Karya William Roberts (1895‑1980),
Berjudul The Vorticists at the Restaurant de la Tour Eiffel Spring, 1915,
Tahun: 1961-2 Medium: Minyak diatas Kanvas, Dimensi: 1829_2134 mm
Oleh Ir. Sukarno
Buat
nomor Maulud ini Redaksi “Panji Islam” minta kepada saya supaya saya menulis
satu artikel tentang: “Nabi Muhammad sebagai Pembangun Masyarakat!” Permintaan
redaksi itu saya penuhi dengan segala kesenangan hati. Tetapi dengan sengaja
saya memakai titel yang lain daripada yang dimintanya itu, yakni untuk
memusatkan perhatian pembaca kepada pokoknya saya punya uraian nanti.
Nabi
Muhammad memang salah seorang pembangun masyarakat yang maha-maha-haibat.
Tetapi tiap-tiap hidung mengetahui, bahwa masyarakat abad ketujuh Masehi itu
tidak sama dengan masyarakat abad keduapuluh yang sekarang ini.
Hukum-hukum
diadakan oleh Nabi Muhammad untuk membangunkan dan memeliharakan masyarakat
itu, tertulislah di dalam Qur’an dan Sunah (Hadits). Hurufnya Qur’an dan Hadits
itu tidak berobah, sebagai juga tiap-tiap huruf yang sudah tertulis satu kali:
buat hurufnya Qur’an dan Sunah malahan “teguh selama-lamanya, tidak lapuk di
hujan, tidak lekang di panas”.
Tetapi
masyarakat selalu berobah, masyarakat selalu ber-evolusi. Sayang sekali ini
tidak tiap-tiap hidung mengetahui. Sayang sekali, – sebab umpamanya tiap-tiap
hidung mengetahui, maka niscaya tidaklah selalu ada konflik antara masyarakat
itu dengan orang-orang yang merasa dirinya memikul kewajiban menjaga
aturan-aturan Qur’an dan Sunah itu, dan tidaklah masyarakat Islam sekarang ini
sebagai seekor ikan yang terangkat dari air, setengah mati megap-megap!
Nabi
Muhammad punya pekerjaan yang maha-maha-haibat itu bolehlah kita bahagikan
menjadi dua bahagian: bahagian sebelum hijrah, dan bahagian sesudah hijrah.
Bahagian
yang sebelum hijrah itu adalah terutama sekali pekerjaan membuat dan membentuk
bahannya masyarakat Islam kelak, material buat masyarakat Islam kelak: yakni
orang-orang yang percaya kepada Allah yang satu, yang teguh imannya, yang suci
akhlaknya, yang luhur budinya, yang mulia perangainya. Hampir semua ayat-ayat
Qur’an yang diwahyukan di Mekkah itu adalah mengandung ajaran-ajaran
pembentukan rohani ini: tauhid, percaya kepada Allah yang Esa dan Maha-Kuasa,
rukun-rukunnya iman, keikhlasan, keluhuran moral, keibadatan, cinta kepada
sesama manusia, cinta kepada si miskin, berani kepada kebenaran, takut kepada
azabnya neraka, lazatnya ganjaran syurga, dan lain-lain sebagainya yang perlu
buat menjadi kehidupan manusia umurnnya, dan pandemen rohaninya perjoangan
serta masyarakat di Madinah kelak.
Sembilanpuluh
dua daripada seratus empatbelas surat, – hampir dua pertiga Qur’an – adalah
berisi ayat-ayat Mekkah itu. Orang-orang
yang dididik oleh Muhammad dengan ayat-ayat serta dengan sunah dan teladannya
pula, menjadilah orang-orang yang tahan-uji, yang gilang-gemilang imannya serta
akhlaknya, yang seakan-akan mutiara
dikala damai, tetapi seakan-akan dinamit di masa berjoang. Orang-orang inilah
yang menjadi material-pokok bagi Muhammad untuk menyusun Ia punya masyarakat
kelak dan Ia punya perjoangan kelak.
Maka
datanglah kemudian periode Madinah. Datanglah kemudian periodenya
perjoangan-perjoangan dengan kaum Yahudi, perjoangan dengan kaum Mekkah.
Datanglah saatnya Ia menggerakkan material itu, – ditambah dengan material
baru, antaranya kaum Ansar mendinamiskan material itu ke alam perjoangan dan
kemasyarakatan yang teratur. Bahan-bahan rohani yang Ia timbun-timbunkan di dalam
dadanya kaum Muhajirin, kaum Ansar serta kaum-Islam baru itu, dengan satu kali
perintah sahaja yang keluar dari mulutnya yang Mulia itu, menjadilah
menyala-nyala berkobar-kobar menyinari seluruh dunia Arab.
“Pasir
di padang-padang-pasir Arabia yang terik dan luas itu, yang beribu-ribu tahun
diam dan seakan-akan mati, pasir itu sekonyong-konyong menjadilah ledakan mesiu
yang meledak, yang kilatan ledakannya menyinari seluruh dunia”, – begitulah
kira-kira perkataan pujangga Eropah Timur Thomas Carlyle tatkala ia
membicarakan Muhammad.
Ya,
pasir yang mati menjadi mesiu yang hidup, mesiu yang dapat meledak. Tetapi
mesiu ini bukanlah mesiu untuk membinasakan dan menghancurkan sahaja, tidak
untuk meleburkan sahaja perlawanannya orang yang kendati diperingatkan
berulang-ulang, sengaja masih znendurhaka kepada Allah dan mau membinasakan
agama Allah. Mesiu ini jugalah mesiu yang boleh dipakai untuk mengadakan,
mesiu yang boleh dipakai untuk scheppend-werk, sebagai dinamit di zaman
sekarang bukan sahaja boleh dipakai untuk musuh, tetapi juga untuk membuat
jalan biasa, jalan kereta-api, jalan irigasi,- jalannya keselamatan dan
kemakmuran. Mesiu ini bukanlah sahaja mesiu perang tetapi juga mesiu
kesejahteraan.
Di
Madinah itulah Muhammad mulai menyusun Ia punya masyarakat dengan tuntunan
Ilahi yang selalu menuntun kepadanya. Di Madinah itulah turunnya kebanyakannya
“ayat-ayat masyarakat” yang mengisi sepertiga lagi dari kitab Qur’an. Di
Madinah itu banyak sekali dari Ia punya sunah bersifat “sunah-kemasyarakatan”,
yang mengasih petunjuk ditentang urusan menyusun dan membangkitkan masyarakat.
Di
Madinah itu Muhammad menyusun satu kekuasaan “negara”, yang membuat orang
jahat menjadi takut menyerang kepadaNya, dan membuat orang balk menjadi gemar
bersatu kepadaNya. Ayat-ayat tentang zakat, sebagai semacam payak untuk
membelanjai negara, ayat-ayat merobah qiblah dari Baitulmuqaddis ke Mekkah,
ayat-ayat tentang hukum-hukumnya perang, ayat-ayat tentang pendirian manusia
terhadap kepada manusia yang lain, ayat-ayat yang demikian itulah umumnya sifat
ayat-ayat Madinah itu.
Di
Mekkah turunlah terutama sekali ayat-ayat iman, di Madinah ayat-ayat
mengamalkan itu iman. Di Mekkah diatur perhubungan manusia dengan Allah, di
Madinah perhubungan manusia dengan manusia sesamanya. Di Mekkah dijanjikan
kemenangan orang yang beriman, di Madina dibuktikan kemenangan orang yang
beriman.
Tetapi
tidak periode dua ini terpisah sama sekali sifatnya satu dengan lain, tidak dua
periode ini sama sekali tiada “penyerupaan” satu kepada yang lain. Di Mekkah
adalah turun pula ayat-ayat iman. Tetapi bolehlah kita sebagai garis-umum
mengatakan: Mekkah adalah persediaan masyarakat, Madinah adalah pelaksanaan
masyarakat itu.
Itu
semua terjadi di dalam kabutnya zaman yang purbakala. Hampir empatbelas kali
seratus tahun memisahkan zaman itu dengan zaman kita sekarang ini. Ayat-ayat
yang diwahyukan oleh Allah kepada Muhammad di Madinah itu sudahlah dihimpunkan
oleh Sayidina Usman bersama-sama ayat-ayat yang lain menjadi kitab yang tidak
lapuk di hujan, tidak lekang di panas, sehingga sampai sekarang masihlah kita
kenali dia presis sebagai keadaannya yang asli. Syari’at yang termaktub di
dalam ayat-ayat serta sunah-sunah Nabi itu, syari’at itu diterimakanlah oleh
angkatan-angkatan dahulu kepada angkatan-angkatan sekarang, turun-temurun,
bapak kepada anak, anak kepada anaknya lagi. Syari’at ini menjadilah satu
kumpulan hukum, yang tidak sahaja mengatur masyarakat padang pasir di kota
Jatrib empatbelas abad yang lalu, tetapi menjadilah satu kumpulan hukum yang
musti mengatur kita punya masyarakat di zaman sekarang.
Maka
konflik datanglah! Konflik antara masyarakat itu sendiri dengan pengertian
manusia tentang syari’at itu. Konflik antara masyarakat yang selalu berganti
corak, dengan pengertian manusia yang beku. Semakin masyarakat itu berobah,
semakin besarlah konfliknya itu.
Belum
pernah masyarakat begitu cepat robahnya sebagai di akhir abad yang
kesembilanbelas di permulaan abad yang keduapuluh ini. Sejak orang mendapatkan
mesin-uap di abad yang lalu, maka roman-muka dunia berobahlah dengan kecepatan kilat dari hari
ke hari. Mesin-uap diikuti oleh mesin-minyak, oleh electriciteit, oleh
kapal-udara, oleh radio, oleh kapalkapal-selam, oleh tilpun dan telegraf, oleh
televisi, oleh mobil dan mesin-tulis, oleh gas racun dan sinar yang dapat
membakar. Di dalam limapuluh tahun sahaja roman-muka dunia, lebih berobah
daripada di dalam limaratus tahun yang terdahulu. Di dalam limapuluh tahun
inipun sejarah-dunia seakan-akan melompati jarak yang biasanya dilalui sejarah
itu di dalam limaratus tahun. Masyarakat seakan-akan bersayap kilat.
Tetapi
pengertian tentang syari’at seakan-akan tidak bersayap, seakan-akan tidak
berkaki, – seakan-akan tinggal beku, kalau umpamanya tidak selalu dihantam
bangun oleh kekuatan-kekuatan-muda yang selalu mengentrok-entrokkan dia,
mengajak dia kepada “rethinking of Islam” di waktu yang akhir-akhir ini. Belum
pernah dia ada konflik yang begitu besar antara masyarakat dan pengertian
syari’at, seperti di zaman yang akhir-akhir ini.
Belum
pernah Islam menghadapi krisis begitu haibat, sebagai di zaman yang akhir-akhir
ini. “Islam pada saat ini,” - begitulah Prof. Tor Andrea menulis di dalam
sebuah majalah -, “Islam pada saat ini adalah sedang menjalani “ujian-apinya”
sejarah. Kalau ia menang, ia akan menjadi teladan bagi seluruh dunia; kalau ia
alah, ia akan merosot ke tingkatan yang kedua buat selama-lamanya”.
Ya,
dulu “zaman Madinah”, – kini zaman 1940. Di dalam ciptaan kita nampaklah Nabi
duduk dengan sahabat-sahabatnya di dalam rumahnya. Hawa sedang panas terik,
tidak ada kipas listrik yang dapat menyegarkan udara, tidak ada es yang dapat
menyejukkan kerongkongan, Nabi tidak duduk di tempat penerimaan tamu yang
biasa, tetapi bersandarlah Ia kepada sebatang puhun kurma tidak jauh dari
rumahnya itu.
Wajah
mukanya yang berseri-seri itu nampak makin sedaplah karena rambutnya yang
berombak-ombak dan panjang, tersisir rapih ke belakang, sampai setinggi
pundaknya. Sorot matanya yang indah itu seakan-akan “mimpi”, – seperti
memandang kesatu tempat yang jauh sekali dari alam yang fana ini,
melayang-layang di satu alam-gaib yang hanya dikenali Tuhan.
Maka
datanglah orang-orang tamunya, orang-orang Madinah atau luar Madinah, yang
sudah masuk Islam atau yang mau masuk Islam. Mereka semuanya sederhana,
semuanya membawa sifatnya zaman yang kuno itu. Rambutnya panjang-panjang, ada
yang sudah sopan, ada yang belum sopan. Ada yang membawa panah, ada yang
mendukung anak, ada yang jalan kaki, ada yang naik onta, ada yang setengah
telanjang. Mereka datanglah minta keterangan dari hal pelbagai masalah agama,
atau minta petunjuk ditentang pelbagai masalah dunia sehari-hari. Ada yang
menanyakan urusan ontanya,
ada
yang menanyakan urusan pemburuan, ada yang mengadukan hal pencurian kambing,
ada yang minta obat, ada yang minta didamaikan perselisihannya dengan isteri di
rumah.
Tetapi
tidak seorangpun menanyakan boleh tidaknya menonton bioskop, boleh tidaknya
mendirikan bank, boleh tidaknya nikah dengan perantaraan radio, tidak
seorangpun membicarakan hal mobil atau bensin atau obligasi bank atau telegraf
atau kapal-udara atau gadis menjadi dokter …
Nabi
mendengarkan segala pertanyaan dan pengaduan itu dengan tenang dan sabar, dan
mengasihlah kepada masing-masing penanya jawabnya dengan kata-kata yang menuju
terus ke dalam rokh-semangatnya semua yang hadir. Di sinilah syari’atul Islam tentang masyarakat
lahir kedunia, di sinilah buaian wet kemasyarakatan Islam yang nanti akan
dibawa oleh zaman turun-temurun, melintasi batasnya waktu dan batasnya negeri
dan samudra.
Di
sinilah Muhammad bertindak sebagai pembuat wet, bertindak sebagai wetgever,
dengan pimpinannya Tuhan, yang kadang-kadang langsung mengasih pimpinannya itu
dengan ilham dan wahyu. Wet ini harus cocok dan mengasih kepuasan kepada
masyarakat di waktu itu, dan cukup “karat”, – cukup elastis, cukup supel, –
agar dapat tetap dipakai sebagai wet buat zaman-zaman di kelak kemudian hari.
Sebab Nabi, di dalam maha-kebijaksanaannya itu insyaflah, bahwa Ia sebenarnya
tidak mengasih jawaban kepada si Umar atau si Zainab yang duduk di hadapannya
di bawah puhun kurma pada saat itu sahaja, – Ia insyaf, bahwa Ia sebenarnya
mengasih jawaban kepada Seluruh Peri- kemanusiaan.
Dan
seluruh peri kemanusiaan, bukan sahaja dari zamannya Nabi sendiri, tetapi juga
seluruh peri kemanusiaan dari abad-abad yang kemudian, abad kesepuluh, abad
keduapuluh, ketigapuluh, keempatpuluh, kelimapuluh dan abad-abad yang masih
kemudian-kemudian : Lagi yang masyarakatnya sifatnya lain, susunannya lain,
kebutuhannya lain, hukum perkembangannya lain.
Maka
di dalam maha-kebijaksanaan Nabi itu, pada saat Ia mengasih jawaban kepada si
Umar dan si Zainab di bawah puhun kurma hampir seribu empat ratus tahun yang
lalu itu, Ia adalah juga mengasih jawaban kepada kita. Kita, yang hidup ditahun
1940! Kita, yang hajat kepada radio dan listrik, kepada sistim politik yang
modern dan hukum-hukum ekonomi yang modern, kepada kapal-udara dan telegraf,
kepada bioskop dan universitas! Kita, yang alat-alat penyenangkan hidup kita
berlipat-lipat ganda melebihi jumlah dan kwaliteitnya alat-alat hidup si Umar
dan si Zainab dari bawah puhun kurma tahadi itu, yang masalah-masalah hidup
kita berlipat-lipat ganda lebih sulit, lebih berbelit-belit, daripada si Umar
dan si Zainab itu. Kita yang segala-galanya lain dari si Umar dan si Zainab
itu.
Ya,
juga kepada kita! Maka oleh karena itulah segala ucapan-ucapan Muhammad tentang
hukum-hukum masyarakat itu bersifat syarat-syarat minimum, yakni
tuntutan-tuntutan “paling sedikitnya”, dan bukan tuntutan-tuntutan yang “musti
presis begitu”, bukan tuntutantuntutan yang mutlak. Maka oleh karena itulah
Muhammad bersabda pula, bahwa ditentang urusan dunia “kamulah lebih
mengetahui”.
Halide
Edib Hanum kira-kira limabelas tahun yang lalu pernah menulis satu artikel di
dalam surat-surat-bulanan “Asia”. Yang antaranya ada berisi kalimat: “Di dalam
urusan ibadat, maka Muhammad adalah amat keras sekali. Tetapi di dalam urusan
yang lain, di dalam Ia punya sistim masyarakat, Ia, sebagai seorang wetgever
yang jauh penglihatan, adalah mengasih hukum-hukum yang sebenarnya “liberal”.
Yang membuat hukum-hukum masyarakat itu menjadi sempit dan menyekek nafas
ialah consensus ijma’ ulama.”
Renungkanlah
perkataan Halide Edib Hanum ini. Hakekatnya tidak berbedaan dengan perkataan
Sajid Amir All tentang “kekaretan” wet-wet Islam itu, tidak berbedaan dengan
pendapatnya ahli-tarikh-ahli-tarikh yang kesohor pula, bahwa yang membuat agama
menjadi satu kekuasaan reaksioner yang menghambat kemajuan masyarakat manusia
itu, bukanlah pembikin agama itu, bukanlah yang mendirikan agama itu, tetapi
ialah ijma’nya ulama-ulama yang terkurung di dalam tradisi-pikiran ijma’-ijma’
yang sediakala.
Maka
jikalau kita, di dalam abad keduapuluh ini, tidak bisa mengunyah dengan kita
punya akal apa yang dikatakan kita punya oleh Nabi kepada si Umar dan si Zainab
di bawah puhun kurma hampir seribu empat ratus tahun,- jikalau kita tidak bisa
mencernakan dengan akal apa yang disabdakan kepada si Umar dan si Zainab itu di
atas basisnya perbandingan-perbandingan abad keduapuluh dan
kebutuhan-kebutuhan abad keduapuluh, –
maka janganlah kita ada harapan menguasai dunia, seperti yang telah difirmankan
oleh Allah Ta’ala sendiri di dalam surat-surat ayat 29. Janganlah kita ada
pengiraan, bahwa kita mewarisi pusaka Muhammad, sebab yang sebenarnya kita
warisi hanyalah pusaka ulama-ulama faqih yang sediakala sahaja.
Di
dalam penutup saya punya artikel tentang “Memudakan Pengertian Islam”saya sudah
peringatkan pembaca, bahwa segala hal itu boleh asal tidak nyata dilarang.
Ambillah
kesempatan tentang bolehnya segala hal ini yang tak terlarang itu, agar supaya
kita bisa secepat-cepatnja mengejar zaman yang telah jauh meninggalkan kita
itu. Dari tempat-tempat-interniran saya yang terdahulu, dulu pernah saya
serukan via tuan A. Hassan dari Persatuan Islam, di dalam risalah kecil
“Surat-surat Islam dari Endeh”:
“Kita
tidak ingat, bahwa masyarakat itu adalah barang yang tidak diam, tidak tetap,
tidak “mati”, – tetapi hidup mengalir, berobah senantiasa, maju, dinamis,
ber-evolusi. Kita tidak ingat, bahwa Nabi s.a.w. sendiri telah menjadikan
urusan dunia, menyerahkan kepada kita sendiri perihal urusan dunia, membenarkan
segala urusan dunia yang baik dan tidak nyata haram atau makruh. Kita royal
sekali dengan perkataan “kafir”, kita gemar sekali mencap segala barang yang
baru dengan cap “kafir”. Pengetahuan Barat – kafir; radio dan kedokteran –
kafir; sendok dan garpu dan kursi – kafir; tulisan Latin – kafir; yang
bergaulan dengan bangsa yang bukan bangsa Islam-pun – kafir!
Padahal
apa,- apa yang kita namakan Islam? Bukan Rokh Islam yang berkobar-kobar, bukan
Amal Islam yang mengagumkan, tetapi … dupa dan karma dan jubah dan celak mata!
Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa yang
matanya dicelak dan jubalmya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu
berputar, – dia, dialah yang kita namakan Islam.
Astagafirullah,
inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini? Yang mengkafirkan pengetahuan dan
kecerdasan, mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan dan
ke-uptodate-an? Yang mau tinggal mesum sahaja, tinggal kuno sahaja, tinggal
terbelakang sahaja, tinggal “naik onta” dan “makan zonder sendok” sahaja,
seperti di zaman Nabi-nabi.
Islam
is progress, - Islam itu kemajuan, begitulah telah saya tuliskan di dalam salah
satu surat saya yang terdahulu. Kemajuan karena fardhu, kemajuan karena sunah,
tetapi juga kemajuan karena diluaskan dan dilapangkan oleh jaiz atau mubah yang
lebarnya melampaui batasnya zaman. Progress berarti barang baru, yang lebih
tinggi tingkatnya daripada barang yang terdahulu. Progress berarti pembikinan
baru, ciptaan baru, creation baru,- bukan mengulangi barang yang dulu, bukan
mengcopy barang yang lama.
Di
dalam politik Islam-pun orang tidak boleh mengcopy sahaja barang-barang yang
lama, tidak boleh mau mengulangi sahaja segala sistim-sistimnya zaman
“khalifah-khalifah yang ‘besar”. Kenapa orang-orang Islam di sini selamanya
menganjurkan political system “seperti di zamannya khalifah-khalifah besar”
itu?
Tidakkah
di dalam langkahnya zaman yang lebih dari seribu tahun itu peri-kemanusiaan
mendapatkan sistim-sistim baru yang lebih sempurna, lebih bijaksana, lebih
tinggi tingkatnya daripada dulu? Tidakkah zaman sendiri menjelmakan
sistim-sistim baru yang cocok dengan keperluannya, – cocok dengan keperluan
zaman itu sendiri? Apinya zaman “khalifah-khalifah yang besar” itu?
Akh,
lupakah kita, bahwa api ini bukan mereka yang menemukan, bukan mereka yang
“menganggitkan”? Bahwa mereka “menyutat” sahaja api itu dari barang yang juga
kita di zaman sekarang mempunyainya, yakni dari Kalam Allah dan Sunahnya Rasul?
Tetapi
apa yang kita “cutat” dari Kalam Allah dan Sunah Rasul itu? Bukan apinya, bukan
nyalanya, bukan! Abunya, debunya, akh ya, asapnya! Abunya yang berupa celak
mata dan sorban, abunya yang menyintai kemenyan dan tunggangan onta, abunya
yang bersifat Islam-muluk dan Islam ibadat-zonder-taqwa, abunya yang cuma tahu
baca Fatihah dan tahlil sahaja,- tetapi bukan apinya, yang menyala-nyala dari
ujung zaman yang satu keujung zaman yang lain.”
Begitulah
saya punya seruan dari Endeh. Marilah kita camkan di dalam kita punya akal dan
perasaan, bahwa kini bukan masyarakat onta, tetapi masyarakat kapal-udara. Hanya
dengan begitulah kita dapat menangkap inti arti yang sebenarnya dari warta
Nabi yang mauludnya kita rayakan ini hari. Hanya dengan begitulah kita dapat
menghormati Dia di dalam artinya penghormatan yang hormat sehormat-hormatnya.
Hanya dengan begitulah kita dengan sebenar-benarnya boleh menamakan diri kita
umat Muhammad, dan bukan umat kaum faqih atau umat kaum ulama.
Pada
suatu hari saya punya anjing menjilat air di dalam panci di dekat sumur. Saya
punya anak Ratna Juami berteriak: “Papie, papie, si Ketuk menjilat air di dalam
panci!” Saya menjawab: “Buanglah air itu, dan cucilah panci itu beberapa kali
bersih-bersih dengan sabun dan kreolin.”
Ratna
termenung sebentar. Kemudian ia menanya: “Tidakkah Nabi bersabda, bahwa panci
ini musti dicuci tujuh kali, diantaranya satu kali dengan tanah?”
Saya
menjawab: “Ratna, di zaman Nabi belum ada sabun dan kreolin! Nabi waktu itu
tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan kreolin.” Muka Ratna menjadi
terang kembali. Itu malam ia tidur dengan roman muka yang seperti bersenyum,
seperti mukanya orang yang mendapat kebahagiaan besar.
Maha-Besarlah
Allah Ta’ala, maha-mulialah Nabi yang Ia suruh!
“Panji
Islam”, 1940
Tulisan
Bung Karno ini termuat dalam majalah Panji Islam pada 1940 dan dibetot dari
catatan Facebook Akhmad Sahal. Ejaan memang tetap dipertahankan oleh penyunting
sebagaimana aslinya agar suasana dan semangat tulisan ini masih tetap terasa.
0 comments:
Post a Comment