|
Jembatan Gajeboh, foto oleh Darman |
Esai Sulaiman Djaya*
Secara umum, pantun yang dipahami
oleh “masyarakat Sunda Kuno” di Banten berbeda dengan pengertian pantun modern,
yang hanya dipahami sebagai larik berulang itu. Sebab, seperti telah
ditunjukkan langsung oleh bentuk dan bunyi pantun “masyarakat Sunda Kuno” itu,
pantun ternyata masih dikaitkan dengan tradisi yang sifatnya keagamaan, semisal
ruwatan. Dalam tradisi masyarakat Sunda Kuno ini, pantun adalah “pembacaan
mantra dan lirik prosa atau cerita pantun yang dibaca oleh juru pantun sembari
memainkan kecapi parahu alias kecapi gelung atau dengan diiringi permainan
angklung, di mana yang menggunakan
kecapi tersebut dua ujung kecapinya mirip sebuah gelung yang melengkung, dalam
sebuah acara ruwatan untuk meminta keselamatan.”
Salah-satu komunitas adat masyarakat
Sunda di Banten yang telah melahirkan pantun dalam artian tersebut, adalah
masyarakat adat Sunda-Baduy atau masyarakat Kanekes. Pantun yang lahir dari
masyarakat Baduy tersebut, seperti dikatakan para filolog dan sejarawan-budaya,
merupakan pantun yang memiliki nilai magis dan spiritual yang lebih murni
ketimbang pantun-pantun yang lahir dari masyarakat atau komunitas-komunitas
adat Sunda lainnya. Selain itu, Urang Baduy sendiri menganggap cerita pantun
sebagai sesuatu yang sakral dan tidak boleh dipergelarkan secara sembarangan.
Meskipun demikian, selain sisi magis
dan efek mantranya, itu carita pantun Urang Baduy kadang-kadang juga digunakan
untuk merujuk tempat-tempat di alam nyata, semisal Pasir Batang Lembur Tengah,
Pasir Batang Lembur Hilir, atau Pasir Batang Lembur Girang. Di mata kata
“batang” itu juga merupakan kiasan tubuh manusia, sehingga penyebutan itu
sendiri dapat diartikan sebagai penyebutan bagian-bagian tubuh manusia, semisal
Girang yang berarti kepala, Lembur Tengah yang berarti perut, dan Lembur Hilir
yang berarti bagian kaki. Begitulah di jaman Kerajaan Sunda, nama-nama tempat
dicocokkan dengan sebutan Girang, Hilir, atau Tengah.
Sementara itu, dari sisi lakon dan
subjek carita pantun setidak-tidaknya ada sepuluh judul, di mana judul-judul
lakon-lakon carita pantun itu menggunakan nama-nama satwa yang sekaligus
dipinjam sebagai para pelaku lakon carita pantun itu sendiri, yang dapat dibagi
menjadi beberapa golongan, yang antaranya adalah: (1) Golongan Munding
(Kerbau), seperti Munding Daratan, Munding Barang, Munding Mregaluncat, Munding
Mregalaksana, Munding Mregasingha, Munding Singha, Munding Liman, Munding Sari,
dan Munding Wangi. (2) Golongan Kuda, seperti Kuda Gandar, Kuda Jayengsari,
Kuda Kancana, dan Kuda Wangi. (3) Golongan Gajah, seperti Gajah Lumantung dan
Gajah Haruman. (4) Golongan Kidang atau Rusa, seperti Kidang Panadri dan Kidang
Pananjung. (4) Golongan Singa, seperti Singa Tajiwangsa dan Singa Kombala,
selain ada juga nama-nama lakon lainnya seperti Badak Sangara, Galudra Kancana,
Paksi Keling, Naga Menang, dan Naga Panggiling.
Juga, ada lakon-lakon dengan
tokoh-tokoh perempuan, seperti Lenggang Manik, Lenggang Haruman, Naga
Lumenggang Kusumah, dan Lenggang Wangi. Selain dengan menggunakan alat
instrument kecapi, carita pantun atau pun pantun mantra juga dibacakan oleh
juru pantun dengan menggunakan angklung, seperti dalam sebuah upacara
penghormatan kepada padi atau Dewi Sri Pohaci, semisal pantun Langga Sari Tua.
Sedangkan dua carita pantun yang dianggap sakral adalah carita pantun Lutung
Kasarung dan carita pantun Ciung Wanara, di mana Urang Baduy menganggap dua
carita pantun tersebut berkaitan dengan ilmu-ilmu khusus, dan mereka lebih
mengenal carita pantun Lutung Kasarung tersebut sebagai Lakon Paksikeling, semisal
yang berbunyi berikut:
Japun! Awaking kiwari // Deuk make pasang pasaduan, //
Pasaduan guru. Ahung! // Pak sampun! // Majar ahung tujuh balen // Ahung deui,
ahung deui! // Ahung manglunga, // Ahung manglingeu, // Ahung mangdegdeg, //
Ahung manglindu. // Paksi kangkayang // Basaning angka, // Hayam beureum putih
kukang, // Anjing belang sina tawe, // Mapay paksi ka hilirkeun, // Rempuh bayu
ti galunggung, // Mapag bala ti Jasinga, // Sasakala Indra Baya. // Ambuing
sira mangumbang, // Bapaing terus mangambung, // Pangjungjungkeun, //
Panglawungkeun // Sora awaking. // Ka luhur ka nu di manggung, // Ka nu wenang
mucuk ngibun, // Ka atina sukma langlaung, // Gurit leungit cakra mega, //
Wekas tuang ka hineban, // Korejat milepas manten. // Reuwas teuing ku impian,
// Ngimpi ngadu picis di langit, // Totolan di awang-awang, // Ditujah tuang
tilepan, // Diwaca henteu kawaca, // Taya panca aksarana. // Tujahkeun // Ka
lautna, // Ka harusna, // Ka sagara leuleuy, // Ka sagara ireng, // Ka sagara
lolopangan.
Selain Lakon Paksikeling tersebut,
masyarakat Baduy juga memiliki khasanah yang sifatnya prosaik atau cerita
naratif, semisal Hikayat Dewa Kaladri berikut:
“Syahdan, sebagaimana telah
diceritakan banyak orang di Tatar Banten dan Kerajaan Sunda yang mulanya
beribukota di Banten Girang dan kemudian pindah ke Pakuan, sejak Sanghyang
sampai ribuan tahun ke belakang, waktu itu ada seorang Sanghyang yang bernama Sanghyang
Sakti yang mempunyai seorang anak laki-laki. Namun rupa anak ini sangat jelek
alias buruk sekali, badannya hitam dan perutnya buncit. Oleh ayahnya anak ini
diturukan ke bumi, disuruh bertapa dan mengelilingi dunia. Demikianlah si anak
buncit itu turun ke bumi. Kala itu ia sampai pusat kota Cipaitan, yaitu desa
Cihandam yang telah lama ditinggalkan, dan ia terus bertapa di Gunung Kujang.
Saat ia sedang bertapa, ia pun ditemukan oleh Daleum Sangkan sedang telentang
bertapa di atas sebuah batu yang besar. Persis ketika itulah, oleh Daleum
Sangkan ia dibawa pulang dan diambil sebagai anak, serta diurus dengan baik
sekali dan disayangi sampai besar kira-kira teguh samping (berumur delapan atau
sepuluh tahun, menurut perhitungan sekarang).
Apakah yang menjadi menjadi kesukaan
anak buncit ini? Tak lain memasang bubu setiap hari. Dan lama-kelamaan istri
Daleum Sangkan membenci anak buncit ini karena parasnya yang jelek hitam,
perutnya makin lama makin buncit dan matanya besar membelalak. Hanya saja Nyi
Sangkan tidak berani mengusirnya karena takut terhadap Daleum Sangkan. Pada
suatu hari, waktu itu, Daleum Sangkan mengajak si anak buncit untuk memasang
bubu di sungai, tetapi tidak diperkenankan memasangnya di tempat yang baik dan
dalam, ia harus memasangnya di tempat yang jelek dan diangkat saja, agar tidak
mendapat ikannya. Ketika itu Nyi Sangkan berkata: “Kalau tempat yang baik
adalah untukku memasang bubu, jangan oleh kamu”. Lalu mereka masing-masing
menempatkan bubunya.
Diceritakan, si anak buncit itu memasang
bubunya di tempat-tempat yang telah ditunjukan oleh Nyi Sangkan, yaitu di
tempat-tempat yang jelek dengan arus airnya yang deras. Sedangkan Nyi Sangkan
menempatkannya di tempat-tempat yang baik dengan airnya yang tenang. Waktu
keesokan harinya, saat mereka sama-sama melihat, bubunya Nyi Sangkan tidak
berisi ikan sama sekali, meski dipasang di tempat yang baik. Sementara ketika
bubunya si buncit diangkat, ternyata banyak ikan di dalamnya, bahkan ada seekor
ikan yang besar yang disebut ikan lubang, lalu ikannya dibawalah pulang. Dengan
kejadian itu, Nyi Sangkan bertambah benci terhadap anak buncit itu. Ikan yang
besar tadi, tidaklah diberikan kepada Nyi Sangkan oleh anak itu, bahkan ia
pelihara dan dismpan dalam tong yang terbuat dari batang pohon kawung. Nyi
Sangkan menjadi sangat marah, lalu memaki-maki, tetapi si anak buncit ini
tidaklah menghiraukannya.
Tak lama kemudian, Nyi Sangkan
mengajak menanam talas di humanya. Tetapi seperti biasa saja, yaitu Nyi Sangkan
menanam talasnya di tempat yang tanahnya bagus, sedangkan si buncit disuruh
menanamnya ditempat yang jelek yang tanahnya merah bercampur pasir. Lalu mereka
menanam talas. Nyi Sangkan berkata kepada anak buncit: “Wah, kamu menanam talas
juga tak akan ada umbinya, sebab tanahnya jelek, berwarna merah dan bercampur
pasir pula, walau pun nantinya ada juga berumbi, paling besar juga hanya
sebesar kelentitku”. “Kalau tanamanku sudah pasti bagusnya dan banyak umbinya,
sebab tanahnya bagus.” Anak buncit tidak menjawab apa-apa, hanya dalam hatinya ia
berkata, barangkali saja nanti umbinya banyak. Setelah lama, di saat talas
mereka sudah masanya berumbi, mereka pun menengok dan mencabut talas mereka
masing-masing.saat itulah, ternyata, tanaman talas Nyi Sangkan tidak ada
umbinya. Sementara ketika si anak buncit mencabut talasnya, umbinya besar
sekali, meski hanya sebuah, di mana besar umbinya itu sebesar tempayan tempat
beras. Si anak buncit itu pun berbicara kepada Nyi Sangkan sambil
memperlihatkan talasnya dengan diayun-ayunkan: “Ini lihatlah, Uwa, tanaman
talasku ada umbinya sampai sebesar burut Uwa.” Setelah itu, dengan mendadak
terbukti terkena oleh sapaan, alat kelamin Nyi Sangkan menjadi burut sebesar
talas si anak buncit, sama dengan tempayan beras. Nyi Sangkan menjadi kalang
kabut, hatinya makin marah kepada si anak buncit itu, yang karena ia terkena
sapaannya si anak buncit itu menjadi burut alat kelaminnya, hingga ia susah
berjalan, hampir-hampir tak dapat pulang ke rumah.
Sejak saat itu, Nyi Sangkan terus
menangis, dan tentu saja, makin lama makin membenci anak buncit itu. Karena Nyi
Sangkan merasa malu, maka ia pun bermaksud untuk membunuh si buncit, hanya
saja, lagi-lagi, ia merasa takut oleh suaminya, Daleum Sangkan. Pada suatu
waktu, di sebuah hari yang mungkin biasa, ketika si buncit sedang bepergian,
ketika itulah ikan lubang kesayangan si buncit dicuri oleh Nyi Sangkan dari
tong kawung, dibawa ke rumah Nyi Sangkan dan dimasak layaknya ikan, sementara
kepala ikan tersebut tidak dimasaknya, melainkan dimasukkan ke dalam mangkuk
dan disimpan di rak piring dengan ditutup oleh periuk. Tidak lama kemudian si
buncit datang sambil membawa makanan ikan, terus ia mencari ikannya untuk
diberi makan. Ketika dilihat ternyata ikannya sudah tidak ada lagi, si buncit
terus menanyakan, dan berkata: “Ua, ikan saya di mana gerangan ikan
kesayanganku? Jika ia tidak ada di tempatnya, sudah tentu dicuri olehmu.”
Namun, ketika si buncit tengah
berbicara itu, ayam jantan tiba-tiba berkokok: “Kiplip-kiplip (suara tiruan
tepukan sayap, sebelum ayam berkokok) Kongkorongok (suara kokok ayam) // Kepala
lubang disembuyikan, // ditutup oleh periuk, // ditempatkan di dalam mangkuk,
// disimpan di rak piring, // cepat-cepat, // segera harus dicari, // jangan
percaya kepada Nyi Sangkan, // sebab dia buruk hati, // dan ia bermaksud
membunuhmu.”
Setelah mendengar kokok ayam yang
demikian bunyinya tersebut, maka si buncit segera mencarinya ke rak piring. Dan
ketika ditengoknya, ternyata kepala lubang itu memang ada seperti dikatakan si
ayam jalu yang cerdas itu, persis ditutup oleh periuk. Sejak itu si buncit
tidak bicara lagi, dan ia terus melarikan diri karena marahnya dan benci yang
teramat sangat kepada Nyi Sangkan. Ia pun langsung pergi ke Negara Pakuan Barat
dan bertempat tinggal di sana sebagai pertapa di pegunungannya, di sekitar
Gunung Halimun dan Gunung Salak.”
Dengan dua contoh tersebut,
masyarakat Sunda Banten kuno telah akrab dengan apa yang saat ini disebut
sebagai seni dan budaya kesusastraan yang berbasis pada bahasa dan kearifan
hidup sehari-hari, yang untuk sebagiannya, kesusastraan masyarakat Sunda Banten
masa silam itu bersifat sakral, dan sebagian yang lainnya mendedahkan kearifan
dengan menggunakan tuturan dan cerita kiasan.
Kosmik Sunda
Dalam lanskap wawasan keagamaan yang
tercermin dalam kesusastraan lisan masyarakat Sunda Kuno, ada banyak khasanah
mantra yang dihasilkan atau diproduksi masyarakat Sunda Kuno, yang dalam hal
ini masyarakat Sunda Kuno di Banten, misalnya. Sebagai contoh, selain ada
sejumlah mantra yang masih menggunakan Bahasa Sunda yang belum terpengaruh
Bahasa Lain, semisal Bahasa Arab dan Jawa (Dialek Banten), kita mengenal juga
mantra yang telah terakulturasi dengan Bahasa Jawa dan Bahasa Arab, seperti
Jampe Nyimpen Beas:
Mangga Nyi Pohaci // Nyi Mas Alame
Nyi Mas Mulane // Geura ngalih ka gedong manik ratna inten // Abdi ngiringan //
Ashadu sahadat panata, panetep gama // Iku kang jumeneng Lohelapi // Kang ana
teleking ati // Kang ana lojering Allah // Kang ana madep maring Allah // Iku
wujud salamet ing dunya // Salamet ing akherat // Ashadu Anla Ilaha Illallah //
Wa Ashadu Anna Muhammad ar Rasulullah // Abdi seja babakti ka nu seda sakti,
agung tapa // Nyanggakeun sangu putih sapulukan // Kukus kuning purba herang //
Tuduh kang saseda tuhu // Datang ka sang seda herang // Tepi ka kang seda sakti
// Nu sakti neda kasakten // Neda deugdeugan tanjeuran.
Dunia mantra rupa-rupanya merupakan
sebuah kepercayaan tentang adanya figur-figur gaib dan imajiner yang sakti dan
maha kuasa, semisal para dewa dan arwah-arwah leluhur yang di dalamnya termasuk
para raja dan dewi-dewi dalam kepercayaan masyarakat Sunda Kuno, yang dalam hal
ini merupakan ciri utama atau ciri pertama bentuk dan khasanah mantra. Namun di
sini ada yang menarik, yaitu adanya figur-figur Islam ketika masyarakat Sunda itu
sendiri telah bersentuhan dan berakulturasi dengan agama dan kepercayaan Islam,
semisal tercermin dalam Jampe Nyimpen Beas yang telah dicontohkan itu.
Ciri kedua adalah nada sugestif
sebuah mantra, di mana dalam teks mantra tersebut terdapat kalimat atau frasa
yang memposisikan si pengucap mantra atau si juru mantra dalam posisi yang
lebih kuat, yang seakan-akan berhadapan dengan pihak yang lemah, semisal
tercermin dalam bunyi: “Awaking kasep sorangan // Malik welas karunya ka aing
// Da aing ratu asihan ti buana panca tengah // Curuk aing curuk angkuh // Bisa
ngangkuh putra ratu // Mangka reret soreang // Soreang ka badan awaking.
Demikianlah selanjutnya, atau ciri
ketiga, kuatnya nada repetitif dan bunyi asosiatif yang sangat kuat, yang
menimbulkan efek imperatif, desakan, atau pun perintah, di mana pada saat
bersamaan merupakan himbauan yang sekaligus sebuah permohonan yang mendedahkan
persuasi yang juga sama-sama kuat, semisal bunyi: “Mangka langgeng mangka tetep
// Mangka hurip kajayaan // Nu kosong pangeusiankeun // Nu celong
pangminuhankeun // Balik ka weweg sumpeg // Balik ka mandala pageuh //
Panginditkeun pangnyingkirkeun // Pangnyampurnakeun badan awaking.
Tak diragukan lagi, efek repetitif
dan imperatif itulah yang juga menimbulkan efek magis dan menyihir, di mana
rima-rima pantun mantra tersebut mempunyai beberapa fungsi, yaitu fungsi
estetik, fungsi membangun nada, fungsi magis, dan fungsi pengingat bagi mereka
yang membacakannya, yang kita sebut saja hal-hal ini sebagai ciri keempat bentuk
dan khasanah mantra.
Selain itu semua, seperti telah
dicontohkan dalam Jampe Nyimpen Beas, ada pantun dan mantra-mantra tertentu
yang telah menggunakan lintas kode bahasa atau telah berakulturasi dengan bukan
Bahasa Sunda, semisal mantra-mantra yang bercampur dengan Bahasa Jawa (Dialek
Banten) dan Bahasa Arab dalam mantra-mantra Sunda, semisal ada pula
mantra-mantra Bahasa Jawa Banten yang menyisipkan kata, kalimat, atau pun frase
Bahasa Sunda, sebagai contoh kebalikannya. Mantra-mantra yang telah menggunakan
lintas kode bahasa ini antra lain adalah Kidung Ngambah Alas, Kidung Rampak
Baya, Asihan Kinasihan, dan tentu saja Jampe Nyimpen Beas yang telah disebutkan
di awal tulisan ini.
Sementara itu, secara isi atau
materi dan fungsi pantun atau mantra masyarakat Sunda Kuno itu sendiri dapatlah
dikategorikan ke dalam beberapa bentuk dan golongan, semisal mantra yang
dibacakan dalam ruwatan untuk menolak bala atau penyakit dan meminta
keselamatan, mantra untuk pengobatan dan untuk meminta keselamatan tanaman,
semisal tanaman padi, mantra asihan (pelet), dan yang terakhir adalah mantra
untuk mencelakakan yang dikenal juga dengan nama teluh atau santet. Dengan
demikian, kita dapat menyebutkan enam fungsi mantra, yaitu jangjawokan, asihan
(pelet), jampe, ajian, singlar, dan rajah.
Pantun atau carita pantun yang
diproduksi masyarakat Sunda Banten tidak bisa dilepaskan dari wawasan
masyarakat Sunda Banten itu sendiri dalam memandang alam, sang pencipta, dan
diri mereka sebagai sebuah kesatuan atau kosmologi yang saling berhubungan satu
sama lain. Salah-satunya adalah hikayat tentang terciptanya alam dan
manusia:
“Syahdan, ketika jagat raya masih
suwung atau awang-awang atau uwung-uwungan alias masih berupa alam ketiadaan,
dan kemudian lama kelamaan menjadi cair, dan dari keadaan yang mencair itu ada
bagian yang mengental. Bagian yang mengental itu disebut Cariu Ading
atau Sasaka Domas. Dan tersebutlah Maha Kesa dan Kawasa menciptakan
manusia di alam gaib. Dan ketika telah terwujud, wujud gaib ini pun berkata: “Pinter
temen aing, kawasa temen aing, nepi ka andegsakieu.” Namun tiba-tiba, saat
wujud gaib itu usai berkata, secercah kilat menyambar disertai ucapan: “Apa
katamu!? Adakah engkau terjadi sendiri? Apakah kamu tak ada yang menjadikan?!”.
Mendengar hal itu, manusia pertama itu pun merasa malu bukan kepalang. Ia
tunduk sembari menangis, dan tanpa disadarinya tanah yang sebesar Cariu
Ading itu pun dicungkil-cungkil hingga membesar. Dan demikianlah, cukilan
tanah yang tersebar itu kemudian menjadi Nusa Teulu Puluh Teulu alias
Tiga Puluh Tiga Nusa. Manusia pertama itu diberi nama Adam Kaisinan
alias Adam yang Tersipu atau Batara Kaisinan. Sedangkan badan halus Adam
Kaisinan yang masuk ke dalam bumi menjadi Batara Nagaraja, sementara
badan kasarnya menjelma Gunung Kendeng.
Begitulah, sebagaimana dihikayatkan,
bentuk pertama wujud gaib gagal menjadi manusia, namun terbentuk pula wujud
gaib bakal manusia yang terdiri atas Karesa yang disebut sebagai Adam Karesa
atau Batara Mahakresa, yang berkata: “Sakti temen, kawasa temen ieu nu
ngajadikeun aing, nepi ka andegsakieu.” Setelah terbentuk Batara Mahakresa
atau Adam Karesa, itulah terbentuk pula Batara Bima Karana yang kelak
menurunkan nabi-nabi. Sementara itu, wujud kilat yang menyambar yang telah
diceritakan itu disebut Adam Kawasa atau Batara Maha Kawasa, dan kesatuan dari
ketiganya itu disebut Batara Tunggal yang tinggal di Mandala.“
Dengan sepenggal contoh di atas,
tradisi kesusastraan lisan masyarakat Sunda Kuno di Banten tidak bisa
dilepaskan dari wawasan keagamaan mereka. Hingga dapatlah disimpulkan, meski
mungkin hanya untuk sementara, pantun atau carita pantun yang ada dalam tradisi
masyarakat Sunda Kuno di Banten, setidak-tidaknya, berakar pada kepercayaan
keagamaan mereka yang acapkali bersifat sakral. Begitu pula, deklamasi atau pun
penceritaan dan pendendangan pantun-pantu itu sendiri dilaksanakan dalam
ritual-ritual keagamaan atau ritual-ritual tradisi, semisal ruwatan atau
upacara-upacara penghormatan kepada sang pencipta dan arwah para leluhur.
Begitulah, setidak-tidaknya ada tiga
macam atau bentuk upacara atau ritual yang di dalamnya atau besertanya
masyarakat Sunda Kuno di Banten mendeklamasikan atau mendendangkan pantun
atau carita pantun. Pertama, upacara ruwatan, yang doanya ditujukan kepada
orang, sosok, atau figure yang dianggap membawa atau pun dapat mendatangkan
bencana, yang biasanya mengambil cerita tentang Batara Kala. Kedua,
rajah, yang doanya berupa mantra panyinglar, sebentuk permohonan agar dijauhkan
dari gangguan makhluk gaib ketika hendak mengadakan pagelaran atau deklamasi
carita pantun. Dan yang ketiga, yaitu pasaduan, yang doanya berisi
permohonan ijin kepada para pendiri kerajaan atau yang dianggap sebagai para
leluhur:
Ngahaturkeun sangu putih
sapulukaneun: // Ka Sang Ratu Buliger Putih, // Nu calik di hulu pasir. // Ka
Sang Ratu Jelegong Putih // Nu calik di hulu lebak. // Ka Sang Ratu
Harumuk Putih // Nu calik di sadasar ing cai! // Isun Rajah Pamunah. // Pun!
Sapun! // Ka Raja Pakuan // Nu calik di Gunung Padang Kulon. // Ka Perbu Ratu
Galuh, // Ka Uwa Buyut Murugul Mantri Agung // Nu tapa di jero
gunung. // Ka Uwa Purwa Galih // Nu nangkes Padjajaran! (Kupersembahkan sesuap
nasi putih: // Kepada Sang Ratu Buliger Putih // Yang berkuasa di puncak bukit.
// Kepada Sang Ratu Jelegong Putih // Yang berkuasa di dasar lembah. // Kepada
Sang Ratu Harumuk Putih // Yang berkuasa di dasar air. // Akulah Rajah (mantra)
penawar (pembersih). // Maaf! Maafkanlah! // Kepada Raja Pakuan // Yang
berkuasa di Gunung Padang Kulon. // Kepada Prabu Ratu Galuh, // Kepada Uwak
Buyut Murugul Mantri Agung // Yang bertapa di dalam gunung. // Kepada
Uwak Purwa Galih // Yang mengayomi Padjajaran!
Berikut contoh-contoh pantun dan
mantra masyarakat Sunda Kuno di Banten (dan Jawa Barat) berdasarkan materi isi,
jenis, dan fungsinya: Jangjawokan: Pupur aing pupur
panyambur // Panyambur panyangkir rupa // Nyalin rupa ti Dewata // Nyalin sari
Widadari // Nya tarang lancah mentrangan // Nya halis katumbirian // Nya irung
kuwung-kuwungan // Dideuleu teu hareup sieup // Disawang ti tukang
lenjang // Ditilik ti gigir lengik // Mangka welang mangka asih ka nu
dipupur // Ditenjo ku saider kabeh (Jangjawokan Paranti Dipupur). Ruwatan
Tanaman: Weweg sampeg, Mandala pageuh // Mangka tetep mangka langgeng // Mangka langgeng
tunggal tineung // Datang hiji datang dua // Datang tilu nungku nungku // Datang opat ngawun
ngawun // Datang lima lingga emas // Datang genep nguren nguren // Datang tujuh
lilimbungan // Puluhan tanpa wilangan (Sri Dangdayang Tresnawati).
Pelet atau
Asihan: Asihan aing si burung pundung //
Maung pundung datang amum // Badak galak datang depa // Orak laki datang
numpi // Burung pundung burung cidra ku karunya // Malik welas malik asih
ka awaking (Asihan Si Burung Pundung). Selamatan: Calik calik nu
geulis // Nyai Sri calik di dieu // Unggah ka pasaran lega // Geusan sia
gagayahan // Geusan sia gagayahan // Di gedong manik mandala pageuh // Lemut teuing ku
buruanana // Lesang teuing ku bojana // Nu geulis ranggeuy mirikiniknik // Bar ngampar ku
samak metruk // Gasan bujang kasangna bagus // Gasan Nyai tes netepan // Ngajepret palisir
bodas (Sri Dangdayang Tresnawati).
Jampe: Kalaka kaliki // Kala lumpat ka sisi cai // Aing nyaho
ngaran sia // Ngaran sia kulit cai // Tawa tawe // Ditawa ku sang indung putih
// Tiis ti peuting waras ti berang // Paripurna hirup waras (Jampe
Dicoco Kala). Si semar datang // Si togog puyuh gumuyuh // Sangkan
hewan sangkan mati // Ngaran talaga di cai // Sabulan meunang ngaherang // Dua
bulan ngalenggang // Tilu bulan gumulung // Opat mangrupa, limana usik // Genep
bulan kamurulloh // Tujuh bulan jaga nata // Dalapan bulan conggeang // Nu
larang malik ka handap // Salapan bulan godebag // Godebag ka mata sare (Jampe
Nganjang). Rajah: Hong citra kasunyian // Hong citra kasundulan // Jleg
bumi // Jleg manusa // Jleg setan // Manusa wisesa // Setan sampurna //
Sampurna kersaning Allah // Ashadu Anla Ilaha Illallah // Wa Ashadu Anna
Muhammad ar Rasulullah (Rajah Citra Kasunyian).
Ajian: Dampal suku ngabatu datar // Bitis ngabatu wilis // Nyurup
ka badana // Nyurup ka sumsumna // Getih sabadan // Bedas ngala ka aki (Ajian
Kabedasan). Singlar: Carulung cai ti
manggung // Barabat ti awang-awang // Cai tiis tanpa bisi // Mun deuk nyatru ka
si itu // Mun deuk hala ka si eta // Anaking palias teuing (Singlar
Ka Musuh). Demikianlah, khasanah pantun dan mantra masyarakat Sunda
Kuno itu tak pelak lagi merupakan bukti bahwa orang tua-orang tua kita di jaman
dulu telah akrab dengan khasanah kearifan dan kesusastraan yang berbasis pada
bahasa dan wawasan hidup keseharian. (Sulaiman Djaya)
Tulisan ini dipresentasikan pada acara Temu Sastra Indonesia
2012 di Gedung KORPRI Rangkasbitung, Lebak, Banten 13 September 2012 (Estetika
Lokal dan Peran Negara dalam Kesusastraan)
*Budayawan, aktivis Kubah Budaya