea, kau tak bisa menulis,” kata Amir.
“Tidak, aku tak takut sipilis.Aku tak takut gonorrhoea,” kata Nahar.Dia mencekam cepat-cepat pada antara dua pangkal paha pelacur tua itu. Pelacur itu menjerit, “Au,” kemudian ketawa kecil, “Ha… ha…”
“Aku tak takut Tuhan,” kata Nahar lagi.
“Semua orang takut Tuhan dan juga sipilis,” kata Amir.
“Aku tak takut sipilis,” kata Nahar, “Kau bayarkan aku, Man. Biar aku main dengannya.”
“Aku tak sipilis,” kata pelacur tua itu.Dia memaksa membuat dirinya marah karena dia dari tadi sendirian saja dengan pikirannya dan tak mendengarkan mereka.Dia meletakkan tangannya pada paha Nahar.Dia memandang Nahar dan matanya mengharapkan. Rahman diam. Amir ketawa pelan-pelan.
“Bayarkan dia, Man,” kata Amir, “Biar dia rasa sipilis itu apa.”
“Aku tak sipilis!” pelacur itu marah dan marahnya datang sendirian.Rahman tetap diam. Sesuatu yang kosong mengisi dadanya diam-diam. Yang punya warung, perempuan tua yang lebih tua lagi karena beban kantuknya mulai memperhatikan mereka. Diusapnya bibirnya dengan telapak tangan, dia mengusir kantuknya di sana. Dan matanya berusaha memadatan pandangan pada mereka.
“Aku tak peduli kau sipilis atau tidak.Aku berani main dengan kau.Bayarkan aku, Man,” kata Nahar.
“Aku memang tak sipilis,” kata pelacur itu lagi.
“Gajah pun bisa disipilisnya,” kata Amir pada Nahar, “Apalagi kau! Ujung kakimu sampai rambut bisa sipilis semua.”
“Tidak , aku tidak sipilis. Aku tidak gonorwa!” pelacur itu menjerit marah.Dia memandang Amir.Dia memandang Rahman.Dia memandang keduanya dengan garang.Amir diam. Rahman tetap diam dan sesuatu yang kosong dalam semakin besar rasa kosongnya.Dan dia diam-dian memandang mata pelacur tua itu yang jadi bertambah merah dalam marahnya.Pipi yang dibedaki merah jadi seperti tomat yang mau busuk kelihatan. Bibir keriput agak segar kena air liur dari teriakan. Urat lehernya membuat cekung yang panjang dalam dongakan menantang.Pelacur tua itu memandang yang punya warung.
“Aku tak pernah sakit.Ibu kan tahu aku tak pernah sakit?” katanya.Dan dia memandang pada lelaki bertiga.
“Tanyakan pada dia. Dia tahu aku tak pernah sakit,” katanya.
Pelacur tua itu memandang lagi pada yang punya warung, minta diiyakan.Yang punya warung diam. Dia sering mendengar pertengkaran di warungnya dan biasanya dia diam saja. Karena setiap pertengkaran selalu asalnya sama saja, mempertahankan kepura-puraan. Tapi, lelaki ini memang ada benarnya, pikirnya.Aku memang takut sipilis.Aku memang takut gonorwa.Yang punya warung itu mengingat-ingat kembali sakitnya.
Dia tak tahu benar apa sakitnya. Apa itu sipilis apa itu gonorwa. Bagaimana pun yang mereka maksudkan, pikirnya.Dan dia mengingat kenanya.Lama, sudah lama sekali, pikirnya. Dan dia mengingat kembali besar takutnya hingga ia pun mencoba membuka warung dengan mengumpulkan uang. Dan Inah ini benar juga, pikirnya. Bila sakit-sakitan, orang tak kan dapat setiap malam datang kemari, pikirnya. Memang sudah lama kelihtan orang tak mengambilnya lagi.Orang hanya memegang-megang dadanya, memegang-megang pahanya, memegang-megang pantatnya saja di sini.Dan lelaki yang memegang membayarkan kopi dan kue-kue yang dimakannya.Memang tak pernah kelihatan lagi dia pergi dengan lelaki yang memegangnya, pikirnya.Tapi, ini bukan berarti dia telah sakit-sakitan.Tepatnya mungkin karena dia telah tua, pikirnya.Ketuaan mengingatkannya pada dirinya sendiri.Sesuatu yang duka menyerap pikirannya.Dia tak lagi mau meneruskan dan dia pun mendiamkan pikirannya diam-diam. Jadi, ketika pelacur tua itu minta diiyakan dia tetap diam.
Pelacur tua yang pipinya seperti tomat mau busuk itu matanya berair sekarang karena yang punya warung diam tak mengiyakan.
“Aku tak sipilis.Aku tak gonorwa.Aku tak pernah sakit,” dia menjerit kuat-kuat agar air di matanya tak kelihatan.
“Ayolah main,” katanya pada Nahar.
“Bayarkan aku, Man,” kata Nahar.
“Tak usah bayar,” kata pelacur itu, “Aku tak sakit.”
“Aku tak mau prai.Kau kan cari makan.”
“Ayolah main. Tak usah bayar!”
“Bayarkan aku, Man.”
“Ayolah main!”
“Bayarkan aku, Man.”
Rahman diam.
“Aku tak sakit tak sakit tak sakit!” pelacur itu menangis dan tomat yang mau busuk itu pecah sekarang.Dia keluar berlari ke jalan sambil memaki-maki dalam malam yang muram.
Mengapa kau tak bayarkan saja, Man. Biar dia tahu sakitnya, Amir bilang demikian. Jerit tangis pelacur itu membuatnya hanya dapat mengucapkan dalam pikiran.Sesuatu rasa kosong dalam dada Rahman makin besar rasa kosongnya.Tempat kosong bekas pelacur itu, gelasnya yang kosong dan sekerat kue yang tinggal, membesarkan rasa kosongnya. Rahman menatap sisa kue pelacur itu, mencari bekas giginya di sana agar rasa kosongnya mungkin dapat dilupakan. Tapi kosong itu tetap makin besar rasa kosongnya, menangkup segala yang tinggal dari pelacur tua itu, tempat duduknya, gelas yang kosong, sisa kue, dan sisa-sisa makian yang masih dapat kedengaran ditinggalkanya di ujung jalan. Rahman memandang yang punya warung.Yang punya warung telah dari tadi kembali menunduk dalam kantuknya.
“Tiga bulan lagi Desember.Ah habis pula sebuah tahun,” kata Nahar. Dia ingin mengatakan lagi tentang tahunnya, tapi kelihatan Amir ingin tetap diam dan Rahman tetap dalam renungan. Jadi, dia pun diam merenung sendiri akan tahunnya.
Rahman cepat-cepat menghabiskan kopinya dan menampakkan gerak agar Nahar dan Amir juga berbuat demikian. Nahar dan Amir menurutkannya karena Rahmanlah yang membayar. Nahar dan Amir tak punya uang. Nahar dan Amir tak punya uang sekarang seperti kemarin, seperti kemarinnya, seperti kemarin kemarin kemarinnya lagi tak punya uang. Nahar dan Amir selalu kehabisan uang karena hampir tak ada uang mereka untuk dihabiskan karena mereka mengharapkan uang dari honor puisi dan lain-lain karangan. Jadi, rahmanlah yang selalu membayar.Rahman tak merasa payah untuk selalu membayar karena uang dari orangtuanya tak payah datang.
Yang punya warung dengan ngantuk menghitung jumlah kopi yang diminum dan apa-apa yang dimakan mereka.Dan bila dia telah menjumlahkan semua, Rahman menyuruhnya menggabungkan pula dengan apa-apa yang dimakan pelacur dan minumnya.
Malam bertambah panjang malamnya, dan ketiga lelaki itu melangkah kakinya dalam malam yang panjang (***)


_______________________________


NB : bahwa Sutardji Calzoum Bachri pernah menerbitkan kumpulan cerpen, redaktur sudah mengetahuinya sejak lama. Namun, pada kesempatan inilah redaktur baru menemukan salah satu cerpen Tardji yang berjudul Suatu Malam Suatu Warung yang termaktub dalam kumpulan Hujan Menulis Ayam (IndonesiaTera, 2001). Karenanya, redaktur banyak berhutang pada laman www.matakata.tumblr.com. Selamat menikmati.

Redaktur SARBI: Dody Kristianto

Puisi-Puisi Teguh Trianton

 photo T06564_10_zpscf871189.jpg
Artist: James Barry (1741‑1806) | Title: Divine Justice
From:  A Series of Etchings by James Barry, Esq. from his Original and Justly Celebrated Paintings, in the Great Room of the Society of Arts | Date c.1802 | MediumEtching and line engraving on paper | Dimensionsimage: 752 x 504 mm | Collection: Tate
Pledoi Sufi

tuhan, benarkah sholatku
lebih baik dari tidurku?

jika dalam terjaga
aku tak dapat melihatmu

sedang, pada tidurku
tak seorang pun tahu
aku mendekapmu

Purbalingga, Mei 2008

Pledoi Penyair

malam menunjamkan kedewasaannya
begitu ramun, serupa harpa dawai siter
memetik sendiri kemerduaannya

membentuk notasinotasi
mengirim sakramen paling sunyi
menyihir sajakku jadi doa
yang paling doa yang paling sepi

Purbalingga, Mei 2008

Pledoi Puisi

bukan, bukan kecupan
yang selalu tertinggal di dada usai bercinta
lantaran kau kian berjelaga
setelah merah padam, bukan?

bukan, bukan luka
yang selalu nyeri di leher sejarah
lantaran kau tak pernah merasa terluka
meski sejarah mengandung serapah

bukan, bukan ciuman yang tersisa di tubuhmu
tapi puisi tanpa diksi

Purbalingga, Mei 2008

Pledoi 2
Puncak kebahagiaan adalah airmata


akadku padamu
di dadamu kutulis puisi
lengkap dengan sajadah
dan airmata

seperti pemburu yang mengeja anak panah
di dadamu kutemukan yang melebihi jantung
dari puncak airmata

Purbalingga, Februari 2008

Pledoi 3
Seperti Malam

kangen

seperti malam
batinku telah larut
oleh mimpi
tentangmu
berkalikali

Purbalingga, Februari 2008

Pledoi 4
Kebencian


seperti hujan
cinta selalu saja
tumbuh dari kebencian

tubuh yang menggigil
batin yang basah

seperti hujan
cinta adalah kebencian
yang membatu
di dada

sehingga
aku benci
membencimu

Purbalingga, Februari 2008

Pledoi 5
Mengais Cahaya


saat segala cahaya lindap
justru di situ aku melihat
bayangan diri ini mengendapendap
mengais cahaya direnruntuhan
tubuhku

Purbalingga, Maret 2008

Pledoi 6
Meditasi Tepi Laut

di kelam hari
di tepi laut
aku tak menemukan apapun
selain ombak pecah
yang gaduh
membuatku merasa
paling sunyi

Purbalingga, Maret 2008

Pledoi 7
Di Kelam Hari


entah siapa yang memulai
sehingga tercipta percakapan
yang kian batin

dan kau bertanya
kenapa kupilih laut serupa kiblat
dan pantai sajadah yang menghampar
dan pasir butir tasbih

wiridku debur ombak
yang selalu pecah di keheningan
yang terus berulang
mendaratkan ciuman sepi

Purbalingga, Maret 2008

Pledoi 8
Nusakambangan

melompati laut
mengejar matahari senja
pada matamu kakiku tersangkut prasangka
dan waktu menjatuhkan ingatanku

tak ada yang lebih ibu
tak ada yang lebih anak
tak ada yang lebih ayah

tak ada yang lebih sayang
tak ada yang lebih rindu
tak ada yang kian dendam
tak ada yang lebih rendezvous

setelah tali buritan terikat daratan

yang paling ombak
yang kian pantai
yang paling romantis
adalah nusakambangan

Cilacap, Maret 2008

Teguh Trianton lahir di sebuah desa terpencil di kaki Gunung Slamet, Desa Pagerandong, Kec. Mrebet Kab. Purbalingga, Jawa Tengah, tanggal 28 Desember 1978. Pernah bekerja sebagai wartawan. Kini menjadi guru Bahasa dan Sastra Indonesia pada SMK Widya Manggala Purbalingga. Tulisannya berupa puisi, artikel dan  esai telah diterbitkan di Harian Bernas Jogja, Tabloid Minggu Pagi, SKH Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Koran Sore Wawasan, Suara Pembaruan, Radar Banyumas, Seputar Indonesia (Sindo), Suara Karya, Suara Merdeka, Jurnal Sastra Pesantren Fadilah Yogyakarta, Buletin Sastra Literra Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Majalah Rindang, Annida, dll.

NB : puisi-puisi diatas diambil dari laman www.oase.kompas.com dan www.penyairnusantarajawatengah.blogspot.com 

Redaktur SARBI: Dody Kristianto

Saturday, January 18, 2014

Sejarah Terus Berulang, Hanya Pelakunya Berbeda

 photo T07454_10_zpsf9c5a85f.jpg
Artists: Jake Chapman (born 1966) & Dinos Chapman (born 1962) 
Title: Disasters of War, Date 1993 | Medium: Plastic, polyester resin, synthetic fibres, wood and guitar strings | Dimensionsdisplayed: 1300 x 2000 x 2000 mm | Collection: Tate 

Esai Arfan Fathoni*

Ya. Itulah kutipan yang cukup terngiang dalam otak saya saat melihat pementasan Putu Wijaya di acara Reuni Emas JBSI Unesa sekitar dua tahun lalu. Sekejap, saya jadi teringat tentang kisah Kerajaan-keraajan yang ada di Indonesia. Ternyata, sejarah di tanah air ini tak lebih dari sejarah penghancuran. Sebut saja yang paling fenomenal Kerajaan Majapahit. Kebesaran Majapahit tak lebih dari keberhasilan kerajaan tersebut menguasai(menghancurkan) kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara. Hal itu pun berulang ketika Majapahit Runtuh. Tak satu pun dari sisa kejayaannya yang tersisa. Pun yang ada hanya puing-puing yang coba untuk direvitalisasi kembali.

Suatu ketika ada sebuah ramalan (maaf penulis lupa ramalan siapa) yang menyebutkan jika yang akan manjadi raja-raja di Tanah Jawa adalah keturunan dari Ken Dedes. Akhirnya ramalan tersebut terjadi. Ken Dedes diperistri Tunggul Ametung dan akhirnya Tunggul Ametung sendiri mati di tangan Ken Arok dengan senjata keris Mpu Gandring. Ken Arok pun bertahta jadi raja Singosari. Namun, kutukan keris Mpu Gandring juga membunuh Ken Arok.

Terus apa hubungannya dengan Indonesia? Runtuhnya rezim (era) kita tak lebih karena kasus-kasus, sebut saja korupsi. Selain karena terjadi Pemberontakan G30S PKI, era Soekarno tidak lebih dari era yang korup. Rakyat susah sedang para pejabat makan enak. Orde ini lantas tumbang oleh Orde baru yang menjanjikan kesejahteraan. Namun sekali lagi ,Orde Baru juga runtuh oleh hal serupa, tapi dengan kondisi yang berbeda. Selanjutnya, hadir Habibie yang sedikit lain tapi tetap tumbang. Dilanjut oleh era Gus Dur yang juga harus lengser karena kasus Brunei gate. Megawati yang masih keturunan Soekarno juga harus kalah dalam pemilu karena kasus penjualan Indosat dan korupsi kroni-kroninya yang mayoritas saat ini sudah masuk penjara. Dan saat era Susilo Bambang Yudhoyono yang dalam iklan kampanyenya selalu berkata "KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI," ternyata hanya iklan retorika dalam kampanye belaka.

Kembali ke masalah tumbangnya rezim per rezim, saya mencoba mengambil istilah Budiman Soedjatmiko. Budiman menandaskan bahwa tumbangnya rezim demi rezim saat ini tak lebih dari "Kutukan Keris Mpu Gandring" di mana rezim yang berkuasa harus tumbang dengan senjata sama yang dipakai untuk menumbangkan rezim sebelumnya.

Kasus Nazarudin
Kenapa saya bersepakat dengan "Kutukan Keris Mpu Gandring?" Bagaimana tidak, saat Soekarno didakwa korup, ia segera ditumbangkan oleh kekuatan pemuda. Ternyata pengganti Soekarno justru lebih korup. Seolah deja vu, Jenderal Besar Soeharto juga harus tumbang oleh kekuatan pemuda seperti Anas Urbaningrum (Ketua PB HMI), Dita Indah Sari (PRD) dan pemuda lainnya. Yang menarik, saat ini kedua orang yang saya sebut sedang dekat dengan kekuasaan. Anas pernah menjadi ketua partai pemenang pemilu, sedangkan Dita saat ini menjadi Staf Khusus kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Pun pelengseran Anas dari kursi ketua umum Partai Demokrat karena namanya disebut oleh Nazarudin sebagai penerima uang APBN untuk pemenangan dirinya pada pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat.

Ah kok semakin melebar? Kembali ke masalah "Kutukan Keris Mpu Gandring," jika memang terbukti Anas dkk menerima APBN, kutukan itu sekali lagi bakal terbukti. Penumbang kekuasaan juga tumbang oleh sesuatu yang sama digunakan menumbangkan Status Quo.

Jadi, tidak salah kiranya apa yang diungkapkan Putu Wijaya pada monolognya perihal Sejarah Pasti Berulang, Hanya Pelakunya yang berbeda. Salam!


* Arfan Fathoni, penikmat dan pengamat politik, seni, budaya, dan sastra.
   Sekarang menjadi pemimpin Lembar SARBI
 

Sastra(wan) dan Ekonomi

 photo soviet_poster_tp09_0_zps334a7e3e.jpg
 Fig.1  I’m bored at home; I’m happy in the crêche!
Soviet poster 1930s
© London School of Economics and Political Science 2007 Coll Misc 0719-16

Oleh Umar Fauzi Ballah

Ada sebuah perbincangan yang menjadi laten dalam beberapa "pemikiran" penulis kita dewasa ini—walaupun dugaan ini telah terjadi jauh sebelum ini—yakni pemuatan karya di media cetak. Dalam berlomba-lomba agar karya itu dimuat, faktor honorarium dari media menjadi hal yang tidak bisa dikesampingkan. Fenomena itu yang tidak sedikit dibicarakan di sosial media, misalnya, di grup Facebook, "Sastra Minggu."
Faktor ekonomi sebagai wilayah oportunis pada dasarnya tidak hendak berlawanan dengan wilayah kesusastraan sebagai produk yang lahir dari wilayah idealisme. Sebagai sebuah produk kesenian, harga bagi sebuah karya adalah salah satu wujud apresiasi. Hal ini berlaku dalam bidang seni apa pun. Setidaknya, hal ini untuk mengukuhkan fitrah bahwa aspek ekonomi adalah salah satu kebutuhan primer manusia.
Selain faktor honor sebagai bentuk pemuasaan diri, pemuatan karya di media cetak adalah kepuasaan itu sendiri. Karena itu, dan ini biasa dialami penulis pemula, mereka senang-senang saja ketika karya mereka dimuat walaupun honor tidak mereka dapatkan yang entah bisa terjadi karena proses birokrasi atau kecurangan pihak media atau memang tidak ada dana untuk ketentuan pemuatan tersebut.
Media cetak tidak dapat dipungkiri adalah penasbih seseorang bisa disebut sastrawan, baik itu penyair maupun pengarang. Sampai di sini sudah terjadi pengelompokan dan kelas-kelas sebagaimana konsep Karl Marx. Dahulu, pada tahun 1980-an, ada anggapan bahwa belum sastrawan jika karyanya belum dimuat majalah Horison. Anggapan ini kemudian dipecah oleh Nirwan Dewanto yang mengalihkannya pada media harian semacam koran Kompas sebagaimana pernyataan Nirwan dalam buku Pelajaran Mengarang, Cerpen Pilihan Kompas 1993:
“Harus kita akui, bahwa cerpen-cerpen terbaik di Indonesia selama lima tahun terakhir muncul di Kompas dan di Matra, bukan di (majalah sastra) Horison. Sungguh mengagetkan, begitu kita menyadari tiba-tiba, bahwa ‘kesehatan’ sastra kita amat bergantung kepada para redaktur cerpen itu. Tapi juga menggembirakan, kalau dengan itu para penulis cerpen dibebaskan dari (sebagian) tradisi sastra yang membelenggu.”
Fenomena dan mainstream ini terus berlanjut sampai saat ini. Dan, hari Minggu adalah hari sastra Indonesia. Maman Mahayana menyebutnya sebagai hari cerpen Indonesia. Sastra Indonesia memang terus berada dalam mitos-mitos tersebut sampai saat ini. Akan tetapi, lebih dari itu, dugaan saya adalah mitos itu tercipta bukan hanya pada relasi kekuasaan, melainkan juga relasi ekonomi.
Kompas, misalnya, memang dengan sadar telah menciptakan sebuah inovasi bagi tradisi kepengarangan yang masih kukuh sampai saat ini, yakni membukukan cerpen terbaik selama rentang setahun. Pada dasarnya, ini adalah tradisi turunan di mana Horison pun pernah melakukan hal serupa walaupun dalam bentuk yang lebih general.
Lalu, benarkah asumsi Nirwan 20 tahun yang lalu itu? Kenyataannya memang demikian. Suka tidak suka kondisi itu terus berlanjut. Pengarang-pengarang ternama di Indonesia mengirimkan karya terbaik mereka ke koran Kompas. Apakah kerja redaktur kemudian dipengaruhi nama-nama besar tersebut? Kita tidak bisa dengan serampangan menjawabnya dengan kemungkinan tersebut.
Kemungkin yang bisa saya buat adalah dengan melihatnya dalam relasi ekonomi. Tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa media ini: Kompas, Koran Tempo, dan Jawa Pos adalah penguasa media nasional yang jangkauannya pada masyarakat lebih luas, pun dalam hal penghonoran.
Saya membayangkan pada kerja seorang sastrawan yang produktif. Begitu kerja selesai, selanjutnya pada proses penerbitan karya, dalam hal ini pemuatan ke media. Anggaplah seorang pengarang menciptakan dua buah cerpen. Seorang pengarang bisa dipastikan memahami bahwa karya berjudul A lebih baik daripada karya berjudul B.  Maka, wajarlah bahwa karya A itu akan dikirim ke koran yang mutu dan honornya juga baik. Dengan demikian, bisa dibayangkan bahwa sebuah koran sekelas Kompas pada dasarnya menerima karya dari pengarang-pengarang yang karyanya sejak awal terseleksi pengarangnya sendiri sebagai yang terbaik. Tentu saja, dugaan ini masih perlu diteliti lebih intens. Misalnya, kita bisa membandingkan kualitas cerpen seorang pengarang yang sama ketika karyanya dimuat di Kompas atau Jawa Pos dan media yang lain. Pembacaan itu sebenarnya lebih mudah mengingat beberapa buku cerpen mencantumkan riwayat pemuatan.
Selain itu, faktor estetika atau tampilan koran juga punya andil besar. Dalam pemuatan puisi, hal ini akan lebih terasa. Sebuah koran yang kurang memperhatikan pentingnya tipografi akan membuat tampilan sebuah puisi berubah dari tipografi yang semula dihadirkan penyair. Dari pembacaan ini, kita bisa tahu bahwa karya seni, seperti puisi yang memperhatikan detail penulisan, ternyata bisa rusak oleh tata letak koran yang serampangan. Dari sini, tampaklah kerja intelektual seorang redaktur dan lay outer. Dalam kerangka yang lebih besar, bisa kita baca manakah media yang betul-betul memiliki kepekaan budaya.
Relasi ekonomi dengan kualitas karya tidak bisa dipisahkan. Sebuah media yang besar dan dengan dukungan keuangan yang besar telah menciptakan sebuah ruang yang nyaman bagi pemuatan karya seperti cerpen dan puisi tanpa diganggu kehadiran, misal, keterdesakan oleh iklan. Pengarang sebagai kreator tentu akan mempertimbangkan hal tersebut sehingga wajarlah bila pengarang memilih media tertentu untuk karyanya yang dianggap bermutu.
Berbicara mainstream sastra koran, dahulu pernah ada Surabaya Post yang dianggap bermutu dengan honor yang cukup besar pada zamannya. Bersamaan dengan "bangkrutnya" Surabaya Post, nasib kualitas karya sastra di sana pun turut raib. Dari sini saya pun menduga bahwa tumbangnyaHorison bisa karena faktor honorarium yang sudah “tidak berkualitas.” Hasilnya, beberapa pengarang memilih mengirimkan karyanya pada media yang lebih baik. Bukankah ini sama halnya dengan analogi seni rupa? Sebuah lukisan yang berkualitas, tentu akan mendapatkan harga yang pantas, baik secara ekonomi maupun sejarahnya.
Saya tidak hendak melakukan proses berpikir generalisasi. Peran atau selera redaktur tidak bisa dipisahkan. Namun, saya tetap percaya bahwa estetika tetap memunyai nilai universal, pun terlepas dari sudut pandang politik sastra Indonesia.
Setidaknya, ada sebuah pemakluman dari kisah hidup Chairil Anwar. Konon, puisinya yang kemudian disebut saduran awalnya adalah sebuah proses penerjemahan yang dilakukan Chairil Anwar. Namun, karena keterdesakan ekonomi di mana honor sebagai penerjemahtidak lebih besar dari karya asli, dia pun membelot sekian derajat untuk menghapus karya tesebut sebagai terjemahan menjadi karya dirinya.


*) Umar Fauzi Ballah pengajar di Ganesha Operation Sumenep
    dan pengelola Lembar SARBI.

    Twitter @uf_ballah.
 


 

Puisi-Puisi Dody Kristianto di Jawa Pos, 29 Desember 2013

 photo 1512719_10201444355540241_1836760204_n_zps02fe74e2.jpg

Menyimak Ancangan Lesat
-          Teruntuk Midori Makibao

Demi depan belaka, demi yang tak mau terdahulukan,
demi yang enggan dilampaui bayangan sekalipun, kau
berwasiat tentang kebaikan cepat.

Percayalah, dengan kekukuhan kayuhan kaki. Langit
di kepala mungkin tak lebih dari buah jatuh yang makin
dekat. Percayalah, dengan kaki kiri kanan yang lihai
menggagahi pedal. Tanah di bawah seolah bersyahadat
mengangkat yang gemar berbalap.

Katakanlah, apa ini perilaku penyampai yang bermunajat
menibakan yang cepat dengan segenap keajaiban?

Sekali lagi, ingin kutampik pelbagai perihal gaib
dari pandangan sebelum kumulakan ibadah perlesatan.
Maka, sah dan halal kata-kata : segeralah menyingkir
tiga memedi di belakang, harus ngacir lima pocong yang baris
di pertengahan lintasan, lebih-lebih, wajib tersalip sepasang
danyang yang mengurus laju jalan depan.

Sebab, lawan yang sesungguh sebenarnya kegamangan
saat badan diterabas angin liar. Oh, anasir gila sasar
yang merusuhi rima dan langgam jalan sebelum belokan.

(2013)
 
Pit Ontel Kami

Selaku tukang besi terberkatilah engkau. Telah terperdaya lempeng
di depan pandang. Tak akan ia melawan dan mengacungkan diri
serupa semua perihal tajam. Ia bukan lagi sebilah yang berdalih
menggurat yang mengganti anak muda itu di sesembahan. Bukan pula
ia yang menggores wajah, badan, hingga segala yang tak terlindung
dengan kekebalan.

Kini engkau yang tangguh dan sungguh hendak memberinya berkah.
Dengan tempahan panas namun mesra. Dengan pukulan bertenaga
lagi berirama. Dengan kerapian lekuk paling sopan yang pernah diraba
kaum penjelajah maka tertatalah ia sebagai yang menerima lagi tabah
di bawah. Kau itikadkan ia selaku yang yang harus tertaklukkan,
yang harus menerima dorong dan kayuhan.

Maka, terberkatilah kini separuh jalan kami. Telah pasrah ia dipasungi
rantai paling damai. Sepasang yang memutar bakal santai mengantar
tubuh kami. Tak sampai ia laknat meski pantat tambun kami menuntunnya
pada laju berbatu paling jahat di depan makam. Hingga, kami bersua
yang mendongak, jalan menanjak itu, yang gemar menyembunyikan petang
dan menyiapkan kuburan untuk kami yang sedikit nakal dan sesekali lupa
jalan ke rumah.

(2013)
 

Tuntunan Menjelang Balap

Cukupkan dengan yang di bawah merasa terkangkang. Gairahkan
gerak selaras kiri dan kanan. Kerik selalu lidah agar diksi basmalah
tak luput terucap. Bila telah purna benar semua dan tak ada yang
beranjak makar, maka lantangkan sesumbar pertama. Seru nama

penunggang yang tepat berada di seberang mata. Jangan lupa itikadkan
sabar meski lobang di gelanggang sudah piawai berjalan-jalan.
Lipatgandakan tingkah kencang sebagaimana kau pernah berkejaran
dengan seteru yang percaya pit ontel dan jaran afrika. Jangan berubah

jadi jago gagap walau yang kau tantang gemar bernawak anasir liar
dan perangkap gelap. Bila sampai putaran ini pada belokan tajam,
kenang kembali kitab segala pelan dan perlahan. Cergaslah mengingat
wasiat mengeja. Dari huruf pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya

betapa terentang semesta jarak. Pantang pula kau berlaku serupa yang
tergesa. Pacu daya di sekitar. Seimbangkan, seolah kaki ini lihai meniti.
Tuntun dan lanjutkan arah pada depan belaka. Tak ada yang harus kau
takutkan dari gelibat cepat ini. Yakinlah, ia sekadar angin yang lepas

dan terhempas di bidang dada.

(2013)
 

Kidung Bolt

Mulialah sepasang kaki jenjang dan kuat ini. Betapa tegak
Ia menapak, menyentak, serta mengantar badan dengan langgam
Paling lesat. Terberkati sungguh lajur mulus nan suci dari segala

Kerikil dan debu nyasar yang kurang ajar. Tertuntunlah sepasang kaki ini
Seolah ia menyapa kembaran di bawah sana, mengucap salam lagi melepas
Sekian safaat agar yang menjejak lekas tiba di garis sana. Selalulah siaga

Ancangan yang bersekutu dengan angin. Tak akan pusaran tak kasat mata
Itu berani menggempur kencang. Bukankah bidang dada seteguh baja ini
Akan menabrak, memecahnya, mengantar anasir lewat itu pulang

Ke segala arah. Lekas-lekas saja tersungkur dan terbelakang seteru
Di kiri kanan. Semoga pandang mereka disamarkan, disesatkan, serta
Dicanggungkan hingga taklah jauh berbeda garis akhir dan awalan.

(2013)

Muslihat Menelikung Kuda
Kuda tetaplah kuda. Untuk meredakannya, aku harus bersekutu
dengan angin. Tapi, rupanya bulan tak hendak jatuh dan angin
hanya serupa tetes terakhir hujan. Maka kupinjam bahasa rahasia
dari pawang. Hentaklah kaki berkali-kali. Batu mencoba melayang,
tapi tetap tak punya kehendak. Debu keluar terbang, tapi tak punya
luncur yang menghentak. Hingga yang paling tepat, aku bersiasat
dengan kerikil. Bisikan sederhana adalah peribahasanya. Memang
tak harus si cepat ditaklukkan dengan keliatan.

Tapi kuda tetaplah kuda. Aku harus mengakhirkannya. Benarlah.
Kaki lemah ini harus menerima sembur mesra dalam sekerjapan
malam. Oh, yang menjaga air segala air : kusambut air tujuh lautan,
sumur tua paling dalam, rawa remang tempat kunti bersarang.
Biar yang menunggu tanah tak lekas gegabah menyesap dan menahan
tapak dalam-dalam. Agar langkah ke depan seolah mengawang
tak menjejak. Dan jin iprit di genggaman gemar-gemarlah berucap
sawan. Semata demi menghambat langkah sang kuda yang tak terkawal
mata, yang harus dibikin lamat-lamat, yang tak harus menyentuh
akhiran lebih cepat.

Tapi benarlah, kuda tetaplah kuda.

(2013)


 

Puisi-Puisi Dody Kristianto di Koran Tempo, 29 Desember 2013

 photo korantempo29desember2013_zps9656467c.jpg

Persuaan Orang Tamat
Jika aku bangun, kau pun bangun. Tapi dengan rupa apa
kau dibangkitkan? Sementara kelewang kita telah disarungkan.

Tapi berdiamlah, bergeminglah untuk hikayat kejatuhan.
Agar yang masih di darat dan tak terperangkap kegelapan
masih mengenal bau darah, adab berhadapan, atau pencak galak
menantang yang berulang berputar. Sungguh, beragam gerak seru
kini aku lupakan.

Telah tak kasat pandang semua di depan. Kau seteruku bukan?
Tapi kau bukan yang dulu menungguku dan menyigapkan
kuda-kuda menyerang. Aku juga tak ada itikad menuntaskan.
Benarlah, telah berlalu semua gertakan macan, geliat naga,
sapuan orang samun yang karib dengan tubuh kita berdua.

Kini tinggal kutatap antariksa gimbal. Laut yang tak lebih
dari semangkuk kari basi. Lupakan saja tiga langkah ke depan.
Tidak juga harus kumentahkan semua sentakan. Tidak ada aku
atau kau yang menyerang dulu.

Inilah hikayat panjang menyimpan hentak perlawanan.
Kereta ke negeri terbang sudah hilang dari ingatan.

Aku bukan seteru lama yang lagi harus kau seru. Sebagaimana
kau juga bukan yang dulu memampirkan sebilah parang di dadaku
dan menggiringku ke tanah jauh. 

(2013)


Syair Petarung Gering
pastilah kau tak gentar terlempar pada laga paling muram. bukan bedebah banyak lagak yang membuat ihwal seranganmu surut. bukan pula kompeni nyasar jalan yang bikin keliaran tingkah kelewangmu beringsut.

pasti pula tak ciut segala silat tingkah hewan di depan rombongan norak yang menunggu nasib sial. sebab berpantang mundur kau dari semua hentakan penghadang yang bergegas menebasmu, memisah antara kepala dan badanmu.

tapi dengan angin nyungsep yang bertandang sembarangan di badan, gelagatmu pastilah segemetar kucing kurus dikepung hujan. silakan saja bersiap dengan tendangan tak tertangkap pandang.

tapi cergaslah mencegah anasir keblinger itu. telah mahir ia menampar lambung lemah tenaga. perkasalah dengan tohokan yang berumah di dada lawan. jantungmu benar bakal dikageti sakal yang berputaran. berpusinglah, mual, dan keluarkan semua kesialan.

taklah elok tingkah demikian di depan seteru yang mengasah gobang

(2013)

Kepada Jawara Klimis

“Boleh saja kau nampang dengan kegarangan pendekar.
Mungkin, jerilah semua yang memandang gebrakanmu
yang membuat janda gemetar dari berdirinya.”

Tapi, bagaimanakah bila kau menghadap pada cermin di depan?
Ia yang gemar mencatat segala bayangan tentu akan menyerumu
dengan bisik menyakitkan. Bisa pula ia menjawab pertanyaanmu
perihal tampang siapa yang tergarang?

Tentunya, kau bakal terpental bukan, seolah ia mengelak
dan melancarkan satu sapuan rahasia yang berumah di dadamu.

Meski telah dikenang engkau selaku yang menaklukkan cecunguk
nyasar, benar pula mata yang memandang bahwa kau kurang
tertampak sebagai pendekar. Dengan wajah bayi nan manis, mungkin
kau mirip pelengkap pertarungan belaka. Ya, sekadar pelengkap
semenjana. Orang yang dianggap pantas sebagai pelawat, lantas berlari
bersembunyi di rerumput tinggi. Taklah salah yang demikian.

Bila begitu, tak ada guna kau menyimpan segenap kebaikan kitab.
Bergurulah pada hikayat kewingitan. Mendaraslah pada rupa
yang tertata rumpang, nyungsang, dan tak lagi disawang tampan.
Pastinya, rupa kegawatan pasti merawi tafsir muka kurang ajar.

Harus berpindah rerambut pada sekitaran wajah yang polosan. Harus
bersarang kumis tebal agar macan yang menantang merasa ia bersua
sang kembaran. Taklah bergidik demit yang bersemayam
bila yang dipandang sebatas muka klimis yang lebih wajar dicubit
dan digelitik.

Sungguh, tidak barokah bila jawara hanya memasang muka rupawan
di depan sang penantang, yang memuntir kumis dan mengelus cambang
yang memanjang.

(2013)

Pulang ke Pelukan
melintas di depan kuburan? adakah jalan pintas
lebih ringkas pulang ke pelukan? bagaimana bila
kau yang biasa menyandang nama jawara terdepan
harus kencing di celana? tentulah kuda-kudamu
tersigap bakal ngibrit ke pojokan. lafal istigfar
mutlaklah luput diucap lidahmu yang tergagap.

benar belaka kabar. penghalang pulang sesungguhnya
hanya lubang yang mengancam ban. harus tuntas
lebih cepat kesyahduan yang selaras lagi seimbang.
harus kembali tingkah jantan pendekar pada kegicikan
dan kegentaran. sebab bila kaki sudah berdiri pada
pertengahan tanah paling lengang ini, segala ihwal sungil
selalu serupa begundal mengagetkan. benarlah, semua
gerak gelibat maupun yang merambat di hadapan
telah melebihi sajak gelap yang menimbun kata mayat.

taklah mempan dan akan mendal bila ajian
yang keluar hanya bertandang pada yang tak punya
wujud kasar. tak akan kabur dengan gertakan, batang
yang menunggu madah bangkit yang akan bersarang
di ingatannya. bukankah jurus mautmu kadaluarsa
bila dilesat untuk pocong miring atau gerandong sinting
yang gemar nyasar.

mungkin, kau harus menepikan segala perilaku pendekar
bila semua upaya tak lagi mempan. segala kitab khasiat silat
pasti tamat. alangkah melambat langkahmu nan cepat.
sepeda di tuntunan demikian berat bukan? ia seumpama
bagal tak mau jalan. bila demikian, tentu benar belaka
kau meminta jalan pintas lebih ringkas pulang ke pelukan.

(2013)       


 

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post