Oleh Umar Fauzi Ballah
DATA BUKU
Judul : Burung Terbang di Kelam Malam
Penyair : Arafat Nur
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun : Februari, 2014
Tebal : xvi + 376 halaman
ISBN : 978-602-7888-93-7
Setelah
sukses dengan novel Lampuki yang
memenangkan KLA 2012, Arafat Nur kembali menerbitkan fiksi terbarunya berjudul Burung Terbang di Kelam Malam (BTdKM). Seperti halnya Lampuki yang
berlatar Aceh, BTdKM masih
menempatkan Aceh sebagai latar pusat narasinya. Karena itu, tidak berlebihan sekiranya BTdKM disebut sekuel kedua dari Lampuki.
Pengarang memang tidak melanjutkan
keberlangsungan protagonis dalam Lampuki untuk disebut sebuah sekuel. Ia
menghadirkan tokoh baru dalam BTdKM.
Akan tetapi, persamaan latar dan kronik alur seolah menjadikan dua novel itu
sebagai sekuel. Lampuki berlatar masa
pendudukan TNI dalam membasmi pemberontak GAM dan BTdKM berlatar pemilihan kepala daerah di Aceh pascadarurat militer.
Kondisi chaos Aceh baik pada masa darurat militer maupun setelahnya pada
dasarnya sama saja. Inilah yang menjadi deskripsi utama sang pengarang. Sebagai pelaku sejarah, pada saat konflik itu
terjadi, pengarang menjadi pewarta sebuah sisi lain tentang Aceh. Sisi lain
itulah yang membuyarkan anggapan kebanyakan kita tentang Aceh.
Aceh, baik dalam Lampuki maupun BTdKM,
adalah sebuah kota yang menanggung stereotip tidak terduga melalui
perilaku-perilaku tokohnya. Kali ini beban stereotip itu ada pada pandangan
Faiz, sang protagonis.
Diceritakanlah tentang Faiz, seorang
wartawan harian lokal yang sangat populer, hendak menyelidiki kebusukakan
seorang bernama Tuan Beransyah. Namun, penyelidikan itu bukan untuk kepentingan
pekerjaannya, tetapi untuk sebuah cita-cita terciptanya sebuah novel.
Begitulah, cerita beralur pusat pada proses Faiz mengambil data untuk novelnya.
Kebusukan yang ia selidiki adalah
riwayat hidup perempuan simpanan Tuan Beransyah yang tak terbilang banyaknya.
Itu semua menjadi rahasia umum. Sebagai rahasia umum, ia adalah sebuah
kewajaran yang di mata Faiz bukanlah jenis kewajaran. Tuan Beransyah sendiri
sedang digadang-gadang menjadi Wali Kota Lamlhok.
Begitulah sebuah niat yang diawali
oleh letupan amarah (hlm. 6—7) dikemudian hari menjadi rentetan peristiwa dan perilaku
penuh dusta dan kemunafikan. Faiz menyelidiki perihal keburukan seseorang
dengan niatan baik akan menjadikannya sebagai data sebuah novel. Namun,
yang terjadi adalah dia masuk dalam perangkap macan. Tanpa disadari, Faiz meniduri
perempuan-perempuan kesepian bekas Tuan Beransyah.
Faiz digambarkan sebagai seorang
rupawan. Tulisannya di harian Warta
dikenal sebagai tulisan jurnalistik bermutu. Selain itu, ia adalah tokoh yang
dilingkupi kebaikan dalam pandangannya sebagai lelaki yang rajin beribadah dan
gampang mengingat dosa-dosanya. Dosa-dosa yang ketika diingat-ingat justru
melahirkan godaan lain.
Begitulah cerita dihadirkan. Melalui
novel yang hendak ia ciptakan, Faiz pada dasarnya sedang menulis sebuah cita-cita
kebencian yang di dunia realita tidak tercapai. Ia benci setengah mati pada
perilaku Tuan Beransah, tetapi di harian Warta
dia dihadapkan pada tuntutan untuk menuliskan perihal kebaikan lelaki itu.
Kondisi ini, juga kondisi pengarangnya, telah membenarkan sebuah tesis sebagaimana diucapkan Sigmund Freud (dalam Hardjana, 1984:63) “Seniman pada mulanya adalah seorang yang berpaling dari
kenyataan hidup karena dia tidak dapat berdamai dengan dirinya sendiri berhubungan
adanya tuntutan akan kepuasankepuasan nalurinya yang tidak terpnuhi dan yang kemudian
membiarkan hajat erotik dan ambisinya bermain leluasa dalam khayalan. Dengan
bakatnya yang istimewa dia menjalin khayalan-khayalannya menjadi suatu
kenyataan hidup baru yang oleh orang-orang lain disambut sebagai cerminan hidup
yang berharga.”
Kebaikan-kebaikan Tuan Beransyah yang
ditulis Faiz ibarat sebuah bara api. Pada puncaknya, tulisan Faiz tentang
kejelekan Tuan Beransyah termuat di harian Warta.
Ia pun menjadi buronan preman suruhan Tuan Beransyah untuk dihabisi nyawanya.
Melalui pengarangnya, digambarkan
ketakutan-ketakutan Faiz. Namun, dalam rencana novelnya, ketakutan-ketakutan itu tidak ia
tampakkan. Novel ini diakhiri sebuah kisah melodramatis bahwa Safira,
kekasihnya, adalah darah daging Tuan
Beransyah dari perempuan simpanan kesekiannya.
Arafat Nur melalui fiksi terbarunya
ini hendak menghadirkan dunia jungkir balik. Ke hadirat pembaca, dia menjungkirkan
stereotip agung Aceh sebagai “Serambi Mekkah” yang selama ini melekat dalam benak masyarakat. Dengan demikian, ia juga
menghadirkan perilaku-perilaku jungkir balik tokoh-tokohnya melalui Faiz.
Faiz menulis novel. Novel dalam
pikiran Faiz adalah sebuah sastra yang agung. Kepada perempuan-perempuan
simpanan Tuan Beransyah, dia mengatakan perihal apa itu novel, bukan sebuah
cerita cabul sebagaimana lekat dalam pikiran tokoh-tokohnya. Namun, pada saat
yang sama Faiz sendiri adalah tokoh yang cabul. Melalui pengarang, kecabulan memang tidak dengan secara
gamblang digambarkan, seperti persetubuhan.
Melalui pikiran-pikiran Faizlah,
otokritik terhadap realitas didedahkan. Selain pandangannya tentang novel,
dengan demikian juga sastra, Faiz juga menyampaikan otokritik tentang kerja
jurnalistik. Dia seorang jurnalis, tetapi pada bagian tertentu dia menyampaikan
kebobrokan kerja jurnalis. Dia menuliskan tetang bagaimana perempuan Aceh,
tentang hukum syariah, dan sebagainya.
Hidup dalam serba kegelapan dunia
yang Faiz rasakan itulah kemudian ia metaforkan dirinya laiknya burung terbang
di kelam malam. Faiz berjalan dari rumah ke rumah untuk menemui
perempuan-perempuan bekas Tuan Beransyah. Nasibnya sebagai bujang penuh godaan
berahi begitu ia sadari.
Secara intrinsik, BTdKM
berjalan dengan tempo yang agak lambat. Pada sisi yang lain, ditemukan bahasa yang tampak picisan. Namun,
bagaimanapun narasi di dalamnya dihadirkan, karya sastra adalah sebuah mimesis.
Ia memiliki hubungan genetik dengan realitas ekstrinsik. Arafat Nur sepertinya
takgentar menggambarkan itu semua.
*)
Umar Fauzi Ballah kritikus
sastra
lulusan Sastra Indonesia Unesa. Saat ini bekerja sebagai pengajar sekaligus
penanggung jawab di Ganesha Operation, Sumenep. Twitter @uf_ballah