Karya Deni Dessastra, a.k.a Doeasembilanpro
Cerpen Salamet Wahedi
“Dokter, sebelum dokter memeriksa gigi
saya. Saya ingin mengutarakan duduk persoalan yang saya hadapi. Seperti kata
dokter, dua bulan lalu, saat saya memutuskan mencabut gigi saya, saya
sebenarnya tidak ingin mengutak-atik gigi saya. Seperti kata dokter pula, saya
sebenarnya tidak ingin membuang satu-satunya barang saya yang paling berharga.
Saya selalu teringat kata-kata dokter, selalu mengandaikan hidup dengan
kata-kata dokter. Dalam hidup kita harus memiliki ‘harga’. Harus berharga”
Pagi ini, 06.00, sebelum dentang jam
kerja berseru di setiap kepala, Evi Joe seperti ingin menumpahkan segala isi
kepalanya di meja dokter Zopick. Evi Joe, pasien nomor antri lima. Nomor antri
terakhir pasien praktik pribadi Dokter Zopick sebelum berangkat ke rumah sakit.
Rumah dokter Zopick bertemu dengan semua orang dari semua lapisan.
Evi Joe, dara yang duapuluh empat tahun
lalu tangisnya pecah di sebuah rumah sakit. Tangis yang lebih muda kira-kira
dua tahun dibanding tangis dokter Zopick. Joe tumbuh kembang di sebuah keluarga
sederhana. Keluarga yang pagi-pagi sudah harus menyela dingin embun dan udara
bukit Padike. Keluarga yang bersetia dengan lenguh kerbau. Dengan arit. Dengan
keranjang. Dengan rumputan yang segar.
Tapi tidak dengan Joe. Ia tidak ingin
mencecap dingin embun. Ia tidak ingin bersetia dengan ritus lereng bukit
Padike. Ritus yang menyanggulkan hidup pada perjalanan
berangkat-pagi-pulang-sore hanya demi selenguh kerbau. Ritus Sisiphus yang ketika
mendongakkan kepala hanya kesederhanaan yang paling purna membayang.
Setelah lulus SMP, setelah usia muda
mulai diintai pernikahan pedesaan, Joe memutuskan melanjutkan sekolah. Joe,
yang tumbuh sebagai gadis belia, tumbuh dengan sederhana. Ia hanya ingin
sekolah ke jenjang yang paling tinggi. Jenjang sekolah yang tidak akan lagi
memedulikan atau mempermasalahkan penampilannya. Joe, tidak seperti temannya,
tidak dikaruniai wajah yang wah.
Bentuk tubuh yang aduhai.
Atau suara solek yang membangkitkan sejuta cerita dan gairah.
***
“Masalah apa yang Anda hadapi? Sehingga
Anda bolak-balik ke sini hanya memeriksakan gigi yang menurut saya sudah wajar.
Gigi anda sungguh bagus. Dapat memperindah senyum Anda”, setengah menggoda
setengah kesal, Dokter Zopick menanggapi cerita pasien terakhirnya pagi ini.
Cerita yang seolah membentang seribu rupa kesibukan. Bermacam kebisingan.
Sedang jam menunjuk pukul 06:15.
“Gigi saya sebenarnya tidak bermasalah.
Saya sangat bersyukur dikaruniai gigi seperti ini. Tapi gigi saya yang gingsul
ini, yang kata dokter bisa menambah harga diri saya, ternyata menimbulkan
masalah. Membuat orang-orang yang melihat saya, jadi gelisah. Mereka gelisah.
Lebih tepatnya sering bergairah”
Kali pertama orang jatuh cinta pada Joe,
adalah ketika Joe duduk di kelas 2 SMA. Adalah Ahmad Mubassir, teman
sekelasnya, orang yang pertama mengungkapkan kekagumannya pada keistimewaan
gigi gingsul Joe. Waktu itu, Joe dan teman-temannya baru usai mengikuti mata
pelajaran olahraga. Lari-lari kecil dan jalan jarak jauh.
“Joe, ke kantin yuk”, seperti biasa,
Mubassir selalu mengajak Joe makan bareng. Joe selalu tidak punya alasan untuk
menolak. Joe selalu sendirian. Tapi kali ini Joe merasakan ajakan Mubassir
tidak seperti biasanya. Nada suara Mubassir menyiratkan hawa yang membuat dada
Joe bergetar.
“Joe”, setengah ragu, sambil melahap dua
helai mie ayam, dan dengan raut yang memancar rona kemalu-maluan, Mubassir
menatap mata Joe. Ia seolah-olah sedang mencari kata-kata yang pas, mengulur waktu hingga
saatnya tiba. “Joe aku suka kamu Joe” setengah tersedak, Joe membalas tatapan
Mubassir. Tapi cuma sebentar. Joe buru-buru berpikir. Mencar-cari alasan apakah
yang membuat Mubassir nekad. Nekad, sebab pilihan ini, menurut Joe, di luar
kewajaran anak-anak yang jatuh cinta. Joe dalam hitungan detik, seolah masih
ingin menyadarkan diri, bahwa tak ada yang istimewa dari penampilannya. Joe,
juga ingin menyadarkan Mubassir, tidak salahkah ia mengucapkan kata-kata yang
‘sakral’, melegenda dan bahkan memenuhi setiap cerita besar anak manusia. Joe
sekali lagi ingin memastikan bahwa Mubassir lagi bergurau.
Tapi sayang Mubassir tidak bergurau. “Joe
aku serius. Kalau kau tanya kenapa aku suka kamu, karena kau bergingsul.
Gingsulmu yang telah membuatku kepincut”
***
“Apakah karena cinta teman Anda, Anda
gelisah dan merasa bersalah dengan gigi Anda? Sehingga Anda mencabut gigi
gingsul Anda?”, dokter Zopick membetulkan letak kaca-matanya. Tangannya meraih ballpaint dan menuliskan
beberapa keterangan Joe yang dianggap perlu. Nama lengkap Joe. Usia Joe. Juga
tidak lupa alamat lengkap Joe.
Mendengar pertanyaaan yang dilempar
dengan nada menggoda dan bercanda, Joe agak sedikit tersipu. Wajahnya sejenak
merona. Tapi buru-buru ditepis Joe dengan senyum menidakkan.
Setelah lulus SMA, Joe benar-benar sadar
bahwa Mubassir memang suka padanya. Mubassir melamar Joe untuk menjalin
hubungan yang diikat dengan tali kasih. Hubungan yang direstui oleh kedua orang
tua terkasih. Tapi Joe menolaknya dengan halus. Joe masih bingung. Sebab selain
Mubassir, ternyata sudah banyak orang-orang yang bisik-bisik ke orang tuanya.
Dengan alasan melanjutkan sekolah, Joe meminta waktu untuk hidup sebagai remaja
sederhana.
Tapi sayang, untung tak dapat dikejar,
malang tak dapat ditolak. Keputusan Joe menolak Mubassir, ternyata seperti
tombol nyala bom waktu. Dalam hitungan menit siap meledak. Tersiarlah kabar Joe
menolak pinangan Mubassir. Meledaklah bom watu itu. Orang-orang yang selama ini
sembunyi-sembunyi mencintai Joe, atau enggan mendekati Joe karena sungkan pada Mubassir, anak
kepala desa Padike, mulai menampakkan diri. Bahkan tak jarang mereka mulai
berdebat tentang siapa yang bisa meluluhkan hati Joe. Bisa mendapatkan cinta
Joe. Bisa menikmati gigi gingsul Joe seutuhnya.
Kaum lelaki Desa Padike; para pemuda,
orang yang sduah beristri dan jenis lelaki lainnya semisal duda; mulai ramai memperbincangkan
Joe. Mereka mulai menimbang kekurangan dan kelebihan Joe. Mengukur kekuatan
mendapatkan Joe. Atau bahkan terang-terangan melakukan lobi untuk saling
menjinakkan. Sehingga bermacam-macamlah rupa orang-orang yang mencintai Joe.
Ada yang terang-terangan mengakui dan menyebut Joe sebagi pujaan hati.
Joe pemilik gigi gingsul yang melukai hati. Juga ada yang masih
sembunyi-sembunyi mengakui keunikan gigi gingsul Joe.
Setiap hari, orag-orang pecinta Joe terus
mendebatkan Joe. Tiada henti mereka mencari dan mengurai jejak-rekam hidup Joe.
Maka tidak heranlah, kalau suatu waktu mereka terpilih sebagai anggota dewan,
akan berputar-putar menyelesaikan suatu masalah. Mereka akan hadir sebagai empu
kata-kata. Sebagai generasi bangsa yang malas kerja.
Joe resah. Joe gelisah. Joe juga merasa
bersalah. Joe akhirnya mencabut gigi gingsulnya untuk mengakhiri masalah.
***
“Keperluan Anda sekarang? Ingin mencabut
gigi lagi?”, dokter Zopick memastikan keperluan pasien terakhirnya. Pasien yang
dua bulan lalu, membuatnya melemparkan pertanyaan-pertanyaan gelisah dan
menggoda. Sedang jam sudah menunjuk pukul 06: 45.
“Itulah masalahnya Dokter. Saya ke sini
masih bingung. Saya tidak tahu mesti berbuat apa-apa”, Joe tampak gelisah. Rasa
bersalah begitu membuncah. “Setelah saya cabut gigi gingsul saya, orang-orang,
yang konon katanya mencintai saya, jadi marah. Saya bingung dengan tetangga
saya. Dengan masyarakat desa saya”.
“Lantas?”
“Saya minta pendapat Dokter. Apa yang
sebaiknya saya lakukan? Atau bagaimana saya mesti bersikap dan mengambil
keputusan? Atau … Saya bingung bagaimana cara menyelesaikan masalah ini. Tolong
beri saya saran Dokter?”
“Lantas?”
“Menurut dokter, saya harus bagaimana?”
“Saya
hanya seorang dokter gigi”
“Lantas?”
“Anda bingung dengan masyarakat Anda?
“Ya. Lantas?”
“Bagaimana kalau Anda jadi istri saya?”
dokter Zopick benar-benar membetulkan letak kaca-matanya. Ia menatap lurus ke
mata Joe yang berkaca-kaca. Joe tak bisa berkata ‘lantas’ dengan tanda baca
lagi.
Sedang jam menunjuk pukul 06:59. Pukul
untuk berangkat kerja. Dan deru mobil di depan rumah dokter Zopick, seolah
ingin memastikan pagi yang tidak biasa. Pagi yang membuat Joe tambah gelisah.
Lidahwetan,
2010
Salamet Wahedi, lahir di Sumenep, 3 Mei 1984. Alumnus Ponpes Mathali'ul Anwar.
Salamet Wahedi, lahir di Sumenep, 3 Mei 1984. Alumnus Ponpes Mathali'ul Anwar.
Dimuat Lembar Sastra SARBI edisi #4,
Agustus 2011
0 comments:
Post a Comment