Kebiasaan Kecil Makan Coklat
“Aku tak suka
kakimu berbunyi.”
“Ini coklat,
seperti cintaku padamu.”
James
Saunders membuat drama dari kereta dan permen coklat di situ, menyusun persahabatan dari
orang-orang yang tak bisa saling menemani: Kita adalah kegugupan bersama, sejak
berusaha mencari arti lewat permen coklat, dan kutu pada lipatan baju. Jangan
menyusun flu di situ, seperti menyusun jendela kereta dari dialog-dialog Romeo.
Tetapi Suyatna ingin menemani sebuah dunia, sebuah pentas, dengan dekor dan
baju-baju, pita- pita pada jalinan rambut sebahu.
Tak
ada stasiun kereta pada kerut keningmu, seperti kegelisahan membuat pesta di
malam hari. Lihat di luar sana, orang masih percaya pada semacam kebahagiaan,
seperti memasukkan seni peran dalam tas
koper. Tetapi kenapa kau tinggalkan dirimu dalam toilet. Jangan ledakkan sapu
tanganmu, dari kebiasaan kecil seperti
itu.
Aih,
biarlah kaki itu terus berbunyi, makan coklat terus berlalu, kutu-kutu di baju,
cinta yang penuh kegugupan ditonton orang. Tetapi jangan simpan terus ia di
situ, seperti dewa-dewa berdebu dalam koper, berusaha memberi arti dengan
mengisap permen gula.
Ini
coklat untukmu.
Jangan
mengenang diri seperti itu.
1994
Migrasi dari
Kamar Mandi
Kita
lihat Sartre malam itu, lewat Pintu Tertutup: menawarkan manusia mati dalam
sejarah orang lain. Tetapi wajah-wajah Dunia Ketiga yang memerankannya, masih
merasa heran dengan kematian dalam pikiran: “Neraka adalah orang-orang lain.”
Tak ada yang memberi tahu di situ, bagaimana masa lalu berjalan, memposisikan
mereka di sudut sana. Lalu aku kutip butir-butir kacang dari atas pangkuanmu:
Mereka telah melebihi diriku sendiri.
Wajahmu
penuh cerita malam itu, menyempatkan aku mengingat juga: sebuah revolusi
setelah hari-hari kemerdekaan, di Pekalongan, Tegal, Brebes; yang mengubah tatanan lama dari tebu, udang dan
batik. Kita minum orange juice tanpa masa lalu di situ, di bawah tatapan Sartre
yang menurunkan kapak, rantai penyiksa, alat-alat pembakar bahasa. Tetapi
mikropon meraihku, mengumumkan migrasi berbahaya, dari kamar mandi ke
jalan-jalan tak terduga.
Di
Ciledug, Sidoarjo, Denpasar, orang-orang berbenah meninggallkan dirinya
sendiri. Migrasi telah kehilangan waktu, kekasihku. Dan aku sibuk mencari
lenganmu di situ, dari rotasi-rotasi yang hilang, dari sebuah puisi, yang
mengirim kamar mandi ke dalam sejarah orang lain.
1993
Buku Harian dari
Gurindam Duabelas
Kau
telah ambil lenganku dari sungai Siak, sebelum Raja Ali Haji berkata: Bismillah
permulaan kalam.” Dan kapal-kapal
bergerak membawa Islam, membawa para nabi, sutra, barang-barang elektronik
juga. Tetapi seseorang mencarimu hingga Piz Gloria, kubah-kubah putih yang
mengirimku hingga Senggigi. 150 tahun kematian Friedrich Holderlin, jadi
penyair lagi di situ, hanya untuk
menjaga cinta. Gerimis membawa kota-kota lain lagi, tanaman palma dan kenangan di
jendela: Siti berlari-lari, menyapu halaman jadi buah mangga, apel, dan kecapi
juga.
Kini
dia bukan lagi kisah batu-batu, pelarian tempo dulu, atau seorang biu mengajar menyapu. Kini setiap
tubhnya membaca Gurindam Duabelas, mengirim buku harian, untuk masa silam seluruh unggas. Kita saling mencari, di
antara pikiran yang dicurigai, lebih dari letusan, menumbangkan sebuah bahasa
di malam hari. “Puan-puan dan Tuan-tuan,” kata Siti,”aku melayu dari Pejanggi.”
... Dan sungai Siak jadi sepi, jadi lebih dalam lagi dari Gurindam Duabelas.
Lenganmu,
membuat bahasa lain lagi di situ; untuk orang-orang di pelabuhan, menjual
beras, sayuran, radio, ikan-ikan juga. Dan aku berlari-lari. Ada rumah di situ,
setelah jalan berkelok.Ini untukmu, bahasa dari letusan itu, penuh suaramu
melulu.
1993
Warisan Kita
Bicara
lagi kambingku, pisauku, ladangku, komporku, rumahku, payungku, gergajiku,
empang ikanku, genting kacaku, emberku, geretan gasku. Bicara lagi cerminku,
kampakku, meja makanku, alat-alat tulisku, gelas minumku, album foto
keluargaku, ayam-ayamku, lumbung berasku, ani-aniku.
Bicara
lagi suara nenek-moyangku, linggisku, kambingku, kitab-kitabku, piring makanku,
pompa airku, paluku, paculku, gudangku, sangkar burungku, sepedaku,
bunga-bungaku, talang airku, ranjang tidurku. Bicara lagi kerbauku, lampu
senterku, para kerabat-tetanggaku, guntingku, pahatku, lemariku, gerobakku,
sandal jepitku, penyerut kayuku, ani-aniku.
Bicara
lagi kursi tamuku, penggorenganku, tembakauku, pe-numbuk padiku, selimutku,
baju dinginku, panci masakku, to- piku.
Bicara lagi kucing-kucingku... pisau
1989
Afrizal Malna lahir di
Jakarta, 7 Juni 1957. Sejak menamatkan SLA pada tahun 1976, Afrizal Malna tidak
melanjutkan sekolah. Pada tahun 1981, ia belajar di Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara, Jakarta, sebagai mahasiswa khusus hingga pertengahan dikeluarkan
pada tahun 1983. Selama kurang lebih sepuluh tahun ia pernah bekerja di
perusahaan kontraktor bangunan, ekspedisi muatan kapal laut, dan asuransi jiwa.
Sekarang lebih banyak berkiprah di bidang seni, sebagai sutradara pertunjukan
seni, kurator seni instalasi, penyair dan penulis. Buku puisinya antara lain: Abad Yang Berlari (1984), Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990), Arsitektur Hujan (1995), Biography of Reading (1995), Kalung Dari Teman (1998), Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2003),
Teman-Temanku dari Atap Bahasa
(2009). Sementara novelnya berjudul Lubang
dari Separuh Langit (2005). Penghargaan yang pernah diterima antara lain
Kincir Perunggu untuk naskah monolog dari Radio Nederland Wereldomroep (1981),
Republika Award untuk esei dalam Senimania Republika, harian Republika (1994),
Esei majalah Sastra Horison (1997), Dewan Kesenian Jakarta (1984).
NB : puisi-puisi
di atas diambil dari laman blog www.kepadapuisi.blogspot.com
Redaktur SARBI:
Dody Kristianto
0 comments:
Post a Comment