Karya Eric Gill (1882‑1940). Berjudul: Mary Magdalen. Tahun 1926.
Media: Wood engraving on paper. Koleksi: Tate
Cerpen Motinggo
Busye
“Maukah
kau kawin dengan aku?”
“Kenapa?”
“Aku
mau kawin,”
Perempuan
ini ketawa sambil menuangkan teh ke cangkir.
Lelaki
itu pergi.
“Maukah
kau kawin dengan aku?”
“Edan!”
“Edan?
Apa kau kira aku ini edan? Aku mengajak kau sungguh-sungguh!”
Dan
ketika lelaki itu pergi dari warung itu, diikuti oleh mata perempuan itu sampai
di balik penjual-penjual barang lowak, dan perempuan itu berkata kepada
perempuan di sebelahnya bahwa lelaki itu sudah gila barangkali.
“Mau
kau kawin dengan aku?”
“Tidak!”
Lelaki
itu terdiam. Ia benar-benar terdiam mendengarnya. Dipandangnya perempuan itu.
Perempuan itu membelah manggis dengan telapak tangannya dan menawarkannya
kepadanya. Ia menolak.
“Aku
tidak mau manggis. Aku mau kawin,” katanya.
“Makanlah
manggis ini dulu. Nanti kita kawin,” jawab perempuan itu.
Dijamahnya
manggis itu satu, tapi ia belum memakannya,
“Minum?”
tanya perempuan itu.
“Tidak.
Mau kau kubawa jalan-jalan? Aku punya uang banyak sekarang. Kemarin aku terima
gaji.”
“Ke
mana kita jalan-jalan?”
“Ke
mana saja kamu suka. Asal jangan ke neraka, “ kata lelaki itu.
Perempuan
itu ketawa dengan riahnya, kemudian meladeni seorang lagi dan kemudian
memeriksa tas hijaunya, kemudian menepuk bahu lelaki itu, kemudian keluar dari
warung itu.
“Naik
becak?” tanya perempuan itu.
“Tidak
usah. Jalan saja dulu. Kalau kau capek kita naik becak.”
Lalu
mereka jalan.
“Aku
pernah melihatmu dulu sering menyanyi di rel-rel kereta api,” kata lelaki itu.
“Ya,
dekat Jembatan Kewek,” jawab perempuan itu sambil tertawa dan membetulkan
selendangnya,
“Siapa
namamu?”
“Maria,”
jawab perempuan itu.
“Kau
Katolik,” kata lelaki itu.
“Ya.
Aku masih bisa sembahyang dan hafal lagu-lagu gereja. Kau mau mendengar aku
menyanyikan lagu gereja?”
Lelaki
itu terdiam. Dan perempuan itu berpikir sebentar lalu bertanya, “Kau juga
Katolik, Mas?”
“Ya.”
“Siapa
nama baptismu?” tanya perempuan itu.
“Ignatius,”
jawab lelaki itu.
“Di
mana kau tinggal?”
“Dekat
palang sepur sana di utara,” jawab lelaki itu. Dan perempuan itu merasa riang.
“Barangkali
namaku yang tepat Maria Magdalena. Aku ingat romo pastor menceritakan hal itu.
Waktu
itu aku menyanyi gereja dekat gereja. Aku habis ditipu oleh lelaki yang tidak
mau bayar. Lalu aku sedih. Aku pikir Tuhan tidak kasihan denganku lagi.
Sehingga aku merasa ditipu, ditipu, ditipu oleh orang-orang. Lalu aku menyanyi.
Nyanyi itu nyanyi missa,” perempuan itu ketawa serak, kemudian menepuk punggung
lelaki itu, bertanya, “Kita ke mana?”
“Ke
mana saja kamu suka,” kata lelaki itu.
“Tapi
semua tempat-tempat itu sudah tutup. Kita bisa ditangkap polisi,” kata
perempuan itu.
“Besok-besokkan
bisa. Jadi gimana kata pastor itu. Maukah pastor itu menegurmu?” tanya lelaki
itu lagi.
“Heran!
Heran sekali! Pastor itu mau menegurku dan menanyakan di mana aku belajar lagu
itu. Aku menjawab, lagu itu kupelajari di gereja. Aku ikut ibu ke gereja dan
tiap missa menyanyi sampai pandai.”
“Rupa-rupanya,”
lalu perempuan itu ketawa geli, “rupa-rupanya pastor itu heran kalau ada
perempuan macamku ini bisa menyanyi. Tapi kemudian pastor itu bertanya, siapa
namaku. Dan kujawab bahwa namaku Maria. Dan pastor itu menyuruhku insaf.
Aku
bilang aku tidak bisa dapat pekerjaan. Dan pastor itu bercerita tentang Maria
Magdalena. Kau kan tahu cerita itu bukan?
“Berapa
umurmu?”
Lelaki
itu menjawab, “Empat puluh lima.”
“Sudah
tua juga kau ini,” kata perempuan itu.
“Memang,”
jawab lelaki itu.
“Kau
kira aku bisa dimaafkan Yesus seperti Maria Magdalena'?” tanya perempuan itu.
“Maria
Magdalena! Itu cerita kudapatkan dari seorang kawanku yang juga Katolik.
Dongeng itu akan kuingat selalu. Ya, kisah. di mana seorang pelacur akan
dilempari batu oleh semua orang dan Yesus melarangnya,” kata lelaki itu.
Lalu
orang-orang itu berkata, “Bunuhlah wanita jalang itu. Ia wanita berdosa.
Lempari dengan batu-batu,” sambung perempuan itu menyambungi cerita lelaki itu.
“Tapi
Yesus bertanya: 'Apa kalian sudah bersih dari dosa? Benarkah begitu ceritanya?”
tanya lelaki itu.
“Ya,
ya. Kira-kira begitu. Lalu orang-orang itu menyadari, bahwa mereka pun
orang-orang yang berdosa dan setelah dijelaskan Yesus mereka tak jadi
melemparinya,” kata perempuan itu.
Kemudian
perempuan itu bertanya, “Ke mana kita sekarang. Aku capek.”
“Kita
naik becak.”
“Biarlah
kita jalan saja,” kata perempuan itu lagi.
“Kau
ini siapa?” tanya perempuan itu.
“Aku?”
“Ya.
Kau!”
“Aku
orang yang berdosa!” jawab lelaki itu.
“Aku
khawatir tadi,” kata perempuan itu.
“Kenapa?”
Perempuan
itu melepaskan nafasnya sambil ketawa dan mengebut-ngebut selendangnya.
Kemudian berkata, “Kaukira kamu ini Yesus.”
Laki-laki
itu ketawa. Tiba-tiba ia merasa benar-benar senang dengan perempuan itu.
“Kamu
berasal dari mana? “tanya lelaki itu,
“Dari
Muntilan,” jawab perempuan itu. “Di Muntilan ada gereja!”
“Aku
barusan saja membunuh,” kata lelaki itu tiba. “Tapi bukan aku yang
berbunuh-bunuhan. Tapi aku percaya, rohku telah membunuh mereka. Atau Tuhan
telah membunuh mereka,” kata lelaki itu.
Perempuan
itu terdiam. Lelaki itu terdiam pula. Kedua-duanya semakin terdiam. Tiba-tiba
kedua-duanya sama mengingat Tuhan. Bila kedua-duanya sama mengingat Tuhan,
kedua-duanya ingat pada masa kecilnya.
“Kamu
mendongeng atau sungguh-sungguh?” tanya perempuan itu.
“Sungguh-sungguh,”
kata lelaki itu.
“Nanti
kau bisa ditangkap polisi. Apa polisi tidak tahu kejadian itu?” tanya perempuan
itu.
“Barangkali
besok polisi tahu.”
“Besok
kau dicari polisi dan ditangkap,” kata perempuan itu.
Perempuan
itu terdiam, Dalam terdiam ia ingat ayahnya.
“Ayahku
setelah membunuh ibuku lalu tertangkap. Biarpun ayah kejam dan aku sayang
padanya. Ayahku sayang padaku. Ibu yang jahat,” kata perempuan itu.
“Ayah
dihukum sepuluh tahun. Mati di dalam penjara,” kata perempuan itu.
“Kenapa
ibumu dibunuhnya?” tanya lelaki itu.
“Ibu
berdosa,” kata perempuan itu.
“Kenapa?”
“Main-main
dengan laki-laki,” kata perempuan itu.
“Istriku
juga demikian. Rumah itu dekat jembatan dekat palang sepur. Aku selama ini
bekerja sebagai tukang palang sepur. Sampai sore tadi aku masih malang sepur.
Aku bekerja sampai pagi. Aku sudah tahu bahwa istriku main-main. Sudah tiga
kali aku diamkan. Akhirnya hilang kesabaranku. Aku tahu lelaki itu masuk jam
delapan dan pulang jam dua belas. Dan tadi, aku sudah tidak sabar lagi. Aku
batuk-batuk keliling rumah ketika mereka berada di rumahku. Laki-laki itu
rupanya tidak berani ke luar, Aku batuk-batuk kecil, Dekat sumur. Lalu aku
batuk-batuk besar dekat pintu. Aku berkata keras-keras seperti bercakap-cakap
dengan seseorang. Dan aku sendiri yang menjawabnya dengan suaraku: 'Kepung saja
rumah ini', kataku seperti bercakap-cakap dengan seseorang. Lalu kukecilkan
suaraku dan berkata seperti menjawab: 'Kamu bawa pisau?' Dan aku menjawab: 'Si
Paidin bawa golok'. Dan dekat pohon-pohon pisang aku berseru: 'Masuk dari
kakus, Paidin', Dan aku lari ke dekat pohon pisang, menjawab suaraku sendiri:
'Biar dulu. Kalau dia berani ke luar pintu kita bunuh saja'. Lalu aku lari ke
dekat kamarku. Aku mendengar istriku dan laki-laki itu bertengkar. 'Kau larilah
ke luar!' kata istriku. Laki-laki itu tidak berani 'Jangan ribut-ribut. Aku
membawa pisau. Bisa kubunuh kau!' dan istriku menjawab: 'Coba kalau kau berani bunuh
aku. Kau tidak punya tanggung jawab sebagai lelaki'. Lelaki itu mengancam lagi:
'Jangan berisik. Kucekik kau nanti'. Dan istriku berkata; 'Coba kalau berani.
Kau yang kucekik'. istriku rupanya pintar berkelahi. Mereka bergulat. Akhirnya,
akhirnya, kudengar dua-duanya merintih. Mereka dua-duanya rupa-rupanya saling
bunuh-membunuh,” lelaki itu letih bercerita dan menarik nafas.
“Kedua-duanya
mati?” tanya perempuan itu.
“Mati.
Betul-betul mati.”
Perempuan
itu kemudian berkata, “Kenapa kau lari?”
“Aku
tidak lari. Aku jijik menginjak rumah itu. Sebab itu aku jalan-jalan. Aku mau
menghirup udara. Sekarang giliran kawanku jaga palang sepur,” kata lelaki itu.
“Kau
tidak sedih istrimu mati?”
'Tidak.”
“Aku
memang pernah lihat kau jaga palang. Waktu itu kau lama-lamakan, sehingga
orang-orang menggerutu menunggu palang terbuka,” kata perempuan itu.
“Aku
suka sekali bikin lucu,” kata perempuan itu lagi.
Mereka
kini telah berada di depan Gereja Bintaran.
“Tahu-tahu
kita sudah sampai di Gereja Bintaran,” kata lelaki itu.
“Ke
mana kita sekarang?” tanya perempuan itu.
“Masuk
ke gereja. Sembahyang. Kau mau?”
“Aku
malu. Pastor sedang tidur barangkali,” kata perempuan itu.
“Kita
ketuk saja pintunya. Kita katakan kita mau sembahyang,”
“Tapi
aku wanita jalang. Gereja akan kotor.”
“Ah,
tak apa.”
Perempuan
itu berdiri saja. Tapi tangannya kemudian menekan-nekan manggis.
“Kau
mau manggis?” kata perempuan itu.
“Aku
mau sembahyang,” kata lelaki itu.
“Sudah
dua puluh tahun aku tidak masuk-masuk gereja,” kata lelaki itu.
“Aku
mau pulang,” kata perempuan itu. “Kau punya uang buat becak aku ke pasar? Aku
tadi ada janji sama seorang lelaki,” kata perempuan itu lagi.
“Marilah
masuk. Yesus telah memaafkan Maria Magdalena. Kenapa kau takut masuk?”
Perempuan
itu kemudian berkata, “Sekarang tidak ada lagi orang yang seperti Yesus yang
mau memaafkan Maria Magdalena.”
“Ada!”
kata lelaki itu.
“Siapa?”
tanya perempuan itu.
“Aku!”
teriak lelaki itu.
Perempuan
itu terkejut amat sangat. Dipandangnya lelaki tinggi itu. Lelaki itu berjanggut
seperti Yesus dan dengan gemetar ia menangkap sekilas-sekilas dongeng-dongeng
masa kecil dan gambar-gambar Yesus yang pernah dilihatnya. Lalu perempuan itu
sangat menggigil, tidak dapat berkata, dan lari, ia lari sekuat-kuatnya
melewati jalan-jalan Bintaran, Sayidan dan kemudian masuk pasar. Di warung
dengan nafas; mendegap-degap ia berkata, “Aku ketemu Tuhan Yesus. Laki-laki
tadi!”
Orang-orang
di warung semua heran, tapi mereka kemudian ketawa. Perempuan itu marah-marah.
Lalu
dia bercerita.
Ketika
perempuan itu bercerita di warung itu, dalam sebuah gereja, seorang lelaki
berjanggut sedang berlutut berdoa, minta ampun atas segala dosa-dosanya.
Ketika
itu ia sendiri. Sangat sendiri.
Ia
adalah seorang manusia.
NB : cerpen di atas diambil daru
kumpulan cerpen Motinggo Busye yang berjudul Keberanian Manusia.
Redaktur SARBI: Dody Kristianto
� $e s x
` mal; widows: 2; word-spacing: 0px; -webkit-text-size-adjust: auto; -webkit-text-stroke-width: 0px; font-size: medium; ">Perempuan itu melepaskan nafasnya sambil ketawa dan mengebut-ngebut selendangnya. Kemudian berkata, “Kaukira kamu ini Yesus.”
Laki-laki itu ketawa. Tiba-tiba ia merasa benar-benar senang dengan perempuan itu.
“Kamu berasal dari mana? “tanya lelaki itu,
“Dari Muntilan,” jawab perempuan itu. “Di Muntilan ada gereja!”
“Aku barusan saja membunuh,” kata lelaki itu tiba. “Tapi bukan aku yang berbunuh-bunuhan. Tapi aku percaya, rohku telah membunuh mereka. Atau Tuhan telah membunuh mereka,” kata lelaki itu.
Perempuan itu terdiam. Lelaki itu terdiam pula. Kedua-duanya semakin terdiam. Tiba-tiba kedua-duanya sama mengingat Tuhan. Bila kedua-duanya sama mengingat Tuhan, kedua-duanya ingat pada masa kecilnya.
“Kamu mendongeng atau sungguh-sungguh?” tanya perempuan itu.
“Sungguh-sungguh,” kata lelaki itu.
“Nanti kau bisa ditangkap polisi. Apa polisi tidak tahu kejadian itu?” tanya perempuan itu.
“Barangkali besok polisi tahu.”
“Besok kau dicari polisi dan ditangkap,” kata perempuan itu.
Perempuan itu terdiam, Dalam terdiam ia ingat ayahnya.
“Ayahku setelah membunuh ibuku lalu tertangkap. Biarpun ayah kejam dan aku sayang padanya. Ayahku sayang padaku. Ibu yang jahat,” kata perempuan itu.
“Ayah dihukum sepuluh tahun. Mati di dalam penjara,” kata perempuan itu.
“Kenapa ibumu dibunuhnya?” tanya lelaki itu.
“Ibu berdosa,” kata perempuan itu.
“Kenapa?”
“Main-main dengan laki-laki,” kata perempuan itu.
“Istriku juga demikian. Rumah itu dekat jembatan dekat palang sepur. Aku selama ini bekerja sebagai tukang palang sepur. Sampai sore tadi aku masih malang sepur. Aku bekerja sampai pagi. Aku sudah tahu bahwa istriku main-main. Sudah tiga kali aku diamkan. Akhirnya hilang kesabaranku. Aku tahu lelaki itu masuk jam delapan dan pulang jam dua belas. Dan tadi, aku sudah tidak sabar lagi. Aku batuk-batuk keliling rumah ketika mereka berada di rumahku. Laki-laki itu rupanya tidak berani ke luar, Aku batuk-batuk kecil, Dekat sumur. Lalu aku batuk-batuk besar dekat pintu. Aku berkata keras-keras seperti bercakap-cakap dengan seseorang. Dan aku sendiri yang menjawabnya dengan suaraku: 'Kepung saja rumah ini', kataku seperti bercakap-cakap dengan seseorang. Lalu kukecilkan suaraku dan berkata seperti menjawab: 'Kamu bawa pisau?' Dan aku menjawab: 'Si Paidin bawa golok'. Dan dekat pohon-pohon pisang aku berseru: 'Masuk dari kakus, Paidin', Dan aku lari ke dekat pohon pisang, menjawab suaraku sendiri: 'Biar dulu. Kalau dia berani ke luar pintu kita bunuh saja'. Lalu aku lari ke dekat kamarku. Aku mendengar istriku dan laki-laki itu bertengkar. 'Kau larilah ke luar!' kata istriku. Laki-laki itu tidak berani 'Jangan ribut-ribut. Aku membawa pisau. Bisa kubunuh kau!' dan istriku menjawab: 'Coba kalau kau berani bunuh aku. Kau tidak punya tanggung jawab sebagai lelaki'. Lelaki itu mengancam lagi: 'Jangan berisik. Kucekik kau nanti'. Dan istriku berkata; 'Coba kalau berani. Kau yang kucekik'. istriku rupanya pintar berkelahi. Mereka bergulat. Akhirnya, akhirnya, kudengar dua-duanya merintih. Mereka dua-duanya rupa-rupanya saling bunuh-membunuh,” lelaki itu letih bercerita dan menarik nafas.
“Kedua-duanya mati?” tanya perempuan itu.
“Mati. Betul-betul mati.”
Perempuan itu kemudian berkata, “Kenapa kau lari?”
“Aku tidak lari. Aku jijik menginjak rumah itu. Sebab itu aku jalan-jalan. Aku mau menghirup udara. Sekarang giliran kawanku jaga palang sepur,” kata lelaki itu.
“Kau tidak sedih istrimu mati?”
'Tidak.”
“Aku memang pernah lihat kau jaga palang. Waktu itu kau lama-lamakan, sehingga orang-orang menggerutu menunggu palang terbuka,” kata perempuan itu.
“Aku suka sekali bikin lucu,” kata perempuan itu lagi.
Mereka kini telah berada di depan Gereja Bintaran.
“Tahu-tahu kita sudah sampai di Gereja Bintaran,” kata lelaki itu.
“Ke mana kita sekarang?” tanya perempuan itu.
“Masuk ke gereja. Sembahyang. Kau mau?”
“Aku malu. Pastor sedang tidur barangkali,” kata perempuan itu.
“Kita ketuk saja pintunya. Kita katakan kita mau sembahyang,”
“Tapi aku wanita jalang. Gereja akan kotor.”
“Ah, tak apa.”
Perempuan itu berdiri saja. Tapi tangannya kemudian menekan-nekan manggis.
“Kau mau manggis?” kata perempuan itu.
“Aku mau sembahyang,” kata lelaki itu.
“Sudah dua puluh tahun aku tidak masuk-masuk gereja,” kata lelaki itu.
“Aku mau pulang,” kata perempuan itu. “Kau punya uang buat becak aku ke pasar? Aku tadi ada janji sama seorang lelaki,” kata perempuan itu lagi.
“Marilah masuk. Yesus telah memaafkan Maria Magdalena. Kenapa kau takut masuk?”
Perempuan itu kemudian berkata, “Sekarang tidak ada lagi orang yang seperti Yesus yang mau memaafkan Maria Magdalena.”
“Ada!” kata lelaki itu.
“Siapa?” tanya perempuan itu.
“Aku!” teriak lelaki itu.
Perempuan itu terkejut amat sangat. Dipandangnya lelaki tinggi itu. Lelaki itu berjanggut seperti Yesus dan dengan gemetar ia menangkap sekilas-sekilas dongeng-dongeng masa kecil dan gambar-gambar Yesus yang pernah dilihatnya. Lalu perempuan itu sangat menggigil, tidak dapat berkata, dan lari, ia lari sekuat-kuatnya melewati jalan-jalan Bintaran, Sayidan dan kemudian masuk pasar. Di warung dengan nafas; mendegap-degap ia berkata, “Aku ketemu Tuhan Yesus. Laki-laki tadi!”
Orang-orang di warung semua heran, tapi mereka kemudian ketawa. Perempuan itu marah-marah.
Lalu dia bercerita.
Ketika perempuan itu bercerita di warung itu, dalam sebuah gereja, seorang lelaki berjanggut sedang berlutut berdoa, minta ampun atas segala dosa-dosanya.
Ketika itu ia sendiri. Sangat sendiri.
Ia adalah seorang manusia.
NB : cerpen di atas diambil daru kumpulan cerpen Motinggo Busye yang berjudul Keberanian Manusia
0 comments:
Post a Comment