Telah Terbit !

Yang sederhana, yang berserakan, yang tak diperhitungkan dan bertebaran di mana-mana, tetaplah harus dirayakan. Spesial SARBI edisi 8 di akhir tahun!

Segera Dapatkan !

Buku Puisi Karya KOMANG IRA PUSPITANINGSIH.

Toko Buku SARBI

Kumpulan buku bekas pilihan yang asik untuk dibaca dan dikoleksi dengan harga bersahabat.

Telah Terbit!

BULETIN TIKAR EDISI 02/2013 Diterbitkan oleh Komunitas Tikar Merah (KTM)

Dapatkan!

Buku Terbaru SARBIKITA Publishing Karya Heru Susanto

Blogroll

Thursday, March 29, 2012

ULANG TAHUN DELTA SASTRA

Photobucket


Mozaik Delta Sastra

Konon, keberadaan sebuah komunitas sastra adalah motivasi tambahan bagi sebuah individu untuk terus berkarya dan mengembangkan dirinya. Mengutip apa yang dikatakan oleh Umar Fauzi Ballah bahwa komunitas menjadi persenyawaan kreatif individu. Pun, sebuah komunitas sastra berfungsi menyatukan dan mempertemukan individu yang memiliki persamaan visi dan misi. Konon, sejarah sastra Indonesia telah mencatat sejumlah nama. Sebutlah nama-nama semacam (apabila secara tersita dapat  disebut sebagai komunitas) Pujangga Baru dengan tiga serangkainya : Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, serta Armijn Pane, angkatan 45 yang digelorai dan digairahi oleh Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin, sampai nama-nama komunitas yang saat ini masih eksis berdiri dan tegak pada belantara sastra Indonesia.

Sebutlah nama-nama semacam Komunitas Salihara, Komunitas Berkat Yakin (Lampung), Komunitas Daun, Komunitas Intro (Padang), Komunitas ASAS (Bandung), Tikar Pandan (Banda Aceh), Rumah Dunia (Serang), dll. Di Jawa Timur pun, kita tak dapat menepikan begitu saja komunitas yang telah menjadi dan memiliki keteguhan sendiri dalam melalui derasnya arus sastra. Kita tentu sudah mendengar nama-nama semacam Bengkel Muda Surabaya (BMS), Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP), Komunitas Rabo Sore (KRS), Komunitas Lembah Pring, Komunitas Arek Japan Mojokerto, Komunitas Sanggar Lentera Sumenep dan masih banyak lagi. Semua komunitas di atas dipersatukan oleh unsur “primordialisme”, entah satu kesatuan kampus, daerah, ideologi, dan lain-lain.

Kini, memasuki abad XXI, komunitas bukanlah sebuah kumpulan yang harus bertemu dan berdiskusi dalam sebuah tempat khusus. Komunitas tidak harus ada dalam satu waktu yang sama. Ya, batas-batas semacam itu telah dirusak oleh globalisasi, internet dalam hal ini. Melalui beberapa medium, semacam, forum-forum milis, blog, jejaring sosial, kita dapat berdiskusi tanpa harus bertemu muka. Ya, saya dapat berdiskusi dengan seorang teman yang saat ini berada di negeri nun jauh di sana. Pada satu sisi, hal ini tentu menggembirakan. Pertemuan kreatif akhirnya tidak harus dibatasi oleh ruang dan waktu. Namun, pada satu sisi, hubungan secara estetis bisa pula tidak sekuat ketika kita berkomunitas dan menjalin pertemuan secara langsung. Dibandingkan dengan bahasa tulis,  ada yang berbeda ketika sebuah pesan harus disampaikan dalam bahasa lisan. Tentu hal ini disebabkan karena kita lebih terbiasa menggunakan bahasa lisan tinimbang tulis. Ya, ternyata kelisanan belum sepenuhnya beralih pada keberaksaraan.

Kali ini, saya bertemu dengan kumpulan cerpen Komunitas Delta Sastra yang berbasis di kota Sidoarjo, sebuah kota yang sepi secara sastra dan mungkin hanya dapat saya temukan nama-nama semacam R Giryadi, F Aziz Manna, Tan Tjin Siong, (Alm.) Lan Fang, sampai generasi seperti Dody Kristianto yang telah menorehkan nama pada pentas kesusastraan nasional. Akan tetapi, bila kita melihat siapa saja nama-nama yang berada pada kumpul`n cerpen ini, kita akan menemukan bahwa mereka berasal dari berbagai tempat dan tidak dibatasai oleh waktu dan ruang. Sangat mungkin, nama-nama ini saling menjalin silaturahmi kreatif melalui dunia maya sehingga bersepakatlah mereka untuk  melahirkan sebuah kumpulan yang mungkin dimaksudkan sebagai pengejahwantahan atas diskusi kreatif yang mereka lakukan selama ini. Maka, kumpulan cerpen ini bisa kita sebut sebagai ajang “pertemuan langsung” kawan-kawan Delta Sastra di dunia nyata.

Sekali lagi, jika kita membaca para cerpenis di dalam kumpulan ini, kita akan mendapati bahwa nama-nama ini berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda. Nama-nama ini juga bukanlah nama besar yang sudah melanglang buana di dunia sastra kita. Nama-nama ini bisa jadi adalah nama-nama baru yang beritikad untuk menggairahkan dunia sastra. Hal ini sekaligus semakin memperkuat asumsi bahwa internet telah membuat gaung sastra melebar. Tentu saja kegairahan bersastra via internet ini juga dibarengi dengan beberapa efek negatif.
***
Kali ini saya berhadapan dengan sebuah kumpulan cerpen Komunitas Delta Sastra yang berjudul Hujan Melukis Lautan. Judul ini adalah analogi yang pas sebagai awal mula penciptaan. Bukankah kita masih ingat bahwa berjuta tahun yang lalu, lautan memang tercipta dari hujan deras yang turun kali pertama di bumi. Hujan deras inilah yang lantas menjadi lautan bagi bumi dan lautanlah yang dicurigai mencipta cikal bakal bibit kehidupan di bumi. Tentu saja hal di atas menurut para penganut teori evolusi.

Seperti sudah saya singgung di atas, para cerpenis ini berasal dari pelbagai latar belakang daerah, pendidikan, dan profesi. Dan yang patut kita apresiasi adalah mereka memiliki keberanian untuk berkarya lantas memublikasikasikan dalam satu kumpulan yang ada di depan kita ini. Semangat ini patut kita acungi jempol dan kita berharap tentunya para cerpenis ini tidak berhenti sampai pada Hujan Melukis Lautan.

Seperti halnya para penulis yang umum kita temui pada dunia jejaring sosial, khususnya, facebook, para penulis ini (mungkin) sudah cukup banyak menerima apresiasi dalam forum jejaring sosial tersebut. Entah itu berupa pujian, tepuk tangan, masukan, saran, kritikan, bahkan sampai cacian sekalipun. Ya, mengutip apa yang pernah dibahas oleh Fahrudin Nasrullah dalam Temu Sastra Jatim 2010, bahwa facebook adalah dunia simulacra, di mana segala bisa masuk dan bersengkarut di sana.

Tentunya tulisan ini terlalu sempit bila harus mengapresiasi secara luas karya para cerpenis dalam kumpulan Hujan Melukis Lautan. Anggaplah tulisan ini sekadar sebagai pengantar diskusi saja. Para cerpenis dalam kumpulan ini, telah berhasil memindahkan realitas sehari-hari ke dalam sebuah bentuk fiksi. Ya, kata Suripan Sadi Hutomo, sastra memang tak terlepas dari kenyataan dan rata-rata isi cerita para cerpenis ini berdasarkan dari kenyataan, entah pengalaman pribadi, hasil pembacaan di berita, eksplorasi terhadap masa lalu, dan sebagainya. Bahkan, saya memosisikan para cerpenis ini sukses memberikan gambaran mengenai kehidupan pada kita.

Hanya saja, penikmat sastra tetap harus kritis terhadap sebuah karya. Artinya, sebuah karya sesempurna apapun, tetap membuka satu celah untuk dimasuki. Kritik tetap perlu diberikan untuk mengawal para sastrawan agar karya-karya mereka tetap terjaga kualitasnya. Kali awal membaca, saya menangkap judul para cerpenis ini cenderung ingin berindah-indah dengan bahasa yang cenderung klise. Tengoklah judul-judul semacam “Takdir Berduri”, “Ombak Keraguan” (Kwek Li Na), “Pelangi Jelaga” (Filiya Putri), “Lembaran Kasih yang Terberai” (Iis Istrini), “Semoga Cinta Bersemi Selamanya”, “Persembahan Kasih di Langit Cinta” (Pena Armansyah), “Menepis Badai di Batas Cakrawala” (Sukmawati Ryo).

Apakah judul-judul di atas tidak boleh dituliskan dalam karya sastra? Tentu saja boleh dan setiap orang berhak untuk menuliskan judul pada karya yang ia hasilkan. Akan tetapi, ternyata menulis judul sebuah karya tak semudah apa yang kita bayangkan. Saya tak tahu apa yang dipikirkan oleh Budi Darma sehingga menghasilkan judul-judul semacam “Olenka”, “Rafilus”, “Derabat”, sampai “Pohon Jejawi”. Dalam sebuah ulasan di Jurnal Sajak edisi II, Agus R Sarjono menyebutkan bahwa bahasa klise adalah salah satu musuh bagi puisi (adakah ia juga musuh bagi sastra secara keseluruhan?)  

Selain itu, ada kecenderungan bahwa para penulis cerpen ini terjebak dalam melodrama berkepanjangan seperti karya Sukmawati Ryo misalnya. “Menepis Badai di Batas Cakrawala” menyuguhkan cerita mengenai perjalanan dua anak manusia yang bertemu sekian tahun lalu, lalu terpisah, dan akhirnya berjumpa kembali. Selain sangat “detail”, cerita ini juga muda ditebak pada akhirnya. Hal ini tentu saja membuat kenikmatan untuk memburu akhir cerita berkurang.

Sebuah cerpen Kwek Li Na, “Latar Berduri” juga meninggalkan sejumlah pertanyaan bagi saya pribadi. Di manakah latar terjadinya cerpen ini? Apakah ia berada di Taiwan? Atau bahkan di Indonesia? (adanya tokoh Pak Karin dan Bu Is membuat kecurigaan saya mengarah pada Indonesia sebagai latar). Tentu saja hal ini semakin mengagetkan tatkala Natesya berhasil menemui pamannya di Taiwan. Aneh, seorang tokoh yang (mungkin) terdampar di Indonesia bisa kembali ke Taiwan.

Cerpen-cerpen Hawa El Pandani mungkin lebih sederhana dalam bertutur. Rata-rata cerpennya bercerita mengenai kehidupan wanita malam. Hawa El Pandani relatif sangat bersahaja dalam menyampaikan pesan moral pada pembacanya. Dalam bahasa Nirwan Dewanto, sekali lagi, sastra adalah pertemuan antara sisi moral dan bentuk. Sebuah karya sastra akan terjebak pada kutbah-kutbah bila hanya menitikberatkan pada pesan moral belaka. Bentuk, mestilah mendapat poris berimbang. Saya teringat pada sebuah cerpen DN Kurnia yang berjudul “Perempuan Tengah Malam”. Gaya bertutur DN Kurnia dalam cerpen itu menggunakan sudut pandang orang kedua : Ia sebagai penutur. Kehidupan seorang pelacur pun akhirnya terceritakan melalui sudut pandang orang lain. Itu merupakan sebuah strategi untuk membuat bentuk baru terhadap suatu tema.

Saya tertarik dengan sebuah cerpen Teguh Budi Utomo “Bunga Genjer di Sorban Kyai”. Cerpen berlatar sejarah ini turut mengingatkan saya pada sebuah cerpen Indra Tranggono, “Jas, Tongkat dan Kesunyian”. Cerpen yang berlatar belakang pembantaian massal pada tahun 1965 menjadi sebuah sudut pandang lain dalam penceritaan sejarah kita. Bagi saya, menulis cerita dengan latar belakang sejarah selalu memberikan tantangan tersendiri. Latar sejarah menuntut kita untuk peka pada konteks dan persoalan yang terjadi pada masa itu.

Pada akhirnya, saya mengucapkan selamat pada Komunitas Delta Sastra. Kelahiran kumpulan ini semoga menjadi awal yang baik bagi perjalanan komunitas ini. Tentu saja komunitas ini haruslah peka terhadap kritik, sebab kritik yang sebenarnya menjadi pelecut bagi karya-karya yang akan lahir pada masa mendatang.   Wallahualam bissawab.

Pengantar diskusi disampaikan oleh Arfan Fathoni di acara ulang tahun Komunitas Delta Sastra Tgl 26 Februari 2012



Photobucket


Photobucket


Photobucket


Photobucket

Friday, March 16, 2012

PUISI UMAR FAUZI, JAWA POS 7 AGUSTUS 2011

Photobucket

Berbuka
selamat berbuka puasa
terimalah menu hari ini
apa adanya, seperti kau
menerima cintaku apa adanya
cinta yang selalu kau lukiskan
seperti senja yang kau telan
bersama kumandang ingatan


Sahur
Menikmati makan sahur
adalah menikmati
duduk diantara dua tidur
satu sisinya
mimpi tak bisa lagi diulur
di sisi yang lain
kita masih memperpanjang umur.
Tuhan,
demikiankah aku harus
diatur?


Puasa
hari-hari memar mencuci luka
setan-setan terbakar mencari mangsa
nafsu gemetar anaknya jadi pelupa
seakan mati rasa
teruskan saja, sebab nanti malam
akan kembali seperti sedia kala


GULALI
Membaca Annisa
demi kesemampaian, burung-burung harus tertabrak angin dan terik tai matahari
demi senyuman, ketika mataku mesti gugur duluan


demi keanggunan, ketika pagi beranjak siang,
sungguh aku tak tahu bagaimana membendung kekuarngajaran
demi kecantikan yang tersiar dalam setiap perjumpaan,
tatap muka ini sungguh tak kuragukan


betapa sempurna matanya yang bulat, alisnya lebat
rekah bibirnya mencuat, ranum pipinya membebat
jantung hatiku ke arah paling keramat. Aku ingin moksa
secepat kilat menjadi bagian ternikmat kecupan terakhirnya.


Kesempatan Sunyi
Akulah kejahatan
yang dilukis pekat malam
rimbun bayang dan gentayang


mimpimu indah dibawah guyuran hujan
ornamen hatiku bubaran tanpa hunian


sabtu malam
kubuatkan pelangi
kupetik dari kesempatan sunyi


agar kau rindu pada bumi yang tak sempat berbagi
dihadapan tuhan kau rupanya masih asyik mencuri
aku di depan dan tuhan mengikutiku dari belakang


Tabu
Wit, otakku terlalu lelet menerjemahkan
kata dekil
yang
kau simpan lama,
seperti anggur Swiss bergumul rasa, ditabung masa.
Maaf, aku belum mengerti tentang darah biru
yang mencampuri usiamu dan derai batasan
yang
menghalangi harapan.


Tahukah kamu, tentang getuk pisang
yang kau hidangkan
di bawah bulan adalah nikmat dari puisi
yang
pernah kulahirkan.
Meski ada juga omelet isi kornet untuk jamuan
malam, tapi aku tidak di sana
waktu itu,
sebab tubuhku lilit disulam amis
sebelum kuputuskan tinggalkan merah mara
dan merangkul tiang tabu di ufuk bara


Wit, lebih dari itu
garam bening di matamu
lebih sempurna dari sesuatu
yang
pernah kita terka.
Sisa nujum masih
membekas dalam ingatan,
mungkin akan segera melemparkan kita
ke ranah terduga atau barangkali terlupa


Dalam Kamar
Berdiam di kamar ini, lamunanku sepanjang
Dosa turunan yang tak terelaki.


Sementara menunggu waktu merenung,
Remang berkali-kali menggetarkan sendi,
Seperti pelukan yang hangat.


Akhirnya selalu gagal doa yang aku panjati.


Kalau sudah begitu, pintu harus terbuka.
Dan mimpi memilih sendiri tempatnya
Sembunyi, di antara seprei dan tumpukan
Buku yang berkali aku jamahi tak jua terpahami.


Lalu kembali keriuhan menjadi
Teman selingkuh paling menggembirakan;
Bermuka-muka, bersapa-sapa dengan
Segala basa dan basinya yang termaklumi.


Tapi saat itu juga,
Aku teringat yang sunyi
pun pandai-lihai memaklumi.


Dan soal maklum-memaklumi ini,
Telah mengaburkan sekian wajah.


Lalu tak terbedakan lagi,
Pengampunan dan pembiaran, kebiasaan dan keinginan…


Tempat birahi terselip abadi


Di Kamar Bersalin
Aku tidak tahu, sejak kapan mereka
menyalin tubuhku dari rahim ibu.
Menyalinnya dengan pakaian selembut sutera
juga putih warnanya seperti pakaian mereka.
Dan seperti sutera yang hendak diambil seratnya,
aku pun tak mampu menggeliat sempurna.
Sehingga putih dalam jasadku selalu tanggung.


Sejak kapan buaian peri itu beralih
dalam pelukan ibu, aku tidak tahu.
Seperti juga tidak aku ketahui, kekenyalan dadanya
mampu menyempurnakan yang putih-mutih tubuhku.


Dalam berapa lama lagi, semua yang dihadapanku
adalah putih; seputih salju, seputih susu, seputih mata,
seputih tulang, seputih mani, seputih yang keputihan,
seputih kafan…


Dan kelak yang putih itu,
aku lukiskan bergambar-gambar kenangan.
Betapa mereka tidak mengetahui
kenanganku yang lebih panjang dari lorong
tali pusar yang mereka potong.


Kecuali dalam kamar bersalin,
semua itu adalah menyakitkan.
Seperti gambar-gambar itu,
yang tertempel pasrah pada dinding kusam.




*) Umar Fauzi Ballah, lahir 2 Juli 1986. Alumnus Sastra Indonesia Unesa, aktif di KRS (Komunitas Rabo Sore) dan Forum Sarbi. Sekarang menetap di Sampang Madura

PUISI FERDI AFRAR, JAWA POS 8 JANUARI 2012


Photobucket

Mitos Kamar Tidur
:Ucapan Terimakasih untuk Widya dan Anhar


Terimakasih kamu persilahkan aku becermin di kepalamu,
meski rambutmu telah beruban dan rontok, masih saja nikmat
bersolek dan memantas-mantaskan topiku. Biar aku tak malu
bila bertemu kamar tidur.


Terimakasih kamu perkenalkan aku kepada kamar tidurmu.
Di tubuhnya yang bergambar batik dan bunga-bunga, tersimpan
banyak biji mata. Kamu tunjukkan bagaimana menyeka airmatanya
bila ia sedang berduka. Dan menusukkan luka bila ia keras kepala.
Kamu ajarkan ia menjadi anak yang tak boleh tumbuh dewasa.


Singgah
Ia menengadah ke angkasa


Seperti ada yang menatapnya manja
bersembunyi di sebalik awan, di antara
kerumunan kicau burung.


Seperti ada yang menyentil daun-daun
dan juga jemuran sarung. seperti ada yang
melambai, yang membuat rambutnya terburai.


Seperti ada yang menggemerincingkan air,
melumutkan dinding. seperti ada yang berbisik,
merambat di kuping.


Seperti ada yang menggesitkan cahaya
di dedahan, kemudian menggambar di permukaan.
seperti ada yang mengintip, ingin menyampaikan pesan.


Seperti ada yang menunjukkan jalan
kepada debu, membuatnya bersayap seperti kupu-kupu
kemudian hinggap di matanya.


Seperti ada yang memberinya kado waktu,
tempat ia menanggalkan amuk di tubuh
memudarkannya di angkasa.


Pria Bersorban Hitam
: mengenang gempa 27 mei 2006, Jogja dan Jateng


1
Siapa mengetuk pintu sepagi ini. Tanpa salam maupun ucap permisi.
Aku buka pintu pelan, ada seorang pria bersorban hitam berdiri
di teras depan. “Bapak siapa?” kataku. Belum sempat tanyaku dijawab,
ia sudah melangkah masuk. Bukan lewat pintu, tak juga jendela.
Ia begitu saja hadir seperti udara. “Mencari siapa Pak?” kataku lagi.
Tapi ia telah duduk di kursi ruang tamu sambil merokok. Aku bingung.
Aku masuk ke dalam kamar. Ia sudah rebahan di atas ranjang
memeluk istri dan anakku. Aku berlari ke kamar mandi.
Ia telah telanjang, mengguyur air dengan gayung sambil bersiul.


2
Di ruang tamu masih kulihat ia duduk, diam. aku takut.
Tiba-tiba ia berkata: “Aku ingin menjemputmu”. Aku kaget.
“Mau kemana Pak?” tanyaku. Ia jadi diam. Aku gemetar.
“Baik Pak…, tunggu sebentar, aku akan berkemas.”
Aku habiskan dulu secangkir kopi mimpi.
Kukenakan dulu sarung coklat kesayangan.
Aku sisir rambut dulu. Setelah itu kupakai baju koko putih pemberian istri.”
Tapi tiba-tiba ia menyeretku. Hai…


3
Pria itu menurunkan aku di balai desa.
Tapi kenapa disini ada ibu dan ayah?
“Ibu dengan Ayah menyambut kedatanganmu Nak,” katanya.
Aku juga melihat Marni istriku, bersama Ayu anakku.
mereka melambai kepadaku. Aku tersenyum.
Pakde, Bulek, juga datang. Pak Wasis dan Sartono,
tetangga sebelah menyapaku. Kemudian Rudi temanku,
menepuk bahuku dari belakang. Ia menjabat tanganku.
Semua orang di balai desa berjabat tangan, seperti lebaran.
Setelah itu kami kenduri bersama, di dalam tanah.
Bersama urukan jerit, tangis, dan tanya.


Blur
setelah kesedihan meninggalkanku,
siapa lagi yang sudi merawat semua luka
yang menahun di tubuhku.
ketika kegembiraan juga menutup jendela rumahnya,
saat aku ingin mendengarkan dongeng
dari mulutnya yang merah.
: hanya angin yang meniup daun-daun kering
debu seperti segerombolan kutu
menggatali mataku yang seperti batu.


Lima Menit dari Televisi
Kami seperti mencari
padanan yang pas
dari rongsokan mitos
dan ketakutan.


Esok hari bagi kami
seperti lubang hitam
dan kami pasrah saja.


Atau barangkali
kami hanya mampu
sekali bergaya,
membeli sebatang rokok,


nampang di depan
kamera handphone,
melipat bibir paling seksi,


klik


Ah, kami memang
setolol mereka
dalam televisi dan poster.


Selalu menenggak racun
dan pura-pura tertidur


Ferdi Afrar, Penikmat Seni dan sastra lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Penata Artistik SARBI. Sekarang tinggal di Sidoarjo.

CADANGAN NYAWA JEIHAN SUKMANTORO


Photobucket
Foto Kompas/ Arum Tresnaningtyas

Putu Fajar Arcana

PERUPA Jeihan Sukmantoro pernah meninggal pada usia 5 tahun setelah terjatuh dari tangga. Ketika semua keluarga dan para pelayat siap-siap membalutnya dengan kafan, ia malah bangkit dan minta sesaji nasi item dan gula jawa serta kain batik. Setelahnya, perupa kelahiran Solo ini hidup dengan otak invalid akibat benturan.

Akibat lain dari itu, Jeihan tidak mengecap dunia sekolahan sampai usia 14 tahun, tetapi kemudian langsung mengikuti ujian persamaan SMP. Hebatnya ia lulus dan kemudian masuk SMA terbaik di Solo sebelum akhirnya melanjutkan ke seni rupa Institut Teknologi Bandung (ITB).

Pada usia 70 tahun, Jeihan mengalami gagal ginjal kronis. Ia sempat menjalani cuci darah berkali-kali di Bandung sebelum akhirnya memutuskan cangkok ginjal di Singapura. Jika kebanyakan pasien menunggu sampai bertahun-tahun untuk mendapatkan pendonor ginjal, Jeihan hanya perlu waktu dua minggu. Ia mendapatkan pendonor usia 35 tahun yang spesifikasi ginjalnya sangat serupa dengan ginjal milik Jeihan. Setelah berselang dua tahun, pada usia 71 tahun, kini rambut Jeihan yang semula ubanan malah kembali menghitam. ”Saya merasa seperti anak muda usia 35 tahun, tenaga berlipat dan rambut kembali hitam,” tutur Jeihan, akhir pekan lalu di Bandung.

Jeihan memang bukan tipe manusia perupa yang mudah menyerah. Ia seolah memiliki cadangan nyawa berlipat untuk meneruskan kreativitas di dunia seni rupa. Sejak era tahun 1960-an, ketika ia benar-benar memilih hidup dari seni, secara obyek visual, lukisan Jeihan seperti tak banyak berubah. Ia tetap ”keras kepala” dan tekun menggambar model. Ketika banyak perupa muda menggunakan perangkat teknologi untuk mendapatkan impresi realistik, Jeihan tetap hadir dengan gambar perempuan ”mata bolong”, yang selalu membersitkan kesan muram tetapi penuh misteri.

Spiritual

Dalam dua tahun terakhir, karya-karya Jeihan menunjukkan kematangan teknik serta mengalami sublimasi filosofis. Ia memang tetap menggambar model, terutama perempuan. Namun, wujud visual gambar-gambar Jeihan sama sekali tidak potretis, ia tidak puas sekadar memindahkan wajah model ke dalam kanvasnya. Jeihan justru menjalin relasi yang intim, dengan cara menangkap misteri terdalam yang hinggap pada subject matter melalui perantaraan aura. ”Itulah kekuatan insting,” katanya dengan penekanan bahasa yang cepat.

Insting atau naluri adalah energi purba yang ada pada semua makhluk, yang oleh karena pengetahuan didesak memasuki areal super-ego (mengambil istilah Freudian), sehingga tidak setiap saat bisa muncul dalam kepribadian. Menurut Jeihan, insting bukanlah intuisi karena intuisi bisa dilatih. ”Insting melekat dan baru muncul apabila kita terdesak. Saya bisa naik pohon mengejar layang-layang pada waktu kecil, tetapi kemudian tidak bisa turun. Nah, itu cara bekerja insting,” tutur Jeihan.

Insting ibarat pohon yang selalu tumbuh mengejar cahaya matahari. Pohon-pohon hutan menjulang tinggi karena matahari juga selalu berada di ketinggian. ”Apa yang menggerakkan pohon-pohon itu ke arah cahaya? Itulah insting, satu sikap untuk bertahan dalam keterdesakan,” ujar Jeihan.

Sebelum menggambar para modelnya, Jeihan membangun relasi dengan cara mengobrol sebanyak-banyaknya. Dari situ ia tidak saja menangkap gambaran sosok, tetapi juga memperoleh simpul-simpul karakter yang dipancarkan lewat aura. Aura yang melingkari sosok seorang model itulah yang kemudian diterjemahkan Jeihan lewat warna. Kekuatan garis tidak lagi menjadi tumpuan penting karena perupa kelahiran 26 September 1938 ini tidak memercayakan penangkapan spiritualitas modelnya lewat detail. ”Kalau saya menangkap tubuh Anda dengan warna hijau, itu aura Anda yang memancar dan saya tangkap,” ujar Jeihan.

Hal yang menarik, lewat gambar model dan metode kerja yang ia pelajari secara akademis di ITB, Jeihan kembali menemukan jalan spiritual, sebuah dunia masa lalu ketika ia dilahirkan sebagai anak miskin di pedesaan Jawa. Ingat pada usia 5 tahun, Jeihan sudah minta sesaji ketika ia siuman dari mati suri. Ini membuktikan naluri-naluri arketif yang diwariskan kultur moyang terus-menerus terbawa dan akan muncul apabila seseorang berada dalam situasi terdesak.

Ketika melukis, Jeihan selalu ”memojokkan” dirinya sendiri. Ia sering kali tidak tahan untuk menggambar seseorang. Ketika bercerita kira-kira selama 10 menit dalam pertemuan di rumahnya, Jeihan tiba-tiba minta saya ikut ke studionya. ”Ayo kita berangkat sekarang. Saya sudah tidak tahan segera ingin menggambar Anda,” kata Jeihan dengan sekujur tubuh yang gemetaran. Itu untuk kedua kalinya Jeihan menggambar saya. ”Saya menangkap gambaran lain dalam tubuh Anda hari ini,” katanya dalam perjalanan menuju studionya di kawasan Jalan Padasuka, Bandung.

Hanya dalam waktu tiga menit, sosok dan karakter wajah saya telah berpindah ke atas kanvas yang didominasi warna oker. Kepada Jeihan saya berkata, ”Ini wajah ketika saya masih muda.” Ia kaget bukan main. Bagi saya inilah pencapaian tertinggi dalam karier kepelukisan Jeihan. Ia mengerahkan segenap kemampuan spiritualnya untuk menggapai masa lalu saya dalam keadaan ”di atas sadar”. Ia tidak menggambar wajah saya hari ini, tetapi ”menemukan” wajah saya pada masa lalu. Barangkali itulah cara kerja insting, membeber masa lalu tanpa kehendak, memaparkan karakter sejati tanpa diduga. Sosok-sosok yang digambar Jeihan dengan naluri purbanya itu akan dipamerkan 27 Desember 2009- -17 Januari 2010 di Bentara Budaya Bali.


Sumber: Kompas, Senin, 21 Desember 2009


www.studiojeihan.com 
www.jeihangallery.com 

JEIHAN SUKMANTORO, "KITA HARUS KERJA CERDAS"

Photobucket
Foto Tempo/ Budiyanto


Soni Farid Maulana

DEWASA ini banyak orang merasa berdosa bila gagal melanjutkan sekolah atau kuliah di perguruan. Padahal, tak ada jaminan bahwa orang yang lulus sekolah atau kuliah di perguruan tinggi itu bisa langsung jadi pegawai negeri atau bisa bekerja di perusahaan. Untuk itu, yang harus dilakukan oleh orang-orang yang gagal sekolah atau kuliah bukan terus-menerus tenggelam dalam kubangan penyesalan dan rasa bersalah tanpa ujung, melainkan ia harus berani mengolah kemampuan yang tersedia di dalam dirinya untuk dijadikannya sebagai daya hidup.


"Dalam mengolah kemampuan yang tersedia di dalam dirinya itu bukan hanya dengan kerja keras yang harus dilakukannya, tetapi kerja cerdas. Saya termasuk salah seorang yang gagal melanjutkan kuliah di tingkat perguruan tinggi, khususnya di Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB. Saya tidak sedih atas kejadian itu. Saya malah terus berpikir bahwa sukses dan tidak suksesnya seseorang bukan ditentukan oleh kelulusan dari perguruan tinggi, tetapi sangat ditentukan oleh kerja cerdas yang dilakukannya dalam membaca gerak zaman!" ujar pelukis Jeihan Sukmantoro dalam percakapannya dengan "PR", Selasa pekan lalu di Studio Jeihan, Jln. Padasuka 143-145, Bandung.


Yang dimaksud dengan kerja cerdas oleh pelukis Jeihan Sukmantoro adalah bahwa seseorang harus mampu berpikir jauh ke masa depan, dalam arti kata mampu membaca gerak zaman. Sedangkan yang dimaksud kerja keras adalah upaya yang dilakukan seseorang secara fisik untuk mewujudkan apa-apa yang sudah dipikirkan secara matang sebelumnya. Misalnya, jika ia seorang seniman, dalam hal ini seniman seni lukis, maka ia harus menjadi dirinya sendiri dan bukannya jadi pengekor. Ia harus mampu melahirkan kecenderungan-kecenderungan baru dalam berkarya seni. Jika ia hanya jadi pengekor dalam bidang apa pun, maka ia tidak akan jadi apa-apa.


"Karena saya tidak mau jadi pengekor siapa pun, maka saya melahirkan ungkapan-ungkapan baru dalam seni lukis dengan menghilangkan objek mata dalam setiap figur yang saya lukis. Objek mata tersebut saya biarkan bolong dengan warna hitam pekat. Ketika saya melakukan di awal-awal penemuan saya melukis semacam itu, saya dicaci-maki banyak kritikus seni rupa. Saya yakin bahwa apa yang saya temukan itu merupakan daya ungkap baru dalam perkembangan dan pertumbuhan seni rupa Indonesia modern. Hasilnya zaman membuktikan bahwa lukisan saya diminati banyak orang," lanjut pelukis yang pernah hidup miskin di tahun 60-an hingga pertengahan tahun 1980-an. Setiap kontrakan habis dari satu tempat ke tempat lainnya selalu ada kepedihan yang menyesak di dalam dirinya. Rumah kontrakan Jeihan di awal tahun 60-an itu berdekatan dengan rumah Yunus Winoto, di Jln. Ancol Kawung, Bandung.


Di bawah ini, merupakan petikan percakapan "PR" dengan pelukis Jeihan Sukmantoro tentang sepenggal hidupnya dalam upaya menaklukkan kemiskinan dengan cara kerja cerdas di samping kerja keras. Selain itu, bicara pula tentang hal lainnya, baik menyangkut karya seni maupun keluarga. Di dalam sejarah perkembangan dan pertumbuhan seni modern di Indonesia, Jeihan Sukmantoro tidak hanya dikenal sebagai perupa, tetapi juga sebagai penyair. Ia merupakan salah seorang pelopor gerakan puisi mBeling bersama penyair Remy Sylado di awal tahun 1970-an di Bandung.


Bisa dijelaskan lebih jauh bahwa putus sekolah itu bukan sebuah bencana yang menakutkan dalam kehidupan Anda?


Bila kita gagal kuliah atau sekolah yang kemudian kegagalan tersebut dianggap sebagai bencana, itu adalah jalan pikiran yang salah. Orang yang putus sekolah itu harus berani masuk ke dalam dirinya sendiri untuk melihat potensi macam apa yang ada di dalam dirinya. Jika ia menemukan bakat yang bisa dikembangkannya dalam bidang apa pun, maka ia harus mengembangkannya dengan sesungguh hati. Dalam dunia seni rupa, bisa kita catat begitu banyak orang yang bukan lulusan perguruan tinggi seni rupa sukses sebagai pelukis. Hidup mereka lebih makmur dari orang-orang sekolahan. Itu artinya ia telah melakukan kerja cerdas dalam membaca gerak zaman! Inilah yang ingin saya utarakan atas sepenggal kisah hidup yang telah saya jalani selama ini.

Tetapi dewasa ini, setiap ada lowongan kerja, maka pekerjaan itu hanya terbuka bagi orang-orang yang memiliki sumber daya manusia (SDM) yang tinggi. Sedangkan orang yang SDM-nya rendah, jangan harap bisa bekerja di perusahaan yang membuka lowongan kerja itu?


Ya, memang SDM sekarang ini sangat diberhalakan oleh mereka yang menjalankan bisnisnya demi meraih keuntungan sebesar-besarnya. Yang disebut sebagai manusia itu, dewasa ini hanya orang-orang yang ber-SDM tinggi. Di luar itu seakan-akan bukan manusia. Kalau demikian adanya, mengapa ia tidak menciptakan dunia kerja secara mandiri? Hidup di kota besar sesungguhnya tidak sulit, bila kita sanggup berhadapan dengan realitas kehidupan itu sendiri. Yang penting jangan bertindak kriminal! Di luar itu, kalau hanya SDM yang melulu dilihat, lantas bagaimana dengan akhlak, moral, dan keteguhannya dalam menjalankan agama? Tak ada jaminan orang ber-SDM tinggi itu lurus jalan hidupnya. Bukankah mereka yang melakukan tindak pidana korupsi itu adalah orang-orang pintar? Begitu kita baca di koran-koran. Jadi mutu SDM itu tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual semata-mata, tetapi juga sangat ditentukan oleh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.

Lepas dari itu, kerja cerdas macam apa yang sudah dilakukan oleh Anda, sehingga lepas dari jurang kemiskinan?


Pertama kita harus percaya pada proses. Dalam proses ini, saya terus berpikir dalam melahirkan karya seni yang saya buat. Bagi saya lahirnya karya seni itu bukan melulu bertumpu pada perasaan, tetapi pada pikiran. Nah, ketika pikiran saya bekerja, saya menemukan celah bahwa melukis orang dengan mata bolong belum dilakukan oleh seorang pelukis pun di muka bumi. Mula-mula lukisan figur (orang) yang bermata bolong itu, gambar orangnya tidak pipih. Kalau demikian itu bukan sesuatu yang baru. Lantas saya berpikir keras. Saya melihat wayang kulit. Daya estetik yang terdapat dalam wayang kulit itu saya ambil ke dalam lukisan-lukisan saya. Sekarang selain mata bolong, bentuk tubuh orang pun saya bikin pipih. Itulah yang dimaksud dengan kerja cerdas dalam proses kreatif yang saya geluti selama ini.

Lantas setelah menemukan bentuk semacam itu, apakah Anda mendadak menjadi orang kaya?


Tidak. Mula-mula lukisan-lukisan saya yang dicaci-maki para kritikus seni lukis itu hanya laku ditukar dengan beras. Itu semua saya lakukan asal keluarga saya bisa makan. Ruang dan waktu terus bergulir. Kehadiran saya mulai dibicarakan bahwa saya melahirkan bentuk baru dalam seni rupa Indonesia modern. Kesempatan datang pada saya ketika bulan Agustus 1985 tiba dengan amat cepatnya. Saat itu, Citibank menawari saya untuk menyelenggarakan pameran tunggal. Tapi saya menolak untuk berpameran tunggal. Saya minta kepada pihak penyelenggara untuk berpameran berdua, saya pilih pelukis S. Sudjoyono. Dalam pameran yang digelar pada 4-11 Agustus 1985 di Istana Ballroom, Hotel Sari Pacific itu, saya pasang harga untuk satu lukisan senilai 50.000 dolar AS. Saat itu harga satu dolar sama dengan Rp 1.000,00.

Ketika saya pasang harga semacam itu, saya dicaci maki, karena harga lukisan saya lebih mahal dari harga lukisan S. Sudjoyono yang pada saat itu pasang harga antara Rp 2 juta - Rp 4 juta. Sungguh di luar dugaan, lukisan saya habis terjual. Seketika saya menjadi orang kaya baru di Indonesia. Hidup saya terbalik 180 derajat, yang tadinya miskin dan tidak punya nama dalam bidang seni lukis itu, kini jadi orang ternama dan kaya raya.

Sejak itulah saya mulai punya rumah, mobil, dan studio yang lebih luas lagi. Apa yang saya dapat itu, saya utamakan untuk hari depan anak-anak saya. Alhamdulillah pendidikan anak-anak saya saat ini terjaga dengan baik. O, ya, selain mampu beli rumah, alhamdulillah saya pun kini telah membangun dua masjid. Mudah-mudahan apa yang saya bangun ini bisa menjadi bekal hidup saya di akhirat kelak.

Selain itu, lantas apa lagi rahasia sukses hidup Anda dalam meraih kekayaan?"


Kekayaan itu akan datang dengan sendirinya, bila kita bekerja secara sungguh-sungguh dalam bidang yang kita minati dan kita kuasai. Hal yang paling utama adalah kita harus ikhlas terhadap segala cobaan hidup yang kita yakini bahwa semua itu datang dari Allah SWT. Saya tidak pernah mengeluh ketika saya hidup miskin, dan ketika kaya, saya tidak kikir. Saya tahu, bila saya kikir, Allah SWT akan mengambil harta-benda saya dengan amat mudahnya. Di samping itu, dalam menghadapi kemiskinan saya tidak bergantung pada belas-kasih orang lain. Saya senantiasa berserah diri pada Allah SWT.

Sebagai Muslim, saya ingin hidup terjaga dengan baik, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Karena itu, saya selalu bertindak keras kepada anak-anak untuk senantiasa menegakkan agama Allah SWT semampunya di muka bumi. Saya tidak rela harta yang saya dapat ini dipakai mabuk-mabukan oleh anak saya. Alhamdulillah anak-anak saya hingga saat ini tidak melakukan perbuatan tercela. Semua anak saya bersungguh-sungguh dalam menjalankan agama Islam. Pada titik ini saya menjadi takut, yakni takut tidak bisa bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat yang telah diberikan-Nya kepada saya selama ini.

Lantas apa yang Anda lakukan saat ini, setelah apa yang Anda inginkan bisa Anda beli?


Saya masih melukis, tentu saja. Dalam melukis, dalam menghabiskan sisa umur yang entah kapan saya akan dipanggil oleh Allah SWT untuk menghadap-Nya, saya terus meningkatkan kemampuan saya dalam bidang melukis. Itu saya lakukan, agar anak-anak saya di kemudian hari punya sesuatu yang bisa disimpan oleh mereka. Pada sisi yang lain, tentu saya mengasah daya spiritual saya, berbuat amal baik sebanyak-banyaknya demi kehidupan akhirat kelak.

Saya percaya bahwa siksa kubur itu ada. Saya manusia yang lemah. Saya ingin bahwa hidup saya kelak terbebas dari ancaman tersebut, karena itu saya harus meningkatkan amal-ibadah saya kepada Allah SWT. Kini yang saya kejar bukan lagi hal-hal yang bersifat kebendaan atau keduniawian. Saya kejar sekarang adalah ke akhiratan. Usia saya saat ini lebih lima tahun dari usia Nabi Muhammad saw yang meninggal dunia dalam usia 63 tahun. Untuk itulah, saya patut mensyukurinya. Jadi, hari-hari ini adalah hari-hari bersyukur saya, menjaga ucapan dan tindakan saya agar tidak menyakiti hati orang lain. Jika selama ini saya telah melakukan kesalahan pada siapa pun mohon kiranya dimaafkan. Demikian pula saya sebaliknya. Sungguh mengisi hidup yang baik dan benar itu, ternyata tidak mudah. Itulah yang saya renungkan saat ini. Semoga Allah SWT senantiasa menjaga ucapan saya maupun tindak-tanduk saya dari segala yang merugikan hidup saya di akhirat kelak. Sekali lagi saya bersyukur punya anak yang baik akhlaknya dan punya istri yang baik pula akhlaknya. Mereka memberi sepasang sayap dan kekuatan kepada saya untuk terbang ke langit-Nya, kelak. 

Sumber: HU Pikiran Rakyat, Minggu 30 Juli 2006
www.studiojeihan.com 
www.jeihangallery.com

Wednesday, March 7, 2012

PUISI DODY KRISTIANTO, MAJALAH HORISON MARET 2012


Photobucket

-- Puisi-Puisi yang termuat --

Padri
kamilah yang gemar membaca doa-doa di larut petang sebab kami percaya, sebagian dari kami tersimpan dan menyimpan diri di lubuk kata. sewaktu-waktu, malam akan memanggil kami, mungkin sebagian dari kami, untuk menjadi lentera di celah sunyi ini, di hati dalam yang tak pernah kami raih


kami senantiasa menghapal kata-katanya, meraba makna satudua kalimat yang biasa kami baca. sebab kami tahu kata, kalimat itu perlahan menjauhkan kami dari sepi, dari hantu yang terlampau sering jadi bayang-bayang kami, dari ingatan yang bersembunyi di kiri kanan kami. sebab menjelang pagi, kata-kata yang kami anggap sebagai doa itu kami dengar pelan-pelan menghilang. kata-kata itu berubah rahasia paling diam


2011

Penunggu Lilin
Yang berdiam di depan kami. Terima kasih. Sudah kau temani saat-saat terakhir kami. Saat-saat ketika kuncup sudah kedip mataapi kami dan telah tampak segala terang di depan kami. Terang yang membuka pintu surga di hadapan kami.

Kau iringi hidup sementara kami dengan syair-syair suci. Syair yang kau panjatkan pada leluhurmu. Pada arwah-arwah yang sesungguhnya tak pernah berkunjung padamu. Tapi kau selalu menunggu mereka sewaktu-waktu. Mungkin sewaktu-waktu mereka kembali ke bumi tapi bukan karena rindu namamu.

Terima kasih.

Kini terimalah cinta terakhir kami : wujud luluh kami yang tak lagi tinggi hati

2011


-- Puisi yang lain --

Pengujar Bebal
Kami hanya sekumpulan orang bebal. Kamilah orang miring yang lupa pada perihal belajar. Kami lupa bagaimana cara sekawanan burung di atas kami terbang. Kami sungguh alpa aroma sendawa mabuk kami yang melayang di atas kepala, menjelma awan, lalu jadi hujan yang jatuh pada kulit kasar kami.

Kami telah lama ingin mencoba membaca kitab ingatan, hikayat muasal, sampai riwayat para pejalan di depan kami. Kitab, hikayat, dan riwayat yang aksara dan tanda bacanya tak mau parkir sejenak di lubuk kenangan kami. Kitab, hikayat, atau riwayat yang mengira tubuh kami bukan rumah yang ramah bagi sekerumunan aksara.

Sungguh, sudah lupa kami pada mengeja, kosakata yang sukar benar kami hapal. Serupa kami berjumpa serdadu yang muskil kami taklukkan. Serdadu yang selalu sembunyi setiap tatap kami menilas pandang. Serdadu yang tak dapat kami rapal : dengan hurup apa musti kami eja namanya. Sungguh, kami hanya sekumpulan orang-orang bebal.

Kami musti melepaskan mata-mata kami. Kami musti mencopoti otak-otak kami

2011

Pengisah Ibu
Di sebalik pintu, ibu sungguh-sungguh menyimpan
sebuah dunia utuh untukku. Di sana tak akan ada haru
apalagi pilu yang selalu rindu bertamu di sekian tidurku

“hanya ada rindu anakku, rindu, sebab rindu ibu
satu dan selalu untukmu”

Tapi aku tak dapat melangkah ke balik pintu itu ibu,  
kudapati hanya jejak ibu bersijingkat terburu
seolah ada hantu gemar memburu ibu
di malam paling cemburu

“mungkinkah itu hantu ayah, ibu, yang ada dalam ingatan,
hantu yang menunggu sebagai kenangan dan gumam
dendam paling panjang, yang menunggu lengang lapang?”

Pada lain waktu, ibu dapati hantu itu berdiam
di pelupuk mataku. Ia lekas menutup pintu, bergegas
ke dunia jauh sembari meninggalkan sepasang tetes
airmata padaku, pada mata yang sembab biru

“sebab di dunia itu, ibu menyimpan hantu lain
untukmu”

2011


Kembali ke Tubuhmu

aku ingin kembali
ke tubuhmu

bebas dari kata dusta
atau sekumpulan mantra
paling purba

sebab kau tahu,
tubuhmu tempatku bermula

segala pintu ada di sana :

setapak jalan menantiku kembali
sebagai anak hilang di perjalanan

di tubuhmu pula
aku bangun sajakku:

sebagai rumah paling rindang,
sebagai rumah semua kenangan

akan berpulang

2011


Peniup Lilin
Semua akan pulang
kembali pada muasal


seperti kami
menuntaskan riwayatnya
mengembalikan ia
pada gelap terpurba


memadamkan ketip sipitnya
menyudahi jalan lamban
temali putih jantungnya


2011



Kepada Sapi-sapi Kami
Tahulah kami yang berada di bumi ini, bila sebilah pisau yang telah menamatkan riwayatnya, membawa ia pada makan malam kami, hanya sekadar mengantar ia menuju nirwana. Menuju tempat semestinya ia berada. Tempat ia bertemu segala dewa, keluarga, juga kawan-kawan lama yang telah lama memanggil namanya.

Maka berdoalah kami agar senantiasa daging-dagingnya tulus bersarang dalam tubuh kami, menemani tualang panjang kami, darahnya yang seupama kali selalu mengalir kintir di desir jantung kami. Agar kami yang masih terkunci di bumi ini  dapat menyusulnya. Menyusul ia yang kini berdiam menunggu kami di gerbang nirwana. Menyusul ia yang diam-diam mengucap nama kami pada sebilah pedang.

Sebilah yang kelak mengelus pelan leher kami, membelai lembut dada kami, menyusur lekuk suam kulit kami.

2011 


Tembang Rentan
karena puisi, kami dijaga dari goda berpuluh-puluh bara yang merekah marah sepanjang malam. kami tetapkan hati kami agar tenang meski salak anjing di kejauhan kian menantang. kami mujur tak gemetar pada lengang walau tatap kami disinggahi gelap mencekam. kami tak gentar, sebab dalam sunyi puisi ini, kami bertahan. dengan puisi ini kami menyusun kembali sejuta doa kami, segugus kata yang menembus kelam. kami ingin menyapa segala kesenyapan di depan kami. kami ingin menyampaikan mahakata kami, meski sulur-sulur hitam di sekeliling kami terus menunggu tubuh tua kami direbahkan

2011

Rupa Papa
kami lebih senang memelihara kutu dalam ngiang kami. atap kami sesekali menyimpan dan menjamu segenap titik hujan lalu memasukkan satudua butirnya ke dalam jantung kamar kami yang penuh debu. kami tahu jika anjing-anjing buduk itu selalu rindu mendengus, mengendus di sela pepori tempat tidur kami yang mahalusuh. kami mengerti pintu kurapan di samping kami kerap mengundang dan mengandung  air bah, aih, setumpukan pulau sampah, atau aroma para sisa yang tak pernah alpa singgah dalam hidung tajam kami, menghiasi kamar-kamar kecil kami. kami masih senang. kami riang memandang biang kekacauan yang perlahan merasuk dalam kepala kami

2011

Perih Pipih
sejujurnya kami tak resah benar dengan ruang sempit ini tapi kami benar risih dan tersisih bila si pengukur datang sebelum pagi sebab lebar badan kami ini perlahan dilenyapkannya dan tak punya bentuk tetap lagi  kami mengintip bila langit di atas terus menghimpit tubuh kami bintang-bintang berputar kian senang memasuki kepala kami angin di luar gemar menbentuk badai dalam perut kami

2011

Dody Kristianto, lahir di Surabaya, 3 April 1986. Lulusan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya. Giat di Komunitas Rabo Sore (KRS) dan Redaktur Puisi SARBI. Buku kumpulan puisi terbarunya "LAGU KELAM REMBULAN"


Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post