Karya Berjudul: Little One Dreaming, Koleksi: Tate
Vacuite
Angin
menepi ke pinggir-pinggir kali
Menyeret
gairah alamku ke batu-batu
Sepi
seakan abadi
Pohon-pohon
berkakuan, membekukan udara
Rumput-rumput
bertegakan ke angkasa
Hampa
seakan membahana
Dan
ibuku, curahan segala rindu
Dalam
terpaku batu nisan:
Aku
meniti jembatan air mata dan doa!
1979-1993
Epilog Kamar
Kamar
ini menggenapkan kita sebagai petapa
Yang
merana. Hiruk-pikuk menggoda dari luar
Jendela.
Menciptakan gema yang melingkar di
Kamar.
Dan melipat diri sebagai lagu sunyi
Siapakah
kita di luar kamar ini? Sejumput rambut
Di
atas daging dan sepi merambat seperti batang
Markisa
di sepanjang lorong hati. Lalu kita lunta
Dalam
kelana tanpa peta. Dan mulut kehabisan kata
Di
dalam dan di luar kamar, akhirnya kita tetap
Petapa
yang kekal memuja dusta. Dan doa ini satu
Minta:
"Tuhan beri kami waktu untuk terus dosa!"
1995
Karnaval
Dengan
pakaian berwarna kita bergaya.
Beriring
Dalam barisan bebek. Kita kembali sebagai anak
Pada
karnaval hari-hari besar. Wajah bercahaya
Mulut
penuh gula-gula. Hari-hari tinggal canda
Siapa
punya air mata ? Di sini tak ada kata bernama
Duka.
Mimpi dan imaji mengalahkan luka
Derita
ibarat bahasa karangan bunga. Kepedihan
Hanya
milik pejuang di medan perang. Kesedihan
Melayang.
Dunia dihiasi lampu dan umbul-umbul
Pesta
terus dirayakan. Karnaval masih berjalan
Parade
bergerak lamban. Penyair memilih diam:
Siapa
punya air mata? Siapa lebih suka tangisan?
1995
Solitaire
Kota
larut dalam hujan. Cahaya-cahaya pun
Kabur
terkubur. Pucuk-pucuk kelapa gemetar
Bambu-bambu
kuning saling merapatkan pelukan
Menancapkan
kuku-kukunya pada tanah dalam
Sampai
gemerutuk sepi membentang sepanjang
Kawat
listrik, menegang. Petir turun. Anakku
Menangis
keras, memecah Iamunanku.leritnya
Meredakan
hujan. Mengusir dan menghalau bakal
Badai
topan. Dan mencipta kembali Bandung
Sebagai
danau mutiara yang menyala. Orang pun
Berenang
dan menyelam lagi di sana, berebut
Mimpi.
Sedang aku menjelma badak yang berkubang
Sepi,
menyusuri sungai dan hutan; nyeri sendiri
1995
Melankolia
Seperti
barisan mahoni di tepi jalan
Tubuhku
tegak sepanjang ceruk subuh
Dan
bayang hitamku terkapar di aspal
Menekuri
arah kendaraan dan merkuri
Azan
berkumandang mengajakku pulang
Tapi
gema membuat banyak makna suara
Menggambar
persimpangan bagi langkah
Dan
cuaca menawarkan mimpi indah juga
Derita.
Aku bimbang di antara bintang
Sisa.
Dan sebuah tabrakan keras sulit
Terhindarkan.
Aku berantakan dan luka
Hati
belah dua dalam langit melankolia
1996
Beni R Budiman, lahir di desa
Dawuan, Kadipaten, Majalengka, 10 September 1965. Pendidikan formal terakhirnya
ditempuh di jurusan Bahasa Asing, Program Bahasa dan Sastra Prancis, Fakultas
Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan)
Bandung, hingga khatam. la menulis sejak masih duduk di bangku sekolah
menengah. Semasa masih kuliah, ia aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler di
bidang sastra, teater, dan pers. Sajak-sajaknya hinggap di halaman
"Pertemuan Kecil" Pikiran Rakyat. la pun mengumumkan sajak-sajaknya
melalui surat kabar Bandung Pos, Surabaya Pos, Jawa Pos, Pelita, Suara
Pembaruan, Media Indonesia, majalah sastra Horison, dan radio Deutsche Welle.
Beberapa sajaknya turut dimuat dalam antologi Dua Wajah (1992), Mimbar
PenyairAbad 21 (1996), Mafam Seribu Bulan, Cermin Alam, Tangan Besi, dan
Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (2000). Pada tahun 1996 ia turut diundang
oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk membacakan sajak-sajaknya dan berbicara
mengenai sajak-sajaknya di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. la pun banyak
menulis esai mengenai sastra dan kebudayaan. la wafat di Malangbong, Garut, 3
Desember 2002, setelah menderita penyakit jantung, paru-paru, dan ginjal.
Penunggu Makam adalah kumpulan sajak tunggal Beni R. Budiman yang pertama dan
terakhir. Karya-karya diatas dijumput dari laman www.karyapuisi.com
0 comments:
Post a Comment