Telah Terbit !

Yang sederhana, yang berserakan, yang tak diperhitungkan dan bertebaran di mana-mana, tetaplah harus dirayakan. Spesial SARBI edisi 8 di akhir tahun!

Segera Dapatkan !

Buku Puisi Karya KOMANG IRA PUSPITANINGSIH.

Toko Buku SARBI

Kumpulan buku bekas pilihan yang asik untuk dibaca dan dikoleksi dengan harga bersahabat.

Telah Terbit!

BULETIN TIKAR EDISI 02/2013 Diterbitkan oleh Komunitas Tikar Merah (KTM)

Dapatkan!

Buku Terbaru SARBIKITA Publishing Karya Heru Susanto

Blogroll

Saturday, April 23, 2016

010 dan Pacar-pacarnya

Sumber Gambar: www.pulsk.com
Oleh: Faisal L. Hakim

010
Sungguh manjur anjuran teman saya waktu itu, “Jika kamu ingin dapat perempuan cantik kayak artis di teve-teve, gampang, jadilah aparat” katanya waktu itu. Ya, kira-kira lima tahun lalu ketika saya masih duduk di bangku SMA kelas dua.

Sungkan juga sebenarnya saya bercerita, tetapi mungkin, cerita saya akan menjadi inspirasi bagimu yang kesulitan memperistri perempuan sesuai dengan harapanmu, tentunya jika masih punya kesempatan untuk seleksi dan lolos menjadi aparat negara.

Saya tidak ngganteng-ngganteng amat. Buktinya, waktu SD sampai lulus SMA saya tidak pernah punya gandengan seperti teman-teman. Saya selalu sulit mendapatkan perempuan idaman saya. Saya jones menahun.  Sudah hampir putus asa.

Setelah lulus SMA saya teringat ucapan teman saya tadi. Saya pikir-pikir dulu. Dan akhirnya sepakat dengan sarannya. Bukan tanpa alasan, saya riset dahulu. Melihat tetangga kanan-kiri yang memiliki suami aparat. Meski rata-rata sudah usia kepala tiga, mereka cantik-cantik.

“Bagaimana, terbukti, kan, ucapanku?” ujar temanku beberapa hari setelah saya meminang bunga desa.
“Ya, berkat kau, saya rela mengingkari janji saya sendiri untuk tidak menjadi aparat.”

Resti dan Vina
Hari-hariku saat ini penuh dengan buaian. Mulai dari teman-teman kampus hingga teman-teman di Karang Taruna kampungku, memujiku. Betapa tidak, aku kini memiliki kekasih berpangkat dari pulau sebarang.

Ia masih seminggu di sini. Buah dari usahaku mondar-mandir di depan kamp pelatihan. Nyangkut juga parasku kepadanya. Tak rugi aku merawat diri. Bersaing dengan gadis-gadis desa lain, termasuk temanku sendiri, Vina. Betapa bahagianya bersanding dengan seorang aparat.

Tidak mudah untuk mendapatkannya. Aku harus bersaing dengan Vina, teman karibku. Sempat minder pula. Vina cantik. Tak kalah denganku. Ia seorang biduan. Suaranya bagus. Dan hanya rela dijamah oleh cowok-cowok militer. Vina kenal dia dari bbm. Entah bagaimana.

Aku berkorban dari materi hingga perasaan untuk merenggut perhatiannya. Bukan tanpa alasan, bayangkan, betapa romantisnya ketika saya mengantar suami di bandara ketika ia mau berangkat perang. Atau stasiun. Atau terminal. Lalu ia mencium keningku. Dan terabadikan di foto. Romantisme itu, begitu indah. Layaknya film-film Perang Dunia II. Atau novel-novel latar kolonial.

Pun akhirnya persahabatan kami merenggang. Vina yang menjadi teman sejak kecil terpaksa kusakiti. Salahkanlah cinta, salahkanlah takdir, Vin!

Aku coba untuk meminta maaf kepada Vina setiap hari, bagaimanapun ia sahabatku, namun ia selalu menghindar, “maaf res, aku terburu-buru,” katanya waktu terakhir kami berpas-pasan di kampus.

Kucoba kirim pesan bbm kepadanya, “Vin, maafin aku”, di-R pun tidak. Ternyata di-D lebih menyakitkan.

Tak kusangka, sakitnya tidak berhenti di situ. Pada akhirnya Vina menunjukkan betapa ia juga menyandang status yang sama denganku: pacarnya. Dengan durasi yang sama pula: hampir sembilan bulan. 

010
Jauh dari isteri adalah pengalaman baru bagi saya. Betapa cantiknya ia hingga saya rela menjadi seorang abdi negara untuk mendapatkannya. Dan, betapa cinta kami terestui semesta alam tatkala ia rela meninggalkan pacarnya yang sudah tiga tahun bersamanya. Jodoh memang tidak ke mana.

Namun setelah di tempat baru ini, betapa pula saya sangat butuh sentuhan nyata seorang perempuan. Bukan hanya suara, atau ketikan pesan pendek isteri saya yang indah. Lagi pula, hati saya hanya untuknya. Bukan yang lain.

Saya baru rasakan betapa mudahnya mendapatkan perempuan cantik. Bahkan, tidak perlu mencari. Nyata saja, siapa juga yang bodoh dan tega membiarkan orang terjamin masa depannya seperti saya, kesepian di tanah rantau.

Buktinya, seminggu setelah kedatangan saya di pulau ini sudah ada yang menawarkan cinta kepada saya. Tidak tanggung-tanggung, dua mahasiswi cantik di salah satu universitas swasta di sini. Ya, saya pantas mendapatkannya. Kalau bisa dua, kenapa harus satu. Toh, keduanya tak akan mendapatkan hati saya yang sudah dimiliki Diana.

Diana
Setiap detik saya tak habis-habisnya merinduinya. Seorang yang telah berhasil merebut hatiku yang sudah kujanjikan pada kekasihku dulu.

Memang, selain harapan orang tua, menjadi isteri seorang berpangkat adalah keinginan hati kecilku. Betapa bahagiannya saya memilikinya. Tak peduli betapa sakitnya ia yang kutinggalkan. Sudah menjadi wajar dan lumrah di mana ada kebahagiaan harus ada yang dikorbankan. Ya menyakitinya, ya menerima sumpah serapahnya. Saya memang pantas mendapatkannya.

Namun, yang harus saya khawatirkan untuk ke depannya, adalah merelakan suami saya pergi menjalankan tugas di luar pulau. Saya sendiri, di rumah seperti saat ini, sudah saya pikir sebelumnya. Resiko menjadi isterinya. Hatta, terjadi juga kecemasan itu. Belum lagi, bicara kesetiaan, saya tidak yakin bahwa kesetiaan sejujur kesan saat kami berpisah dengan lambat. Antara dermaga dan samudra, waktu itu.

Aku
Jika kau menyangkal bahwa sakit hati tidak sesakit sakit gigi, maka aku rela sakit gigi seumur hidup daripada menanggung luka sedemikian dalam. Tanpa bisa dioprasi. Tanpa bisa diapa-apakan lagi.

Luka adalah luka, biarpun senyummu menutupi. Namun kenyataannya, dengan senyum aku bisa menghibur diri. Bahkan, hingga menjadi bahan olok-olok anak kecil di gang-gang kampung. “Orang gila, orang gila, orang gila....” hingga mereka lelah.

Siapa sangka, melalui senyuman, aku bisa merubah benci menjadi pura-pura benci atau pura-pura cinta. Saya mengidap dendam kesumat, atau bisa kau bahasakan cinta kesumat.

Pada siapa lagi kalau bukan Diana. Perempuan sialan yang selalu kucintai. Sampai kini. “Ini bukan pura-pura,” sanggahku pada diri sendiri.

Untuk kali ini perasaanku tidak sepihak, sebagaimana ia memilih laki-laki keparat itu dan meludahiku begitu saja. Aku menduga ia telah menyesal sedemikian rupa sampai akhirnya ia mengirim pesan singkat kepadaku, “aku kangen kamu, mas.”

Duh Gusti, betapa senyumku kepada alam membuahkan hasil. Biarpun diiringi tangisan sesal dan sakit yang mendalam. Ia ternyata masih merindukanku.

“Begitu juga denganku, dek”, singkat saja.Untuk selanjutnya, kami tidak lagi berbalas pesan singkat, tapi bertukar suara, menuju ke sentuhan, menuju pelukan, dan menuju cakrawala cinta.

010
Beberapa bulan lagi saya pulang. Sudah rindu isteri. Apalagi, akhir-akhir ini kami jarang komunikasi. Entah mengapa, malas saja rasanya. Tapi begitu tugas saya di sini hampir berakhir, kerinduan itu muncul tiba-tiba. Saya membayangkan, isteri saya sekarang tambah cantik, lebih matang. Ya, saya ingin memeluknya erat.

Aku
Cinta kami tak terbantahkan. Dalam konteks ini, terkadang aku tidak percaya bahwa jodoh pasti tepat sasaran. Kupikir, jodoh adalah ketika cinta sejati seperti yang kumiliki bertemu. Meskipun tanpa upacara pernikahan.  

Sialnya, apa yang saya pahami terbantahkan juga. Alih-alih aku bahagia, aku sekarat ketika mendengar keparat itu mau tiba. Pasti Diana akan kembali kepadanya. Bukan hanya tubuhnya yang aduhai, melainkan juga hati dan jiwanya. Lalu aku, lenyap begitu saja.

Diam-diam aku pergi. Dan tak akan kembali. Daripada makan hati. Mati berkali-kali.

Diana
Jika kau bertanya bagaimana kabar saya hari ini, dengan maksud bahwa apakah saya riang dan bahagia menunggu kedatangan suami pulang dari tugas, maka saya jawab, tidak!

Sejujurnya hatiku sudah terenggut oleh kekasihku. Yaitu dia yang seharusnya tak kutinggalkan demi dirinya.

Sementara kini, beberapa hari lagi, suamiku pulang. Saya tidak tahu harus bagaimana. Terhimpit dalam puing-puing tajam tak berbelas kasihan. Saya tak pernah menyangka cinta sesakit ini. Film-film dan novel-novel tentang kerinduan seorang isteri menanti suaminya pulang perang hanyalah bulshit belaka. Setidaknya begitu yang kurasakan.

Bahkan, ketika mereka berhiperbola seperti “o Tuhan, betapa penantian adalah musibah para perindu stadium akhir” saya kira tak lebih dari dusta yang dibenar-benarkan.

010
Rumah itu terlihat. Tak asing bagi saya. Bahkan, dari jarak puluhan kilo, saya bisa mencium bau selokannya. Bau pesing tikus sudut-sudutnya. Juga bau sambal trasi yang dibuat oleh isteri saya.

Langkah saya semakin cepat. Ransel puluhan kilo di punggung semakin tidak terasa bebannya. Tinggal beberapa langkah lagi saya sampai di depan pintunya. Sudah tak sabar melihat ia membuka pintu sembari menampakkan cekung pipi yang menghiasi senyummnya.

“Assalamualaikum...” saya ketuk pintu itu. Satu dua kali tak berbalas. Sunyi. Terhnyak saya ketika ada sahutan, “waalaikumsalam..” suaranya sedikit lirih. Tepat di belakang saya.

Saya terpaku, terdiam sebantar. Tanpa menolehnya. “Bukan suara itu yang kuharapkan,” batinku. Pelan-pelan saya memutar badan. Terlihat seorang separuh baya. Tetangga sebelah pemilik toko kelonthong.

“ Mas Aryo?” Sapa perempuan itu.

“Oh, ibu, iya saya. Baru pulang dari tugas.”  Sahutku.

Perempuan itu memberi jawaban sunyi. Saya melanjutkan, “hmm... saya ketuk pintu dari tadi, tapi nggak ada jawaban. Ibu tahu isteri saya di mana?”

Ia menceritakan dari awal hingga akhir. Begitu dramatis. Diam-diam mata saya meneteskan air. Membasahi pipi kanan lalu kiri. Besok sudah tujuh harinya.




Surabaya 2016




Cerita ini hanya fiksi dan rekaan belaka. Apabila ada kesamaan peristiwa atau kejadian, itu hanya kebetulan belaka.

Keterangan: 010—gaya rambut yang bagian samping kepala memakai clipper tanpa sepatu dan bagian atas memakai sepatu ukuran satu.










Sunday, April 17, 2016

Ahok vs Teman Saya


fioneysofyan.com
Oleh: Faisal L. Hakim
Jika Anda praktisi game sepak bola, PES atau FIFA misalnya, bisa jadi Anda akan sangat bosan jika terus-terusan menang melawan komputer atau seluruh gamers lain yang pernah Anda temui. Sialnya, Anda belum juga terkalahkan. Sudah tidak ada langit di atas Anda!
Saya memiliki teman yang menurut saya sangat yang bermain game bola.  Entah saya yang bodoh, atau memang teman saya yang begitu pandai,  kenyataannya saya tak pernah mengalahkannya.
Kami hidup di sebuah desa yang masih menganggap Play Station II  (PS 2) sebagai mainan yang elit dan modern. Sebuah anggapan yang pantas pada waktu itu, mengingat desa saya yang sinyal HP baru masuk. Tahun 2004-an.
Hadirnya PS 2 mengharuskan saya move on dari PS 1. Awalnya masih tidak asik. Terlalu pelan untuk dimainkan. Saya coba balikan ke PS 1, namun sial mata saya menjadi tidak bersahabat. Gambarnya bergetar. Saya menduga karena beberapa hari sebelumnya telah bermain game bola di rental PS 2. Alhasil, saya harus beradaptasi dengan PS 2. Perubahan mutlak untuk diikuti.
Kembali ke teman saya. Ia adalah ikon manusia game. Rental PS yang hanya beberapa di desa dikuasainya. Bukan hanya game bola, tetapi semua game yang tersedia ia jagonya. Terpaksa saya berurusan dengannya karena kehlian bermain game bola saya selalu tumbang olehnya.
Ia adalah sosok yang, maaf, tidak kaya. Di rumahnya, hanya ada teve 14 in yang bahkan tidak bisa untuk dicolokin PS. Artinya ia menjadi jago PS bukan karena punya PS sendiri di rumah. Lantas, bagaimana ia menjadi jago PS itulah pertanyaannya.
Benar saja ia menjadi jagoan game. Setelah saya telusuri dan perhatikan, ia memiliki kedekatan emosional dengan yang punya rental. Tidak sampai di situ saja, ia bahkan memiliki kedekatan dengan para pelanggan rental. Semua rental PS yang ada.
Mudah saja baginya untuk melakukan pendekatan emosional. Dengan bakatnya itu, ia menawarkan jasa untuk memainkan game dari petualangan hingga game jenis olah raga, seperti balapan dan sepak bola. Kurang lebih redaksinya begini, “Gak ngunu maine, ndelok tak maekne, ngene lho.” (Nggak gitu mainnya, sini saya mainin, gini loh).
Dan sialnya, ia selau berhasil. Ironinya, si penyewa PS riang gembira ketika game petualangan yang dimainkan teman saya berhasil melalui rintangan. Nggak sadar, tulisan timer di pojok kiri bawah layar menunjukkan  tinggal 1 menit lagi. Kasihan deh...

Ingin Mengalahkan
Selain game petualangan yang berjenis one player, game-game arcade yang two player pun ia tuntaskan. Sebagai remaja muda yang gemar bermain game, kemampuannya yang luar biasa itu membuat saya sangat bernafsu untuk menumbangkannya. Demi kepentingan saya, saya rela mengeluarkan uang untuk menyewa PS. Dan mengajaknya bertanding. Game bola, kesukaan saya.
Pendek kata saya selalu kalah. Padahal tidak kurang saya berlatih. Dari versus komputer yang paling sulit sampai gamers lain selain dia, sudah saya tumbangkan. Sesekali saya mengalahkannya. Tapi anehnya,  selalu saja saya berpikir bahwa saya menang karena ia bosan lantas mengalah. Atau mungkin kasihan kepada saya.
Orang satu ini membuat saya gerah sepanjang hari. Hingga saat ini saya masih belum bisa puas mengalahkannya secara mutlak.

Teman Saya vs Ahok
Saya menilai antara teman saya dan Ahok tak jauh berbeda. Sama-sama pandai dan berbakat dalam permainan. Bedanya, teman saya bermain PS dan Ahok bermain politik. Namun, polanya juga nggak jauh berbeda, kok.
Jika lawan politik Ahok menghadirkan figur-figur sukses dari daerah lain. Berharap figur-figur tersebut bisa meruntuhkan populeritas Ahok di Jakarta, maka, menurut pengalaman saya nih, itu akan memakan tenaga ekstra.
Maksud saya, semakin pihak lain ingin melawan Ahok dalam perebutan kursi Gubernur, dengan cara menghadirkan jago-jago daerah lain yang lagi naik daun, maka harusnya mudah saja bagi Ahok untuk memenangkannya. Sebagaimana teman saya membuat jengkel saya hingga saat ini.
Saya menilai upaya peruntuhan kepopuleran Ahok oleh lawan-lawannya dirasuki oleh nafsu mengalahkan yang sangat luar biasa. Sebagaimana pengalaman saya ingin menumbangkan teman saya, yang walaupun saya menang tetap tidak puas.
Sayangnya, pemilihan Gubernur kan bukan untuk ajang coba-coba. Berbeda dengan pertandingan PS yang bisa diulang-ulang hingga mata bengkak. Bisa jadi senjata pembukaan kasus RS Sumber Waras dan reklamasi teluk Jakarta menjadi pilihan brilian. Namun tunggu, saya pikir tidak semudah itu.
Komunikasi politik Ahok juga keren. Dengan gaya komunikasi pembuktian terbalik ala Moh. Hatta sebagaimana diungkapkan Effendi Gazhali, Dosen UI di laman cnnindonesia.com (1/6/2015) memberinya kekuatan argumentasi lugas, meski sedikit kasar.
Tentang korupsi misalnya, Effendi menambahkan, bahwa Ahok selalu mengatakan, “kalau tidak korupsi, tunjukkan dong dari mana penghasilan, apakah sudah bayar pajak dan sebagainya”. Dan model kayak gitu disukai publik yang haus kelugasan. Selain itu, Ahok juga news maker yang baik. Apa pun yang dilakukannya, media menyorotinya.
Saya pikir itu adalah pekerjaan rumah bagi yang ingin melawan Ahok. Semakin bernafsu mengalahkan Ahok, semakin Ahok di atas angin. Jangan berharap bahwa Ahok akan bosan dan mengalah seperti kasus kemenangan pertandingan bola saya versus teman saya.
Oke, sampai sini saya akan jujur kepada Anda bahwa saya tidak memihak siapa pun. Saya juga punya tips buat si Ahok, “Tetaplah tenang dan yakinlah bahwa kemampuan Anda tetap di atas rata-rata. Semakin Anda khawatir akan kekalahan, semakin terbuka peluang Anda untuk kalah beneran. Anda sudah keren. Ini serius.”
Dalam permasalahan ini saya sekali lagi ingin jujur kepada Anda bahwa saya ingin mem­-versus-kan Ahok dengan teman saya. Meski dalam konteks yang berbeda, setidaknya saya pahami politik sebagai permainan juga, yang pada akhirnya tamat ketika misinya selesai. Alih-alih sampai kepada kesejahteraan rakyat, frasa “misi selesai” berhenti kepada duduknya pemain di kursi kekuasaan.
Ya, saya menyimpan dendam kepada teman saya. Dendam itu kini menjelma sebagai kebanggaan karena memiliki teman jago bermain game. Dan, kebanggaan itu memotivasi saya untuk menyaksikan dua sosok hebat bertemu  dipermainan sesungguhnnya.
Saya hanya penasaran. Salam.








Sunday, April 10, 2016

Cerpen: Roti Terakhir

www.tumblr.com
Oleh: Faisal Hakim

Alih-alih di garda depan, hasrat saya untuk mati bela negara tak tersampaikan. Saya di garda paling belakang. Bukannya pengecut atau pecundang, melainkan garis kehidupan saya bukan untuk tombak pertempuran.

Tak lama setelah negara saya merayakan kemenangan, saya tiba-tiba dihinggapi penyesalan: tidak bisa mati bersama kawan-kawan di medan perang, juga bersama Sukinah, istri saya. Saya dalam kedukaan. Kesunyian. Dan penjajahan. Saya terperangkap dalam tubuh dengan garis kenyataan yang tak sesuai dengan harapan. Katanya, itu adalah takdir Tuhan.

Belum lama ini nama saya sering disebut-sebut oleh banyak orang. Saya heran.  Manusia renta dengan latar belakang pembuat roti bisa menjadi topik pembicaraan. Saya teringat propaganda perang. Jangan-jangan saya diwacanakan yang tidak-tidak. Saya paham betul bagaimana propaganda menjadi mitos yang bisa merasuk secara radikal ke benak halayak! Seharusnya mereka tidak perlu repot-repot, saya akan mengaku sebagai pecundang. Dengan senang hati.

Baru saya ketahui kedatangan wartawan beberapa hari lalu bukan untuk mengupas kepecundangan saya. Tak lama, judul berita di salah satu koran ternama di negera saya adalah “Semangat Roti Perang Rasminto”. Saya kaget bukan kepalang. Bagaimana mungkin seorang tukang roti menjadi perbincangan. Di koran?

Suatu hari saya diminta membuat roti perang oleh sepasang suami-istri kaya raya. Manusia terhormat. Perusahaannya di mana-mana. Keduanya kaya keturunan. Saya menolak. Mereka membujuk. Katanya, mereka akan mengadakan pesta besar-besaran. Merayakan perusahan barunya. Pesta itu akan dihadiri oleh: dari rakyat biasa hingga pejabat-pejabat negara, termasuk juga mengundang Pemimpin negara.

Saya tetap menolak. Alasannya, selain pensiun, resep yang saya gunakan tidak ada di toko roti manapun. Bukan berupa bahan-bahan yang biasa: soda, telur, tepung, dan lain-lain. Resep yang saya gunakan adalah semangat. Dalam kemurnian jiwa. Letaknya di luar kesadaran. Syukur akan lebih nikmat jika saya bisa campur beberapa tetes air mata. Dan itu sulit dilakukan.

Saya katakan kepada mereka, “Jangan hanya karena saya pembuat roti perang, atau saya sedang menjadi buah bibir di media massa, lantas bisa dijadikan roti saya sebagai bahan prestisius di depan para pejabat!”

“Meskipun kami bisa membantumu pergi berperang di garda depan?” jawab Suami dari wanita cantik di sebelahnya.

“Hmm.. Ya, baiklah.”  Saya memang mendambakan mati di medan perang.

Seminggu kemudian, sepuluh ribu satu roti telah  saya sediakan. Seorang pesuruh mengambil di gubuk saya. Saya katakan kepadanya, roti terakhir yang saya buat adalah yang paling nikmat. Tanpa sengaja air mata saya menetes saat mencetaknya karena ingat Sukinah. Dan itu pertanda terakhir saya membuat roti.

***
Di pesta pembukaan perusahaan. Suami dari wanita cantik itu berpidato di depan para undangan. Ia memperkenalkan bagaimana perusahaan barunya. Istri dari laki-laki yang berpidato itu mendampingi. Anggun sekali, sedikit ambisius. Senyum manis kepada para tamu. Tajam tatapannya, sebagaimana tatapan pemburu birahi. Pun demikian dengan isi pidato suami dari wanita cantik itu, menggelegar menembus gendang telinga para hadirin.

Pembicaraan mengenai bisnis baru Pasutri itu hampir selesai. Tidak lupa, lelaki itu membicarakan tentang roti perang buatan Kakek. Konon, memakan roti perang, seperti bisa merasakan sensasi perang. Beberapa puluh tahun lalu. Ia juga menceritakan tentang pembuat roti tersebut, yang baru-baru ini menjadi perbincangan publik karena rotinya yang mengasup energi sedikit magis ke dalam tubuh.

Para tamu undangan semakin penasaran pada tumpukan roti di meja. Panjangnya seratus meter membentuk dua siku huruf U di halaman rumah megah itu.  Pemimpin tertinggi dipersilahkan menyantap roti, disertai penghormatan setinggi-tingginya. Disusul oleh para Menteri, Walikota, Gubernur, dan Bupati masing-masing daerah serta Dewan Perwakilan Rakyat dari daerah hingga pusat. Dengan Penghormatan setinggi-tingginya juga.

Tak pandang Presiden, Menteri, Gubernur, atau pejabat-pejabat yang lainnya. Mereka merasakan sensasi yang luar biasa nikmat. Ketika gigitan pertama, seolah boleh dikatakan, “jika tidak karena menyandang gelar, mereka akan keluar kebringasannya bak singa kelaparan.” Atau, seperti malam pertama setelah dipingit bertahun-tahun. Sayangnya, karena status prestisius yang menempel di pundak mereka, menghambat lidah untuk merasakan secara sempurna. Meski begitu, ada beberapa juga yang tak sungkan menyembunyikan di balik jas hitam atau kemeja batiknya untuk dilahab bersama dengan nafsu dasariahnya, nanti setelah pulang.

Giliran para pebisnis menuju meja. Tak sabar menunggu para pejabat bergeser. Lama sekali. Seperti tak rela meninggalkan meja tempat roti-roti itu disajikan. Tumpukan roti itu, nyaris mengendalikan otak sehat para pebisnis untuk mengambil alih tempat kumpulan para pejabat. Bagaimanapun, sejatinya pejabat tetap di bawah para pebisnis-pebisnis. Bedanya, para pejabat adalah wujud dari sosok yang nampak terhormat.

Tapi tidak, para pebisnis masih bisa menahan nafsu melumat roti-roti itu. Tak lama kemudian, Presiden dan para pejabat negara lainnya beralih tempat. Sudah tidak enak dipandang. Pasutri yang menjadi tuan rumah itu pun sedikit kikuk.

Setelah melahapnya, para pebisnis berkelakuan aneh. Mirip para pejabat. Namun sedikit lebih rakus. Pantas saja, mereka sedikit aman, tidak ditempeli gelar oleh rakyat. Lebih lama pula. Para undangan biasa, seperti tetangga kanan-kiri Pasutri tersebut sudah berdorong-dorongan. Oh ya, para pemuka agama ikut di dalam kumpulan yang sedang berdorong-dorongan itu.

Penasaran, para undangan yang terakhir pun  mengambil alih kumpulan para pebisnis. Mereka tak sungkan-sungkan lagi. Saling pukul. Berebut. Suasana menjadi riuh. Ricuh. Chaos. Mereka tak mau dijadikan yang terakhir. Mereka berpikir, nanti para pebisnis hanya menyisakan sedikit untuk mereka, sedangkan jumlah mereka jauh lebih banyak!

Pasutri Bingung. Juga penasaran. Sebagai tuan rumah, mereka sengaja tidak mencicipi roti perang sebelumnya. Itu kesalahan. Atau mungkin malah menjadi langkah yang benar. Setidaknya, pendapat kedua ini lebih menghargai tamu karena menyajikan makanan yang bukan sisa. Entahlah.

Pasutri heran. Bisa-bisanya pesta hancur hanya karena roti perang! Mereka juga berusaha mencicipi. Tapi sial, keduanya hanya kebagian secuil dari hasil merebut dari tangan seseorang. Meski begitu, mereka merasakan kenikmatan tiada tara. Ketagihan. Tapi sayang roti segera habis. Hanya mendapat masing-masing sebesar batu akik. Pesta berantakan. Tapi satu hal, rasa malu atau sungkan dengan kondisi demikian menjadi lebur, lenyap.

Para undangan pulang satu persatu sering habisnya roti di meja. Satu-dua orang berhasil membawa pulang roti yang di sematkannya di dalam jas, kemeja, bahkan celana dalam. Pasangan suami istri itu termenung. Duduk beradu punggung di dekat meja roti. Tak sengaja, keduanya melihat satu roti yang jatuh di kolong meja. Kebetulan, itu adalah roti paling nikmat dengan campuran tetesan air mata.

***
Tidak seperti pasangan suami istri yang romantis dan penuh pengertian. Mereka tidak mau mengalah satu sama lain.  Terjadilah ikrar, “Jika salah satu dari kita ada yang mengeluarkan suara, maka ia kalah dan harus merelakan roti itu!” tantang suami wanita cantik itu.

“Baiklah, dan satu lagi, jika kita berpindah dari tempat kita duduk, atau sedikit saja tidak memandang roti itu, maka ia akan kalah!” tambah istri laki-laki itu penuh ambisi.
“Baik, saya sepakat!” suami wanita cantik itu tak mau kalah.

***
Sudah dua hari berselang. Pasutri itu masih bersikukuh dengan pendiriannya. Tidak ada cinta. Tidak ada kemesraan. Mereka fokus terhadap roti di kolong meja. Parah, mereka tak pernah berpindah sekalipun ingin membuang kotoran dari dalam tubuhnya!

Sementara itu, roti dilihat dari jarak Pasutri itu duduk, sudah kelihatan menjamur. Tetap saja, mereka enggan merubah pendirian satu sama lain, “Itu roti perang, mana mungkin bisa menjamur atau basi hanya berselang beberapa hari.”, batin dari salah satu di antara keduanya.

Memasuki hari ketiga. Malam. Mereka berdua semakin lusuh. Kotor. Masih saling mengawasi roti di kolong meja. Membisu seperti batu. Hingga terdengar suara detik jam yang kian cepat, dan detak jantung yang kian lambat.

Dalam kesenyapan di rumah megah itu, melahirkan berbagai alasan bagi dua orang undangan di dalam pesta tempo hari. Dua orang itu, kenyataannya masih terbayang betapa nikmatnya roti yang disajikan. Timbullah pikiran bahwa Pasutri tersebut masih memiliki roti simpanan yang bisa untuk dicuri.

Kelengahan rumah Pasutri yang megah itu membuat leluasa dua pencuri memasukinya. Masuk jendela melalui pohon di sebelahnya. Di tengah aksinya, mereka berubah pikiran. Rumah sunyi senyap. Mereka mengemasi seluruh isi rumah. Aman sekali. Bahkan mereka sempat pulang dan kembali lagi membawa truk. Mereka angkut semua isi rumah. Rumah megah mejadi kosong. Tetapi roti pun yang pernah memicunya untuk mencuri tidak juga ditemukan.

“Meski isi rumah sudah kosong, mungkin di halaman depan masih ada sisa-sisa roti.” Ujar salah satu pencuri.
“Ya, encer juga pikiranmu.” Kata temannya.

Keduanya pun langsung menuju halaman rumah Pasutri. Mereka kaget. Bertemu dengan Pasutri yang duduk beradu punggung dan menoleh kearah yang sama. Kedua pencuri menahan langkah. Terpukul mundur. Setelah mereka tengok, tak ada siapa pun. Mereka tak di kejar! Mereka kembali. Mengendap sambil mengenakan topeng. Mereka mendekati Pasutri yang diam saja. Mereka merasa aneh. Merasa diuntungkan, lalu mengemasi barang-barang layak curi di halaman rumah. Namun tak menemukan roti di kolong meja itu.

Merasa aman, kedua pencuri menjadi-jadi. Istri cantik laki-laki itu menjadi incaran. Kedua pencuri menarik tubuh wanita itu dari punggung suaminya. Wanita itu tetap membatu meski tubuhnya diseret. Kepala wanita tetap menoleh ke kolong meja. Kedua pencuri kebelet birahi. Mereka fokus pada si wanita cantik.

Suami wanita cantik tetap diam seribu bahasa. Mempertahankan posisinya, “Pencuri bodoh, cepat buat bersuara mulut istriku, aku tak sabar menyantap benda di kolong meja!” katanya dalam hati. Kedua pencuri abai saja pada laki-laki penatap roti.

Wanita cantik meronta sambil mulut terkunci. Berusaha mempertahankan posisi. Kedua pencuri tak tahan. Tak jauh, sekitar dua meter di belakang suami si wanita, kedua pencuri melepaskan birahi kepada si wanita cantik. Suaminya tetap diam. Fokus kepada roti. Tak kuat menahan kelakuan pencuri, wanita cantik melenguh seperti sapi betina.

Bersama lenguhan istri, sang suami berkata, “Akhirnya mulutmu terbuka, aku menang, aku berhak atas roti itu!” Triak suami dari wanita cantik itu sambil menuju kolong meja dan cepat-cepat melumat roti ternikmat campuran air mata itu. Dia melahapnya di kolong meja!

Sementara suami dari wanita cantik itu menuju kolong meja kemudian menyantap roti usang itu, dua pencuri selesai dengan hasratnya, mereka pergi meninggalkan rumah Pasutri.

Laki-laki yang mendapatkan roti terakhir keluar dari kolong meja. Wajahnya puas, matanya berkaca-kaca. Ia menuju kepada isterinya dan berkata, “Aku menang, dan kau kalah!”

“Bodoh!” Dengan suara lirih si wanita. Tak berdaya.

***
Mendengar kabar Pasutri itu, kakek saya shok. Saya merasa bersalah sudah menceritakannya. Sekarang sudah empat puluh harinya.  




Surabaya, 2015






Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post