Telah Terbit !

Yang sederhana, yang berserakan, yang tak diperhitungkan dan bertebaran di mana-mana, tetaplah harus dirayakan. Spesial SARBI edisi 8 di akhir tahun!

Segera Dapatkan !

Buku Puisi Karya KOMANG IRA PUSPITANINGSIH.

Toko Buku SARBI

Kumpulan buku bekas pilihan yang asik untuk dibaca dan dikoleksi dengan harga bersahabat.

Telah Terbit!

BULETIN TIKAR EDISI 02/2013 Diterbitkan oleh Komunitas Tikar Merah (KTM)

Dapatkan!

Buku Terbaru SARBIKITA Publishing Karya Heru Susanto

Blogroll

Thursday, December 29, 2011

VISI MISI CALON KETUA DKSDA 2012-2016


Photobucket
                       Calon Ketua DKS Sidoarjo 2012-2016

Photobucket
                        Cak Ugeng anggota komite seni rupa


Photobucket
                       Arfan Fathoni perwakilan dari SARBI

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket
                        Teman dari komite Teater


Photobucket

Photobucket

                       Foto-foto Ferdi Afrar

Wednesday, December 21, 2011

MBAH DANU


Photobucket
 Cerpen Nugroho Notosusanto

Wajahnya kasar-kasar seperti tengkorak, kulitnya liat seperti belulang, pipinya selalu menonjol oleh susur tembakau yang ada dalam mulutnya, jalannya tegak seperti seorang maharani yang angkuh. Di Rembang di sekitar tahun tiga puluhan ia lebih terkenal daripada pendeta Osborn pada pertengahan tahun 1954 di Jakarta karena prestasinya menyembuhkan orang-orang sakit secara gaib. Ditinjau dari sudut tertentu cara pengobatan Mbah Danu adalah rasional. Titik pangkalnya adalah suatu anggapan yang logis. Mbah Danu menegaskan, bahwa orang sakit itu "didiami" oleh roh-roh jahat; karena itu cara satu-satunya untuk menyembuhkan adalah dengan menghalaukan makhluk yang merugikan kesehatan itu.
Si Nah, gadis pelayan pada keluarga Pak Jaksa (pensiun) telah sebulan sakit demam. Keadaannya makin lama makin payah. Matanya kelihatan putihnya saja, mulutnya berbuih dan ia mengeluarkan bunyi-bunyi binatang, kadang-kadang meringkik seperti kuda, kadang-kadang menyalak, mengeong, berkaok-kaok, dan kalau sudah mengaum, anak-anak dan perempuan-perempuan serumah dan tetangga-tetangga yang bertandang semua lari terbirit-birit seolah-olah percaya, bahwa satu saat kemudian Nah akan menjelma jadi macan gadungan.
Menurut kabar-kabar yang cepatnya tersiar hampir seperti berita radio, Mbah Danu sedang turne. Routenya adalah Lasem, Pamotan, Jatirogo, Bojonegoro, Tuban, Padangan, Cepu, Blora, dan kembali ke Rembang. Kini ia disinyalir sudah ada di Blora, jadi sudah hampir pulang. Dan benar, ketika Nah tengah mengeong-ngeong seperti kucing kasmaran, Mbah Danu dating membawa koper besi yang sama antiknya dengan yang punya.
Dia tembusi badan Nah dengan pandang membara sambil mengelilingkan susur besar di dalam mulutnya. Nah mengigau dengan mata tertutup, buih di mulutnya meleleh ke bawah membasahi bantalnya yang kumal seperti tempat duduk Jeep militer yang sudah tua. Wajahnya pucat seperti kain mori.
"Ambilkan sapu lidi!" perintah Mbah Danu dengan sikap Srikandi wayang orang. Kemudian ia mencengkeram lengan Nah dan menyeretnya dari tikarnya ke lantai. Sapu lidi datang. Ukurannya istimewa besar, karena Pak Jaksa mempunyai 60 pohon kelapa di pekarangannya. Mbah Danu memegang sapu lidi itu pada ujungnya yang lunak, kemudian bongkotnya yang garis tengahnya kira-kira 10 cm itu dia ayunkan ke atas dan dia pukulkan sekuat tenaga ke pantat Nah yang terbaring miring. Segenap hadirin melotot matanya dan megar kupingnya melihat dan mendengar pukulan dahsyat itu.
"Ngeoooong!" keluar dari mulut Nah mendirikan bulu-bulu di kulit penonton.
"Mampus engkau sekarang!" seru Mbah Danu bengis dan sapu lidi terus-menerus menghantam pantat Nah dengan irama rhumba. Nah tidak mengeong lagi sekarang, melainkan mengaum seperti singa sirkus yang marah. Sebagian hadirin mau lari.
"Minggat! Ayo minggat!" teriak Mbah Danu dengan amat murka dan dengan tendangan jitu Nah ditengkurapkannya. Kemudian deraannya menghujam pula pada pantat Nah yang kini sadar, bahwa ia manusia Nah, bukan kucing, anjing, kuda atau singa.
"Aduh biyuuuuuung! Aduh biyuuuuuuung!!" tangisnya menggaung.
"Minggat! Minggat! Minggat!!" suara Mbah Danu menggelora sampai tetangga-tetangga dan pelintas-pelintas mengalir masuk ke rumah itu untuk menyelidiki sebab-sebab suara ngeri yang mereka dengar.
"Aduuuuuh! Aduh, aduh, aduuuuuh!" pekik Nah seperti manusia biasa.
"Minggat! Minggat! Ayo minggat!!" jerit Mbah Danu senyaring-nyaringnya sambil memukul dengan tangan kanan dan menggenggam susur di tangan kiri. Air ludahnya memercik merah ke lantai dan badan Nah dalam setengah lingkaran yang radiusnya 11/2 meter.
"Salah hamba apa kok disuruh minggat dan dihajar?" Tanya Nah sambil menangis dan ia mencoba merangkak.
Sikap Mbah Danu sekaligus berubah.
"Aku bukannya berbicara kepadamu, Nah," katanya dengan suara mineur yang lembut. "Aku mengusir setan-setan di dalam badanmu."
Sebagai pengeras perkataan yang terakhir, ia tegak sekali lagi serta memukulkan sapu lidi itu sedemikian kerasnya ke badan Nah, sehingga si sakit rebah ke lantai dan mengerang. Peluhnya bercucuran dan menguyupkan pakaiannya.
"Ha! Hampir modar engkau sekarang!" seru Mbah Danu dengan ganas sambil melangkah maju dan menginjak tubuh Nah dengan kedua kakinya. Selama 5 menit ia mondar-mandir di atas badan Nah sampai napas si sakit seperti ububan pandai besi bunyinya. Kedua lengannya diacung-acungkan untuk mempertahankan keseimbangan. Gerak-geriknya persis seperti Batari Durga yang menari di atas mayat manusia. Setelah sudah, ia menelentangkan badan Nah yang keringatnya membuat lantai mengkilat basah dan mukanya kini merah padam.
Mbah Danu berdiri dan memberi isyarat supaya para penonton yang tak berkepentingan mengundurkan diri. Pintu ditutup dan ia kembali kepada pasiennya. Dengan gerakan-gerakan tangkas pakaian si sakit dibukanya dan kemudian seperti orang kegila-gilaan ia meremas-remas seluruh badan Nah, sambil menggelitik si sakit pada tempat-tempat yang penuh rasa geli. Dan mula-mula Nah menggelepar-gelepar, akhirnya kegelian seperti perawan yang sehat. Seperempat jam Mbah Danu meraba-raba tubuh pasiennya, kemudian ia melepaskannya dan tegak pada lututnya.
"Setan-setan sudah lari dari badanmu, Nah," katanya tenang. "Engkau telah sembuh." Dan di hadapan mata hadirin, Nah yang tadi sudah seperti setengah mati duduk bersandar pada dinding dan tersenyum seperti orang bangun tidur.
"Tidurlah saja dulu sampai besok," kata Mbah Danu lebih jauh sambil membaringkan dan menyelimuti Nah dengan penuh kasih sayang. Sebentar ia memijit-mijit kepala Nah, kemudian memercikkan ludah sedikit dari mulntnya pada dahi si sakit. Setelah itu ia berdiri dan ke luar untuk rneminuni kopinya.
Prabawa Mbah Danu di rumah Pak Jaksa yang jadi sebagian prabawanya di daerah yang terentang dari Kudus sampai Tuban, dari Bonang sampai ke Randublatung, mengalami tantangan, ketika Mr. Salyo Kunto, salah seorang menantu Pak Jaksa, bersama istrinya mengunjungi mertuanya. Beberapa hari sesudah kedatangannya, Nyonya Salyo sakit kepala dan pegal-pegal tubuhnya. Bu Jaksa, sesuai dengan tradisi, segera menyuruh panggil Mbah Danu.
"O, ada sedikit angin jahat bersarang di dalam, Raden Ayu," kata Mbah Danu setelah mendengarkan gejala-gejala penyakit dari mulut Nyonya Salyo sendiri. "Coba buka baju saja; akan saya usir." Dan Mbah Danu mulai berpraktek. Pertama kali ibu jarinya kedua-duanya ditekankannya ke dalam daging perut Nyonya Salyo, sehingga terbenam sama sekali dan si pasien mencetuskan bunyi yang sukar dilukiskan. Kemudian perut Nyonya Salyo ditekannya dengan kedua telapak tangannya sehingga angin keluar dari bawah dengan bunyi meletup. Setelah itu, punggung dan tengkuk mendapat giliran, dan dengan lega Nyonya Salyo bersendawa. Kemudian Mbah Danu melakukan kombinasi kedua pijetan itu, sehingga angin berlomba-lomba keluar dari atas dan dari bawah dengan berletusan. Justru ketika itu Mr. Salyo masuk ke kamar dari jalan-jalan ke tepi pantai. Dengan keras Mbah Danu diperintahkannya keluar dari kamar seperti Mbah Danu mengusir setan-setan dari tubuh-tubuh orang sakit. Kemudian istrinya dimarahinya.
"Engkau tahu bukan, bahwa pijetan itu bisa merusakkan rahimmu?!"
Sebagai akibat insiden itu, Mbah Danu tak diizinkan menginjak lantai rumah itu kalau menantu akademikus Pak Jaksa itu datang. Suatu kekalahan bagi Mbah Danu. Untung hal itu terjadi paling kerap hanya dua kali dalam setahun. Pada waktu-waktu lainnya kedaulatanMbahDanu tetap utuh.
Clash ke-2 antara Mbah Danu dan Mr. Salyo, meskipun tak langsung berhadap-hadapan, terjadi, ketika Mbok Rah, pelayan Pak Jaksa yang setengah umur, sakit keras, justru ketika menantu Pak Jaksa yang berpendidikan tinggi itu berkunjung ke Rembang, Pak Jaksa dan Bu Jaksa tanpa pikir panjang segera menyuruh panggil Mbah Danu ketika Mbok Rah sudah mulai mengigau; sedangkan Mr. Salyo dengan penuh pertimbangan meminta datang Dokter Umar Chattab. Sangat kebetulan Dokter Umar Chattab lebih awal datangnya daripada Mbah Danu yang tidak punya mobil. Sehingga yang beraksi tangan di stetoskop. Dokter Umar, bukan tangan dan air ludah Mbah Danu.
"Malaria," diagnose Dokter Umar Chattab di kamar Mbok Rah yang gelap. Ia memberi resep kinine, yang pada masa itu satu-satunya obat yang mujarab untuk malaria. Setelah memberi petunjuk-petunjuk lain tentang makan dan rawatan si sakit, Pak Dokter pulang.
Penyakit Mbok Rah makin lama makin keras. Pak Jaksa dan Bu Jaksa dan tetangga-tetangga yang dekat, tahu benar apa sebabnya. Kualat Mbah Danu! Dan mereka mendesak, agar supaya Mbah Danu dipanggil. Tetapi sebagai jawaban, Mr. Salyo memanggil Dokter Umar Chattab. Soal ini jadi perkara kehormatan baginya, dan perhubungan antara mertua dengan menantu jadi tegang. Nyonya Salyo dengan susah payah bisa tetap tinggal netral, tetapi, sebagaimana juga di dalam politik ia dipandang dengan marah oleh kedua pihak yang bertentangan. Namun ia tetap mempertahankan politik bebas yang pasif itu.
Dokter Umar Chattab heran.
"Kininenya sudah Tuan berikan sebagai yang saya tetapkan?" tanyanya.
"Ya," jawab Nyonya Salyo mendahului suaminya. "Saya sendiri yang memberikan pil-pil itu kepada Mbok Rah."
Dokter Umar Chattab pulang dengan tidak mengubah ketetapannya. Hanya saja ia berpesan, agar supaya waktu menelan pil si sakit diawasi sungguh-sungguh.
Keadaan Mbok Rah makin lama makin buruk dan malamnya lagi ia mati.
Perang dingin kini mencair jadi gugatan-gugatan lisan yang pedas meskipun tak ditujukan secara langsung. Dengan tak dipanggil, Mbah Danu datang sendiri. Mr. Salyo mengundurkan diri ke dalam kamar tamu. Asbaknya penuh dengan puntung sigaret.
"Kita telah berbuat sebaik mungkin," kata Nyonya Salyo menghibur suaminya.
"Mengapa Jeng, mengapa ia meninggal?!" seru Mr. Salyo dengan gairah sambil memeluk bahu istrinya yang tidak menjawab.
"Kita tak bisa percaya kepada nonsense itu bukan!" katanya lagi.
"Inna li'llahi wa inna illahi raji'un," kata Nyonya Salyo.
Ketika fajar menyingsing, persiapan-persiapan untuk penguburan dimulai. Pada jam 7 orang-orang masuk ke kamar jenazah dan mengangkatnya ke luar. Mr. Salyo dan nyonya ikut menyaksikan pengambilan jenazah dari dalam kamar tempat ia dan Dokter Umar Chattab menderita kekalahan terhadap mertuanya dan Mbah Danu. Nyonya Salyo yang mendampingi suami di kamar itu di dalam hati kecilnya cenderung kepada ayah-bundanya, tetapi merasa harus solider dengan kekecewaan suaminya.
Hawa di dalam kamar itu pengap, tambah menyesak dada oleh asap kemenyan. Mr. Salyo membukajendela lebar-lebar, sehingga sinar matahari pagi masuk dengan gelombang besar. Suatu sosok tubuh muncul di ambang pintu, Mbah Danu. Matanya membara. Mr. Salyo merasa tengkuknya dingin. Ia menghela napas panjang dan melemparkan pandang terakhir kepada bale-bale tempat semalam jenazah terbaring. Dengan sangat tiba-tiba ia terpekik dan telunjuknya diacungkannya ke sudut kamar. Matanya terbelalak lebar-lebar. Nyonya Salyo dan Mbah Danu menengok. Dan juga mereka melihat pil kinine membukit di lantai di bawah bale-bale Mbok Rah.

7-7-1954


Catatan Redaksi :
Sumber: Kumpulan Cerpen Tiga Kota
Ini adalah salah satu cerpen dari mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Nugroho Notosutanto (kebetulan cerpen ini termasuk yang disukai redaksi dan salah satu pintu masuk redaksi ke dunia sastra). Cerpen ini terdapat dalam kumpulan cerpen Tiga Kota. Mengapa Tiga Kota? Sebab cerita-cerita dalam cerpen Tiga Kota memang cerita yang terjadi (atau dikarang?) oleh Nugroho Notosutanto di tiga kota : Jakarta, Yogyakarta, dan (kalau tidak salah) Rembang.

LANGIT MAKIN MENDUNG


Photobucket

Cerpen Ki Panji Kusmin


Lama-lama mereka bosan juga dengan status pensiunan nabi di sorga loka. Petisi dibikin, mohon (dan bukan menuntut) agar pensiunan-pensiunan diberi cuti bergilir turba ke bumi, yang konon makin ramai saja.
"Refreshing sangat perlu. Kebahagiaan berlebihan justru siksaan bagi manusia yang bisa berjuang. Kami bukan malaikat atau burung perkutut. Bibir-bibir kami sudah pegal dan kejang memuji kebesaranMu; beratus tahun tanpa henti."
Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng-gelengkan kepala. Tak habis pikir pada ketidakpuasan di benak manusia….Dipanggil penanda-tangan pertama: Muhammad dari Madinah, Arabia. Orang bumi biasa memanggilnya Muhammad S.A.W.
"Daulat, ya Tuhan."
"Apalagi yang kurang di sorgaku ini? Bidadari jelita berjuta, sungai susu, danau madu. Buah apel emas, pohon limau perak. Kijang-kijang platina, burung-burung berbulu intan baiduri. Semua adalah milikmu bersama, sama rasa sama rata!"
"Sesungguhnya bahagia lebih dari cukup, bahkan tumpah ruah melimpah-limpah."
"Lihat rumput-rumput jamrud di sana, bunga-bunga mutiara bermekaran."
"Kau memang maha kaya. Dan manusia alangkah miskin, melarat sekali."
"Tengok permadani sutera yang kau injak. Jubah dan sorban cashmillon yang kau pakai. Sepatu Aladdin yang bisa terbang. Telah kuhadiahkan segala yang indah-indah!"
Muhammad tertunduk, terasa betapa hidup manusia hanya jalinan-jalinan penyadong sedekah dari Tuhan. Alangkah nista pihak yang selalu mengharap belas kasihan. Ia ingat waktu sowan ke sorga dulu dirinya hanya sekeping jiwa telanjang.
"Apa sebenarnya kau cari di bumi? Kemesuman, kemunafikan, kelaparan, tangis dan kebencian sedang berkecamuk hebat sekali."
"Hamba ingin mengadakan riset." jawabnya lirih.
"Tentang apa?"
"Akhir-akhir ini begitu sedikit umat hamba yang masuk sorga."
"Ah, itu kan biasa. Kebanyakan mereka dari daerah tropis kalau tak salah?"
"Betul, Kau memang Maha Tahu."
"Kemarau lewat panjang di sana. Terik matahari terlalu lama membakar otak-otak mereka yang bodoh " kata Tuhan sambil meletakkan kacamata model kuno dari emas yang diletakkannya di atas meja yang terbuat dari emas pula.
"Bagaimana, ya Tuhan?"
"Umatmu banyak kena tusukan sinar matahari. Sebagian besar berubah ingatan, lainnya pada mati mendadak."
"Astaga! Betapa nasib mereka kemudian?"
"Yang pertama asyik membadut di rumah-rumah gila."
"Dan yang mati?"
"Ada stempel Kalimat-Syahadat dalam paspor mereka. Terpaksa raja iblis menolak memberikan visa neraka untuk orang-orang malang itu."
"Heran, tak pernah mereka mohon suaka ke sini!" (kening sedikit mengerut)
"Tentara neraka memang telah merantai kaki-kaki mereka di batu nisan masing-masing."
"Apa dosa mereka gerangan? Betapa malang nasib umat hamba, ya Tuhan!"
"Jiwa-jiwa mereka kabarnya mambu Nasakom. Keracunan Nasakom!"
"Nasakom? Racun apa itu, ya Tuhan? Iblis laknat mana meracuni jiwa mereka?"
Muhammad S.A.W nampaknya gusar sekali. Sambil tinjunya mengepal ia memberi perintah,
"Usman, Umar dan Ali! Asah pedang kalian tajam-tajam!"
Tuhan hanya mengangguk-angguk, senyum penuh pengertian penuh kebapaan.
"Carilah sendiri fakta-fakta yang otentik. Tentang pedang-pedang itu kurasa sudah kurang laku di pasar loak pelabuhan Jeddah. Pencipta Nasakom sudah punya bom atom, kau tahu!"
"Singkatnya, hamba diizinkan turba (turun ke bawah- red )ke bumi?"
"Tentu saja. Mintalah surat jalan pada Soleman yang bijak di sekretariat. Tahu sendiri, dirasai polisi-polisi dan hansip paling sok iseng, gemar sekali ribut-ribut perkara surat jalan."
"Tidak bisa mereka disogok?"
"Tidak, mereka lain dengan polisi dari bumi. Bawalah Jibrail serta supaya tak sesat!"
"Daulat, ya Tuhan." kata Muhammad sambil bersujud penuh sukacita.

***
Sesaat sebelum mereka berangkat sorga sibuk sekali. Timbang terima jabatan ketua kelompok grup muslimin di sorga telah ditandatangani naskahnya. Abu Bakar tercantum sebagai pihak penerima. Dan masih banyak lainnya.
"Wahai yang terpuji, jurusan mana yang paduka pilih?" Malaikat Jibrail bertanya dengan takzim.
"Ke tempat jasadku diistirahatkan; Madinah, kau ingat? Ingin kuhitung jumlah musafir-musafir yang ziarah. Disini kita hanya kenal dua macam angka, satu dan tak terhingga."
Seluruh penghuni sorga menghantar ke lapangan terbang. Lagu-lagu padang pasir terdengar merayu-rayu, tapi tanpa tari perut dan bidadari. Entah dengan berapa juta lengan Muhammad S.A.W harus berjabat tangan. Nabi Adam a.s sebagai pinisepuh tampil depan mikropon. Dikatakan bahwa penurbaan Muhammad merupakan lembaran baru dalam sejarah manusia. Besar harapan akan segera terjalin saling pengertian yang mendalam antara penghuni sorga dan bumi.
"Akhir kata Saudara-saudara, hasil peninjauan on the spot oleh Muhammad S.A.W harus dapat dimanfaatkan secara maksimal nantinya. Ya, Saudara-saudara kita di bumi melawan rongrongan iblis-iblis neraka beserta antek-anteknya. Kita harus bantu mereka dengan doa-doa dan sumbangan-sumbangan pikiran yang konstruktif agar mereka semua mau ditarik ke pihak Tuhan; sekian. Selamat jalan Muhammad! Hidup persatuan Rakyat Sorga dan Bumi!"
"Ganyang!!!" (Berjuta suara menyahut serempak).
Muhammad segera naik ke punggung buraq – kuda sembrani yang dulu jadi tunggangannya waktu ia mi’raj. Secepat kilat buraq terbang ke arah bumi dan Jibrail yang sudah tua terengah-engah mengikuti di belakang. Mendadak, sebuah sputnik melayang di angkasa hampa udara.
"Benda apa di sana?" tanyanya keheranan.
"Orang bumi bilang sputnik! Ada tiga orang di dalamnya, ya Rasul."
"Orang? Menjemput kedatanganku?" (Gembira)
"Bukan, mereka justru rakyat negara kapir terbesar di bumi. Pengikut Marx dan Lenin yang ingkar Tuhan. Tapi pandai-pandai otaknya."
"Orang-orang malang. Semoga Tuhan mengampuni mereka. Aku ingin lihat orang-orang kapir itu dari dekat. Ayo buraq!"
Buraq melayang deras menyilang arah sputnik mengorbit. Dengan pedang apinya Jibrail memberi isyarat sputnik berhenti sejenak. Namun, sputnik Rusia memang tidak ada remnya. Tubrukan tak dapat dihindarkan lagi. Buraq beserta sputnik hancur jadi debu; tanpa suara, tanpa sisa. Kepala-kepala botak di lembaga aeronautic di Siberia bersorak gembira.
"Diumumkan bahwa sputnik Rusia berhasil mencium planet tak dikenal. Ada sedikit gangguan komunikasi…" terdengar siaran radio Moskow.
Muhammad dan Jibrail terpental ke bawah. Mujur mereka tersangkut di gumpalan awan yang empuk bagai kapas.
"Sayang-sayang. Neraka bertambah tiga penghuni lagi." Bisik Muhammad sedih. Sejenak dilontarkan pandangannya ke bawah. Hatinya tiba-tiba berdesir ngeri.
"Jibrail, neraka lapis ke berapa di sana gerangan?"
"Paduka salah duga. Di bawah kita bukan neraka tapi baigan bumi yang paling durhaka, Jakarta namanya. Ibu kota sebuah negeri dengan seratus juta rakyat yang malas dan bodoh. Tapi ngakunya sudah bebas buta huruf."
"Tak pernah kudengar nama itu. Mana lebih durhaka, Jakarta atau Sodom dan Gomorah?"
"Hampir sama."
"Ai, hijau-hijau di sana bukankah warna api neraka?"
"Bukan, Paduka! Itulah barisan sukwan dan sukwati guna mengganyang negara tetangga, Malaysia."
"Adakah umatku di Malaysia?"
"Hampir semua, kecuali Cinanya tentu."
"Kalau begitu, kapirlah bangsa di bawah ini!"
"Sama sekali tidak, 90% dari rakyatnya orangnya Islam juga."
"90% (sambil wajah Nabi berseri), 90 juta ummatku! Muslimin dan muslimat tercinta. Tapi tak kulihat masjid yang cukup besar. Di mana mereka bersembahyang Jum’at?"
"Soal 90 juta hanya menurut statistik bumiawi yang ngawur. Dalam catatan Abu Bakar di sorga, mereka tak ada sejuta yang betul-betul Islam!"
"Aneh! Gilakah mereka?"
"Memang aneh!"
"Ayo Jibrail, segera kita tinggalkan tempat terkutuk ini. Aku selalu rindu kepada Madinah!"
"Tidak inginkah paduka menyelidiki sebab-sebab keanehan itu?"
"Tidak, tidak di tempat ini. Rencana risetku di Kairo."
"Sesungguhnya Paduka nabi terakhir, ya Muhammad?"
"Seperti telah tersurat di kitab Allah." Sahutnya dengan rendah hati.
"Tapi bangsa di bawah sana telah menabikan orang lain lagi."
"Apa peduliku dengan nabi palsu?"
"Umat Paduka hampir takluk pada ajaran nabi palsu: Nasakom!"
"Nasakom, jadi tempat inilah sumbernya. Kau bilang umatku takluk, nonsens!"
"Ya, Islam terancam. Tidakkah Paduka prihatin dan sedih?"
(Terdengar suara iblis, disambut tertawa riuh rendah)
Nabi tengadah ke atas.
"Sabda Allah tak akan kalah. Betatapun Islam, ia ada dan tetap ada walau bumi hancur sekalipun!"
Suara nabi mengguntur dahsyat, menggema di bumi; di lembah-lembah, di puncak-puncak gunung, kebun karet dan berpusat-pusat di laut lepas. Gaungnya terdengar sampai ke sorga disambut takzim ucapan serentak :
"Aamin, amin, amin."
Neraka guncang. Iblis-iblis gemetar menutup telinga. Guntur dan cambuk petir bersahut-sahutan.
"Baiklah, mari kita berangkat ya, Rasulullah!"
Muhammad tak hendak beranjak dari awan tempatnya berdiri. Hatinya bimbang pedih dan dukacita. Wajahnya gelap, segelap langit mendung di kiri kanannya. Jibrail menatap penuh tanda tanya, namun tak berani bertanya.
Musim hujan belum datang-datang juga. Di Jakarta banyak orang kejangkitan influenza, pusing-pusing dan muntah-muntah. Naspro dan APC sekonyong-konyong melonjak harga. Jangan dikata lagi pil vitamin C dan ampul penstrip. Kata orang sejak pabriknya diambil alih bangsa sendiri, agen-agen naspro mati kutu. Hanya apotik-apotik Cina dan tukang catut orang dalam leluasa mencomot jatah lewat jalan belakang.
Koran sore Warta Bhakti menulis: di Bangkok 1000 orang mati kena flu tapi terhadap flu Jakarta Menteri Kesehatan bungkam. Paginya Menteri Kesehatan yang tetap bungkam dipanggil menghadap Presiden alias PBR (Pemimpin Besar Revolusi).
"Zeg, Jenderal. Flu ini bikin orang mati apa tidak?"
"Tidak, Pak. Komunis yang berbahaya, pak."
"Ah, kamu. Komunisto phobi ya?"
Namun, meski tak berbahaya flu Jakarta tak sepandai polisi-polisinya, flu tak bisa disogok, serangannya membabi buta tidak pandang bulu. Mulai dari pengemis-pelacur-Nyonya Menteri-sampai Presiden diterjang semna-mena. Pelayan istana geger. Menko-Menko menarik muka sedih dan pilu, Panglima terbalik petnya karena gugup menyaksikan sang PBR muntah-muntah seperti perempuan bunting muda.
Sekejab mata dokter-dokter dikerahkan, kawat telegram sibuk minta hubungan rahasia ke Peking:
"Mohon segera dikirim tabib-tabib Cina yang kesohor, pemimpin besar kami sakit keras. Mungkin sebentar lagi mati."
Kawan Mao di singgahsananya tersenyum-senyum. Dengan wajah penuh welas asih ia menghibur kawan seporos yang sedang sakratul maut.
"Semoga lekas sembuh. Bersama ini rakyat Cina mengutus beberapa tabib dan dukun untuk memeriksa penyakit Saudara. Terlampir obat kuat akar Jinsom umur 1000 tahun. Tanggung manjur. Kawan nan setia: tertanda Mao."
(Pada tabib-tabib ia titipkan pula sedikit oleh-oleh untuk Aidit.)
Rupanya berkat khasiat obat kuat si sakit berangsur-angsur sembuh. Sebagai orang beragama tak lupa mengucap syukur pada Tuhan yang telah mengkaruniai seorang sahabat sebaik kawan Mao. Pesta diadakan. Tabib-tabib Cina dapat tempat duduk istimewa. Untuk sejenak tuan rumah lupa agama, hidangan daging babi dan kodok ijo disikat tandas-tandas. Kiai-kiai yang hadir tersenyum-senyum kecut.
"Saudara-saudara, pers Nekolim gembar-gembor, katanya Soekarno sedang sakit keras. Bahkan hampir mati katanya. (hadirin tertawa mentertawakan kebodohan Nekolim). Wah, Saudara-saudara. Mereka itu selak kemudu-mudu (keburu jamuran/keburu nunggu sampai berjamur-red) melihat musuh besarnya mati. Kalau Soekarno mati mereka pikir Indonesia akan gampang digilas, mereka kuasai seenak udelnya sendiri, seperti negerinya Tengku.
Padahal, (sambil menunjuk dada) lihat badan saya, Saudara-saudara! Soekarno tetap segar bugar. Soekarno belum mau mati, kataku. (tepuk tangan gegap gempita, tabib-tabib Cina tak mau ketinggalan) Insya Allah, saya belum mau menutup mata sebelum pojok Nekolim Malaysia hancur lebur jadi debu!" (tepuk tangan lagi)
Acara bebas dimulai. Dengan tulang-tulangnya yang sudah tua Presiden menari lenso bersama gadis-gadis daerah Menteng yang spesial diundang. Patih-patih dan Menteri tak mau kalah gaya. Tinggal para hulubalang cemas melihat Panglima Tertinggi bertingkah seperti anak kecil urung disunat.
Dokter pribadinya berbisik,
"Tak apa. Baik buat ginjalnya. Biar kencing batu PJM tidak kumat-kumat."
"Menyanyi! Menyanyi, dong Pak!" (gadis-gadis merengek)
"Baik, baik. Tapi kalian yang mengiringi, ya!" (sambil bergaya burung onta)
Siapa bilang Bapak dari Blitar
Bapak ini dari Prambanan
Siapa bilang rakyat kita lapar.
Malaysia yang kelaparan…!
Mari kita bergembira! (Nada-nada sumbang bau aroma champagne).
Di sudut gelap istana tabib Cina berbisik-bisik seorang Menteri,
"Gembira sekali nampaknya dia."
"Itu tandanya hampir mati."
"Mati?"
"Ya, mati. Paling tidak lumpuh. Kawan Mao berpesan sudah tiba saatnya."
"Tapi kami belum siap."
"Kapan lagi? Jangan sampai keduluan klik Nasution."
"Tunggu saja tanggal mainnya!"
"Nah, sampai ketemu lagi!" (Tabib Cina tersenyum puas.)
Mereka berpisah.
Mendung makin tebal di langit, bintang-bintang bersinar guram (berpendar-red) satu-satu. Pesta diakhiri dengan lagu langgam Kembang Kacang yang dibawakan nenek-nenek kisut 68 tahun.
"Kawan lama Presiden." (bisik orang-orang)
Tamu-tamu permisi pamit. Perut kenyangnya mendahului kaki-kaki setengah lemas. Beberapa orang muntah-muntah mabuk di halaman parkir…Sendawa mulut mereka berbau alkohol. Sebentar-sebentar kiai mengucap ‘alhamdulillah’ secara otomatis.
Menteri-menteri pulang belakangan bersama gadis-gadis, cari kamar sewa. Pelayan-pelayan sibuk kumpulkan sisa-sisa makanan buat oleh-oleh anak istri di rumah. Anjing-anjing istana mendangkur kekenyangan-mabuk anggur Malaga. Pengemis-pengemis di luar pagar istana memandang kuyu, sesali nasib kenapa jadi manusia dan bukan anjing!
***
Desas-desus Soekarno hampir mati-lumpuh cepat menjalar dari mulut ke mulut. Meluas seketika, seperti loncatan api di kebakaran gubuk-gubuk gelandangan di atas tanah milik Cina. Sampai juga ke telinga Muhammad dan Jibrail yang mengubah diri jadi sepasang burung elang. Mereka bertengger di puncak menara emas bikinan pabrik Jepang. Pandangan ke sekeliling begitu lepas-bebas.
"Allahuakbar, nabi palsu hampir mati." Kata Jibrail sambil mengepakkan sayap.
"Tapi ajarannya tidak. Nasakom bahkan telah mengoroti jiwa prajurit-prajurit. Telah mendarah daging pada sebagian kiai-kiaiku." Kata Muhammad sambil mendengus kesal.
"Apa benar yang Paduka risaukan?"
"Kenapa kau pilih bentuk burung elang ini dan bukan manusia? Pasti kita akan dapat berbuat banyak untuk ummatku!"
"Paduka harap ingat; di Jakarta setiap hidung harus punya kartu penduduk. Salah kena garuk razia gelandangan!"
"Lebih baik sebagai ruh, bebas dan aman."
"Guna urusan bumi wajib kita jadi sebagian dari bumi."
"Buat apa?"
"Agar kebenaran tidak telanjang di depan kita."
"Tapi tetap di luar manusia?"
"Ya, untuk mengikuti gerak hati dan pikiran manusia justru sulit bila satu dengan mereka."
"Aku tahu!"
"Dan dalam wujud yang sekarang mata kita tajam. Gerak kita cepat!"
"Ah, ya. Kau betul, Tuhan memberkatimu jibrail. Mari kita keliling lagi. Betatapun durhaka kota ini mulai kucintai."
Sepasang elang terbang di udara senja Jakarta yang berdebu menyesak dada dan hidung mereka tercium asap knalpot dari beribu mobil. Diatas Pasar Senen tercium bau timbunan sampah menggunung, busuk dan mesum. Kemesuman makin keras terbau di atas Stasiun Senen. Penuh ragu Nabi hinggap di atas gerbong-gerbong kereta daerah planet.
Pelacur-pelacur dan sundal asyik berdandan. Bedak penutup bopeng, gincu merah murahan dan pakaian pengantin bermunculan. Di bawah gerbong beberapa sundal tua mengerang-lagi palang merah-kena raja singa. Kemaluannya penuh borok, lalat-lalat pesta menghisap nanah. Senja terkapar menurun diganti malam bertebar bintang di sela-sela awan. Pemuda tanggung masuk kamar mandi berpagar sebatas dada, cuci lendir. Menyusul perempuan gemuk penuh panu di punggung, kencing dan cebok. Sekilas bau jengkol mengambang. Ketiak berkeringat amoniak, hasil main akrobat di ranjang reot.
Di kamar lain, bandot tua asyik main pompa di atas perut perempuan muda 15 tahun. Si perempuan tak acuh dihimpit, sibuk cari tuma dan nyanyi lagu melayu. Hansip repot-repot mengontrol, cari uang rokok.
"Apa yang Paduka renungkan?"
"Di negeri dengan rakyat Islam terbesar, mereka begitu bebas berbuat cabul!" (menggelengkan kepala).
"Mungkin pengaruh ajaran Nasakom! Sundal-sundal juga soko guru revolusi," kata si Nabi palsu.
"Ai, binatang hina yang melata. Mereka harus dilempari batu sampai mati. Tidakkah Abu Bakar, Umar dan Usman teruskan perintahku pada kiai-kiai disini? Berzina, langkah kotor bangsa ini. Batu mana batu!"
"Batu-batu mahal disini. Satu kubik dua ratus rupiah, sayang bila hanya untuk melempari pezina-pezina. Lagipula…."
"Cari di sungai dan di gunung-gunung!"
"Batu-batu di seluruh dunia tak cukup banyak guna melempari pezina-pezinanya. Untuk dirikan mesjid saja masih saja kekurangan. Paduka lihat?"
"Bagaimanapun tak bisa dibiarkan!" (Nabi merentak).
"Sundal-sundal diperlukan di negeri ini ya, Rasul."
"Astaga! Sudahlah Iblis menguasai dirimu Jibrail?"
"Tidak Paduka, hamba tetap sadar. Dengarlah penuturan hamba. Kelak akan lahir sebuah sajak, begini bunyinya :
Pelacur-pelacur kota Jakarta
Naikkan tarifmu dua kali
dan mereka akan kelabakan
mogoklah satu bulan
dan mereka akan puyeng
lalu mereka akan berzina
dengan istri saudaranya
"Penyair gila! Cabul!"
"Kenyataan yang bicara. Kecabulan terbuka dan murah justru membendung kecabulan laten di dada-dada mereka. (Muhammad membisu, wajah muram durja). Di depan toko buku Remaja suasana meriak kemelut, ada copet tertangkap basah. Tukang-tukang becak mimpin orang banyak menghajarnya ramai-ramai. Si copet jatuh bangun minta ampun meski hati geli mentertawakan kebodohannya sendiri: hari nahas, ia keliru jambret dompet kosong milik kopral sedang preman kosong milik Kopral setengah preman. Hari nahas selalu berarti tinju-tinju, tendangan sepatu dan cacian tak menyenangkan. Tapi itu rutin belaka. Polisi-polisi Senen tak acuh melihat tontonan sehari-hari: orang mengeroyok orang sebagai kesenangan. Mendadak sosok baju hijau muncul, menyelak di tengah. Si copet diseret keluar dibawa entah kemana. Orang-orang merasa kehilangan mainan kesayangannya, melongo.
"Dia jagoan Senen; anak buah Syafii, raja copet!"
"Orang tadi mencuri tidak?" (pandangan Nabi penuh selidik).
"Betul. Orang sini menyebutnya copet atau jambret."
"Kenapa mereka hanya sekali pukul si tangan panjang? Mestinya dipotong tangan celaka itu. Begitu perintah Tuhan kepadaku dulu."
"Mereka tak punya pedang, ya Rasul."
"Toh, bisa diimpor!"
"Lalu dengan apa bangsa ini berperang?"
"Dengan omong kosong dan bedil-bedil utangan dari Rusia."
"Negara kapir itu?"
"Ya, sebagian lagi dari Amerika. Negara penyembah harta dan dolar."
"Sama jahat keduanya pasti!"
"Dunia sudah berobah gila!" (mengeluh).
"Ya, dunia sudah tua!"
"Padahal kiamat masih lama."
"Masih banyak waktu ya, Nabi!"
"Banyak waktu untuk apa?"
"Untuk mengisi kesepian kita di sorga."
"Betul-betul, sesungguhnya tontonan ini mengasyikkan, meskipun kotor. Akan kuusulkan dipasang TV di sorga."
Kedua elang jelmaan terbang Nabi dan Jibrail itu terbang di gelap malam.
"Jibrail! Coba lihat! Ada orang berlari-lari anjing ke sana! Hatiku tiba-tiba merasa tak enak…"
"Hamba berperasaan sama. Mari kita ikuti dia, ya Muhammad."
Sebentar kemudian diatas sebuah pohon pinang yang tinggi mereka bertengger. Mata tajam mengawasi gerak-gerik orang berkaca mata.
"Siapa dia? Mengapa begitu gembira?"
"Jenderal-jenderal menamakannya Durno, Menteri Luar Negeri merangkap pentolan mata-mata."
"Sebetulnya siapa dia menurut kamu?"
"Dia hanya Togog, begundal-begundal raja angkara murka."
"Ssst! Surat apa di tangannya itu?"
"Dokumen."
"Dokumen?"
"Dokumen Gilchrist, hamba dengar tercecer di rumah Bill Palmer."
"Gilchrist? Bill Palmer? Kedengarannya seperti nama kuda!"
"Bukan, mereka orang-orang Inggris dan Amerika."
"Ooh."
Di bawah sana Togog melonjak kegirangan. Sekali ini betul-betul makan tangan, nemu jimat gratis. Kertas kumal mana ia yakin bakal bikin geger dunia. Tak henti-henti diciuminya jimat wasiat itu. Angannya mengawang, tiba-tiba senyum sendiri.
"Sejarah akan mencatat dengan tinta emas: Sang Togog berhasil telanjangi komplotan satria-satria pengraman baginda raja."
Terbayang gegap gempita pekik sorak rakyat pengemis di lapangan Senayan.
"Hidup Togog, putra mahkota! Hidup Togog, calon baginda kita!"
Sekali lagi ia senyum-senyum sendiri. Baginda tua hampir mati, raja muda togog segera naik takhta, begitu jenderal selesai-selesai dibikin mati kutunya. Pintu markas BPI (badan pusat intelijen) ditendang keras-keras tiga kali. Itu kode!
"Apa kabar Yang Mulia Togog?"
"Bikin banyak-banyak fotokopi dari dokumen ini! Tapi awas, top secret. Jangan sampai bocor ke tangan dinas-dinas intel lain. Lebih-lebih intel AD."
"Tapi ini otentik apa tidak, Pak Togog? Pemeriksaan laboratoris?"
"Baik, baik yang mulia" (pura-pura ketakutan)
"Nah, kan begitu. BPI Togog harus disiplin dan taat tanpa reserve pada saya tanpa hitung-hitung untung atau rugi. Semua demi revolusi yang belum selesai!"
"Betul, Pak; eh, yang mulia."
"Jadi kapan selesai?"
"Seminggu lagi, pasti beres."
"Kenapa begitu lama?"
"Demi security, Pak. Begitu saya baca dari buku-buku komik detektif."
"Bagus, kau rajin meng-up-grade diri. Soalnya begini saya mesti lempar copy-copy itu depan hidung para panglima waktu briefing dengan PBR (Pemimpin Besar Revolusi-red). Gimana?"
"Besok, juga bisa asal uang lembur dibayar dimuka."
Togog meluruskan seragam dewanya. Dan gumpalan uang puluhan ribu keluar dari kantong belakang. Sambil tertawa senang ditepuk-tepuknnya punggung pembantunya.
"Diam! Diam! Dokumen ini bakal bikin kalang kabut Nekolim dan antek-anteknya dalam negeri."
"Siapa mereka?"
"Siapa lagi? Natuurlijk de zogenaamde ‘our local army friends’. Jelas toh?"
Sepeninggal Togog jimat ajaib ganti berganti dibaca jin-jin liar atau setan-setan bodoh penyembah Dewa Mao nan agung. Mereka jadi penghuni markas Badan Pusat Intelijen secara gelap sejak bertahun-tahun. Syhadan, desas-desus makin laris seperti nasi murah. Rakyat jembel dan kekerlak baju hijau rakus berebutan, melahap tanpa mengunyah lagi.
"Soekarno hampir mati lumpuh; Jenderal kafir mau kup, bukti-bukti lengkap di tangan partai!"
***
Sayang, ramalan dukun-dukun Cina sama sekali meleset. Soekarno tidak jadi lumpuh, pincang sedikit Cuma. Dan pincang tak pernah bikin orang mati. Tanda kematian tak kunjung tampak, sebaliknya Soekarno makin tampak muda dan segar.
Kata orang dia banyak injeksi H-3, obat pemulih tenaga kuda. Kecewalah sang Togog melihat baginda raja makin rajin pidato, makin gemar menyanyi, makin getol menari dan makin giat menggilir ranjang isteri-isteri yang entah berapa jumlahnya.
Hari itu PBR dan Togog termangu-mangu beruda di Bogor. Briefing dengan Panglima-panglima berakhir dengan ganjalan-ganjalan hati yang tak lampias.
"Jangan-jangan dokumen itu palsu, hai Togog." (PBR marah-marah).
"Ah, tak mungkin Pak. Kata pembantu saya jimat tulen."
"Tadinya sudah kau pelajari baik-baik?"
"Sudah pak. Pembantu-pembantu saya bilang siang malam mereka putar otak dan bakar kemenyan."
"Juga sudah ditanyakan pada dukun-dukun klenik?"
"Lebih dari itu! Jailangkung bahkan memberi gambaran begitu pasti!"
"Apa katanya?"
"Biasa, de bekendste op vrije voeten gesteld, altjid!"
"Ah, lagi-lagi dia. Nasution sudah saya kebiri dengan embel-embel Menko Hankam-Kasab. Dia tidak berbahaya lagi.
"Ya, tapi jailangkung bilang CIA yang mendalangi ‘our local army friends’."
"Gilchrist toh orang Inggris, kenapa CIA campur adukkan?"
"Begini, Pak. Mereka telah berkomplot. Semua gara-gara kita nuruti kawan Mao buka front baru dengan konfrontasi Malaysia."
"Dunia tahu, Hanoi bisa bernapas sekarang. Paman Ho agak bebas dari tekanan Amerika."
"Kenapa begitu?"
"Formil kita berhadapan dengan Inggris Malaysia. Sesungguhnya Amerika yang kita rugikan: mereka harus memecah armadanya jadi dua. Sebagian tetap mengancam RRT lainnya mengancam kita!"
"Mana lebih besar yang mengancam kita atau RRT?" (RRT= Republik Rakyat Tjina; ejaan lama dari ‘Cina’-red).
"Kita. Itu sebabnya AD ogah-ogahan mengganyang Malaysia. Mereka khawatir Amerika menjamah negeri ini. "
Soekarno tunduk. Keterangan Togog membuatnya sadar telah ditipu mentah-mentah sahabat Cinanya. Kendornya tekanan Amerika berarti biaya pertahanan negeri Cina dapat ditransfer ke produksi. Dan Indonesia yang terpencil jadi keranjang sampah raksasa buat menampung barang-barang rongsokan Cina yang tak laku di pasaran. Kiriman bom atom, upah mengganyang Malaysia tak ditepati oleh Chen-Yi yang doyan omong kosong. PBR naik pitam.
"Togog, panggil Duta Cina kemari, sekarang!"
"Persetan dengan tengah malam. Bawa serdadu-serdadu pengawal itu semua kalau kamu takut."
Seperti maling kesiram air kencing Togog berangkat di malam dingin kota Bogor. Angan-angan untuk seranjang dengan gundiknya yang di Cibinong buyar. Dua jam kemudian digiring masuk seorang Cina potongan penjual bakso. Dia Cuma pakai piyama mulutnya berbau ang ciu dan daging babi.
"Ada apa malam-malam panggil saya? Ada rezeki nih!" (Duta Cina itu sudah pintar ngomong Indonesia. Dan PBR senang pada kepintarannya).
"Betul, kawan. Malam ini juga kau harus pulang ke negeri leluhur. Dan jangan kembali kemari sebelum dibekali oleh-oleh dari Chen Yi. Ngerti toh?"
"Buat apa bom atom, sih?" (Duta Cina menghafal kembali instruksi dari Peking. Tentaramu belum bisa merawatnya. Jangan-jangan malah terbengkalai jadi besi tua dan dijual ke Jepang. Ah, sahabat Ketua Mao; lebih baik kau bentuk angkatan kelima. Bambu runcing lebih cocok untuk rakyatmu."
"Gimana ini, Togog?"
"Saya khawatir bambu runcing lebih cocok untuk bocorkan isi perut Cina WNA disini." (Togog mendongkol).
"Jelasnya?" (tanya PBR dan Duta Cina serentak).
"Amerika mengancam kita gara-gara usul pemerintah kamu supaya Malaysia diganyang. Ngerti, tidak?" (Cina itu mengangguk).
"Dan sampai sekarang pemerintahmu Cuma nyokong dengan omong kosong!"
"Kami tidak memaksa, bung! Kalau mau stop konfrontasi, silakan."
"Tak mungkin!" (PBR meradang). Betul or tidak, Gog?"
"Akur, pak! Konfrontasi mesti jalan terus. Saya jadi punya alasan berbuat nekad."
"Nekad bagaimana?" (Cina menyipitkan matanya yang sudah sipit.)
"Begitu Amerika mendarat akan saya perintahkan potong leher semua Cina-Cina WNA." (menggertak).
"Ah, jangan begitu kawan Haji Togog. Anda kan orang beragama!"
"Masa bodoh. Kecuali kalau itu bom segera dikirim."
"Baik, baik. Malam ini saya berangkat."
PBR mau tak mau kagum akan kelihaian Togog. Mereka berangkulan.
"Kau memang Menteri Luar Negeri terbaik di dunia."
"Tapi Yani jenderal terbaik, kata Bapak kemarin."
"Memang ada apa rupanya? Apa dia ogah-ogahan juga ganyang Malaysia?"
"Maaf PJM hal ini kurang jelas. Faktanya keadaan berlarut-larut hanya menguntungkan RRT."
"Yani ragu-ragu?"
"Begitulah. Sebba PKI ikut jadi sponsor pengganyangan. Sedangkan mayoritas AD anggap aksi ini tak punya dasar."
"Lalu CIA dengan ‘our local army friends’ nya mau apa?"
"Konfrontasi harus mereka hentikan. Caranya mana kita bisa tebak? Mungkin coba-coba membujuk dulu lewat utusan diplomat penting. Kalau gagal cara khas CIA akan mereka pakai."
"Bagaimana itu?"
"Unsur-unsur penting dalam konfrontasi akan disingkirkan. Soekarno-Subandrio-Yani dan PKI harus lenyap!"
Sang PBR mengangguk-angguk karena ngantuk dan setuju pada analisa buatan Togog. Hari berikutnya berkicaulah Togog depan rakyat jembel yang haus sensasi. Seperti penjual obat pinggir jalan, ia sering lupa mana propaganda jiplakan dan mana hasil gubahan sendiri.
"Saudara-saudara, di saat ini ada bukti-bukti lengkap di tangan PJM Presiden/PBR tentang usaha Nekolim untuk menghancurkan kita. CIA telah mengkomando barisan algojonya yang bercokol dalam negeri untuk menyingkirkan musuh-musuh besarnya. Waspadalah saudara-saudara Soekarno-Subandrio-Yani dan rakyat progresif-revolusioner lainnya akan mereka musnahkan dari muka bumi. Tiga orang ini justru dianggap paling berbahaya untuk majikan mereka di London dan Washington.
"Tapi jangan gentar, Saudara-saudara! Saya sendiri tidak takut demi Presiden/PBR dan demi revolusi yang belum selesai. Saya rela berkorban jiwa raga. Sekali lagi tetaplah waspada. Sebab algojo-algojo tadi ada di antara Saudara-saudara."
Rakyat bersorak kegirangan. Bangga punya Wakil Perdana Menteri berkaliber Togog yang tidak gentar mati. Sejenak mereka luput perut-perut lapar ditukar dengan kegemasan dan geram meluap-luap atas kekurangajaran nekolim.
Rapat diakhiri dengan membakar orang-orangan berbentuk Tengku sambil menari-nari. Bendera-bendera Inggris dan Amerika yang susah payah dijahit perempaun-perempuan mereka di rumah, diinjak-injak dan dirobek penuh rasa kemenangan dan kepuasan luar biasa.
Setelah bosan mereka bubar satu-satu. Tinggal pemuda-pemudanya yang melantur kesana kemari, bergaya tukang copet. Mereka ingin mencari tahu algojo-algojo Nekolim yang dikatakan Togog barusan.
Di Harmoni segerombolan tukang becak asyik kasak-kusuk, bicara politik. Kalau di Rusia Lenin bilang koki juga mesti milik politik, di Jakarta tukang-tukang becak juga keranjingan ngomong politik.
"Katanya Dewan Jenderal mau coup. Sekarang Yani mau dibunuh, mana yang benar?"
"Dewan Jenderal siapa pemimpinnya?"
"Pak Yani, tentu."
"Jadi Yani akan bunuh Yani. Gimana, nih?"
"Aaah! Sudahlah. Kamu tahu apa." (Suara sember.)
"Untung menteri luar negeri kita jago. Rencana nekolim bisa dibocorin."
"Dia nggak takut mati?"
"Tentu saja kapan dia sudah puas hidup-hidup. Berapa perawan dia ganyang!" (suara sember menyela lagi).
Yang lain-lain tidak heran atau marah. Seakan sudah jamak Menteri mengganyang perawan dan isteri orang.

***
Pengganyangan Malaysia yang makin bertele-tele segera dilaporkan PBR ke Peking.
"Kawan-kawan seporos, harap bom atom segera dipaketkan, jangan ditunda-tunda. Tentara kami sudah mogok berperang: Jenderal-Jenderal asyik ngobyek cari rezeki dan prajurit-prajurit sibuk ngompreng serta nodong. Jawaban dari Peking tak kunjung datang. Yang datang membanjir hanya textil, korek api, senter, sandal, Pepsodent, tusuk gigi dan barang-barang lain bikinan cina.
Soekarno tiba-tiba kejatuhan ilham akan pentingnya berdiri di atas kaki sendiri. Rakyat yang sudah lapar dimarahi habis-habisan karena tak mau makan lain kecuali beras. Ubi, jagung, singkong, tikus, bekicot dan bahkan kadal, obat eksim paling manjur.
"Saya sendiri dikira makan nasi tiap hari? Tidak! PBR-mu ini Cuma kadang-kadang makan nasi sekali sehari. Bahkan sudah sebulan ini tidak makan daging. Tanya saja Jenderal Saboer!"
"Itu Pak Leimena disana (menunjuk seorang kurus kering) dia lebih suka makan sagu daripada nasi. Lihat Pak Seda bertubuh tegap (menunjuk seorang bertubuh kukuh mirip tukang becak), dia tak bisa kerja kalau belum sarapan jagung."
Paginya ramai-ramai koran memuat daftar menteri-menteri yang makan jagung. Lengkap dengan potretnya sekali. Sayang, rakyat sudah tidak percaya lagi, mereka lebih percaya pada pelayan-pelayan istana. Makan pagi Soekarno memang bukan nasi, tapi roti panggang bikinan Perancis di Hotel Indonesia. Guna mencegah darah tingginya kumat, dia memang tidak makan daging. Terpaksa hanya telor goreng setengah matang dicampur sedikit madu pesanan dari Arab sebagai pengiring roti. Menyusul buah apel kiriman Kosygin dari Moskow.
Namun rakyat tidak heran atau marah. Seakan sudah jamak seorang presiden harus bohong dan buka mulut seenaknya. Rakyat Indonesia rata-rata memang pemaaf dan baik hati. Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan dada lapang. Hati mereka bagai mencari, betapa pun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin menyentuh bumi.[]

Catatan Redaksi : cerpen Langit Makin Mendung karya Kipanji Kusmin ini merupakan salah satu cerpen kontroversial di Indonesia. Cerpen yang sebenarnya bertendensi pada kritik sosial ini ramai dihakimi karena dianggap melecehkan agama Islam. Sampai-sampai ada sebuah buku yang berjudul Pledoi Sastra yang memuat perdebatan mengenai kekontroversialan cerpen tersebut. Yang menjadi titik masalah adalah pemakaian Nabi Muhammad Saw sebagai tokoh dalam cerpen. Hal itulah yang dianggap sebagai pelecehan terhadap Rasulullah. Sampai sekarang, perihal mengenai siapa Kipanji Kusmin sebenarnya masih belum dapat diungkap. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa sebenarnya Kipanji kusmin adalah HB Jassin sendiri yang selama polemik sebagai pembela cerpen ini dan pengarangnya.

Wednesday, December 14, 2011

PARADE MUSIKALISASI PUISI



Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket


Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket
                          Foto-foto Ferdi Afrar/ SARBI
                          Sido Art-Jo Parade 2011
                          11-18 Desember 2011
                          Di Panggung dan Pendopo Krida Budaya DISPORABUD PAR
                          Jl. Sultan Agung 34 Sidoarjo

Tuesday, December 13, 2011

PAMERAN ARSITEKTUR KONTEMPORER


Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket


Foto-foto Ferdi Afrar/ SARBI

Pameran Arsitektur Kontemporer
EXTRA MUROS
Architectures del'enchantement
Architectures Of Delight
20 September-4 Oktober 2011
Bertempat di CCCL Surabaya

Monday, December 5, 2011

HALTE SASTRA, 20 AGUSTUS 2011

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Photobucket


Buku Antologi Puisi: Wanita Tua dalam Rimbun Udara
Photobucket



Acara Halte Sastra di Balai Pemuda Surabaya, 20 Agustus 2011
Penulis Puisi : Abimanyu Mbam Mbung dan Aji S Ramadhan
Panelis : Dody Kristianto
Antologi Puisi : Wanita Tua dalam Rimbun Udara

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post