Telah Terbit !

Yang sederhana, yang berserakan, yang tak diperhitungkan dan bertebaran di mana-mana, tetaplah harus dirayakan. Spesial SARBI edisi 8 di akhir tahun!

Segera Dapatkan !

Buku Puisi Karya KOMANG IRA PUSPITANINGSIH.

Toko Buku SARBI

Kumpulan buku bekas pilihan yang asik untuk dibaca dan dikoleksi dengan harga bersahabat.

Telah Terbit!

BULETIN TIKAR EDISI 02/2013 Diterbitkan oleh Komunitas Tikar Merah (KTM)

Dapatkan!

Buku Terbaru SARBIKITA Publishing Karya Heru Susanto

Blogroll

Wednesday, June 1, 2016

Pembebasan Sastrawan Sosialita Lewat Pintu Belakang

Entah empunya karya dianggap mati atau tidak, bagi saya tidak ada masalah. Malah, kadang-kadang saya berpikir bagaimana melepaskan diri dari karya sastra dan author- nya sekaligus.

Jika Barthes dengan baik hati berpikir keras untuk membuatkan kita tutorial bagaimana memandang sebuah karya sastra, maka izinkanlah saya sebagai manusia (sama dengan Barthes) menawarkan tutorial serupa: matinya sebuah karya.

Nindhi, hmm, ya, semoga engkau sabar menunggu mesin waktu saya jadi untuk kau kendarai menuju nostalgia sastra Indonesia tempo dulu. Yang bahkan, kata “sosialita” pun tidak pernah ada.

Tutorial Barthes tentang The Dead of The Author saya katakan hanyalah sebuah produk. Sebuah karya juga . Alih-alih saya katakan sebuah teori. Itu adalah “penjara” bagi orang-orang yang sepakat. Untuk itu, saya sarankan Anda tidak sepakat dengan tutorial saya.

Bicara masalah “penjara” dalam konteks ini bisa luas dan panjang. Untuk memperpendek, saya ambil contoh idelisme mahasiswa.

Beberapa minggu lalu saya diundang berbicara dalam diskusi kecil di Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Unesa. Mahasiswanya kritis-kritis. Salah satu mahasiswa berargumen mengenai pendidikan. Dengan segala macam teori para ahli, hapal nama dan bukunya, pula. Saya kagum, di samping itu juga miris. Tapi saya maklum. Itu tahap mereka. Saya apresiasi dengan tepuk tangan diikuti oleh peserta lainnya juga.

Menangkap Pola
Saya katakan kepada mahasiswa tersebut, “apa yang kamu peroleh dari tutorial pakar-pakar pendidikan itu?” Mahasiswa tersebut menjawab, “saya jadi tahu ternyata seperti itu model pendidikan yang ideal.” Saya menimpali lagi, “tidakkah kamu berpikir bagaimana para pakar tersebut berpikir?”.

Saya yakin Anda paham maksud saya. Saya tidak ingin berhenti kepada produk-produk pikiran. Baik itu karya sastra ataupun karya-karya tulis lain. Namun, alangkah senangnya ketika kita memahami apa yang dipikirkan para produsen karya tersebut.

Memahami pola pikir seseorang kenyataanya memang tidak pernah benar-benar diajarkan di dunia pendidikan kita. Saya bahkan sempat berpikir, ini adalah pembodohan massal. Pemenjaraan global atas kebebasan berpikir yang dilegitimasi oleh gelar-gelar akademis.

Bahkan, lebih ekstrim lagi, adalah definisi-definisi yang menjadi batas dan penjara. Hingga saat ini, definisi kata cinta yang menurut saya masih bertahan atas pembatasan-pembatasan pengertian yang saklek. Namun, saya tidak menyangkal bahwa batas itu juga perlu. Atau saya akan menjadi bisu dan tak bisa berkomunikasi jika tanpa batas.

Pembebasan Sastrawan Sosialita
Kasihan sekali para sastrawan sosialita yang diklaim oleh Anindhita S. Thayf. Jika saya boleh menerjemahkan, sosialita dalam konteks tersebut adalah oportunis. Sehingga menjadi sastrawan oportunis. (emotikon tutup mata)

Ini adalah poin yang saya permasalahkan. Saya sepakat dengan mas Pringadi Abdi Surya dalam tulisannya yang berjudul Tak Ada Salahnya Menjadi Sastrawan Sosialita yang menjadi headline kompasiana 30/5/16. Bahwa terdapat salah pemahaman oleh Anindhita dalam memandang tutorial Barthes tentang Author is Dead.

Saya pikir, Nindhi masih belum bisa move on dari belenggu pemikiran Barthes. Parahnya, kurang tepat pula memahaminya. Jika maksud Barthes bagaimana cara kita memandang sastra secara objektif, salah satunya dengan menuilskan ulang karya tersebut, maka tidak bagi Nindhi. Bahwa ia menautkan karya sastra dengan pemiliknya secara leteris/mentah. Bahwa ia menganggap sastra dan pengarangnya adalah persaingan eksistensi. Tentu saja itu sangat naif dan paradoksal. Kenapa harus diciptakan jika nanti menjadi musuh.

“Dalam kondisi kesusastraan Indonesia mutakhir, ujaran Roland Barthes dalam The Death of the Author yang berbunyi, "Penulis mati setelah karya tercipta", seolah tidak berlaku lagi. Penulis, dalam hal ini sastrawan, ternyata menolak mati.” (Thayf dalam Republika, 8/5/16)

Oke, karena terlanjur terjustifikasi bahwa sastrawan yang aktif di dunia kesastraan zaman sekarang sebagai sosialita oleh mbak Nindhi, maka izinkan saya menjadi “Rambo” untuk membebaskan mereka semuanya.
Jika penggiringan para sastrawa menuju “sosialita” melalu pintu-pintu depan atas nama akademisi dunia, tepatnya buah pikirnya, maka saya akan membebaskan dari pintu belakang saja. Yang bahkan tidak pernah diakui sebagai pintu.

Bahwa sosialita atau bukan adalah hal yang tidak penting. Sebab sebuah karya ataupun pengarangnya akan mendapati kelahiran dan kematiaannya sendiri. Jika Pramudya Ananta Toer mengatakan menulis adalah bekerja untuk keabadian, maka sejujurnya segala pengetahuan telah disediakan dan walaupun tidak dituliskan akan tetap abadi. Manusia hanya gede rasa saja.

Jikapun kita mematikan sang pengarang, semata-mata itu untuk mereduksi subjektivitas manusia (mahluk paling subjektif) atas apresiasi atau kritik sastra yang dilakukannya.

Salam.

Penulis: Faisal L. Hakim

Saturday, April 23, 2016

010 dan Pacar-pacarnya

Sumber Gambar: www.pulsk.com
Oleh: Faisal L. Hakim

010
Sungguh manjur anjuran teman saya waktu itu, “Jika kamu ingin dapat perempuan cantik kayak artis di teve-teve, gampang, jadilah aparat” katanya waktu itu. Ya, kira-kira lima tahun lalu ketika saya masih duduk di bangku SMA kelas dua.

Sungkan juga sebenarnya saya bercerita, tetapi mungkin, cerita saya akan menjadi inspirasi bagimu yang kesulitan memperistri perempuan sesuai dengan harapanmu, tentunya jika masih punya kesempatan untuk seleksi dan lolos menjadi aparat negara.

Saya tidak ngganteng-ngganteng amat. Buktinya, waktu SD sampai lulus SMA saya tidak pernah punya gandengan seperti teman-teman. Saya selalu sulit mendapatkan perempuan idaman saya. Saya jones menahun.  Sudah hampir putus asa.

Setelah lulus SMA saya teringat ucapan teman saya tadi. Saya pikir-pikir dulu. Dan akhirnya sepakat dengan sarannya. Bukan tanpa alasan, saya riset dahulu. Melihat tetangga kanan-kiri yang memiliki suami aparat. Meski rata-rata sudah usia kepala tiga, mereka cantik-cantik.

“Bagaimana, terbukti, kan, ucapanku?” ujar temanku beberapa hari setelah saya meminang bunga desa.
“Ya, berkat kau, saya rela mengingkari janji saya sendiri untuk tidak menjadi aparat.”

Resti dan Vina
Hari-hariku saat ini penuh dengan buaian. Mulai dari teman-teman kampus hingga teman-teman di Karang Taruna kampungku, memujiku. Betapa tidak, aku kini memiliki kekasih berpangkat dari pulau sebarang.

Ia masih seminggu di sini. Buah dari usahaku mondar-mandir di depan kamp pelatihan. Nyangkut juga parasku kepadanya. Tak rugi aku merawat diri. Bersaing dengan gadis-gadis desa lain, termasuk temanku sendiri, Vina. Betapa bahagianya bersanding dengan seorang aparat.

Tidak mudah untuk mendapatkannya. Aku harus bersaing dengan Vina, teman karibku. Sempat minder pula. Vina cantik. Tak kalah denganku. Ia seorang biduan. Suaranya bagus. Dan hanya rela dijamah oleh cowok-cowok militer. Vina kenal dia dari bbm. Entah bagaimana.

Aku berkorban dari materi hingga perasaan untuk merenggut perhatiannya. Bukan tanpa alasan, bayangkan, betapa romantisnya ketika saya mengantar suami di bandara ketika ia mau berangkat perang. Atau stasiun. Atau terminal. Lalu ia mencium keningku. Dan terabadikan di foto. Romantisme itu, begitu indah. Layaknya film-film Perang Dunia II. Atau novel-novel latar kolonial.

Pun akhirnya persahabatan kami merenggang. Vina yang menjadi teman sejak kecil terpaksa kusakiti. Salahkanlah cinta, salahkanlah takdir, Vin!

Aku coba untuk meminta maaf kepada Vina setiap hari, bagaimanapun ia sahabatku, namun ia selalu menghindar, “maaf res, aku terburu-buru,” katanya waktu terakhir kami berpas-pasan di kampus.

Kucoba kirim pesan bbm kepadanya, “Vin, maafin aku”, di-R pun tidak. Ternyata di-D lebih menyakitkan.

Tak kusangka, sakitnya tidak berhenti di situ. Pada akhirnya Vina menunjukkan betapa ia juga menyandang status yang sama denganku: pacarnya. Dengan durasi yang sama pula: hampir sembilan bulan. 

010
Jauh dari isteri adalah pengalaman baru bagi saya. Betapa cantiknya ia hingga saya rela menjadi seorang abdi negara untuk mendapatkannya. Dan, betapa cinta kami terestui semesta alam tatkala ia rela meninggalkan pacarnya yang sudah tiga tahun bersamanya. Jodoh memang tidak ke mana.

Namun setelah di tempat baru ini, betapa pula saya sangat butuh sentuhan nyata seorang perempuan. Bukan hanya suara, atau ketikan pesan pendek isteri saya yang indah. Lagi pula, hati saya hanya untuknya. Bukan yang lain.

Saya baru rasakan betapa mudahnya mendapatkan perempuan cantik. Bahkan, tidak perlu mencari. Nyata saja, siapa juga yang bodoh dan tega membiarkan orang terjamin masa depannya seperti saya, kesepian di tanah rantau.

Buktinya, seminggu setelah kedatangan saya di pulau ini sudah ada yang menawarkan cinta kepada saya. Tidak tanggung-tanggung, dua mahasiswi cantik di salah satu universitas swasta di sini. Ya, saya pantas mendapatkannya. Kalau bisa dua, kenapa harus satu. Toh, keduanya tak akan mendapatkan hati saya yang sudah dimiliki Diana.

Diana
Setiap detik saya tak habis-habisnya merinduinya. Seorang yang telah berhasil merebut hatiku yang sudah kujanjikan pada kekasihku dulu.

Memang, selain harapan orang tua, menjadi isteri seorang berpangkat adalah keinginan hati kecilku. Betapa bahagiannya saya memilikinya. Tak peduli betapa sakitnya ia yang kutinggalkan. Sudah menjadi wajar dan lumrah di mana ada kebahagiaan harus ada yang dikorbankan. Ya menyakitinya, ya menerima sumpah serapahnya. Saya memang pantas mendapatkannya.

Namun, yang harus saya khawatirkan untuk ke depannya, adalah merelakan suami saya pergi menjalankan tugas di luar pulau. Saya sendiri, di rumah seperti saat ini, sudah saya pikir sebelumnya. Resiko menjadi isterinya. Hatta, terjadi juga kecemasan itu. Belum lagi, bicara kesetiaan, saya tidak yakin bahwa kesetiaan sejujur kesan saat kami berpisah dengan lambat. Antara dermaga dan samudra, waktu itu.

Aku
Jika kau menyangkal bahwa sakit hati tidak sesakit sakit gigi, maka aku rela sakit gigi seumur hidup daripada menanggung luka sedemikian dalam. Tanpa bisa dioprasi. Tanpa bisa diapa-apakan lagi.

Luka adalah luka, biarpun senyummu menutupi. Namun kenyataannya, dengan senyum aku bisa menghibur diri. Bahkan, hingga menjadi bahan olok-olok anak kecil di gang-gang kampung. “Orang gila, orang gila, orang gila....” hingga mereka lelah.

Siapa sangka, melalui senyuman, aku bisa merubah benci menjadi pura-pura benci atau pura-pura cinta. Saya mengidap dendam kesumat, atau bisa kau bahasakan cinta kesumat.

Pada siapa lagi kalau bukan Diana. Perempuan sialan yang selalu kucintai. Sampai kini. “Ini bukan pura-pura,” sanggahku pada diri sendiri.

Untuk kali ini perasaanku tidak sepihak, sebagaimana ia memilih laki-laki keparat itu dan meludahiku begitu saja. Aku menduga ia telah menyesal sedemikian rupa sampai akhirnya ia mengirim pesan singkat kepadaku, “aku kangen kamu, mas.”

Duh Gusti, betapa senyumku kepada alam membuahkan hasil. Biarpun diiringi tangisan sesal dan sakit yang mendalam. Ia ternyata masih merindukanku.

“Begitu juga denganku, dek”, singkat saja.Untuk selanjutnya, kami tidak lagi berbalas pesan singkat, tapi bertukar suara, menuju ke sentuhan, menuju pelukan, dan menuju cakrawala cinta.

010
Beberapa bulan lagi saya pulang. Sudah rindu isteri. Apalagi, akhir-akhir ini kami jarang komunikasi. Entah mengapa, malas saja rasanya. Tapi begitu tugas saya di sini hampir berakhir, kerinduan itu muncul tiba-tiba. Saya membayangkan, isteri saya sekarang tambah cantik, lebih matang. Ya, saya ingin memeluknya erat.

Aku
Cinta kami tak terbantahkan. Dalam konteks ini, terkadang aku tidak percaya bahwa jodoh pasti tepat sasaran. Kupikir, jodoh adalah ketika cinta sejati seperti yang kumiliki bertemu. Meskipun tanpa upacara pernikahan.  

Sialnya, apa yang saya pahami terbantahkan juga. Alih-alih aku bahagia, aku sekarat ketika mendengar keparat itu mau tiba. Pasti Diana akan kembali kepadanya. Bukan hanya tubuhnya yang aduhai, melainkan juga hati dan jiwanya. Lalu aku, lenyap begitu saja.

Diam-diam aku pergi. Dan tak akan kembali. Daripada makan hati. Mati berkali-kali.

Diana
Jika kau bertanya bagaimana kabar saya hari ini, dengan maksud bahwa apakah saya riang dan bahagia menunggu kedatangan suami pulang dari tugas, maka saya jawab, tidak!

Sejujurnya hatiku sudah terenggut oleh kekasihku. Yaitu dia yang seharusnya tak kutinggalkan demi dirinya.

Sementara kini, beberapa hari lagi, suamiku pulang. Saya tidak tahu harus bagaimana. Terhimpit dalam puing-puing tajam tak berbelas kasihan. Saya tak pernah menyangka cinta sesakit ini. Film-film dan novel-novel tentang kerinduan seorang isteri menanti suaminya pulang perang hanyalah bulshit belaka. Setidaknya begitu yang kurasakan.

Bahkan, ketika mereka berhiperbola seperti “o Tuhan, betapa penantian adalah musibah para perindu stadium akhir” saya kira tak lebih dari dusta yang dibenar-benarkan.

010
Rumah itu terlihat. Tak asing bagi saya. Bahkan, dari jarak puluhan kilo, saya bisa mencium bau selokannya. Bau pesing tikus sudut-sudutnya. Juga bau sambal trasi yang dibuat oleh isteri saya.

Langkah saya semakin cepat. Ransel puluhan kilo di punggung semakin tidak terasa bebannya. Tinggal beberapa langkah lagi saya sampai di depan pintunya. Sudah tak sabar melihat ia membuka pintu sembari menampakkan cekung pipi yang menghiasi senyummnya.

“Assalamualaikum...” saya ketuk pintu itu. Satu dua kali tak berbalas. Sunyi. Terhnyak saya ketika ada sahutan, “waalaikumsalam..” suaranya sedikit lirih. Tepat di belakang saya.

Saya terpaku, terdiam sebantar. Tanpa menolehnya. “Bukan suara itu yang kuharapkan,” batinku. Pelan-pelan saya memutar badan. Terlihat seorang separuh baya. Tetangga sebelah pemilik toko kelonthong.

“ Mas Aryo?” Sapa perempuan itu.

“Oh, ibu, iya saya. Baru pulang dari tugas.”  Sahutku.

Perempuan itu memberi jawaban sunyi. Saya melanjutkan, “hmm... saya ketuk pintu dari tadi, tapi nggak ada jawaban. Ibu tahu isteri saya di mana?”

Ia menceritakan dari awal hingga akhir. Begitu dramatis. Diam-diam mata saya meneteskan air. Membasahi pipi kanan lalu kiri. Besok sudah tujuh harinya.




Surabaya 2016




Cerita ini hanya fiksi dan rekaan belaka. Apabila ada kesamaan peristiwa atau kejadian, itu hanya kebetulan belaka.

Keterangan: 010—gaya rambut yang bagian samping kepala memakai clipper tanpa sepatu dan bagian atas memakai sepatu ukuran satu.










Sunday, April 17, 2016

Ahok vs Teman Saya


fioneysofyan.com
Oleh: Faisal L. Hakim
Jika Anda praktisi game sepak bola, PES atau FIFA misalnya, bisa jadi Anda akan sangat bosan jika terus-terusan menang melawan komputer atau seluruh gamers lain yang pernah Anda temui. Sialnya, Anda belum juga terkalahkan. Sudah tidak ada langit di atas Anda!
Saya memiliki teman yang menurut saya sangat yang bermain game bola.  Entah saya yang bodoh, atau memang teman saya yang begitu pandai,  kenyataannya saya tak pernah mengalahkannya.
Kami hidup di sebuah desa yang masih menganggap Play Station II  (PS 2) sebagai mainan yang elit dan modern. Sebuah anggapan yang pantas pada waktu itu, mengingat desa saya yang sinyal HP baru masuk. Tahun 2004-an.
Hadirnya PS 2 mengharuskan saya move on dari PS 1. Awalnya masih tidak asik. Terlalu pelan untuk dimainkan. Saya coba balikan ke PS 1, namun sial mata saya menjadi tidak bersahabat. Gambarnya bergetar. Saya menduga karena beberapa hari sebelumnya telah bermain game bola di rental PS 2. Alhasil, saya harus beradaptasi dengan PS 2. Perubahan mutlak untuk diikuti.
Kembali ke teman saya. Ia adalah ikon manusia game. Rental PS yang hanya beberapa di desa dikuasainya. Bukan hanya game bola, tetapi semua game yang tersedia ia jagonya. Terpaksa saya berurusan dengannya karena kehlian bermain game bola saya selalu tumbang olehnya.
Ia adalah sosok yang, maaf, tidak kaya. Di rumahnya, hanya ada teve 14 in yang bahkan tidak bisa untuk dicolokin PS. Artinya ia menjadi jago PS bukan karena punya PS sendiri di rumah. Lantas, bagaimana ia menjadi jago PS itulah pertanyaannya.
Benar saja ia menjadi jagoan game. Setelah saya telusuri dan perhatikan, ia memiliki kedekatan emosional dengan yang punya rental. Tidak sampai di situ saja, ia bahkan memiliki kedekatan dengan para pelanggan rental. Semua rental PS yang ada.
Mudah saja baginya untuk melakukan pendekatan emosional. Dengan bakatnya itu, ia menawarkan jasa untuk memainkan game dari petualangan hingga game jenis olah raga, seperti balapan dan sepak bola. Kurang lebih redaksinya begini, “Gak ngunu maine, ndelok tak maekne, ngene lho.” (Nggak gitu mainnya, sini saya mainin, gini loh).
Dan sialnya, ia selau berhasil. Ironinya, si penyewa PS riang gembira ketika game petualangan yang dimainkan teman saya berhasil melalui rintangan. Nggak sadar, tulisan timer di pojok kiri bawah layar menunjukkan  tinggal 1 menit lagi. Kasihan deh...

Ingin Mengalahkan
Selain game petualangan yang berjenis one player, game-game arcade yang two player pun ia tuntaskan. Sebagai remaja muda yang gemar bermain game, kemampuannya yang luar biasa itu membuat saya sangat bernafsu untuk menumbangkannya. Demi kepentingan saya, saya rela mengeluarkan uang untuk menyewa PS. Dan mengajaknya bertanding. Game bola, kesukaan saya.
Pendek kata saya selalu kalah. Padahal tidak kurang saya berlatih. Dari versus komputer yang paling sulit sampai gamers lain selain dia, sudah saya tumbangkan. Sesekali saya mengalahkannya. Tapi anehnya,  selalu saja saya berpikir bahwa saya menang karena ia bosan lantas mengalah. Atau mungkin kasihan kepada saya.
Orang satu ini membuat saya gerah sepanjang hari. Hingga saat ini saya masih belum bisa puas mengalahkannya secara mutlak.

Teman Saya vs Ahok
Saya menilai antara teman saya dan Ahok tak jauh berbeda. Sama-sama pandai dan berbakat dalam permainan. Bedanya, teman saya bermain PS dan Ahok bermain politik. Namun, polanya juga nggak jauh berbeda, kok.
Jika lawan politik Ahok menghadirkan figur-figur sukses dari daerah lain. Berharap figur-figur tersebut bisa meruntuhkan populeritas Ahok di Jakarta, maka, menurut pengalaman saya nih, itu akan memakan tenaga ekstra.
Maksud saya, semakin pihak lain ingin melawan Ahok dalam perebutan kursi Gubernur, dengan cara menghadirkan jago-jago daerah lain yang lagi naik daun, maka harusnya mudah saja bagi Ahok untuk memenangkannya. Sebagaimana teman saya membuat jengkel saya hingga saat ini.
Saya menilai upaya peruntuhan kepopuleran Ahok oleh lawan-lawannya dirasuki oleh nafsu mengalahkan yang sangat luar biasa. Sebagaimana pengalaman saya ingin menumbangkan teman saya, yang walaupun saya menang tetap tidak puas.
Sayangnya, pemilihan Gubernur kan bukan untuk ajang coba-coba. Berbeda dengan pertandingan PS yang bisa diulang-ulang hingga mata bengkak. Bisa jadi senjata pembukaan kasus RS Sumber Waras dan reklamasi teluk Jakarta menjadi pilihan brilian. Namun tunggu, saya pikir tidak semudah itu.
Komunikasi politik Ahok juga keren. Dengan gaya komunikasi pembuktian terbalik ala Moh. Hatta sebagaimana diungkapkan Effendi Gazhali, Dosen UI di laman cnnindonesia.com (1/6/2015) memberinya kekuatan argumentasi lugas, meski sedikit kasar.
Tentang korupsi misalnya, Effendi menambahkan, bahwa Ahok selalu mengatakan, “kalau tidak korupsi, tunjukkan dong dari mana penghasilan, apakah sudah bayar pajak dan sebagainya”. Dan model kayak gitu disukai publik yang haus kelugasan. Selain itu, Ahok juga news maker yang baik. Apa pun yang dilakukannya, media menyorotinya.
Saya pikir itu adalah pekerjaan rumah bagi yang ingin melawan Ahok. Semakin bernafsu mengalahkan Ahok, semakin Ahok di atas angin. Jangan berharap bahwa Ahok akan bosan dan mengalah seperti kasus kemenangan pertandingan bola saya versus teman saya.
Oke, sampai sini saya akan jujur kepada Anda bahwa saya tidak memihak siapa pun. Saya juga punya tips buat si Ahok, “Tetaplah tenang dan yakinlah bahwa kemampuan Anda tetap di atas rata-rata. Semakin Anda khawatir akan kekalahan, semakin terbuka peluang Anda untuk kalah beneran. Anda sudah keren. Ini serius.”
Dalam permasalahan ini saya sekali lagi ingin jujur kepada Anda bahwa saya ingin mem­-versus-kan Ahok dengan teman saya. Meski dalam konteks yang berbeda, setidaknya saya pahami politik sebagai permainan juga, yang pada akhirnya tamat ketika misinya selesai. Alih-alih sampai kepada kesejahteraan rakyat, frasa “misi selesai” berhenti kepada duduknya pemain di kursi kekuasaan.
Ya, saya menyimpan dendam kepada teman saya. Dendam itu kini menjelma sebagai kebanggaan karena memiliki teman jago bermain game. Dan, kebanggaan itu memotivasi saya untuk menyaksikan dua sosok hebat bertemu  dipermainan sesungguhnnya.
Saya hanya penasaran. Salam.








Sunday, April 10, 2016

Cerpen: Roti Terakhir

www.tumblr.com
Oleh: Faisal Hakim

Alih-alih di garda depan, hasrat saya untuk mati bela negara tak tersampaikan. Saya di garda paling belakang. Bukannya pengecut atau pecundang, melainkan garis kehidupan saya bukan untuk tombak pertempuran.

Tak lama setelah negara saya merayakan kemenangan, saya tiba-tiba dihinggapi penyesalan: tidak bisa mati bersama kawan-kawan di medan perang, juga bersama Sukinah, istri saya. Saya dalam kedukaan. Kesunyian. Dan penjajahan. Saya terperangkap dalam tubuh dengan garis kenyataan yang tak sesuai dengan harapan. Katanya, itu adalah takdir Tuhan.

Belum lama ini nama saya sering disebut-sebut oleh banyak orang. Saya heran.  Manusia renta dengan latar belakang pembuat roti bisa menjadi topik pembicaraan. Saya teringat propaganda perang. Jangan-jangan saya diwacanakan yang tidak-tidak. Saya paham betul bagaimana propaganda menjadi mitos yang bisa merasuk secara radikal ke benak halayak! Seharusnya mereka tidak perlu repot-repot, saya akan mengaku sebagai pecundang. Dengan senang hati.

Baru saya ketahui kedatangan wartawan beberapa hari lalu bukan untuk mengupas kepecundangan saya. Tak lama, judul berita di salah satu koran ternama di negera saya adalah “Semangat Roti Perang Rasminto”. Saya kaget bukan kepalang. Bagaimana mungkin seorang tukang roti menjadi perbincangan. Di koran?

Suatu hari saya diminta membuat roti perang oleh sepasang suami-istri kaya raya. Manusia terhormat. Perusahaannya di mana-mana. Keduanya kaya keturunan. Saya menolak. Mereka membujuk. Katanya, mereka akan mengadakan pesta besar-besaran. Merayakan perusahan barunya. Pesta itu akan dihadiri oleh: dari rakyat biasa hingga pejabat-pejabat negara, termasuk juga mengundang Pemimpin negara.

Saya tetap menolak. Alasannya, selain pensiun, resep yang saya gunakan tidak ada di toko roti manapun. Bukan berupa bahan-bahan yang biasa: soda, telur, tepung, dan lain-lain. Resep yang saya gunakan adalah semangat. Dalam kemurnian jiwa. Letaknya di luar kesadaran. Syukur akan lebih nikmat jika saya bisa campur beberapa tetes air mata. Dan itu sulit dilakukan.

Saya katakan kepada mereka, “Jangan hanya karena saya pembuat roti perang, atau saya sedang menjadi buah bibir di media massa, lantas bisa dijadikan roti saya sebagai bahan prestisius di depan para pejabat!”

“Meskipun kami bisa membantumu pergi berperang di garda depan?” jawab Suami dari wanita cantik di sebelahnya.

“Hmm.. Ya, baiklah.”  Saya memang mendambakan mati di medan perang.

Seminggu kemudian, sepuluh ribu satu roti telah  saya sediakan. Seorang pesuruh mengambil di gubuk saya. Saya katakan kepadanya, roti terakhir yang saya buat adalah yang paling nikmat. Tanpa sengaja air mata saya menetes saat mencetaknya karena ingat Sukinah. Dan itu pertanda terakhir saya membuat roti.

***
Di pesta pembukaan perusahaan. Suami dari wanita cantik itu berpidato di depan para undangan. Ia memperkenalkan bagaimana perusahaan barunya. Istri dari laki-laki yang berpidato itu mendampingi. Anggun sekali, sedikit ambisius. Senyum manis kepada para tamu. Tajam tatapannya, sebagaimana tatapan pemburu birahi. Pun demikian dengan isi pidato suami dari wanita cantik itu, menggelegar menembus gendang telinga para hadirin.

Pembicaraan mengenai bisnis baru Pasutri itu hampir selesai. Tidak lupa, lelaki itu membicarakan tentang roti perang buatan Kakek. Konon, memakan roti perang, seperti bisa merasakan sensasi perang. Beberapa puluh tahun lalu. Ia juga menceritakan tentang pembuat roti tersebut, yang baru-baru ini menjadi perbincangan publik karena rotinya yang mengasup energi sedikit magis ke dalam tubuh.

Para tamu undangan semakin penasaran pada tumpukan roti di meja. Panjangnya seratus meter membentuk dua siku huruf U di halaman rumah megah itu.  Pemimpin tertinggi dipersilahkan menyantap roti, disertai penghormatan setinggi-tingginya. Disusul oleh para Menteri, Walikota, Gubernur, dan Bupati masing-masing daerah serta Dewan Perwakilan Rakyat dari daerah hingga pusat. Dengan Penghormatan setinggi-tingginya juga.

Tak pandang Presiden, Menteri, Gubernur, atau pejabat-pejabat yang lainnya. Mereka merasakan sensasi yang luar biasa nikmat. Ketika gigitan pertama, seolah boleh dikatakan, “jika tidak karena menyandang gelar, mereka akan keluar kebringasannya bak singa kelaparan.” Atau, seperti malam pertama setelah dipingit bertahun-tahun. Sayangnya, karena status prestisius yang menempel di pundak mereka, menghambat lidah untuk merasakan secara sempurna. Meski begitu, ada beberapa juga yang tak sungkan menyembunyikan di balik jas hitam atau kemeja batiknya untuk dilahab bersama dengan nafsu dasariahnya, nanti setelah pulang.

Giliran para pebisnis menuju meja. Tak sabar menunggu para pejabat bergeser. Lama sekali. Seperti tak rela meninggalkan meja tempat roti-roti itu disajikan. Tumpukan roti itu, nyaris mengendalikan otak sehat para pebisnis untuk mengambil alih tempat kumpulan para pejabat. Bagaimanapun, sejatinya pejabat tetap di bawah para pebisnis-pebisnis. Bedanya, para pejabat adalah wujud dari sosok yang nampak terhormat.

Tapi tidak, para pebisnis masih bisa menahan nafsu melumat roti-roti itu. Tak lama kemudian, Presiden dan para pejabat negara lainnya beralih tempat. Sudah tidak enak dipandang. Pasutri yang menjadi tuan rumah itu pun sedikit kikuk.

Setelah melahapnya, para pebisnis berkelakuan aneh. Mirip para pejabat. Namun sedikit lebih rakus. Pantas saja, mereka sedikit aman, tidak ditempeli gelar oleh rakyat. Lebih lama pula. Para undangan biasa, seperti tetangga kanan-kiri Pasutri tersebut sudah berdorong-dorongan. Oh ya, para pemuka agama ikut di dalam kumpulan yang sedang berdorong-dorongan itu.

Penasaran, para undangan yang terakhir pun  mengambil alih kumpulan para pebisnis. Mereka tak sungkan-sungkan lagi. Saling pukul. Berebut. Suasana menjadi riuh. Ricuh. Chaos. Mereka tak mau dijadikan yang terakhir. Mereka berpikir, nanti para pebisnis hanya menyisakan sedikit untuk mereka, sedangkan jumlah mereka jauh lebih banyak!

Pasutri Bingung. Juga penasaran. Sebagai tuan rumah, mereka sengaja tidak mencicipi roti perang sebelumnya. Itu kesalahan. Atau mungkin malah menjadi langkah yang benar. Setidaknya, pendapat kedua ini lebih menghargai tamu karena menyajikan makanan yang bukan sisa. Entahlah.

Pasutri heran. Bisa-bisanya pesta hancur hanya karena roti perang! Mereka juga berusaha mencicipi. Tapi sial, keduanya hanya kebagian secuil dari hasil merebut dari tangan seseorang. Meski begitu, mereka merasakan kenikmatan tiada tara. Ketagihan. Tapi sayang roti segera habis. Hanya mendapat masing-masing sebesar batu akik. Pesta berantakan. Tapi satu hal, rasa malu atau sungkan dengan kondisi demikian menjadi lebur, lenyap.

Para undangan pulang satu persatu sering habisnya roti di meja. Satu-dua orang berhasil membawa pulang roti yang di sematkannya di dalam jas, kemeja, bahkan celana dalam. Pasangan suami istri itu termenung. Duduk beradu punggung di dekat meja roti. Tak sengaja, keduanya melihat satu roti yang jatuh di kolong meja. Kebetulan, itu adalah roti paling nikmat dengan campuran tetesan air mata.

***
Tidak seperti pasangan suami istri yang romantis dan penuh pengertian. Mereka tidak mau mengalah satu sama lain.  Terjadilah ikrar, “Jika salah satu dari kita ada yang mengeluarkan suara, maka ia kalah dan harus merelakan roti itu!” tantang suami wanita cantik itu.

“Baiklah, dan satu lagi, jika kita berpindah dari tempat kita duduk, atau sedikit saja tidak memandang roti itu, maka ia akan kalah!” tambah istri laki-laki itu penuh ambisi.
“Baik, saya sepakat!” suami wanita cantik itu tak mau kalah.

***
Sudah dua hari berselang. Pasutri itu masih bersikukuh dengan pendiriannya. Tidak ada cinta. Tidak ada kemesraan. Mereka fokus terhadap roti di kolong meja. Parah, mereka tak pernah berpindah sekalipun ingin membuang kotoran dari dalam tubuhnya!

Sementara itu, roti dilihat dari jarak Pasutri itu duduk, sudah kelihatan menjamur. Tetap saja, mereka enggan merubah pendirian satu sama lain, “Itu roti perang, mana mungkin bisa menjamur atau basi hanya berselang beberapa hari.”, batin dari salah satu di antara keduanya.

Memasuki hari ketiga. Malam. Mereka berdua semakin lusuh. Kotor. Masih saling mengawasi roti di kolong meja. Membisu seperti batu. Hingga terdengar suara detik jam yang kian cepat, dan detak jantung yang kian lambat.

Dalam kesenyapan di rumah megah itu, melahirkan berbagai alasan bagi dua orang undangan di dalam pesta tempo hari. Dua orang itu, kenyataannya masih terbayang betapa nikmatnya roti yang disajikan. Timbullah pikiran bahwa Pasutri tersebut masih memiliki roti simpanan yang bisa untuk dicuri.

Kelengahan rumah Pasutri yang megah itu membuat leluasa dua pencuri memasukinya. Masuk jendela melalui pohon di sebelahnya. Di tengah aksinya, mereka berubah pikiran. Rumah sunyi senyap. Mereka mengemasi seluruh isi rumah. Aman sekali. Bahkan mereka sempat pulang dan kembali lagi membawa truk. Mereka angkut semua isi rumah. Rumah megah mejadi kosong. Tetapi roti pun yang pernah memicunya untuk mencuri tidak juga ditemukan.

“Meski isi rumah sudah kosong, mungkin di halaman depan masih ada sisa-sisa roti.” Ujar salah satu pencuri.
“Ya, encer juga pikiranmu.” Kata temannya.

Keduanya pun langsung menuju halaman rumah Pasutri. Mereka kaget. Bertemu dengan Pasutri yang duduk beradu punggung dan menoleh kearah yang sama. Kedua pencuri menahan langkah. Terpukul mundur. Setelah mereka tengok, tak ada siapa pun. Mereka tak di kejar! Mereka kembali. Mengendap sambil mengenakan topeng. Mereka mendekati Pasutri yang diam saja. Mereka merasa aneh. Merasa diuntungkan, lalu mengemasi barang-barang layak curi di halaman rumah. Namun tak menemukan roti di kolong meja itu.

Merasa aman, kedua pencuri menjadi-jadi. Istri cantik laki-laki itu menjadi incaran. Kedua pencuri menarik tubuh wanita itu dari punggung suaminya. Wanita itu tetap membatu meski tubuhnya diseret. Kepala wanita tetap menoleh ke kolong meja. Kedua pencuri kebelet birahi. Mereka fokus pada si wanita cantik.

Suami wanita cantik tetap diam seribu bahasa. Mempertahankan posisinya, “Pencuri bodoh, cepat buat bersuara mulut istriku, aku tak sabar menyantap benda di kolong meja!” katanya dalam hati. Kedua pencuri abai saja pada laki-laki penatap roti.

Wanita cantik meronta sambil mulut terkunci. Berusaha mempertahankan posisi. Kedua pencuri tak tahan. Tak jauh, sekitar dua meter di belakang suami si wanita, kedua pencuri melepaskan birahi kepada si wanita cantik. Suaminya tetap diam. Fokus kepada roti. Tak kuat menahan kelakuan pencuri, wanita cantik melenguh seperti sapi betina.

Bersama lenguhan istri, sang suami berkata, “Akhirnya mulutmu terbuka, aku menang, aku berhak atas roti itu!” Triak suami dari wanita cantik itu sambil menuju kolong meja dan cepat-cepat melumat roti ternikmat campuran air mata itu. Dia melahapnya di kolong meja!

Sementara suami dari wanita cantik itu menuju kolong meja kemudian menyantap roti usang itu, dua pencuri selesai dengan hasratnya, mereka pergi meninggalkan rumah Pasutri.

Laki-laki yang mendapatkan roti terakhir keluar dari kolong meja. Wajahnya puas, matanya berkaca-kaca. Ia menuju kepada isterinya dan berkata, “Aku menang, dan kau kalah!”

“Bodoh!” Dengan suara lirih si wanita. Tak berdaya.

***
Mendengar kabar Pasutri itu, kakek saya shok. Saya merasa bersalah sudah menceritakannya. Sekarang sudah empat puluh harinya.  




Surabaya, 2015






Tuesday, January 26, 2016

Ajimantra, Sastra Magis Sunda Banten

Jembatan Gajeboh, foto oleh Darman
Esai Sulaiman Djaya*

Secara umum, pantun yang dipahami oleh “masyarakat Sunda Kuno” di Banten berbeda dengan pengertian pantun modern, yang hanya dipahami sebagai larik berulang itu. Sebab, seperti telah ditunjukkan langsung oleh bentuk dan bunyi pantun “masyarakat Sunda Kuno” itu, pantun ternyata masih dikaitkan dengan tradisi yang sifatnya keagamaan, semisal ruwatan. Dalam tradisi masyarakat Sunda Kuno ini, pantun adalah “pembacaan mantra dan lirik prosa atau cerita pantun yang dibaca oleh juru pantun sembari memainkan kecapi parahu alias kecapi gelung atau dengan diiringi permainan angklung, di mana  yang menggunakan kecapi tersebut dua ujung kecapinya mirip sebuah gelung yang melengkung, dalam sebuah acara ruwatan untuk meminta keselamatan.”

Salah-satu komunitas adat masyarakat Sunda di Banten yang telah melahirkan pantun dalam artian tersebut, adalah masyarakat adat Sunda-Baduy atau masyarakat Kanekes. Pantun yang lahir dari masyarakat Baduy tersebut, seperti dikatakan para filolog dan sejarawan-budaya, merupakan pantun yang memiliki nilai magis dan spiritual yang lebih murni ketimbang pantun-pantun yang lahir dari masyarakat atau komunitas-komunitas adat Sunda lainnya. Selain itu, Urang Baduy sendiri menganggap cerita pantun sebagai sesuatu yang sakral dan tidak boleh dipergelarkan secara sembarangan.

Meskipun demikian, selain sisi magis dan efek mantranya, itu carita pantun Urang Baduy kadang-kadang juga digunakan untuk merujuk tempat-tempat di alam nyata, semisal Pasir Batang Lembur Tengah, Pasir Batang Lembur Hilir, atau Pasir Batang Lembur Girang. Di mata kata “batang” itu juga merupakan kiasan tubuh manusia, sehingga penyebutan itu sendiri dapat diartikan sebagai penyebutan bagian-bagian tubuh manusia, semisal Girang yang berarti kepala, Lembur Tengah yang berarti perut, dan Lembur Hilir yang berarti bagian kaki. Begitulah di jaman Kerajaan Sunda, nama-nama tempat dicocokkan dengan sebutan Girang, Hilir, atau Tengah.

Sementara itu, dari sisi lakon dan subjek carita pantun setidak-tidaknya ada sepuluh judul, di mana judul-judul lakon-lakon carita pantun itu menggunakan nama-nama satwa yang sekaligus dipinjam sebagai para pelaku lakon carita pantun itu sendiri, yang dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yang antaranya adalah: (1) Golongan Munding (Kerbau), seperti Munding Daratan, Munding Barang, Munding Mregaluncat, Munding Mregalaksana, Munding Mregasingha, Munding Singha, Munding Liman, Munding Sari, dan Munding Wangi. (2) Golongan Kuda, seperti Kuda Gandar, Kuda Jayengsari, Kuda Kancana, dan Kuda Wangi. (3) Golongan Gajah, seperti Gajah Lumantung dan Gajah Haruman. (4) Golongan Kidang atau Rusa, seperti Kidang Panadri dan Kidang Pananjung. (4) Golongan Singa, seperti Singa Tajiwangsa dan Singa Kombala, selain ada juga nama-nama lakon lainnya seperti Badak Sangara, Galudra Kancana, Paksi Keling, Naga Menang, dan Naga Panggiling.

Juga, ada lakon-lakon dengan tokoh-tokoh perempuan, seperti Lenggang Manik, Lenggang Haruman, Naga Lumenggang Kusumah, dan Lenggang Wangi. Selain dengan menggunakan alat instrument kecapi, carita pantun atau pun pantun mantra juga dibacakan oleh juru pantun dengan menggunakan angklung, seperti dalam sebuah upacara penghormatan kepada padi atau Dewi Sri Pohaci, semisal pantun Langga Sari Tua. Sedangkan dua carita pantun yang dianggap sakral adalah carita pantun Lutung Kasarung dan carita pantun Ciung Wanara, di mana Urang Baduy menganggap dua carita pantun tersebut berkaitan dengan ilmu-ilmu khusus, dan mereka lebih mengenal carita pantun Lutung Kasarung tersebut sebagai Lakon Paksikeling, semisal yang berbunyi berikut:

Japun! Awaking kiwari // Deuk make pasang pasaduan, // Pasaduan guru. Ahung! // Pak sampun! // Majar ahung tujuh balen // Ahung deui, ahung deui! // Ahung manglunga, // Ahung manglingeu, // Ahung mangdegdeg, // Ahung manglindu. // Paksi kangkayang // Basaning angka, // Hayam beureum putih kukang, // Anjing belang sina tawe, // Mapay paksi ka hilirkeun, // Rempuh bayu ti galunggung, // Mapag bala ti Jasinga, // Sasakala Indra Baya. // Ambuing sira mangumbang, // Bapaing terus mangambung, // Pangjungjungkeun, // Panglawungkeun // Sora awaking. // Ka luhur ka nu di manggung, // Ka nu wenang mucuk ngibun, // Ka atina sukma langlaung, // Gurit leungit cakra mega, // Wekas tuang ka hineban, // Korejat milepas manten. // Reuwas teuing ku impian, // Ngimpi ngadu picis di langit, // Totolan di awang-awang, // Ditujah tuang tilepan, // Diwaca henteu kawaca, // Taya panca aksarana. // Tujahkeun // Ka lautna, // Ka harusna, // Ka sagara leuleuy, // Ka sagara ireng, // Ka sagara lolopangan.

Selain Lakon Paksikeling tersebut, masyarakat Baduy juga memiliki khasanah yang sifatnya prosaik atau cerita naratif, semisal Hikayat Dewa Kaladri berikut:  

“Syahdan, sebagaimana telah diceritakan banyak orang di Tatar Banten dan Kerajaan Sunda yang mulanya beribukota di Banten Girang dan kemudian pindah ke Pakuan, sejak Sanghyang sampai ribuan tahun ke belakang, waktu itu ada seorang Sanghyang yang bernama Sanghyang Sakti yang mempunyai seorang anak laki-laki. Namun rupa anak ini sangat jelek alias buruk sekali, badannya hitam dan perutnya buncit. Oleh ayahnya anak ini diturukan ke bumi, disuruh bertapa dan mengelilingi dunia. Demikianlah si anak buncit itu turun ke bumi. Kala itu ia sampai pusat kota Cipaitan, yaitu desa Cihandam yang telah lama ditinggalkan, dan ia terus bertapa di Gunung Kujang. Saat ia sedang bertapa, ia pun ditemukan oleh Daleum Sangkan sedang telentang bertapa di atas sebuah batu yang besar. Persis ketika itulah, oleh Daleum Sangkan ia dibawa pulang dan diambil sebagai anak, serta diurus dengan baik sekali dan disayangi sampai besar kira-kira teguh samping (berumur delapan atau sepuluh tahun, menurut perhitungan sekarang).

Apakah yang menjadi menjadi kesukaan anak buncit ini? Tak lain memasang bubu setiap hari. Dan lama-kelamaan istri Daleum Sangkan membenci anak buncit ini karena parasnya yang jelek hitam, perutnya makin lama makin buncit dan matanya besar membelalak. Hanya saja Nyi Sangkan tidak berani mengusirnya karena takut terhadap Daleum Sangkan. Pada suatu hari, waktu itu, Daleum Sangkan mengajak si anak buncit untuk memasang bubu di sungai, tetapi tidak diperkenankan memasangnya di tempat yang baik dan dalam, ia harus memasangnya di tempat yang jelek dan diangkat saja, agar tidak mendapat ikannya. Ketika itu Nyi Sangkan berkata: “Kalau tempat yang baik adalah untukku memasang bubu, jangan oleh kamu”. Lalu mereka masing-masing menempatkan bubunya.

Diceritakan, si anak buncit itu memasang bubunya di tempat-tempat yang telah ditunjukan oleh Nyi Sangkan, yaitu di tempat-tempat yang jelek dengan arus airnya yang deras. Sedangkan Nyi Sangkan menempatkannya di tempat-tempat yang baik dengan airnya yang tenang. Waktu keesokan harinya, saat mereka sama-sama melihat, bubunya Nyi Sangkan tidak berisi ikan sama sekali, meski dipasang di tempat yang baik. Sementara ketika bubunya si buncit diangkat, ternyata banyak ikan di dalamnya, bahkan ada seekor ikan yang besar yang disebut ikan lubang, lalu ikannya dibawalah pulang. Dengan kejadian itu, Nyi Sangkan bertambah benci terhadap anak buncit itu. Ikan yang besar tadi, tidaklah diberikan kepada Nyi Sangkan oleh anak itu, bahkan ia pelihara dan dismpan dalam tong yang terbuat dari batang pohon kawung. Nyi Sangkan menjadi sangat marah, lalu memaki-maki, tetapi si anak buncit ini tidaklah menghiraukannya.

Tak lama kemudian, Nyi Sangkan mengajak menanam talas di humanya. Tetapi seperti biasa saja, yaitu Nyi Sangkan menanam talasnya di tempat yang tanahnya bagus, sedangkan si buncit disuruh menanamnya ditempat yang jelek yang tanahnya merah bercampur pasir. Lalu mereka menanam talas. Nyi Sangkan berkata kepada anak buncit: “Wah, kamu menanam talas juga tak akan ada umbinya, sebab tanahnya jelek, berwarna merah dan bercampur pasir pula, walau pun nantinya ada juga berumbi, paling besar juga hanya sebesar kelentitku”. “Kalau tanamanku sudah pasti bagusnya dan banyak umbinya, sebab tanahnya bagus.” Anak buncit tidak menjawab apa-apa, hanya dalam hatinya ia berkata, barangkali saja nanti umbinya banyak. Setelah lama, di saat talas mereka sudah masanya berumbi, mereka pun menengok dan mencabut talas mereka masing-masing.saat itulah, ternyata, tanaman talas Nyi Sangkan tidak ada umbinya. Sementara ketika si anak buncit mencabut talasnya, umbinya besar sekali, meski hanya sebuah, di mana besar umbinya itu sebesar tempayan tempat beras. Si anak buncit itu pun berbicara kepada Nyi Sangkan sambil memperlihatkan talasnya dengan diayun-ayunkan: “Ini lihatlah, Uwa, tanaman talasku ada umbinya sampai sebesar burut Uwa.” Setelah itu, dengan mendadak terbukti terkena oleh sapaan, alat kelamin Nyi Sangkan menjadi burut sebesar talas si anak buncit, sama dengan tempayan beras. Nyi Sangkan menjadi kalang kabut, hatinya makin marah kepada si anak buncit itu, yang karena ia terkena sapaannya si anak buncit itu menjadi burut alat kelaminnya, hingga ia susah berjalan, hampir-hampir tak dapat pulang ke rumah.

Sejak saat itu, Nyi Sangkan terus menangis, dan tentu saja, makin lama makin membenci anak buncit itu. Karena Nyi Sangkan merasa malu, maka ia pun bermaksud untuk membunuh si buncit, hanya saja, lagi-lagi, ia merasa takut oleh suaminya, Daleum Sangkan. Pada suatu waktu, di sebuah hari yang mungkin biasa, ketika si buncit sedang bepergian, ketika itulah ikan lubang kesayangan si buncit dicuri oleh Nyi Sangkan dari tong kawung, dibawa ke rumah Nyi Sangkan dan dimasak layaknya ikan, sementara kepala ikan tersebut tidak dimasaknya, melainkan dimasukkan ke dalam mangkuk dan disimpan di rak piring dengan ditutup oleh periuk. Tidak lama kemudian si buncit datang sambil membawa makanan ikan, terus ia mencari ikannya untuk diberi makan. Ketika dilihat ternyata ikannya sudah tidak ada lagi, si buncit terus menanyakan, dan berkata: “Ua, ikan saya di mana gerangan ikan kesayanganku? Jika ia tidak ada di tempatnya, sudah tentu dicuri olehmu.”

Namun, ketika si buncit tengah berbicara itu, ayam jantan tiba-tiba berkokok: “Kiplip-kiplip (suara tiruan tepukan sayap, sebelum ayam berkokok) Kongkorongok (suara kokok ayam) // Kepala lubang disembuyikan, // ditutup oleh periuk, // ditempatkan di dalam mangkuk, // disimpan di rak piring, // cepat-cepat, // segera harus dicari, // jangan percaya kepada Nyi Sangkan, // sebab dia buruk hati, // dan ia bermaksud membunuhmu.”

Setelah mendengar kokok ayam yang demikian bunyinya tersebut, maka si buncit segera mencarinya ke rak piring. Dan ketika ditengoknya, ternyata kepala lubang itu memang ada seperti dikatakan si ayam jalu yang cerdas itu, persis ditutup oleh periuk. Sejak itu si buncit tidak bicara lagi, dan ia terus melarikan diri karena marahnya dan benci yang teramat sangat kepada Nyi Sangkan. Ia pun langsung pergi ke Negara Pakuan Barat dan bertempat tinggal di sana sebagai pertapa di pegunungannya, di sekitar Gunung Halimun dan Gunung Salak.”

Dengan dua contoh tersebut, masyarakat Sunda Banten kuno telah akrab dengan apa yang saat ini disebut sebagai seni dan budaya kesusastraan yang berbasis pada bahasa dan kearifan hidup sehari-hari, yang untuk sebagiannya, kesusastraan masyarakat Sunda Banten masa silam itu bersifat sakral, dan sebagian yang lainnya mendedahkan kearifan dengan menggunakan tuturan dan cerita kiasan.

Kosmik Sunda

Dalam lanskap wawasan keagamaan yang tercermin dalam kesusastraan lisan masyarakat Sunda Kuno, ada banyak khasanah mantra yang dihasilkan atau diproduksi masyarakat Sunda Kuno, yang dalam hal ini masyarakat Sunda Kuno di Banten, misalnya. Sebagai contoh, selain ada sejumlah mantra yang masih menggunakan Bahasa Sunda yang belum terpengaruh Bahasa Lain, semisal Bahasa Arab dan Jawa (Dialek Banten), kita mengenal juga mantra yang telah terakulturasi dengan Bahasa Jawa dan Bahasa Arab, seperti Jampe Nyimpen Beas:

Mangga Nyi Pohaci // Nyi Mas Alame Nyi Mas Mulane // Geura ngalih ka gedong manik ratna inten // Abdi ngiringan // Ashadu sahadat panata, panetep gama // Iku kang jumeneng Lohelapi // Kang ana teleking ati // Kang ana lojering Allah // Kang ana madep maring Allah // Iku wujud salamet ing dunya // Salamet ing akherat // Ashadu Anla Ilaha Illallah // Wa Ashadu Anna Muhammad ar Rasulullah // Abdi seja babakti ka nu seda sakti, agung tapa // Nyanggakeun sangu putih sapulukan // Kukus kuning purba herang // Tuduh kang saseda tuhu // Datang ka sang seda herang // Tepi ka kang seda sakti // Nu sakti neda kasakten // Neda deugdeugan tanjeuran.

Dunia mantra rupa-rupanya merupakan sebuah kepercayaan tentang adanya figur-figur gaib dan imajiner yang sakti dan maha kuasa, semisal para dewa dan arwah-arwah leluhur yang di dalamnya termasuk para raja dan dewi-dewi dalam kepercayaan masyarakat Sunda Kuno, yang dalam hal ini merupakan ciri utama atau ciri pertama bentuk dan khasanah mantra. Namun di sini ada yang menarik, yaitu adanya figur-figur Islam ketika masyarakat Sunda itu sendiri telah bersentuhan dan berakulturasi dengan agama dan kepercayaan Islam, semisal tercermin dalam Jampe Nyimpen Beas yang telah dicontohkan itu.

Ciri kedua adalah nada sugestif sebuah mantra, di mana dalam teks mantra tersebut terdapat kalimat atau frasa yang memposisikan si pengucap mantra atau si juru mantra dalam posisi yang lebih kuat, yang seakan-akan berhadapan dengan pihak yang lemah, semisal tercermin dalam bunyi: “Awaking kasep sorangan // Malik welas karunya ka aing // Da aing ratu asihan ti buana panca tengah // Curuk aing curuk angkuh // Bisa ngangkuh putra ratu // Mangka reret soreang // Soreang ka badan awaking.

Demikianlah selanjutnya, atau ciri ketiga, kuatnya nada repetitif dan bunyi asosiatif yang sangat kuat, yang menimbulkan efek imperatif, desakan, atau pun perintah, di mana pada saat bersamaan merupakan himbauan yang sekaligus sebuah permohonan yang mendedahkan persuasi yang juga sama-sama kuat, semisal bunyi: “Mangka langgeng mangka tetep // Mangka hurip kajayaan // Nu kosong pangeusiankeun // Nu celong pangminuhankeun // Balik ka weweg sumpeg // Balik ka mandala pageuh // Panginditkeun pangnyingkirkeun // Pangnyampurnakeun badan awaking.

Tak diragukan lagi, efek repetitif dan imperatif itulah yang juga menimbulkan efek magis dan menyihir, di mana rima-rima pantun mantra tersebut mempunyai beberapa fungsi, yaitu fungsi estetik, fungsi membangun nada, fungsi magis, dan fungsi pengingat bagi mereka yang membacakannya, yang kita sebut saja hal-hal ini sebagai ciri keempat bentuk dan khasanah mantra.  

Selain itu semua, seperti telah dicontohkan dalam Jampe Nyimpen Beas, ada pantun dan mantra-mantra tertentu yang telah menggunakan lintas kode bahasa atau telah berakulturasi dengan bukan Bahasa Sunda, semisal mantra-mantra yang bercampur dengan Bahasa Jawa (Dialek Banten) dan Bahasa Arab dalam mantra-mantra Sunda, semisal ada pula mantra-mantra Bahasa Jawa Banten yang menyisipkan kata, kalimat, atau pun frase Bahasa Sunda, sebagai contoh kebalikannya. Mantra-mantra yang telah menggunakan lintas kode bahasa ini antra lain adalah Kidung Ngambah Alas, Kidung Rampak Baya, Asihan Kinasihan, dan tentu saja Jampe Nyimpen Beas yang telah disebutkan di awal tulisan ini.

Sementara itu, secara isi atau materi dan fungsi pantun atau mantra masyarakat Sunda Kuno itu sendiri dapatlah dikategorikan ke dalam beberapa bentuk dan golongan, semisal mantra yang dibacakan dalam ruwatan untuk menolak bala atau penyakit dan meminta keselamatan, mantra untuk pengobatan dan untuk meminta keselamatan tanaman, semisal tanaman padi, mantra asihan (pelet), dan yang terakhir adalah mantra untuk mencelakakan yang dikenal juga dengan nama teluh atau santet. Dengan demikian, kita dapat menyebutkan enam fungsi mantra, yaitu jangjawokan, asihan (pelet), jampe, ajian, singlar, dan rajah.

Pantun atau carita pantun yang diproduksi masyarakat Sunda Banten tidak bisa dilepaskan dari wawasan masyarakat Sunda Banten itu sendiri dalam memandang alam, sang pencipta, dan diri mereka sebagai sebuah kesatuan atau kosmologi yang saling berhubungan satu sama lain. Salah-satunya adalah hikayat tentang terciptanya alam dan manusia: 

“Syahdan, ketika jagat raya masih suwung atau awang-awang atau uwung-uwungan alias masih berupa alam ketiadaan, dan kemudian lama kelamaan menjadi cair, dan dari keadaan yang mencair itu ada bagian yang mengental. Bagian yang mengental itu disebut Cariu Ading atau Sasaka Domas. Dan tersebutlah Maha Kesa dan Kawasa menciptakan manusia di alam gaib. Dan ketika telah terwujud, wujud gaib ini pun berkata: “Pinter temen aing, kawasa temen aing, nepi ka andegsakieu.” Namun tiba-tiba, saat wujud gaib itu usai berkata, secercah kilat menyambar disertai ucapan: “Apa katamu!? Adakah engkau terjadi sendiri? Apakah kamu tak ada yang menjadikan?!”. Mendengar hal itu, manusia pertama itu pun merasa malu bukan kepalang. Ia tunduk sembari menangis, dan tanpa disadarinya tanah yang sebesar Cariu Ading itu pun dicungkil-cungkil hingga membesar. Dan demikianlah, cukilan tanah yang tersebar itu kemudian menjadi Nusa Teulu Puluh Teulu alias Tiga Puluh Tiga Nusa. Manusia pertama itu diberi nama Adam Kaisinan alias Adam yang Tersipu atau Batara Kaisinan. Sedangkan badan halus Adam Kaisinan yang masuk  ke dalam bumi menjadi Batara Nagaraja, sementara badan kasarnya menjelma Gunung Kendeng.

Begitulah, sebagaimana dihikayatkan, bentuk pertama wujud gaib gagal menjadi manusia, namun terbentuk pula wujud gaib bakal manusia yang terdiri atas Karesa yang disebut sebagai Adam Karesa atau Batara Mahakresa, yang berkata: “Sakti temen, kawasa temen ieu nu ngajadikeun aing, nepi ka andegsakieu.” Setelah terbentuk Batara Mahakresa atau Adam Karesa, itulah terbentuk pula Batara Bima Karana yang kelak menurunkan nabi-nabi. Sementara itu, wujud kilat yang menyambar yang telah diceritakan itu disebut Adam Kawasa atau Batara Maha Kawasa, dan kesatuan dari ketiganya itu disebut Batara Tunggal yang tinggal di Mandala.“

Dengan sepenggal contoh di atas, tradisi kesusastraan lisan masyarakat Sunda Kuno di Banten tidak bisa dilepaskan dari wawasan keagamaan mereka. Hingga dapatlah disimpulkan, meski mungkin hanya untuk sementara, pantun atau carita pantun yang ada dalam tradisi masyarakat Sunda Kuno di Banten, setidak-tidaknya, berakar pada kepercayaan keagamaan mereka yang acapkali bersifat sakral. Begitu pula, deklamasi atau pun penceritaan dan pendendangan pantun-pantu itu sendiri dilaksanakan dalam ritual-ritual keagamaan atau ritual-ritual tradisi, semisal ruwatan atau upacara-upacara penghormatan kepada sang pencipta dan arwah para leluhur.  

Begitulah, setidak-tidaknya ada tiga macam atau bentuk upacara atau ritual yang di dalamnya atau besertanya masyarakat Sunda Kuno di Banten mendeklamasikan atau mendendangkan pantun  atau carita pantun. Pertama, upacara ruwatan, yang doanya ditujukan kepada orang, sosok, atau figure yang dianggap membawa atau pun dapat mendatangkan bencana, yang biasanya mengambil cerita tentang Batara Kala. Kedua, rajah, yang doanya berupa mantra panyinglar, sebentuk permohonan agar dijauhkan dari gangguan makhluk gaib ketika hendak mengadakan pagelaran atau deklamasi carita pantun. Dan yang ketiga, yaitu pasaduan, yang doanya berisi permohonan ijin kepada para pendiri kerajaan atau yang dianggap sebagai para leluhur: 

Ngahaturkeun sangu putih sapulukaneun: // Ka Sang Ratu Buliger Putih, // Nu calik di hulu pasir. // Ka Sang Ratu Jelegong Putih // Nu calik di hulu lebak.  // Ka Sang Ratu Harumuk Putih // Nu calik di sadasar ing cai! // Isun Rajah Pamunah. // Pun! Sapun! // Ka Raja Pakuan // Nu calik di Gunung Padang Kulon. // Ka Perbu Ratu Galuh,  // Ka Uwa Buyut Murugul Mantri Agung  // Nu tapa di jero gunung. // Ka Uwa Purwa Galih // Nu nangkes Padjajaran! (Kupersembahkan sesuap nasi putih: // Kepada Sang Ratu Buliger Putih // Yang berkuasa di puncak bukit.  // Kepada Sang Ratu Jelegong Putih // Yang berkuasa di dasar lembah. // Kepada Sang Ratu Harumuk Putih // Yang berkuasa di dasar air. // Akulah Rajah (mantra) penawar (pembersih). // Maaf! Maafkanlah!  // Kepada Raja Pakuan // Yang berkuasa di Gunung Padang Kulon. // Kepada Prabu Ratu Galuh, // Kepada Uwak Buyut Murugul Mantri Agung // Yang bertapa di dalam gunung.  // Kepada Uwak Purwa Galih  // Yang mengayomi Padjajaran!   

Berikut contoh-contoh pantun dan mantra masyarakat Sunda Kuno di Banten (dan Jawa Barat) berdasarkan materi isi, jenis, dan fungsinya:  Jangjawokan: Pupur aing pupur panyambur // Panyambur panyangkir rupa // Nyalin rupa ti Dewata // Nyalin sari Widadari // Nya tarang lancah mentrangan // Nya halis katumbirian // Nya irung kuwung-kuwungan // Dideuleu teu hareup sieup // Disawang ti tukang lenjang  // Ditilik ti gigir lengik // Mangka welang mangka asih ka nu dipupur // Ditenjo ku saider kabeh (Jangjawokan Paranti Dipupur). Ruwatan Tanaman: Weweg sampeg, Mandala pageuh // Mangka tetep mangka langgeng // Mangka langgeng tunggal tineung // Datang hiji datang dua // Datang tilu nungku nungku // Datang opat ngawun ngawun // Datang lima lingga emas // Datang genep nguren nguren // Datang tujuh lilimbungan // Puluhan tanpa wilangan (Sri Dangdayang Tresnawati).

Pelet atau Asihan: Asihan aing si burung pundung // Maung pundung datang amum // Badak galak datang depa  // Orak laki datang numpi  // Burung pundung burung cidra ku karunya // Malik welas malik asih ka awaking (Asihan Si Burung Pundung).  Selamatan: Calik calik nu geulis // Nyai Sri calik di dieu // Unggah ka pasaran lega // Geusan sia gagayahan // Geusan sia gagayahan // Di gedong manik mandala pageuh // Lemut teuing ku buruanana // Lesang teuing ku bojana // Nu geulis ranggeuy mirikiniknik // Bar ngampar ku samak metruk // Gasan bujang kasangna bagus // Gasan Nyai tes netepan // Ngajepret palisir bodas (Sri Dangdayang Tresnawati). 

Jampe: Kalaka kaliki // Kala lumpat ka sisi cai // Aing nyaho ngaran sia // Ngaran sia kulit cai // Tawa tawe // Ditawa ku sang indung putih // Tiis ti peuting waras ti berang // Paripurna hirup waras (Jampe Dicoco Kala). Si semar datang // Si togog puyuh gumuyuh // Sangkan hewan sangkan mati // Ngaran talaga di cai // Sabulan meunang ngaherang // Dua bulan ngalenggang // Tilu bulan gumulung // Opat mangrupa, limana usik // Genep bulan kamurulloh // Tujuh bulan jaga nata // Dalapan bulan conggeang // Nu larang malik ka handap // Salapan bulan godebag // Godebag ka mata sare (Jampe Nganjang). Rajah: Hong citra kasunyian // Hong citra kasundulan // Jleg bumi // Jleg manusa // Jleg setan // Manusa wisesa // Setan sampurna  // Sampurna kersaning Allah // Ashadu Anla Ilaha Illallah // Wa Ashadu Anna Muhammad ar Rasulullah (Rajah Citra Kasunyian). 

Ajian: Dampal suku ngabatu datar // Bitis ngabatu wilis // Nyurup ka badana // Nyurup ka sumsumna // Getih sabadan // Bedas ngala ka aki (Ajian Kabedasan).  Singlar:  Carulung cai ti manggung // Barabat ti awang-awang // Cai tiis tanpa bisi // Mun deuk nyatru ka si itu // Mun deuk hala ka si eta // Anaking palias teuing (Singlar Ka Musuh). Demikianlah, khasanah pantun dan mantra masyarakat Sunda Kuno itu tak pelak lagi merupakan bukti bahwa orang tua-orang tua kita di jaman dulu telah akrab dengan khasanah kearifan dan kesusastraan yang berbasis pada bahasa dan wawasan hidup keseharian. (Sulaiman Djaya)

Tulisan ini dipresentasikan pada acara Temu Sastra Indonesia 2012 di Gedung KORPRI Rangkasbitung, Lebak, Banten 13 September 2012 (Estetika Lokal dan Peran Negara dalam Kesusastraan)

*Budayawan, aktivis Kubah Budaya

Alamat Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra Balai dan Kantor Bahasa se-Indonesia

Selain media massa cetak seperti koran, majalah, atau buletin/jurnal komunitas sastra, celah lain yang dapat dimanfaatkan adalah pemuatan di jurnal-jurnal ilmiah. Salah satu jurnal yang bisa dicoba adalah jurnal bahasa dan sastra yang biasa diterbitkan oleh balai dan kantor bahasa se-Indonesia. Namun, yang harus diketahui adalah masing-masing jurnal di balai dan kantor bahasa memiliki aturan penulisan masing-masing. Misalnya mengenai jumlah minimal halaman agar tulisan diterima. Di Jurnal Atavisme terbitan Balai Bahasa Jawa Timur misalnya, jumlah halaman yang diminta adalah 12-20 halaman. Berbeda dengan Jurnal Bebasan Kantor Bahasa Provinsi Banten yang mensyaratkan 10-15 halaman. Tulisan yang dikehendaki jelas berformat ilmiah. Selain itu, tema penulisan yang diminta umumnya tulisan tentang bahasa, sastra, atau pengajaran bahasa dan sastra di sekolah. 
Sebagai alternatif, mencoba mengirim ke jurnal-jurnal ini cukup menarik. Selain honor yang menjanjikan (di beberapa jurnal bahkan honor dihitung per halaman) pemuatan tulisan ilmiah di jurnal juga berpengaruh terhadap kenaikan pangkat atau golongan. Berikut tim redaksi SARBI memberikan alamat-alamat jurnal dalam format foto. 



  

Monday, January 25, 2016

Jalan Panjang Menuju Puisi*


modern surreal art by Tony Futura
Dody Kristianto**

Pastilah saya tidak akan membahas puisi-puisi dalam antologi Kicauan Sajak. Yang pasti berat untuk menuntaskan pembacaan pada seratus puisi lebih dalam waktu kurang dari 24 jam. Namun, di luar membincang puisi-puisi dalam kumpulan ini, membincang proses ternyata juga tak kalah penting. Proses jualah yang bakal menentukan apakah seorang penyair bakal terus menulis puisi, menempuh jalan panjang ini ataukah mencukupkan diri dengan menghentikan perjalanan di separuh jalan.
Kehadiran antologi ini sebenarnya juga patut kita rayakan. Bagaimanapun, ia adalah produk sebuah “proses” (atau tugas?). Dan saya mesti bahagia sekaligus prihatin. Bahagia karena puisi masih tetap diapresiasi, dinikmati, bahkan harus berlarat-larat karenanya meski ia sekadar sebagai tugas belaka. Namun, saya prihatin pula. Dari sekian mahasiswa yang menulis puisi dalam kumpulan ini, berapakah yang akan terus melangkah memantapkan diri dalam jalur kepenyairan yang sebenarnya? Lebih berhubungan dengan kumpulan ini, berapa karya dalam buku ini yang dapat disebut sebagai puisi, bukan gumam belaka.
Kiranya, cukup bijak saat Umar Fauzi Ballah menyebut buku ini sebagai embrio. Mungkin dalam bahasa saya, ia adalah upaya menuju puisi, belum menjadi puisi itu sendiri. Jalan menuju puisi masihlah cukup panjang berliku. Maka, tidaklah salah bila Hasan Aspahani menelurkan buku Menapak ke Puncak Sajak. Atau Tengsoe Tjahjono dengan Menembus Kabut Puisi. Dalam kondisi sesungguhnya, kata kerja menapak puncak serta menembus kabut adalah usaha yang harus dilakukan dengan sungguh. Bila dalam banyak kegiatan apresiasi pada siswa sekolah menengah ditanam pemahaman bahwa menulis puisi itu mudah, percayalah, akan cukup berliku arah menuju jalan puisi yang sebenarnya.
Bahwa seorang penyair adalah ia yang menjawab pengaruh dari pendahulunya bisa jadi benar belaka. Mengutip apa yang dikatakan oleh A Muttaqin bahwa penyair tak lebih dari ia yang diciptakan (sekaligus menciptakan) pendahulunya. Karenanya, kita dapat menyusuri jejak Amir Hamzah pada beberapa puisi Chairil Anwar sekaligus menemukan pengaruh Chairil pada beberapa penyair sesudahnya, semacam Sapardi Djoko Damono atau Goenawan Mohamad.
Dari sini, mereka yang ingin menempuh jalan kepenyairan dapat memetik pelajaran : membaca. Ya, bagaimana mungkin mereka menantang pendahulu mereka bila tidak membaca karya-karya yang sudah ada? Bukankah, perangkat teknologi terkini telah mendekatkan puisi pada pembacanya? Bukankah, jejaring sosial semacam facebook juga menjadi sebuah antologi puisi raksasa di mana seseorang bebas keluar masuk membaca puisi sekaligus menuliskannya?
Tiba-tiba saya teringat pertanyaan Tengsoe Tjahjono kala saya masih kuliah dulu, sudah berapa buku puisikah yang kalian baca? Lantas, sudah berapa buku puisi yang sudah dibaca oleh para penulis dalam kumpulan ini?
Bilakah memang telah membaca, seorang penulis pemula pastilah mematut-matutkan karyanya dengan penyair yang digandrunginya. Ia akan membuat puisinya semirip benar dengan penyair idolanya. Hal ini sah-sah saja dan bisa menjadi pemantik bagi atmosfer kepenulisan selanjutnya. Tetapi sebagaimana jalan berliku menuju puisi, perjuangan tidak berhenti sampai di sini.
Seringkali puisi para calon penyair ini tertahan di kamar. Ia hanya menjadi seonggok kertas yang hanya dinikmati oleh sang penyair. Aih, bukankah pembaca puisimu yang sebenar adalah mereka yang berada di luar? Mungkin, ketidakpercayaan menimpa para penyair ini. Pun alasan seperti takut karyanya dicerca, dikatakan jelek, atau yang lainnya bisa saja bergelayut di kepala para calon penyair ini. Ah, sebuah puisi justru menemukan sudut pandang beragam kala ia diadu dengan berbagai kepala. Bila tak percaya, segeralah pajang puisimu pada facebook dan bagikan pada sebanyak mungkin pembaca. Baca beberapa komentar pedas, kritikan, bahkan cacian. Yang keras itulah yang justru akan membimbingmu pada jalan puisi!
Bila membaca kumpulan ini kembali, jelaslah ia sebagai semacam tugas akhir. Nyata-nyata, puisi bukanlah tugas akhir. Ia juga sesuatu yang tak tuntas dibahas hanya dalam pertemuan dua jam di kelas. Banyak penyair rela berdebat selama berjam-jam di sebuah warung kopi sederhana di pinggir jalan hanya demi puisi. Ya, mengasah ketajaman puisi harus dilakukan terus menerus. Karenanya, bertungkus lumus dalam komunitas harus dilakukan oleh mereka yang memang ingin menemukan jalan kepenyairan.
Di dalam komunitaslah, tempat sekian banyak kepala beradu. Menghasilkan puisi sekaligus menghakiminya. Beberapa nama seperti Alek Subairi, Didik Wahyudi, A Muttaqin, Umar Fauzi Ballah, ataupun Ashif Hasanudin juga dilahirkan dari rahim komunitas bernama Rabo Sore. Di komunitas inilah, nama-nama ini diasah, digodog, serta dimatangkan untuk bertarung pada ranah kepenyairan nasional.
Satu pertanyaan menarik adalah akan ke mana antologi ini? Apakah ia hanya menjadi sebuah tugas akhir belaka. Akhirnya, ia hanya menjadi semacam tumpukan dokumentasi belaka yang mungkin akan berdebu sekian tahun ke depan. Sebuah pengingat bahwa para penulis di dalamnya pernah mengalami situasi menuju puisi.
Ataukah, ia justru menjadi pintu gerbang masuk bagi penyair baru yang akan mewarnai gelanggang silat dunia perpuisian di Indonesia (bahkan dunia)? Mungkin para penulis di dalamnya akan mengalami kritik pedas hingga caci maki pada karya-karyanya. Kritik yang akan terus mengasah dan menguatkan hingga mereka menemukan jalan puisi. Dan jalan puisi itu adalah sebuah pencarian. Ia akan terus dicari, bahkan oleh para penyair yang telah menjadi sekalipun.
Aih, ternyata saya sudah meracau cukup panjang…. 
Sidoarjo, 2013

*) Tulisan untuk acara apresiasi puisi Kelas PNA dan PNB Jur. Bahasa dan Sastra Indonesia, Unesa, pada tanggal 19 Desember 2013
**) Mantan mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya.

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post