Telah Terbit !

Yang sederhana, yang berserakan, yang tak diperhitungkan dan bertebaran di mana-mana, tetaplah harus dirayakan. Spesial SARBI edisi 8 di akhir tahun!

Segera Dapatkan !

Buku Puisi Karya KOMANG IRA PUSPITANINGSIH.

Toko Buku SARBI

Kumpulan buku bekas pilihan yang asik untuk dibaca dan dikoleksi dengan harga bersahabat.

Telah Terbit!

BULETIN TIKAR EDISI 02/2013 Diterbitkan oleh Komunitas Tikar Merah (KTM)

Dapatkan!

Buku Terbaru SARBIKITA Publishing Karya Heru Susanto

Blogroll

Tuesday, June 24, 2014

Aceh Pascadarurat Militer, Majalah Kalimas No 2 April 2014

 photo IMG_0176copy_zpscd942235.jpg

Oleh Umar Fauzi Ballah


DATA BUKU
Judul               : Burung Terbang di Kelam Malam
Penyair           : Arafat Nur
Penerbit         : Bentang Pustaka
Tahun             : Februari, 2014
Tebal              : xvi + 376 halaman
ISBN                : 978-602-7888-93-7


Setelah sukses dengan novel Lampuki yang memenangkan KLA 2012, Arafat Nur kembali menerbitkan fiksi terbarunya berjudul Burung Terbang di Kelam Malam (BTdKM). Seperti halnya Lampuki yang berlatar Aceh, BTdKM masih menempatkan Aceh sebagai latar pusat narasinya. Karena itu, tidak berlebihan sekiranya BTdKM disebut sekuel kedua dari Lampuki.
            Pengarang memang tidak melanjutkan keberlangsungan  protagonis dalam Lampuki untuk disebut sebuah sekuel. Ia menghadirkan tokoh baru dalam BTdKM. Akan tetapi, persamaan latar dan kronik alur seolah menjadikan dua novel itu sebagai sekuel. Lampuki berlatar masa pendudukan TNI dalam membasmi pemberontak GAM dan BTdKM berlatar pemilihan kepala daerah di Aceh pascadarurat militer.
            Kondisi chaos Aceh baik pada masa darurat militer maupun setelahnya pada dasarnya sama saja. Inilah yang menjadi deskripsi utama sang pengarang.  Sebagai pelaku sejarah, pada saat konflik itu terjadi, pengarang menjadi pewarta sebuah sisi lain tentang Aceh. Sisi lain itulah yang membuyarkan anggapan kebanyakan kita tentang Aceh.
            Aceh, baik dalam Lampuki maupun BTdKM, adalah sebuah kota yang menanggung stereotip tidak terduga melalui perilaku-perilaku tokohnya. Kali ini beban stereotip itu ada pada pandangan Faiz, sang protagonis.
            Diceritakanlah tentang Faiz, seorang wartawan harian lokal yang sangat populer, hendak menyelidiki kebusukakan seorang bernama Tuan Beransyah. Namun, penyelidikan itu bukan untuk kepentingan pekerjaannya, tetapi untuk sebuah cita-cita terciptanya sebuah novel. Begitulah, cerita beralur pusat pada proses Faiz mengambil data untuk novelnya.

            Kebusukan yang ia selidiki adalah riwayat hidup perempuan simpanan Tuan Beransyah yang tak terbilang banyaknya. Itu semua menjadi rahasia umum. Sebagai rahasia umum, ia adalah sebuah kewajaran yang di mata Faiz bukanlah jenis kewajaran. Tuan Beransyah sendiri sedang digadang-gadang menjadi Wali Kota Lamlhok.
            Begitulah sebuah niat yang diawali oleh letupan amarah (hlm. 67) dikemudian hari menjadi rentetan peristiwa dan perilaku penuh dusta dan kemunafikan. Faiz menyelidiki perihal keburukan seseorang dengan niatan baik akan menjadikannya sebagai data sebuah novel. Namun, yang terjadi adalah dia masuk dalam perangkap macan. Tanpa disadari, Faiz meniduri perempuan-perempuan kesepian bekas Tuan Beransyah.
            Faiz digambarkan sebagai seorang rupawan. Tulisannya di harian Warta dikenal sebagai tulisan jurnalistik bermutu. Selain itu, ia adalah tokoh yang dilingkupi kebaikan dalam pandangannya sebagai lelaki yang rajin beribadah dan gampang mengingat dosa-dosanya. Dosa-dosa yang ketika diingat-ingat justru melahirkan godaan lain.
            Begitulah cerita dihadirkan. Melalui novel yang hendak ia ciptakan, Faiz pada dasarnya sedang menulis sebuah cita-cita kebencian yang di dunia realita tidak tercapai. Ia benci setengah mati pada perilaku Tuan Beransah, tetapi di harian Warta dia dihadapkan pada tuntutan untuk menuliskan perihal kebaikan lelaki itu. Kondisi ini, juga kondisi pengarangnya, telah membenarkan sebuah tesis sebagaimana diucapkan Sigmund Freud (dalam Hardjana, 1984:63) “Seniman pada mulanya adalah seorang yang berpaling dari kenyataan hidup karena dia tidak dapat berdamai dengan dirinya sendiri berhubungan adanya tuntutan akan kepuasankepuasan nalurinya yang tidak terpnuhi dan yang kemudian membiarkan hajat erotik dan ambisinya bermain leluasa dalam khayalan. Dengan bakatnya yang istimewa dia menjalin khayalan-khayalannya menjadi suatu kenyataan hidup baru yang oleh orang-orang lain disambut sebagai cerminan hidup yang berharga.”
            Kebaikan-kebaikan Tuan Beransyah yang ditulis Faiz ibarat sebuah bara api. Pada puncaknya, tulisan Faiz tentang kejelekan Tuan Beransyah termuat di harian Warta. Ia pun menjadi buronan preman suruhan Tuan Beransyah untuk dihabisi nyawanya.
            Melalui pengarangnya, digambarkan ketakutan-ketakutan Faiz. Namun, dalam rencana novelnya, ketakutan-ketakutan itu tidak ia tampakkan. Novel ini diakhiri sebuah kisah melodramatis bahwa Safira, kekasihnya,  adalah darah daging Tuan Beransyah dari perempuan simpanan kesekiannya.
            Arafat Nur melalui fiksi terbarunya ini hendak menghadirkan dunia jungkir balik. Ke hadirat pembaca, dia menjungkirkan stereotip agung Aceh sebagai “Serambi Mekkah yang selama ini melekat dalam benak masyarakat. Dengan demikian, ia juga menghadirkan perilaku-perilaku jungkir balik tokoh-tokohnya melalui Faiz.
            Faiz menulis novel. Novel dalam pikiran Faiz adalah sebuah sastra yang agung. Kepada perempuan-perempuan simpanan Tuan Beransyah, dia mengatakan perihal apa itu novel, bukan sebuah cerita cabul sebagaimana lekat dalam pikiran tokoh-tokohnya. Namun, pada saat yang sama Faiz sendiri adalah tokoh yang cabul. Melalui pengarang, kecabulan memang tidak dengan secara gamblang digambarkan, seperti persetubuhan.
            Melalui pikiran-pikiran Faizlah, otokritik terhadap realitas didedahkan. Selain pandangannya tentang novel, dengan demikian juga sastra, Faiz juga menyampaikan otokritik tentang kerja jurnalistik. Dia seorang jurnalis, tetapi pada bagian tertentu dia menyampaikan kebobrokan kerja jurnalis. Dia menuliskan tetang bagaimana perempuan Aceh, tentang hukum syariah, dan sebagainya.
            Hidup dalam serba kegelapan dunia yang Faiz rasakan itulah kemudian ia metaforkan dirinya laiknya burung terbang di kelam malam. Faiz berjalan dari rumah ke rumah untuk menemui perempuan-perempuan bekas Tuan Beransyah. Nasibnya sebagai bujang penuh godaan berahi begitu ia sadari.
            Secara intrinsikBTdKM berjalan dengan tempo yang agak lambat. Pada sisi yang lain, ditemukan bahasa yang tampak picisan. Namun, bagaimanapun narasi di dalamnya dihadirkan, karya sastra adalah sebuah mimesis. Ia memiliki hubungan genetik dengan realitas ekstrinsik. Arafat Nur sepertinya takgentar menggambarkan itu semua.

*) Umar Fauzi Ballah kritikus sastra lulusan Sastra Indonesia Unesa. Saat ini bekerja sebagai pengajar sekaligus penanggung jawab di Ganesha Operation, Sumenep. Twitter @uf_ballah

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post