Karya Edward Hopper. Berjudul: Office at Night. Tahun 1940. Koleksi: Walker Art Center, Minneapolis; Gift of the T.B. Walker Foundation, Gilbert M. Walker Fund, Tahun 1948.
karya Arifin C Noer
Catatan : monolog ini termasuk naskah yang sering dijadikan naskah wajib untuk perlombaan monolog tingkat SMA maupun perguruan tinggi. Salah satunya adalah ajang Peksiminal.
_____________________________________
Ruang
tengah dari sebuah ruang yang cukup menyenangkan, buat suatu keluarga yang
tidak begitu rakus. Lumayan keadaannya, sebab lumayan pula penghasilan si
pemiliknya. Sebagai seorang kasir di sebuah kantor dagang yang lumayan pula
besarnya. Kasir kita itu bernama Misbach Jazuli
Sandiwara
ini ditulis khusus untuk latihan bermain. Sebab itu sangat sederhana sekali.
Dan sangat kecil sekali. Dan sandiwara ini kita mulai pada suatu pagi. Mestinya
pada suatu pagi itu ia sudah duduk dekat kasregisternya di kantornya, tapi pagi
itu ia masih berada di ruang tengahnya, kelihatan lesu seperti wajahnya.
Tas sudah dijinjingnya
dan ia sudah melangkah hendak pergi. Tapi urung lagi untuk yang kesekian
kalinya. Dia bersiul sumbang untuk mengatasi kegelisahannya. Tapi tak berhasil.
Saudara-saudara yang terhormat.
Sungguh sayang sekali, sandiwara yang saya mainkan ini sangat lemah sekali.
Pengarangnya menerangkan bahwa kelemahannya, maksud saya kelemahan cerita ini
disebabkan ia sendiri belum pernah mengalaminya; ini. Ya, betapa tidak saudara?
Sangat susah.
Diletakkannya tasnya
Saya sangat susah sekali sebab istri saya sangat cantik
sekali. Kecantikannya itulah yang menyebabkan saya jadi susah dan hampir gila.
Sungguh mati, saudara. Dia sangat cantik sekali. Sangat jarang Tuhan
menciptakan perempuan cantik. Disengaja. Sebab perempuan-perempuan jenis itu
hanya menyusahkan dunia. Luar biasa, saudara. Bukan main cantiknya istri saya
itu. Hampir-hampir saya sendiri tidak percaya bahwa dia itu istri saya.
Saya berani sumpah! Dulu sebelum dia menjadi istri saya
tatkala saya bertemu pandang pertama kalinya disuatu pesta berkata saya dalam
hati : maulah saya meyobek telinga kiri saya dan saya berikan padanya sebagai
mas kawin kalau suatu saat nanti ia mau menjadi istri saya. Tuhan Maha Pemurah.
Kemauan Tuhan selamanya sulit diterka. Sedikit banyak rupanya suka akan
surpraise.
Buktinya? Meskipun telinga saya masih utuh, toh saya telah
berumah tangga dengan Supraba selama lima tahun lebih.
Aduh cantiknya.
Saya berani mempertaruhkan kepala saya bahwa bidadari itu
akan tetap bidadari walaupun ia telah melahirkan anak saya yang nomer dua, saya
hampir tidak percaya pada apa yang saya lihat. Tubuh yang terbaring itu masih
sedemikian utuhnya. Caaaaannnnttiiik.
Ah kata cantikpun tak dapat pula untuk menyebutkan
keajaibannya. Cobalah. Seandainya suatu ketika gadis-gadis sekolah berkumpul
dan istri saya berada diantara mereka, saya yakin, saudara-saudara pasti
memilih istri saya, biarpun saudara tahu bahwa dia seorang janda.
Lesu.
Ya, saudara. Kami telah bercerai dua bulan lalu. Inilah
kebodohan sejati dari seorang lelaki. Kalau saja amarah itu tak datang dalam
kepala, tak mungkin saya akan sebodoh itu menceraikan perempuan ajaib itu.
Semua orang yang waras akan menyesali perbuatan saya,
kecuali para koruptor, sebab mereka tak mampu lagi menyaksikan harmoni dalam
hidup ini. Padahal harmoni adalah keindahan itu sendiri. Dan istri saya,
harmonis dalam segala hal. Sempurna.
Menarik napas.
Bau parfumnya! Baunya! Seribu bunga sedap malam di kala
malam, seribu melati di suatu pagi. Segar, segar!
Telepon berdering.
Itu dia! Sebentar (ragu-ragu) Selama seminggu ini setiap
pagi ia selalu menelpon. Selalu ditanyakannya :”Sarapan apa kau, mas” Kemarin
saya menjawab :”Nasi putih dengan goreng otak sapi”
Pagi ini saya akan menjawab .....
Mengangkat gagang telepon
Misbach Jazuli disini. Hallo? Hallo! Halloooo!
Meletakkan pesawat telepon
Salah sambung. Gilaa! Saya marah sekali. Penelpon itu tak
tahu perasaan sama sekali.
Tiba-tiba
Oh ya! Jam berapa sekarang?
Gugup melihat arloji
Tepat! Delapan seperempat. Saya telah terlambat tiga
perempat jam. Maaf saya harus ke kantor. Lain kali kita sambung cerita ini atau
datanglah ke kantor saya, PT Dwi Warna di jalan Merdeka. Tanyakan saja disana
nama saya, kasir Jazuli. Maaf. Sampai ketemu.
Melangkah cepat. Sampai di pintu sebentar ia ragu. Tapi
kemudian ia terus juga.
Agak lama, kasir kita masuk lagi dengan lesu.
Mudah mudahan perdagangan internasional dan perdagangan
nasional tidak terganggu meskipun hari ini saya telah memutuskan tidak masuk
kantor.
Tidak, saudara! Saudara tidak bisa seenaknya mencap saya
punya bakat pemalas. Saudara bisa bertanya kepada pak Sukandar kepala saya,
tentang diri Misbah Jazuli.
Tentu pak Sukandar segera mencari kata-kata yang terbaik
untuk menghormati kerajinan dan kecermatan saya. Kalau saudara mau percaya,
hari inilah hari pertama saya membolos sejak enam tahun lebih saya bekerja di
PT Dwi Warna.
Seperti saudara saksikan sendiri badan saya sedemikian
lesunya, bukan? Tuhanku! Ya, hanya Tuhanlah yang tahu apa yang terjadi dalam
diri saya. Saya rindu pada istri saya dan sedang ditimpa rasa penyesalan dan
saya takut masuk kantor berhubung pertanggung jawaban keuangan....
Telepon berdering.
Sekarang pasti dia!
Menuju pesawat telepon
Saya sendiri tidak tahu kenapa selama seminggu ini ia selalu
menelpon saya.
Apa mungkin ia mengajak rukun dan rujuk kembali...tak
tahulah saya. Saya sendiri pun terus mengharap ia kembali dan, tapi tidak! Saya
tak boleh menghina diri sendiri begitu bodoh! Bukan saya yang salah. Dia yang
salah. Yang menyebabkan peristiwa perceraian ini bukan saya tapi dia. Dia yang
salah. Sebab itu dia yang selayaknya minta maaf pada saya. Ya, dia harus minta
maaf.
Toch saya laki-laki berharga : saya punya penghasilan yang
cukup.
Laki-laki gampang saja menarik perempuan sekalipun sudah
sepuluh kali beristri. Pandang perempuan dengan pasti, air muka disegarkan
dengan sedikit senyum, dan suatu saat berpura-pura berpikir menimbang
kecantikannya dan kemudian pandang lagi, dan pandang lagi, dan jangan sekali
kali kasar, wajah lembut seperti waktu kita berdoa dan kalau perempuan itu
menundukkan kepalanya berarti laso kita telah menjerat lehernya. Beres!
Nah, saya cukup punya martabat, bukan? Dan lagi dia yang
salah! Ingat, dia yang salah. Nah, saudara tentu sudah tahu tentang sifat saya.
Saya sombong seperti umumnya laki-laki dan kesombongan saya mungkin juga karena
sedikit rasa rendah diri, tidak! Bukankah saya punya tampang tidak begitu
jelek?
Telepon berdering lagi.
bersambung
_________________________________
Redaktur SARBI: Dody Kristianto
_________________________________
Redaktur SARBI: Dody Kristianto
0 comments:
Post a Comment