Doc. Blog S.Jai
Oleh S. Jai *
/1/
SAYA menciptakan masalah tersendiri, ketika membaca kumpulan cerpen Penggali Sumur karya Zaki Zubaidi. Ini keputusan saya, karena sebagai pembaca, saya—sebagaimana Zaki Zubaidi—juga seorang pengarang. Apalagi Zaki Zubaidi seorang wartawan dan saya pernah cukup lama menjalani profesi yang sama, dan bahkan saat ini pun terkadang saya masih terjun dalam kegiatan jurnalistik.
SAYA menciptakan masalah tersendiri, ketika membaca kumpulan cerpen Penggali Sumur karya Zaki Zubaidi. Ini keputusan saya, karena sebagai pembaca, saya—sebagaimana Zaki Zubaidi—juga seorang pengarang. Apalagi Zaki Zubaidi seorang wartawan dan saya pernah cukup lama menjalani profesi yang sama, dan bahkan saat ini pun terkadang saya masih terjun dalam kegiatan jurnalistik.
Saya pilih
cara pembacaan seperti itu karena saya khawatir tidak ada masalah dalam diri
saya karena alasan-alasan kemiripan latar belakang ini. Semisal dalam benak
saya sebelum membaca, telah muncul bahwa cerpen-cerpen Zaki Zubaidi ini cerpen
media massa—karena memang informasi dari Mashuri (editor buku ini),
keseluruhannya telah dimuat di media.
Begitulah
saya menganggap hubungan cerita pendek dengan media, sudah tak ada masalah.
Alih-alih persoalannya berkutat jumlah karakter, aktualitas, seringkali
bercorak realisme, atau tidak mengutamakan satu bentuk karya, menghibur dan
mencerahkan, bahasa prosa dsb. Toh kini banyak sekali media. Jika tak sesuai
media yang satu, bisa dikirim ke media lain, atau bila perlu media teman kita
sendiri, atau bahkan media buatan kita sendiri.
Namun
demikian, meski sama-sama sebagai pengarang dan punya latar jurnalistik saya
musti tetap membaca kritis karya Zaki Zubaidi. Sebab itu, semula saya coba acak
membaca setiap judul cerpen dalam buku ini—judul pertama (hal 1), disusul
tengah (hal 31), dan judul terakhir (hal 93).
Berikutnya saya lantas mencoba membacanya secara berurutan sejak judul
pertama sampai judul paling buncit.
Setelah
itu saya mengurutkan kronologi penulisan cerpen ini sesuai dengan angka tahun
penulisan Zaki Zubaidi. Cerpen Lurah (1998). Bapak (1998), Penipuan (1999), Bak Air dalam Kamar Tidur (2001), Jam
Tangan Tuan Presiden (2002), Ledak
(2002), Penggali Sumur (2003), Badai (2004), Lelaki di Tiang
Gantungan (2005), Pak Mandor (2006)
Sang Pembunuh (2008), Meong (2011).
Dengan
cara itu saya mendapati masalah pada buku Penggali Sumur ini yang perlu saya
kritisi mengalir lebih banyak dari yang saya duga. Walau demikian saya
menyambut gembira ‘masalah’ ini kemudian sebagai pembaca kritis, sesama
pengarang saya menyusunnya dalam catatan-catatan kesan dan bukan mencoba
menggali atau mencari pesan di dalamnya.
Terus
terang, pesan saya abaikan. Sehingga seperti inilah catatan yang saya buat atas
kumpulan cerpen Penggali Sumur karya Zaki Zubaidi.
/2/
MENGABAIKAN
pesan cerita-cerita Zaki Zubaidi, berbuah kompensasi yang sangat berat bagi
saya. Banyak sekali pertanyaan. Mula awal cover buku Penggali Sumur dengan
lukisan sejumlah pria berjas yang dibenamkan kepalanya pada sebuah
lapangan—lebih cocok disebut ilustrasi dari pikiran-pikiran absurd atau lukisan
dari alam pikiran surealisme.
Resiko
lain dengan mengabaikan pesan, sekaligus mengunduh kesan memunculkan banyak
sekali nama pengarang yang berebut masuk dalam benak saya saat membaca
cerpen-cerpen Zaki Zubaidi. Sejak O Henry, Stainbeck, Kuntowijoyo, Mochtar
Lubis, Ahmad Tohari, Sony Karsono, Seno Gumira, Putu Wijaya, Hamsad Rangkuti,
bahkan Danarto atau Idrus.
Namun
demikian, sekali lagi ini semata-mata persoalan saya yang memilih metode
pembacaan tertentu—dan usaha untuk menciptakan masalah dalam pembacaan
saya. Munculnya, nama-nama besar dalam
sastra Indonesia di kepala saya ini, justru menjadi daya tarik pembacaan saya
pada cerita-cerita Zaki Zubaidi. Bermula dari pertanyaan sederhana; realitas
apa yang ditawarkan dan dibangun Zaki Zubaidi dibandingkan para pendahulunya?
Hemat
saya, sudut pandang penceritaan ‘dia’ dan ‘aku’ (saya) dalam cerita-cerita buku
Penggali Sumur ini berpengaruh pada prespektif Zaki Zubaidi terhadap corak
realisme dalam karyanya. Pada cerpen-cerpen dengan point of view ‘diaan’—Lurah,
Primas, Jam Tangan Tuan Presiden, Badai, Pak Mandor, Meong—realisme kerap kali
disampaikan dengan cara yang tidak disiplin.
Zaki
Zubaidi, wartawan yang jebolan sastra itu, memahami realisme dari fakta-fakta
sosial dalam 5 W + 1 H (peristiwa, sebab, akibat, manusia, tempat, waktu dan
kronologi kejadian). Namun ia, hanya disiplin pada bahwa subtansi dari cerita
pendek adalah tokoh dan penokohan. Karena itulah realisme yang didekati dengan
sangat baik melalui sudut pandang ‘diaan’ itu dihidupkan dengan pijar imajinasi
yang keluar dari frame realisme—yakni cenderung memasuki wilayah psikologi
tokoh.
Dengan
kata lain, pada cerpen-cerpen realis itu Zaki Zubaidi melompat pagar untuk
membuktikan tokoh sedikit lebih penting ketimbang peristiwa nyata.
Cerpen
Lurah (1998) berkisah tentang Samijo, lurah yang pada masa kecilnya disodomi
guru SMPnya. Diwarnai kemunculan
arbitrer (sewenang-wenang) tokoh Sutaji. Kisah cintanya dengan Joko yang
mendorongnya tetap mengajukan diri sebagai lurah, boleh jadi sesungguhnya agak
sensitif.
Cerpen
Primas (1999) bagi saya ini cerita anak—setidaknya cerita tentang anak. Kisah
anak yang mendapat burung gereja yang mati dan kemudian menguburkannya.
Pertanyaan tentang kematian oleh anak itu menjadi kenangan paling memilukan
ibunya, menyusul kematian putranya itu akibat kebakaran rumah yang bermula dari
usaha pangkalan bensin miliknya.
Cerpen Jam
Tangan Tuan Presiden (2002). Kisah Tuan Presiden yang jatuh cinta lagi pada
perempuan dari negeri tetangga yang tengah terlibat perang dingin akibat
rebutan perbatasan. Cerpen Badai (2004)
Kisah jimad, pengamen yang terus menyanyikan lagu-lagu dan syairnya, sementara
orang sibuk karena percaya badai akan menyerang kota. Bahkan orang-orang itu
menyakini kiamat bakal tiba. Namun bagi Jimat kehidupannya hanyalah berkutat
masalah kopi, supermi, rokok dan petikan gitarnya. Ketika badai betul-betul datang,
laki-laki itu justru memilih tidur.
Cerpen
Pak Mandor, (2006) kisah pria penderita asma yang pelit dan
berjumpa dengan pengemis yang minta uang receh seribu. Cerita ini mengingatkan
saya pada cerpen Ahmad Tohari—sepasang mata yang enak dipandang, atau kenakalan
cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti.
Cerpen
Meong (2011), Kisah pengusaha sepatu yang bangkrut, Rojali. Lalu buka warung
belut goreng. Syukuran kepala belut goreng. Cerita ini melemparkan ingatan saya
pada cerita Kuntowijoyo—anjinganjing menyerbu kuburan.
Jelas Zaki
Zubaidi bukan pemuja realisme—sebaikbaik cerpen realismenya yang berhasil dalam
Cerpen Primas (1999). Menurut saya ini cerpen ini sangat berhasil sebagai
cerita bercorak realisme justru dari sudut pandang anak. Cerpen ini berhasil
sebagai cerpen realisme karena ada pesan moral yang sengaja tidak saya baca di
situ. Meski demikian ia cenderung menampilkan gaya artistik dan masalah
kejiwaan (sosiatri) ketimbang kemasyarakatannya.
Bahkan
cerpen Jam Tangan untuk Presiden lebih mirip sketsa ketimbang cerpen realisme.
Mirip gabungan sketsa dan imajinasi. Kisah tentang perkutut yang terlepas, pada
cerpen itu sebetulnya lebih menarik. Ada sketsa perkutut yang diganti dengan
vas bunga.
/3/
SATU-SATUNYA
cerpen dari buku ini dengan sudut pandang ‘aku’ yang masih percaya dan berkutat
pada realisme sastra adalah cerpen Penggali Sumur (2003),
bertutur
perihal tokoh ‘Aku’ seorang perempuan yang diwarisi pekerjaan sebagai penggali
sumur dari kakeknya. Namun seiring perjalanan waktu, sukses sebagai penggali
sumur diprotes pamannya Wak Huda, karena warga banyak yang pilih melihat pantat
perempuan penggali sumur ketimbang sholat dhuhur dan ashar di mushalanya.
Meski—seperti halnya, pada cerpen Primas yang bercorak realisme—cerpen ini
berani beresiko memasuki wilayah sosiatri ketimbang peristiwanya. Dengan kata
lain laki-laki yang melihat pantat perempuan bukan masalah realisme tapi
masalah kejiwaan.
Memang,
saya melihat masalah kejiwaan dalam cerpen-cerpen Zaki Zubaidi ini begitu kuat
dorongannya untuk keluar dari frame realisme berkat sudut pandang ‘aku’ (saya).
Dari ketiga belas cerpen, ada tujuh cerpen yang demikian. Cerpen Bapak,
Penipuan, Bak Air dalam Kamar Tidur, Ledak, Penggali Sumur, Lelaki di Tiang
Gantungan, dan Sang Pembunuh.
Cerpen
Bapak (1998) menceritakan tokoh ‘Aku’
dan kakaknya, Halimah yang tinggal bersama seorang bapaknya yang telah pikun.
Menganggap Halimah seorang pelacur, dan bahkan membunuh perempuan anaknya itu
untuk hidangan sarapan pagi. Mengingatkan sejumlah cerpen Sony Karsono,
sentimentalisme calon mayat, gerhana, dan insomnia. Sayang ending cerita ini membingungkan—karena
dunia prosa yang dibangun Zaki Zubaidi kembali menjadi puisi.
Cerpen
Penipuan (1999) bertutur tentang tokoh
‘Saya’ dan istrinya, Aryanti. Kisah pertemuan saya dengan sahabat lama, Sunaryo
yang kemudian hanyalah memanen kecurigaan dalam keluarga itu. Cerita ini berkesan karena melibatkan pembaca
‘saya sependapat dengan Anda saya curiga melihat gelagatnya’ walau menurut saya
kurang berhasil, dan ragu-ragu dari aspek psikologis. Apalagi tak ada kejutan
sebagaimana cerita lain yang mengingatkan saya pada cerita-cerita O Henry.
Cerpen Bak
Air dalam Kamar Tidur (2001) menceritakan tokoh ‘Saya’ yang dimasa kecilnya
dimasukkan rumah sakit selama dua tahun oleh orangtuannya—hanya karena
memasukkan bak air dalam kamar tidur dan berimajinasi menikmati kerinduannya
pada hujan di dalamnya. Menurut saya cerita ini sempurna dalam melibatkan
pembaca—teknik dan gaya yang sekarang banyak dicoba AS Laksana—bahkan kali ini Zaki
Zubaidi mengaduknya dengan teknik monolog. Dikisahkan, kesukaan seorang anak
membawa bak mandi ke dalam kamar dan merindukan hujan di sana itu terulang pada
Bambang—anak dari tokoh ‘Saya.’ Kegetiran tokoh ‘Saya’ yang tak ingin
menyaksikan anaknya dimasukkan rumah sakit sebagaimana masa kanaknya, berbuntut
pembunuhan yang dilakukan tokoh ‘Saya’ pada anaknya itu.
Cerpen Ledak
(2002) adalah kisah cinta ‘Aku’—teroris yang hendak meledakkan
diri—dengan Andin, bekas pelacur yang
tobat. Kisah cinta sang teroris menjadi
menarik disitu, karena tidak berbaur dengan dogma agama, walau sang tokoh
percaya pada surga, namun telah berkali tidur dengan para pelacur. Kisah cinta
itu masih mengalir hingga semenit sebelum ‘pernikahan’. Dan pernikahan itu
adalah upacara bersama memasuki gerbang
surga—mungkin meledakkan diri, mungkin juga upacara lainnya. Teknik berceritanya, memikat. Mengingatkan
saya pada cerpen-cerpen Sony Karsono atau Seno Gumira atau Putu Wijaya.
Cerpen
Lelaki di Tiang Gantungan (2005)
bertutur tentang tokoh ‘Aku,’ wartawan yang berhasil menyeret terduga
koruptor hingga tiang gantungan. Pergulatan batin tokoh Aku yang pada akhirnya
keluar dari pekerjaannya karena ternyata ia hanyalah mengirim ke tiang
gantungan seorang yang dikorbankan saja oleh koruptor yang sebenarnya. Pada cerpen ini, munculnya tokoh yang
bersifat arbitrer (sewenang-wenag) oleh pengarang tepat karena sekaligus
sebagai kejutan untuk mendongkrak ide sentimentalisme pada kematian itu.
Cerpen
Sang Pembunuh (2008) mengisahkan tokoh ‘Aku’ yang mendendam pada
bapaknya karena telah meracun ibunya demi menikahi perempuan lain bernama
Mira. Suatu saat, ketika rumah sedang
sepi Mira, ibu tiri tokoh saya ini mengajak ‘Aku’ bercinta. Hasrat bercinta
Mira yang besar pada ‘Aku’ di kemudian hari menyebabkannya harus membunuh tokoh
bapak. Terlebih karena Mira tahu ada dendam tokoh ‘Aku’ pada bapaknya. Cerita
berujung tokoh ‘Aku’ yang menghuni penjara karena memutilasi Mira sehabis
keduanya bercinta.
Dari
ketujuh cerpen dengan sudut pandang narator ‘Aku’ ini, tiga diantaranya
menyebut diri ‘Aku’ sebagai Ahmad. Dugaan saya, Ahmad ini boleh jadi adalah
Ahmad Baihaqi—nama pena lain dari Zaki Zubaidi. Dan sebuah cerpen dengan tokoh
wartawan. Artinya, saya hanya ingin mengatakan bagaimana ekspresi tokoh-tokoh
cerita Zaki Zubaidi ini bergelut dan bergulat menjadi impresi-impresi dari
dirinya selaku pengarang dengan segenap daya imajinasi, persepsi, interpretasi
dan intuisinya.
Sekali
lagi, jelas Zaki Zubaidi bukanlah pemuja corak realisme dan itu makin kuat
impresi-impresinya melalui sudut pandang ‘aku’ dalam cerpen-cerpennya untuk
memberontak realisme, sekalipun cerita bermula dari peristiwa realis dan ada
pesan moral di situ. Dalam hal ini cerpen yang paling berhasil menurut hemat
saya adalah Bak Air dalam Kamar Tidur
(2001) di samping Ledak (2002). Menyusul kemudian cerpen Bapak (1998). Ketiga
cerpen ini saya katakan berhasil dalam hal menolak realisme. Boleh jadi satu
dari ketiga cerpen ini adalah cerpen paling kuat dari temuan pergulatan
pencarian estetik dan artistik (gagasan dan gaya serta teknik penceritaan) yang
selama ini digumuli Zaki Zubaidi.
/4/
DUGAAN
saya sukses Zaki Zubaidi menolak realisme itu lebih karena keberaniannya
memasuki wilayah psikologi (imajinasi, persepsi, interpretasi, intuisi). Tentu
saja, diantara keempat hal itu satu diantaranya ada yang paling menguasai
proses kreatifnya.
Pada hemat
saya, persepsilah yang menjadi kekuatan paling memikat dari cerita-cerita. Cara
menulisnya yang sabar, yakin dengan kekuatan mental dan perasaannya. Saya
curiga Zaki Zubaidi memiliki keadaan psikologis entah pengalaman masa lalu,
fisik, mental serta emosional yang berpengaruh pada cara pandang dan
penilaiannya pada peristiwa lingkungannya.
Persepsi
pada hakekatnya merupakan proses kognitif (keyakinan akan pendapatnya) dan
affect (kekuatan mental emosional dan perasaaannya) terhadap suatu soal atau
lingkungan yang ditangkap oleh indra, baik lewat penglihatan, pendengaran,
penghayatan dan penciuman.
Dunia
wartawan, melatih diri untuk itu, namun ajang latihan paling efektif tentu
adalah pengalaman. Keduanya, pengalaman maupun latihan disokong oleh
imajinasinya, visinya, serta reaksi panca indranya.
Perhatian
pada masalah psikologi lingkungannya dalam cerita-cerita Zaki Zubaidi,
menggerakan impresinya cenderung melukiskan ‘keburukan-keburukan’ (lebih
tepatnya keanehan) dalam kehidupan tanpa mempedulikan norma susila atau etika.
Tentu saja, pilihan itu diperkuat dengan sebagian besar ketidakpeduliannya atas
itu diletakkan pada kelompok masyarakat miskin—kehidupan yang tidak pernah ada
puisi di sana. Cerita Surabaya milik
Idrus, mengingatkan pada situasi ini.
Laku
kreatif pengarang yang memilih jalan sunyi demi merebut puncak-puncak
integritas individualnya menemukan ruang dan waktunya ketika menyadari pada
visi susastranya—sebagaimana bahasa Chaldun “Jiwa menatap kilatan dari berbagai
citra realitas. Melalui tatapan itu jiwa mendapatkan pengetahuan mengenai
hal-hal mendatang yang ia rindukan.”
Zaki
Zubaidi memiliki tradisi bercengkerama dengan realitas, peristiwa, berita,
sekaligus ia mengambil jarak dengannya. Menjadi wartawan kriminal adalah
persoalan yang sama sekali lain ketika menjadikan masalah interpersonal (orang
lain adalah neraka—Sartre) sebagai masalah kreatif. Dengan kata lain, masalah
interpersonal baginya sebagai masalah kreatif dan bukan masalah corak realisme,
semisal maraknya peristiwa pembunuhan.
Namun
demikian, kiranya pengarang Penggali Sumur ini bersepakat bahwa tradisi yang
digeluti Zaki Zubaidi yang kemudian diambil jarak karenanya itu, adalah situasi
krisis kemanusiaan—secara umum pada masalah moral, kehilangan orientasi hidup bermakna,
kerusakan lingkungan yang semakin parah, kekerasan, keserakahan dan secara
khusus pada gangguan jiwa yang sering disebut skizofrenia.
Sekali
lagi masalah interpersonal Zaki Zubaidi adalah masalah laku kreatif dan bukan
corak realisme—apalagi memberikan pesan moral, karena sastra tak bisa mengambil
alih tugas agamawan, psikiater atau hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan.
Zaki Zubaidi punya tradisi menggumuli manusia yang secara ekstrem bisa
dikategori abnormal, irrasional alias gila. Yaitu orang yang dalam definisi
Kartono Mohamad (1989: 165) mengalami disintegrasi kepribadian dan maladjustment
sosial berat, tidak mampu menyandarkan hubungan sosial dengan dunia luar bahkan
terputus sama sekali dengan realitas hidup.
Terputusnya
para pengidap skizofrenia ini dengan realitas hidup rupanya inhern dengan laku
kreatif Zaki Zubaidi yang mengambil jarak dan menolak corak realisme. Keduanya
tidak bertemu. Akan tetapi keduanya seakan ‘bersepakat’ pada dunia baru—dunia
yang dibangun, dipercaya dan diyakini adanya dari keadaan mental tertentu.
Dengan
kata lain, sebetulnya Zaki Zubaidi sedang mendiskripsikan secara kreatif
fakta-fakta mental yang diketahuinya bermula dari fakta-fakta sosial (keadaan
zaman, lingkungan masyarakat dan sistim kemasyarakatan) yang sepanjang
menjalani kegiatan jurnalistiknya telah menjadi santapan rohani dan indrawinya.
Inilah
yang saya kira paling berharga dari laku kreatif Zaki Zubaidi sebagai
pengarang: merayakan fakta mental (ia sedang bekerja keras menuliskan
kenyataannya sendiri). Namun demikian saya diingatkan kembali bahwa ‘harga’
dari sebuah laku kreatif musti disikapi secara hati-hati jika tidak ingin
kembali terjatuh pada pesan dari sebuah karya sastra sebagaimana menentukan
harga jual atau harga beli seekor sapi atau buku sastra.
Meski
demikian menggali pesan—dalam arti mengisi absennya mentalitas dalam dunia
nyata dari realitas sastra—kumpulan cerpen Penggali Sumur ini bukanlah sebuah
kutukan. Karena itu, saya membayangkan pesan dari buku ini bisa dikaji lebih
serius dari sisi sejarah mental. Setidaknya, saya pribadi bisa tertarik ke arah
sana.
Saat ini
saya belum menemukan referensi yang membetot perhatian saya pada hal ini—boleh
jadi karena memang pembahasannya yang belum populer. Saya hanya menjumpai Generalisasi fakta
mental masyarakat dari Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Sartono
Kartodirdjo itu.
Bahwa,
fakta mental (mentifact) adalah keseluruhan dari tatanan mental yang berkembang
dalam masyarakat pada suatu zaman menjadi penggerak sejarah yang meliputi konsep
konsep, ide-ide, gagasan, paham, opini, semangat, ideologi, aspirasi dan
sebagainya.
Meski
demikian saya cukup berbahagia menemukan referensi mentifact sejarah lisan yang
disusun Pramudya Ananta Toer, juga John
Rosa, Ayu Ratih dan Hilmar Farid itu. Mungkin nantinya saya bisa mulai dari
sana untuk menelisik pesan Penggali Sumur Zaki Zubaidi ini.
Sampai
detik ini saya masih menyakini kesamaan tugas sejarawan dan kritikus sastra
(Barthes)—bukan menemukan makna rahasia dari sebuah karya, melainkan membangun
pemahaman untuk zaman kita sendiri.
/5/
DENGAN
model pembacaan seperti itu, sehingga sedikit banyak saya bisa memprediksi
pergulatan dan pencarian gagasan estetis dan artistik Zaki Zubaidi dari waktu
ke waktu. Pun pada kesempatan ujung tulisan ini, saya bisa mengkritiknya, meski
secara implisit telah terungkap pada bagian sebelumnya.
Lebih
tepatnya kali ini sebagai penegasan, yang menginspirasi tulisan ini ‘Menolak
Realisme, Merayakan Sejarah Mental.’
Ketidakpedulian
saya pada ada/tidaknya pesan cerpen-cerpen Zaki Zubaidi sepertinya ibarat
bermula dari daya tarik sampiran pantun dan bukan pada isinya. Atau keengganan
Sutardji Calzoum Bachri pada ide atau rumusan pikiran yang memberi arah apapun
pada kesusastraan, apalagi ideologi.
Cerita Idrus, Surabaya, juga gagal didekati konsepsi angkatan 45 karena
kejujurannya memasukkan segi-segi negative revolusi.
Entah ada
atau tidak pesan dalam cerita Zaki Zubaidi saya tak peduli. Jikapun ada saya
tak percaya, atas dasar itu. Sihir ungkapan kematian yang begitu enteng
disampaikan Zaki Zubaidi dalam cerita-ceritanya, bukan berarti itu pesan moral
ajakannya untuk berdamai dengan kematian. Demikian pula keindahan cinta atau
kenyataan tak berarti ajaran untuk sayang pada dunia—apalagi menolak kematian.
Dalam sejarah
sastra, pesan-pesan (moral) seperti itu memang menjadi gagasan dari sastra
realisme. Termasuk realisme sosial. Sehingga, melalui pembacaan saya seperti
ini, dengan penolakan seperti itu, saya lebih percaya pada laku kreatif—daya
hidup pengarang menempatkan diri dalam suasana jiwa yang sunyi sepi dan terbuka
menerima relativitas kebenaran—ketimbang berhibuk ria dengan pesan.
Pada saat
mengekplorasi cerita realisme Zaki Zubaidi musti berperang dalam suasana pasang
surut dengan persoalan sensitif, berekperimen ragu-ragu dalam melibatkan
pembaca, mencuri sketsa imajis, tergoda pada bahasa puisi, simbolisme. Sepintas
grafiknya naik turun dan puncaknya justru 1998-2002.
Sebaliknya,
ekperimen-ekperimen itu semua untuk memberontak pada realisme telah membuahkan tiga buah cerita yang
spektakuler. Sebagai cerpen yang paling berhasil dalam bentuk dan isi. Dari
ketiganya, saya kira cerpen Bak Air dalam Kamar Tidur (2001) adalah cerpen yang
sangat orisinil khas gagasan estetik dan artistik Zaki Zubaidi terlebih
memperlihatkan kesempurnaannya dengan teknik dan gaya melibatkan pembaca.
Tentunya,
hal itu bukanlah temuan dari sebuah pergulatan pencarian estetik dan artistik
yang sepele bagi Zaki Zubaidi sebagai seorang pengarang. Untuk selanjutnya,
kita bersama-sama bisa menunggu, setelah psikologisme dan laku kreatif
pengarang yang memilih jalan sunyi demi merebut puncak-puncak integritas
individualnya, apa yang digumuli pengarang Zaki Zubaidi ini.[]
Surabaya,
6 Maret 2013
S. Jai
adalah penulis cerpen, novel, naskah drama, dan esai. Salah satu novelnya
adalah Tanah Api (LKiS, 2005)
Redaktur SARBI: Dody Kristianto
1 comments:
Post a Comment