Karya Claude Cahun (1894‑1954) Judul: Untitled Tahun: 1936 Medium: Photograph, black and white, on paper Dimensi: 237 x 178 mm Koleksi: Tate
Goenawan Mohamad*
Hari-hari ini di Twitter orang ramai
menertawakan sesuatu yang pantas ditertawakan: bagaimana seorang bernama Vicky
Prasetyo berbicara dengan kata-kata asing yang kedengaran keren tapi salah
tempat dan salah pakai. Juga dengan kalimat yang jelas maksudnya.
Ada orang yang menganggap sebuah isi pikiran yang
"dalam" dicerminkan oleh kalimat-kalimat yang sulit dipahami.
Memang, soal-soal yang kompleks dan dalam
(misalnya filsafat, matematika, dan lain-lain) tidak mudah segera dipahami.
Tiap kalimat harus diurai, dan tenaga untuk itu tak sedikit. Diperlukan pembaca
yang punya daya analitis yang kuat dan siap bersusah-payah.
Tapi rupanya ada yang ingin agar tulisannya terkesan dalam dan
orisinal dengan menggunakan kalimat dan istilah yang seperti hutan belukar yang
sulit ditembus. Vickiisme jenis ini sejak lama ada. Bukan di kalangan pejabat,
tapi di kalangan seniman yang menulis. Coba telaah kembali majalah-majalah
kebudayaan Zenith, Seni, dan lain-lain dari tahun 1950-an. Saya pernah tak
paham sampai bertahun-tahun sebuah esei Sitor Situmorang di majalah Seni dan
beberapa esei Wiratmo Sukito dalam majalah Indonesia.
Di tahun yang lebih belakangan -- seingat saya
tahun 1980-an -- ada tulisan-tulisan (misalnya di Kompas) oleh satu dua orang
penulis yang ya-oloh ruwetnya. Tapi tidak ada yang berani mengritik atau
mencela; takut disangka bodoh.
Hanya sekali tampil sikap yang terus terang.
Seorang pastur diminta menulis pengantar sebuah buku dari seorang penulis yang
terkenal "ruwet" karyanya. Sang pastur dengan terus terang menulis,
ia tak paham apa yang mau diutarakan sang penulis..
Tapi Vickiisme ini menjalar ke kalangan lain. Saya ingat pada
suatu hari di akhir 1970-an atau awal 1980-an Jenderal Ali Moertopo
mengumpulkan para seniman dan "budayawan" (kata ini juga tidak jelas
maksudnya).
Kami didatangkan ke salah satu dari Pulau
Seribu. Di sana, dengan panjang lebar dan dengan kalimat yang tidak jelas
arahnya, tanpa teks, Ali Moertopo berbicara tentang "aquakultur".
Kami mencoba menebak-nebak. Tampaknya ia ingin mengaitkan
kebudayaan dengan kelautan (maklum, tempat ceramah itu kami dikelilingi laut).
Seorang yang hadir berbisik kepada saya, tapi tidak ada yang berani memberi
tahu sang jenderal bahwa "aquakultur" itu tak ada hubungannya dengan
kebudayaan, tapi dengan "seafarming". "Kultur" di situ
adalah kata yang juga dipakai dalam "hortikultur"....
Jadi: kami tak paham apa yang hendak dikatakan
sang jenderal, karena ia sendiri juga tidak paham.
Vickiisme adalah gejala dari tidak bekerjanya
daya analitik dalam berbahasa, tetapi lebih dari itu, juga gejala dari sebuah
kecemasan: cemas untuk ketahuan bahwa si penulis atau si pembicara mirip tong
kosong dengan bunyi yang rumit.
* Goenawan Mohamad
adalah penyair dan budayawan. Tulisan diatas dijumput dari status fb Slamet
Parsaoran Sinambela yang kemungkinan besar juga dijumput oleh yang bersangkutan
dari kolom Catatan Pinggir Majalah Tempo yang terbaru.
Redaktur SARBI: Dodi Kristianto
Redaktur SARBI: Dodi Kristianto
0 comments:
Post a Comment