Karya Mira Schendel Graphic Object_
Colección Patricia Phelps de Cisneros_©_The estate of Mira Schendel
Esai Dessy Wahyuni
Puisi
adalah salah satu genre sastra yang berisi ungkapan pikiran dan perasaan
penyair secara imajinatif, diungkapkan dengan pilihan kata yang cermat dan
tepat dengan mengerahkan semua kekuatan bahasa.
Karangan
yang terikat oleh rima, ritma, atau pun jumlah baris, serta ditandai oleh
bahasa yang padat ini merupakan pengucapan gagasan yang bersifat emosional
dengan mempertimbangkan efek keindahan.
Ekspresi
yang konkret dan bersifat artistik tersebut merupakan ungkapan dengan makna
yang tersirat secara implisit dan samar. Oleh sebab itu, kata-kata yang
digunakan dalam puisi juga biasanya cenderung bermakna konotatif.
Puisi
pada hakikatnya merupakan suatu bentuk komunikasi. Ada pesan yang disampaikan
seorang penyair ketika menuliskan sebuah puisi. Namun, apa yang terjadi?
Dengan
berlindung di balik licentia poetica, penyair kerap tergoda untuk mengutak-atik
cara berbahasa dalam mencipta puisi. Banyak yang menganggap bahwa makin tidak
lazim diksi yang digunakan, maka puisinya akan terlihat semakin baik, atau
bahkan makin menyalahi tata bahasa, puisi yang tercipta makin bercahaya.
Dengan
mengatasnamakan licentia poetica, para penyair dapat menciptakan sebuah karya
yang keluar dari konvensi yang berlaku, termasuk konvensi bahasa sebagai media
karya sastra itu sendiri.
Lisensi
atau izin tidak tertulis yang diberikan kepada para penyair untuk menerjang
kaidah tata bahasa yang baik dan benar adalah semata-mata untuk menimbulkan
efek-efek tertentu sesuai keinginannya.
Berbagai
penyimpangan kaidah yang kerap terdapat dalam puisi ternyata membuat puisi itu
semakin sulit untuk dipahami publik. Tentu saja hal ini menimbulkan
multitafsir.
Penikmat
puisi hanya bisa meraba-raba pesan yang disampaikan penyair melalui karyanya
tersebut. Besar kemungkinan pesan yang dikomunikasikan penyair tidak dapat
tersampaikan sebagaimana mestinya.
Berangkat
dari ketidakpahaman publik terhadap pesan yang disampaikan banyak puisi
belakangan ini, menggelitik Denny Januar Ali (Denny JA) untuk bereaksi.
Menurutnya,
puisi seharusnya bisa dinikmati masyarakat luas dan menggunakan bahasa yang
mudah dimengerti. Ia lantas melakukan riset terhadap dua sumber, yaitu pakar
puisi dan masyarakat luas dengan menggunakan sampel.
Dua
sumber itu sampai pada kesimpulan dan harapan yang sama. Mereka merindukan
puisi yang lebih peduli kepada publik luas, di luar dunia para penyair itu
sendiri. Mereka juga rindu dengan bahasa puisi yang lebih mudah dipahami (Denny
JA, 2013:34).
Untuk
menjawab kesimpulan dan harapan masyarakat sebagai hasil riset yang
dilakukannya, Denny JA memperkenalkan genre baru, yaitu puisi esai. Ini
sebuah puisi yang sangat panjang, berbabak, dengan catatan kaki, serta bahasa
yang mudah mengerti. Puisi esai mengangkat isu sosial.
Puisi
esai ditulisnya sebagai reaksi atas puisi dengan bahasa rumit, yang
membuat puisi semakin terisolasi dari publik luas.
Denny
JA menerbitkan sebuah buku puisi esai yang berjudul Atas Nama Cinta (Maret
2012). Buku kumpulan puisi ini menyajikan puisi-puisi dengan bahasa yang mudah
dan memberikan tema yang kerap menjadi kegelisahan masyarakat.
Buku
ini juga dengan dapat diakses melalui jaringan media sosial seperti Twitter,
smartphone, dan internet, sehingga memudahkan pembaca untuk
memperolehnya.
Puisi
esai merupakan salah satu fenomena penting dalam sastra Indonesia. Menurut
Nenden Lilis Aisyah dalam tulisannya yang berjudul “Alun Biduk Puisi Esai di
Laut Zaman”, puisi esai pada intinya adalah suatu bentuk pengucapan yang
dipilih untuk menggambarkan, memberi pemahaman, dan merefleksikan isu sosial
berdasarkan fakta dengan cara yang menggetarkan hati, yakni dengan
mengeksplorasi sisi batin manusia melalui puisi.
Jadi,
hal ini merupakan penggabungan antara fakta dan fiksi. Dalam hal ini, fakta
merupakan permasalahan yang berisi peristiwa-peristiwa sosial, sementara puisi
merupakan sarana pengucapan fakta tesebut yang diramu sedemikian rupa untuk
menyentuh hati nurani pembaca.
Tujuan
gagasan dan gerakan puisi esai ini lebih pada fungsi puisi untuk mengetengahkan
masalah-masalah sosial ke hadapan masyarakat luas.
Oleh
sebab itu puisi esai tidak menuntut eksplorasi bahasa di wilayah estetik.
Bahasa yang diharapakan justru bahasa yang mudah dipahami dan dengan
pemanfaatan aspek-aspek puisi dapat menggetarkan hati.
Selain
itu, puisi esai bertujuan agar pembaca menyadari bahwa yang dikemukakan dalam
puisi tersebut bukan sekadar fiksi, tetapi fakta yang didukung oleh catatan
kaki.
Denny
JA mengemukakan dalam tulisannya yang berjudul “Puisi Esai: Apa dan Mengapa?”
bahwa terdapat beberapa platform puisi esai tersebut.
Pertama, puisi esai mengeksplorasi sisi batin individu yang berada
dalam sebuah konflik sosial. Puisi esai tidak hanya memotret sebuah kisah,
tetapi lebih dalam lagi, sebuah puisi esai menggambarkan satu problema dalam
komunitas tertentu. Kedua,
puisi esai menggunakan bahasa yang mudah dipahami.
Sebagai
sebuah media komunikasi, puisi esai diupayakan dapat dipahami oleh setiap
lapisan pembaca. Semua perangkat bahasa seperti metafor, analogi, dan
sebagainya tetap menjadi pilihan utama, namun dengan rangkaian kata yang mudah
dimengerti.
Prinsip
puisi esai, semakin sulit puisi itu dipahami publik luas, semakin buruk
puisi itu sebagai media komunikasi penyair dan dunia di luarnya.
Ketiga, puisi esai adalah fiksi. Puisi esai dapat saja memotret
tokoh nyata yang hidup dalam sejarah, namun realitas itu diperkaya dengan aneka
tokoh fiktif dan dramatisasi.
Hal
yang menjadi penting dalam puisi esai adalah renungan dan kandungan moral yang
disampaikan lewat sebuah kisah, bukan semata potret akurat sebuah sejarah.
Keempat, puisi esai tidak hanya lahir dari imajinasi penyair, tetapi hasil riset (minimal
realitas sosial).
Semua
isu sosial yang terjadi pada sebuah komunitas dapat diangkat menjadi puisi
esai. Meskipun ini adalah fiksi, tetapi berada pada latar realitas sosial.
Catatan
kaki menjadi sentral dalam puisi esai ini. Hal ini menunjukkan bahwa fiksi
tersebut berangkat dari fakta sosial.
Dalam
catatan kaki itulah bisa terlihat realitas sosial secara rinci yang dieksplor
ke dalam puisi esai. Kelima, puisi esai berbabak dan panjang.
Pada
dasarnya puisi ini adalah drama atau cerpen yang dipuisikan. Dalam sebuah puisi
esai, selayaknya tergambar dinamika karakter atau perubahan sebuah realitas
sosial. Oleh sebab itulah sebuah puisi esai disajikan berbabak dan panjang.
Kaum
realisme sosialis meyakini bahwa sastra mencerminkan kehidupan atau proses
sosial. Pada hakikatnya
sastrawan tidak bisa terlepas atau melepaskan diri dari kenyataan sosial.
Pengarang
tidak sekadar menampilkan kembali fakta yang terjadi dalam kehidupan, melainkan
telah membalurinya dengan imajinasi dan wawasannya.
Oleh
karena itu puisi yang dihasilkan tidak sama persis dengan kehidupan nyata, akan
tetapi tetap saja dalam menghasilkan
karyanya, pengarang dipengaruhi oleh lingkungannya.
“Sapu
Tangan Fang Yin” adalah salah satu puisi Denny JA yang terangkum dalam Atas
Nama Cinta, sebagai sebuah contoh. Melalui pendekatan historis, terlihat bahwa
puisi ini bercerita tentang kasus perkosaan seorang gadis keturunan Tionghoa
pada kerusuhan Mei 1998. Membaca “Sapu Tangan Fang Yin” mengingatkan kita
kembali akan Kerusuhan Mei 1998 tersebut.
Bila
diamati secara mendalam terdapat pertentangan antara karya sastra yang bersifat
fiksi dan sejarah yang bersifat fakta.
Karya
fiksi biasanya lebih mementingkan unsur imajinasi yang bersifat subjektif,
sedangkan sejarah lebih mementingkan fakta yang bersifat objektif (Junaidi,
2009).
Namun
dengan mengandalkan kreativitasnya, Denny J.A. mampu menyatukan dua hal yang
berbeda itu ke dalam puisi rekayasanya.
Dengan
mengambil Jakarta sebagai latar tempat peristiwa, pengarang menggambarkan
situasi yang miris; rumah-rumah dibakar, toko-toko dijarah, kerumunan massa
membuas, serta perkosaan dan penganiayaan merajalela.
Saat
itu Indonesia benar-benar menjadi sasaran kemarahan dunia karena peristiwa
memalukan dengan adanya kejadian pemerkosaan dan tindakan rasialisme yang
mengikuti peristiwa gugurnya pahlawan reformasi.
Mungkin,
terlalu dini menabalkan puisi esai sebagai genre baru sastra Indonesia, karena
sebenarnya, tanpa embel-embel “puisi esai” di belakang atau depannya, banyak
penyair Indonesia, bahkan dunia, yang memotret realitas masyarakat dalam
karya-karya.
Tetapi,
sebagai sebuah gaya penulisan puisi yang sedikit berbeda, apa yang dilakukan
Denny JA dan rekan-rekannya yang kini “berjuang” menerbitkan puluhan buku
berlabel “puisi esai”, pantas diapresiasi, sekaligus dikritisi.
Dessy Wahyuni, Alumni Pasca-sarjana Manajemen Pendidikan Universitas
Negeri Jakarta (UNJ)
NB : esai (opini) ini
diambil dari laman situs www.riaupos.co
Redaktur SARBI: Dody Kristianto
0 comments:
Post a Comment