Telah Terbit !

Yang sederhana, yang berserakan, yang tak diperhitungkan dan bertebaran di mana-mana, tetaplah harus dirayakan. Spesial SARBI edisi 8 di akhir tahun!

Segera Dapatkan !

Buku Puisi Karya KOMANG IRA PUSPITANINGSIH.

Toko Buku SARBI

Kumpulan buku bekas pilihan yang asik untuk dibaca dan dikoleksi dengan harga bersahabat.

Telah Terbit!

BULETIN TIKAR EDISI 02/2013 Diterbitkan oleh Komunitas Tikar Merah (KTM)

Dapatkan!

Buku Terbaru SARBIKITA Publishing Karya Heru Susanto

Blogroll

Monday, April 29, 2013

Kitab Para Penyair

 photo a810b80dbb7b8df06619d5bcf0dbfbbc82b61a_zpsf0b06cde.jpg


Oleh Budi Setiyono

Tuhan tidak suka para penyair, kecuali yang bertakwa.

LARUT MALAM. Sesudah salat Isya, dia mulai mengetik. Lampu 40 waat dengan kap khusus menyorot  Alquran yang terbuka. Lirih-lirih terdengar surah an-Nisaa dari qariah favoritnya, Saidah Ahmad. Dia merenung. Dipasangnya kaset lain dan terdengarlah suaranya melantunkan surah Yassin. Disusul terjemahannya dalam puisi bahasa Inggris, petikan dari Yusuf Ali. Juga suaranya sendiri, seperti deklamasi. Membangun suasana seperti itu membantu pekerjaannya menerjemahkan Alquran. Setelah menelan Bodrex, dia mengetik lagi.
H.B. Jassin sedang mengerjakan terjemahan Alquran. “Saya melihatnya dari sudut sastra. Dan ini bukan tafsir melainkan terjemahan - dalam bentuk puisi,” ujar Jassin dalam wawancara dengan Tempo, 29 Maret 1975.
Sosoknya tak pernah lepas dari kontroversi. Belum juga rampung masalah cerita pendek “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin, dimuat di majalah Sastra edisi Agustus 1968 dan dianggap menghina Tuhan, yang membuatnya duduk di kursi pesakitan dan mendapat vonis setahun penjara dengan masa percobaan dua tahun –salinan putusannya tak pernah dia terima– H.B. Jassin mempersiapkan sebuah karya yang juga memantik kegalauan sejumlah ulama.
Sehari setelah pemakaman istrinya, Arsiti, pada 12 Maret 1962, Jassin menggelar tahlilan di rumahnya selama seminggu. Pada malam kedelapan, ketika tak ada lagi orang tahlilan, Jassin membaca Alquran sendiri. Hatinya terketuk. Keindahan bacaan dan bahasa Alquran mengilhaminya untuk menerjemahkan Alquran dengan bahasa puisi. Dalam pengantar cetakan kedua, Jassin juga mengaitkannya dengan latar belakang bacaan Alquran dari sang nenek dan serangan Lekra kepada dirinya di masa Orde Lama.
“Orang sekarang berlomba-lomba menerbitkan tafsiran yang tebal-tebal, tapi saya kira yang tak kurang pentingnya ialah suatu terjemahan saja yang bisa dipertanggungjawabkan dari sudut keindahan bahasa dan sudut ilmiah…,” tulis Jassin dalam suratnya kepada B. Soelarto, 17 Desember 1964, sebagaimana termuat dalam Surat-surat 1943-1983.
Dalam mengerjakan karyanya, Jassin mengumumkan bahwa dia bermaksud membuat terjemahan baru yang bukan hanya mengungkap makna dari teks Arabnya, namun juga mengabadikan keindahan puitisnya. “Untuk pertama kalinya, dalam konteks Indonesia, seorang penerjemah secara terbuka memberikan preseden bagi tercapainya padanan fungsional yang signifikan pada teks sasaran,” tulis Peter Riddell.
Sebelum mengerjakan karyanya, Jassin mempelajari Alquran dari berbagai terjemahan. Ada karya Mohammed Marmaduke Pickthall, The Meaning of the Glorious Koran, yang terjemahannya, tanpa teks Alquran, disahkan Senat Dewan Universitas Al-Azhar. Ada pula karya John Medows Rodwell (The Koran), Arthur J. Arberry yang non-Muslim (The Koran Interpreted), Yusuf Ali (The Holy Koran), hingga terjemahan Departemen Agama (Al-Qur’an dan Terjemahannya). Dia juga membuka kamus, A Dictionary and Glossary of the Koran, susunan John Penrice, yang memuat semua kata dalam Alquran.
Sepuluh tahun kemudian, setelah mempelajari berbagai terjemahan dan mencoba mengetahui artinya kata demi kata, Jassin merasa lega. “… alhamdulillah sekarang saya sudah sanggup menerjemahkan tidak hanya dengan akal, tapi terutama dengan hati dan perasaan,” tulis Jassin dalam suratnya dari Leiden kepada Kasim Mansur tanggal 24 Oktober 1972.
Jassin berada di Negeri Belanda pada 1972 karena mendapat beasiswa dari Kementerian Pengajaran dan Ilmu Pengetahuan Belanda untuk melakukan riset pembaruan sastra Indonesia dan mempelajari pengajaran bahasa dan sastra di berbagai negara Eropa. Istrinya, Lily (Yuliko Willem), ikut dengan ongkos sendiri. Di Belanda pula Jassin mencoba menyelesaikan karyanya.
Kasim Mansur, sastrawan asal Surabaya yang juga sahabat Jassin, adalah orang yang mendorong dan membantu Jassin dalam menyelesaikan karya ini. Setidaknya ini terlihat dalam surat Jassin kepada Kasim Mansur: “Terima kasih Sim, atas terjemahan Abdullah Yusuf Ali yang saya dapat dari Kasim tiga tahun yang lalu dan atas anjuran Kasim untuk menerjemahkan Alquran.”
Jassin tidaklah asing dengan bahasa Arab. Selama tiga tahun dia mempelajari bahasa Arab dari A.S. Alatas, dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan penterjemah Al-Majdulin Musthafa Lutfi Al-Manfaluthi –selain pelajaran ilmu-ilmu Islam dari islamolog terkenal Prof Pangeran Arjo Hoesin Djajadiningrat. Jassin juga  menerjemahkan buku pelajaran teologi dasar al-Jawahirul Kalamiyah sebagai latihan. “Hanya ia memang tidak secara langsung mempelajari ilmu-ilmu seperti Ma ani-Bayan-Badi yang merupakan gerbang bagi penguasaan ilmu-ilmu alat untuk seorang pentafsir (bukan sekadar penterjemah) Quran,” tulis Tempo, 4 Oktober 1975.
Sudah sepuluh tahun pula Jassin membaca Alquran berurutan dari permulaan hingga habis dan kemudian diulang lagi. Jassin memulai penerjemahan surah Al-Mu’minun karena kebetulan sedang mempelajari surah ini. Sesudah itu, dia akan mengerjakan surah Yassin, yang populer dalam kehidupan orang Indonesia. Kemudian surah Ar-Rahman dan Al-Waqiah karena dia anggap secara estetis paling indah dalam seluruh Alquran karena bunyi dan iramanya. Sesudah itu dia kembali akan menerjemahkan surah-surah sesudah Al-Mu’minun.
“Aduh Sim, makin didalami makin nikmat. Mudah-mudahan saya berhasil mengungkapkan kembali keindahan bentuk dan kandungannya,” tulis Jassin dalam suratnya kepada Kasim Mansur, 26 November 1972.
Sebagian terjemahannya dimuat di Panji Masyarakat dan mendapat komentar dari kawan-kawannya, yang menganggap karya Jassin akan jauh dari aslinya karena mendasarkan pada terjemahan bahasa Inggris atau bahasa lainnya. Dalam surat kepada Kasin Mansur, 9 Desember 1972, Jassin membantah anggapan itu.
“Mengenai komentar kawan-kawan, saya kira lebih baik saya diam saja. Yang penting saya harus memberikan bukti. Hanya perlu dijelaskan bahwa saya menerjemahkan dari Alquran bahasa Arab sebagai induk dan mempergunakan terjemahan-terjemahan lain sebagai perbandingan dan memakai pula kamus-kamus dan Konkordansi Flugel untuk mencek kembali.”
Pada akhirnya Jassin menyelesaikan karyanya dan diterbitkan Djambatan tahun 1978 dengan judul Al-Quranul Karim Bacaan Mulia. Mushaf dan kaligrafi dikerjakan Haji R. Ganda Mangundihardja. Buya Hamka dan Menteri Agama Mukti Ali memberi kata pengantar.
Muncullah kontroversi. Menurut laporan Tempo, 10 Juli 1982, tak lama sesudah cetakan pertama, beberapa orang serentak menyerangnya di media. Bermacam surat datang ke Menteri Agama atau Majelis Ulama Indonesia, minta terjemahan tersebut dicabut dari peredaran. Terbit pula tiga buku: Koreksi Terjemahan Al Quranul Karim Bacaan Mulia H.B. Jassin oleh Nazwar Syamsu, Padang Panjang, Polemik tentang Al Quranul Karim Bacaan Mulia oleh H. Oemar Bakry, dan Sorotan atas Terjemahan Quran H.B. Jassin oleh KH Siradjuddin Abbas.
Umumnya, mereka beralasan Jassin bukanlah ulama yang mempelajari Alquran secara mendalam sebagaimana layaknya penerjemah Alquran. Kemampuan bahasa Arabnya juga disangsikan. Bahkan mereka keberatan pada penggunaan sejumlah istilah dan ungkapan.
Oemar Bakry, misalnya, menuduh Jassin tak punya cukup bekal pengetahuan agama untuk mengerjakan sebuah tugas mahapenting seperti menerjemahkan Alquran. Dia juga menolak pemilihan judul buku Jassin, yang dia anggap “menolahkan martabat Alquran menjadi sama dengan buku-buku lain ciptaan manusia. Buku… bacaan bahagia, bacaan sempurna, bacaan utama, dan lain-lain sebagainya,” sebagaimana dikutip Peter Riddell.
Sebenarnya Jassin bukanlah orang pertama yang melakukannya. Dalam bahasa daerah, R. Hidayat Suryalaga secara bertahap menerbitkan penjelasan Alquran dalam bahasa Sunda dalam beberapa jilid, dengan judul Saritilawah Basa Sunda, yang dimulainya pada 1944. Menurut Peter Riddell, pendekatannya mengingatkan pada karya Jassin, Al-Quran: Bacaan Mulia. Suryalaga menuliskan terjemahannya berdasarkan terjemahan-terjemahan lain dalam bahasa Indonesia dan Jawa, dan menuangkannya ke dalam dangding, syair tradisional Sunda. Namun karyanya tak memicu penolakan seperti dialami Bacaan Mulia Jassin.
“Ini mungkin disebabkan oleh dua hal; pertama, teks bahasa sasaran itu ditulis dalam salah satu bahasa daerah minoritas. Kedua, dan mungkin yang paling penting, Jassin telah meninggalkan jejak yang dapat dimanfaatkan oleh penerjemah-penerjemah lainnya,” tulis Peter Riddell dalam “Menerjemahkan Al-qur’an ke dalam Bahasa-bahasa di Indonesia”, termuat dalam Sadur.
Jassin sendiri sadar bahwa karyanya akan menimbulkan polemik. Sebelum naskah itu terbit, Jassin sempat mempresentasikannya dalam sebuah acara di Musabaqah Tilawatil Quran Nasional tahun 1975 di Palembang. Jassin membacakan ceramahnya sepanjang 11 halaman, menuturkan pengalaman pribadinya mengapa dia tertarik pada Alquran dan kemudian berusaha menerjemahkannya secara puitis. Salah satunya, ujar Jassin sebagaimana dikutip Tempo 4 Oktober 1975, semua terjemahan yang sudah dikerjakan orang dalam bahasa Indonesia ditulis dalam bahasa prosa. Tak mengherankan karena para penerjemah –umumnya guru agama– mementingkan kandungan kitab suci itu. Padahal sebenarnya bahasa Alquran sangat puitis dan ayat-ayatnya dapat disusun sebagai puisi dalam pengertian sastra.
Pembicaraan juga memasuki masalah teknis penerjemahan. Kritik pun berdatangan. Bagi Jassin, kritik semacam itu bisa dialamatkan ke terjemahan mana pun sebab tak ada satu terjemahan yang disepakati semua orang. Alquran, katanya, demikian besar sehingga tak akan habis diterjemahkan. Toh dia mau menerima sejumlah masukan. Dia juga akan meminta pendapat orang dalam koreksi terakhir naskahnya.
Jassin mendapat dukungan dari Ustadz Mukhtar Luthfi al-Anshari, ketua panitia Majelis Ulama DKI yang mengoreksi terjemahannya. Katanya kepada Tempo, 10 Juli 1982: "Kebanyakan ulama sebenarnya hanya berpegang pada sebagian saja dari kitab-kitab tafsir andalan sebagai perbandingan." Dan di Indonesia, "biasanya yang dipegang terutama tafsir Ibnu Katsir."
Jassin dipanggil menghadap Majelis Ulama Daerah Istimewa Jakarta pada 25 Agustus 1976 untuk menjawab berbagai tuduhan seputar terjemahannya.
Atas reaksi itu, Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) bergerak. Setelah Jassin diundang dalam satu sidang para ulama, MUI memutuskan menyerahkan masalah ini kepada MUI DKI Jakarta yang kemudian membentuk sebuah panitia bernama Tim Perbaikan Terjemahan Al-Quranul Karim Bacaan Mulia untuk meneliti karya itu. Panitia diketuai oleh Mukhtar Luthfi al-Anshari. Pekerjaan itu makan waktu tiga tahun, selesai Maret 1982.
Akhirnya karya itu terbit bertepatan dengan hari ulang tahun Jassin ke-65. Penerbitnya Yayasan 23 Januari 1942, yang didirikan tokoh-tokoh dari Gorontalo di Jakarta seperti B.J. Habibie, J.A. Katili, Th. M. Gobel, Ir. Ciputra, Mukhtar Peju, dan H.B. Jassin sendiri. Pada 1984, Yayasan 23 Januari 1942 juga menerbitkan karya Jassin lainnya, Juz Amma Berita Besar.
“Maka, dengan usaha Dr H.B. Jassin menulis terjemahan Alquran, dia telah sampai pada batas yang dia sendiri tidak dapat mundur lagi buat turut memperkuat perkembangan penyebaran Islam di tanah air kita bersama-sama dengan teman-temannya yang lain,” ujar Hamka mengenai terjemahan AlQuranul Karim Bacaan Mulia, seperti dikutip Pamusuk Eneste, H.B. Jassin Paus Sastra Indonesia.
Satu masalah rampung, Jassin kembali membuat kontroversi. Bukan hanya terjemahan Indonesia yang ingin dipuitisasikan, Jassin pun hendak menyusun urutan tulisan Alquran secara puitis. Sejak 1991, dia menulis ulang Alquran dalam bentuk tipografi puisi, diurutkan secara simetris. Jika ujung ayat itu berbunyi akhir ayat "nun", misalnya, bunyi ujung-ujung ayat berikutnya diatur pada yang berbunyi "nun" juga, begitulah kira-kira. Penulisannya dilakukan oleh kaligrafer D. Sirodjuddin A.R. Dia sudah mempersiapkan judulnya, Al Quran Berwajah Puisi.
Yang memotivasi Jassin: "Mengapa Alquran yang begitu indah bahasa dan isi kandungannya tidak ditulis pula secara indah perwajahannya."
Jassin bukanlah sastrawan pertama. Mohammad Diponegoro (Dipo) sudah melakukannya, meski hanya juz 29 dan 30. Dipo menerbitkan buku Pekabaran, Puitisasi Terjemahan Al Quran Juz Amma, yang diterbitkan Budaya Jaya pada 1977. Bersama karya-karya Djamil Suherman dan Kaswanda Saleh, terjemahan puitis juz 30 Alquran gubahan Dipo dikumpulkan pengarang A. Bastari Asnin dalam Kabar dari Langit, yang meski tak jadi diterbitkan kerap dideklamasikan dan merupakan awal kegiatan puitisasi di belakang hari. Dipo sendiri tak menganggap dirinya pelopor. Dia menyebut penyair Rifai Ali pada 1930-an sebagai perintisnya.
Jasssin baru mengerjakan 10 juz ketika muncul imbauan agar tak melanjutkannya. ”Mudaratnya lebih besar daripada manfaatnya,” ujar ketua Lajnah Pentashih Mushaf Al Quran, lembaga yang berwenang mengesahkan penerbitan Alquran, seperti dikutip Tempo, 13 Februari 1993.
MUI mengajukan keberatan. Dalam suratnya antara lain disebutkan, naskah H.B. Jassin tak sesuai dengan mushaf Al Imam, mushaf (tulisan naskah Quran) yang menjadi standar di dunia Islam, termasuk Indonesia. Susunan kalimat ayat yang dikerjakan Jassin juga tak mengindahkan ketentuan qiroatnya, antara lain soal pemenggalan kalimat.
Tentu saja Jassin kecewa. Soalnya, jauh sebelum ada larangan itu, dia sudah menghubungi orang-orang seperti Ketua Lajnah Pentashih Mushaf Al Quran Hafizh Dasuki, Menteri Agama Munawir Sjadzali, dan Ketua MUI Hassan Basri.
Jassin melayangkan surat kepada Hafizh Dasuki dan Hasan Basri. Dia mempertanyakan keberatan kedua lembaga tersebut. Misalnya, tentang apa saja mudarat dan manfaat kreasinya, tentang Alquran yang beredar sekarang seragam dengan mushaf Al Imam yang asli, juga tentang ketentuan-ketentuan mengenai qiraat yang paling asli.
Alquran berwajah puisi urung terbit hingga kini.
Jassin menyadari surat Asy Syu’araa (para penyair) menyebutkan bahwa Tuhan tak suka pada penyair. Tapi, ada sambungannya,”kecuali orang-orang yang takwa,” ujar Jassin dikutip Tempo. 

Dimuat 26 Agustus 2011 di www.historia.co.id

@Redaktur SARBI: Dody Kristianto

Jakarta

 photo a810b80dbb7b8df06619d5bcf0dbfbbc82b61a_zps65445c98.jpg
Untitled by thesarahshow with a Lomo LC-A+ loaded with kodak elitechome ebx


Oleh Totilawati Tjitrawasita

            Ketika penjaga menyodorkan buku tamu, hatinya tersen¬til. Alangkah anehnya, mengunjungi adik sendiri harus mendaftar, padahal seingatnya, dia bukan dokter. Sambil memegang buku itu dipandangnya penjaga itu dengan hati-hati, kemudian pelan dia bertanya, “Semua harus mengisi buku ini? Sekalipun saudara atau ayahnya, umpamanya?”
            Yang ditanya hanya mengangguk, menyodorkan bolpoin. “Silakan tulis: nama, alamat, dan keperluan,” katanya.
            Tiba-tiba timbul keinginannya untuk berolok-olok. Sambil menahan ketawa ditulisnya di situ: nama: Soeharto (bukan Presiden). Keperluan: urusan keluarga.
            “Cukup?” katanya sambil menunjukkan apa yang ditulisnya kepada penjaga. “Lelucon, lelucon”. Katanya berulang-ulang sambil menepuk-nepuk punggung penjaga yang terlon¬gok-longok heran.
            “Dia tahu, siapa saya” ujarnya menjelaskan.
            “Tanda tangannya belum, Tuan. Dan alamatnya?”
            Betul juga, ada gunanya juga menjelaskan identitasnya agar tuan rumah tahu dan memberikan sambutan yang hangat atas kedatangannya. Maka ditulisnya di bawah tanda tan¬gannya, lengkap: Waluyo ANOTOBOTO. Nama keluarganya sengaja dibikin kapital semua, diberi garis tebal di bawahnya. Sekali lagi dia tersenyum, rasa bangga terukir di wajahnya.
            “Begini?” tanyanya seperti meminta pertimbangan penja¬ga.
            Terbayang adik misannya tergopoh-gopoh membuka pintu, lalu menyerbunya dengan segala rasa rindu, sambil melem¬par macam-macam pertanyaan kepadanya, “Bagaimana Embok, Bapak? Tinah, anaknya sudah berapa?” Kemudian dilihatnya diri sendiri menepuki punggung adiknya dan dengan suara dan gaya orang tua dia bilang, “Sehat. Semua sehat. Dan mereka kirim salam rindu kepadamu.”
            Ketika pintu berderit ia tersentak dari lamunannya, dan di saat berdiri hendak menyambut adik misannya, ternyata yang keluar bukan dia … tapi si penjaga.
            “Bagaimana?” tanyanya tak sabar.
            “Duduklah Tuan, duduk saja. Pak Jenderal sedang ada tamu. Tapi saya lihat Pak Jenderal heran melihat nama Bapak di situ.”
            Mendengar itu dia tersenyum, lalu duduk kembali di kursi. Ditepuk-tepuknya debu yang melekat di celananya, lantas diambilnya slepi dari sakunya.
            “Boleh merokok”” tanyanya minta izin.
            “Silakan, silakan,” kata si penjaga dengan ramah. Sikap tamu itu memang merapatkan rasa persaudaraan. Ditawarkan¬nya rokok ke ujung hidung si penjaga,
            “Mau? Silakan lho!” yang dijawab dengan gelengan kepala dan goyangan tangan oleh si penjaga.
            “Baiklah, tapi jangan panggil saya Tuan, ah. Saya bukan Tuan. Orang awam, sama seperti Saudara. Nama saya Waluyo. Orang-orang memanggilku ‘Pak Pong’. Lihat saja nanti, Pak Jenderalmu pasti memanggil aku dengan  ‘Pak Pong’, ‘Pak Pong’ terlalu banyak makan singkong, kalau rakus dikasih teletong. Ooh, sejak kecil kami memang suka berolok-olok.” Dia tertawa lebar, terkenang masa kecilnya, ber¬canda di atas punggung kerbau. Si penjaga sempat menca¬tat: gigi tamunya ompong semua.
            “Tuan, Eh Pak Pong, petani?” ujarnya ragu-ragu, takut kalau menyinggung perasaan.
            “Petani? Apa potongan saya petani? Bukan! Tapi waktu remaja memang kami suka pencak silat. Rupanya meninggal¬kan bekas juga, pada potongan tubuhku. Atau karena baju model cina ini ya? Saya, guru SD di Desa Nggesi. Sekolah ini telah menghasilkan orang-orang besar. Murid saya yang pertama sekolah sudah Kapten, ada juga yang insinyur. Dan Pak Jenderalmu, murid yang paling jempolan. Otaknya tajam se¬kali,” katanya sambil mengacungkan ibu jari ke atas, memuji kepandaian adik misannya.
            Bel yang mendadak menjerit tiga kali menghentikan dongengnya. Tampak olehnya penjaga itu berdiri dengan tergesa-gesa sambil berkata, “Tunggu sebentar, mungkin Bapak sudah diperlukan.”
Dia melongo, “Diperlukan?” Diperlukan?” ujarnya di dalam hati, tidak mengerti. Disedotnya rokoknya dalam-dalam, asapnya ditiupkan ke atas. Terbayang kembali di depan matanya Paijo yang kurus kering, makan satu meja, tidur sepembaringan, adik misannya sendiri. Pernah ada bisul di pantatnya, lantas ditumbukkan daun kecubung untuk obat. Waktu tubuh yang kering itu disergap kudis, dia bersepeda sepanjang limapuluh kilometer untuk beli obat ke kota buat adiknya itu. Pagi dan sore menggerus belerang, merebus air dan merendam Paijo pada kemaron yang besar. Tiga puluh lima tahun yang lalu, itu, ketika semua masih anak-anak.
            “Pak Pong mau minum apa?” Seperti tadi, si penjaga nyelonong duduk dan menegurnya, membubarkan angan-angan masa silamnya. “Pak Jenderal bilang saya harus menemani Bapak, sebab Pak Jenderal lagi sibuk. Sebentar lagi ada tamu istimewa, Pak Menteri. Minumnya apa, Pak? Juice? Coca Cola?”
            “Apa saja, boleh. Kopi kalau ada,” ujarnya merendah.
            “Aih, Jakarta panas, kenapa kopi? Tapi apa Bapak Sauda¬ranya Pak Jenderal?” ujar penjaga sambil menyorongkan cangkir ke depan tamunya.
            “Ya, kakak sepupu. Sejak kecil dia yatim piatu. Ibu bapaknya meninggal kena wabah kolera. Dia dua saudara, adik perempuannya bernama Tinah. Lantas keduanya diambil oleh orangtua kami, dibesarkan dalam kandang yang sama, di Nggesi. Kami memang keluarga petani, tapi dia agak lain, otaknya luar biasa. Sejak kecil dia sudah menunjukkan bakatnya, selalu saja dibuatnya hal-hal yang mengagum¬kan. Karenanya kami semua bersepakat untuk mengirimnya ke kota, sekolah. Waktu itu kami menjual sapi dan padi untuk ongkos-ongkosnya. Lantas saya waktu sudah jadi guru, saya kirimkan seluruh gaji untuk biayanya, sebab di desa kami kan bisa makan apa saja …. Ooh, apa itu Pak Menteri?” tiba-tiba dia menghentikan ceritanya, menunjuk ke jalan.
            Seperti disengat lebah, penjaga yang di dekatnya melon¬cat bangun, setengah berlari menyambut tamu yang baru datang dan bergemetaran ketika membukakan pintu mobilnya.
            “Langsung saja, Pak,” kata si penjaga sambil mengantar Pak Menteri ke ruang tamu di dalam.
            Dia duduk saja di situ, tercenung-cenung. Dicatatnya kejadian itu dalam hati: tamunya Paijo, Menteri; langsung bertemu tanpa menunggu. Lantas dihitung-hitung sudah berapa tahun mereka tidak saling ketemu. Apa Paijo juga gemuk seperti Menteri itu? Tiba-tiba semacam kerinduan naik mencekam naik ke dadanya: Dia ingin melihat adiknya! Serasa hendak diterjangnya tembok yang ada di hadapannya. Karena gelisah dia berdiri, berjalan ke arah pintu.
            Ketika tangannya menyentuh grendel, pintu terdorong dari dalam. Dan seseorang muncul di depannya: si penjaga! Dengan tertawa terkekeh-kekeh ditepuk-tepuknya bahu Pak Pong yang tua.
            “Kabar baik, Pak, kabar baik. Mereka berdua wajahnya cerah-cerah. Menteri itu banyak duit, alamat saya keba¬gian rejeki. Oo, jadi Pak Pong ini kakak misan Pak Jen¬deral, ya? Betul mirip memang, dan Pak Jenderal selalu bangga pada keluarganya. Dalam pidato-pidatonya selalu disebut-sebutnya: anak desa, penderitaan rakyat, dan perjuangan melawan Belanda,” kata penjaga itu mencoba mengingat-ingat kembali apa yang pernah diucapkan oleh Jenderalnya, kepada tamunya.
            “Ya, betul. Rumah kami pernah dijadikan markas, waktu zaman gerilya. Masih lama ya, Pak Menteri itu?” katanya tak sabar lagi.
            “Tidak! asal Bapak Jenderal mau teken, biasanya urusan selesai. Minumnya ditambah lagi ya, Pak?”
            Dia menggeleng lesu, dalam hati diumpatnya Menteri dan tamu-tamu yang antri di situ, merebut waktu adiknya.
            Karena badan dan pikirannya terlalu capek, dia mengan¬tuk di situ. Si penjaga tidak mengganggunya, dibiarkan saja tamunya tersandar lemas di kursinya. Entah berapa lama dia dalam keadaan semacam itu, dia sendiri tak menyadarinya; tiba-tiba didengarnya kembali bel tiga kali. Si penjaga menggoncang-goncang bahunya.
            “Giliran untuk Pak Pong. Mari, saya antarkan ….” Ada keramahan yang tulus terlempar dari mulut si penjaga. Bibirnya menyunggingkan senyum, ikut merasa bahagia. Waktu pintu ternganga lebar, dia tercenung di depannya. Matanya bergerak ke sana ke mari menatapi apa saja yang dilihatnya. Ruangan itu bagus sekali. Hawa dingin menyen¬tuh kulitnya. Ada kesegaran di dalamnya. Di tengah-tengah barang-barang yang serba megah, duduk laki-laki jangkung, memakai kecamata hitam. Betulkah itu Paijo?
            Ya, dia tidak salah: ada tahi lalat di pipinya. Maka dia pun menyerbu ke dalam, lalu dihamburkan kerinduannya, “ … Jo …,” teriaknya nyaring. Ketika hendak dirang-kulnya laki-laki yang duduk di belakang meja, dia menda¬dak menghentikan langkahnya, sebab laki-laki itu bukannya berdiri tetapi tetap saja duduk di kursi. Laki-laki jangkung itu melepaskan kecamatanya pelan-pelan, lalu mengulurkan tangannya.
            “Hallo, Pak Pong, apa kabar? Saya senang bertemu kakak di sini? Bagaimana Ibu, Bapak dan Dik Tinah?”, ujarnya, datar tanpa emosi.
            Laki-laki yang bernama Pak Pong itu hanya melompong.
            “Kakak, Ibu, Dik Tinah?” dia sempat mencatat kata-kata baru. “Bukankah kata-kata itu dulu berbunyi, “Kakang, simbok, dan gendukku Tinah?”
            “Baik, baik, Dik, semuanya kirim salam rindu padamu,” katanya dengan latah, “dik”nya terasa kaku di lidah. Dulu, orang yang ada di depannya itu dipanggilnya dengan le saja, ketika masih sama-sama memandikan kerbau di sungai, tiap sore.
            “Kakak tetap saja: penggembira, awet muda, bajunya potongan Cina.” Mereka tertawa berderai-derai. Tapi laki-laki yang bernama Pak Pong menangkap sesuatu yang lain dari wajah adiknya: ketidakwajaran.
            Maka hilanglah kegembiraannya. Kerinduan yang hendak dia tuangkan dalam banyak cerita, berhenti sampai di tenggorokannya. Dia tenggelam dalam keasingan. Terentang batas di depannya. Sekalipun tidak diketahuinya bagaimana wujudnya, tapi dia dapat merasakannya. Pada setiap tari¬kan napas adiknya terbayang ungkapan kegelisahan adik misannya itu, akan kehadirannya.
“Kakak nginap di mana?” tanya laki-laki yang sejak kecil dia timang-timang itu, mengiris hatinya.
“Gambir. Engkau sibuk, Dik? Ada titipan dari Ibu, “ kata-katanya menggeletar, ada rasa penasaran yang dite¬kannya sendiri di dalamnya. Didengarnya sendiri, betapa lucunya kata ‘ibu’ terluncur dari mulutnya. Lebih dari setengah abad dunia ini dihuninya, baru satu kali itu dalam hidupnya ia menyebut ibu buat emboknya.
            “Dari Ibu? Baiklah, nanti saja; sebentar lagi saya harus rapat di Bina Graha. Kakak nginap di Gambir? Kalau begitu, biarlah penjaga mengantarkan kakak ke sana. Nanti malam Kakak saya tunggu, makan malam di rumah bersama keluarga.”
            Laki-laki itu berdiri, mengantarkan kakaknya sampai di pintu, memanggil serta memberikan aba-aba pada sopir dan si penjaga. Sesudah itu mobil merah punya Pak Jenderal meluncur melintasi kota, cepat seperti kilat.
            “Gambir sebelah mana, Pak?” ujar sopir di perjalanan.
            “Stasiun!” jawabnya tenang.
            “Stasiun? Kiri apa kanannya, Pak?” tanya si penjaga, ingin lebih jelas.
            “Tidak, di stasiunnya itulah. Jam berapa kereta mening¬galkan Jakarta? Saya tidak punya famili di sini, kecuali dia. Kasihan adikku, repot sekali kelihatannya. Tentu di rumahnya banyak tamu, sehingga saya tidak kebagian ruang dan waktu. Kasihan adikku, seharusnya saya tidak meng¬ganggunya,” ujarnya tulus, tanpa prasangka, pelan seperti bicara kepada dirinya sendiri.
            “Pak Pong …”, sapa penjaga itu dengan lirih. “Kalau Pak Pong mau, biarlah kita bersempit-sempit di gubuk saya. Kereta meninggalkan Jakarta baru besok pagi, jam lima. Ada yang jalan sore, tapi karcisnya sepuluh ribu.”
            Laki-laki yang dipanggil Pak Pong mengulurkan kedua belah tangannya. Mereka bersalaman dengan hangat, ditem¬pelkan di dada, bersilaturahmi.
            “Alhamdulillah. Kamu tidak keberatan, menerima aku satu malam saja?”
Penjaga itu menggeleng lemah, tanpa berbicara. Hanya saja mata yang menatap sedih pada orang yang duduk di dekatnya itu.
            Malam itu, Pak Pong berjalan kaki, keliling kota Jakarta, di temani si penjaga. Kejadian siang tadi sama sekali tidak membekas pada wajahnya, mukanya tetap berseri-seri. Diterimanya kenyataan itu sebagai hal wajar: adiknya orang besar, sibuk dan banyak acara, mengurus negara. Setiap kali melihat mobil merah lewat di dekatnya, tanya¬nya, “Bukankah itu mobil Paijo? Jangan-jangan dia menjem¬put aku? Kami memang sudah berjanji, jam tujuh, makan malam.”
            Si penjaga menepuk-nepuk bahunya, “Mobil merah ratusan, Pak, jumlahnya di sini. Dan malam ini Pak Jenderal ada di istana, menyambut tamu dari luar negeri.”
            “Istana? Rumahnya Presiden, maksudmu?” matanya terbeli¬ak lebar, mengungkapkan keheranan yang besar.
            “Ya, rumah Presiden. Nah itu, lampu-lampu yang gemerla¬pan itu night club. Tahu night club?” tiba-tiba saja si penjaga merasa berarti, lebih pandai daripada tamunya, kakak sepupu Jenderalnya.
            “Night club,  Pak, pusat kehidupan malam di kota ini. Tempat  orang-orang kaya membuang duit mereka. Lampunya lima watt, remang-remang; perempuan-perempuan cantik, minuman keras, tari telanjang, dan musik yang gila-gilaan. Pendeknya, yahut!” ujar penjaga sambil mengacung¬kan jempolnya.
            “Lantas, apa yang mereka bikin, di situ?” suaranya tercekik membayangkan ketakutan yang besar.
            “Berdansa. Bercumbu. Biasa, Pak, Jakarta!” jawab si penjaga dengan ringan.
            “Astaga … Gusti Pangeran, nyuwun pangapura…. Dan adikku apa sering ke situ?” ujarnya lirih, mengandung sedu.
            “Tidak ke situ, ke Paprika. Tapi sama saja. Malah karcisnya mahal di sana, enam ribu!”
            “Enam ribu? Sama dengan dua bulan gajiku,” keluhnya pelahan.
Lampu-lampu yang berkilauan terasa menusuk-nusuk mata¬nya, sedangkan kebisingan kota menyayat-nyayat hatinya. Samar-samar dia sadari bahwa dia telah kehilangan adik¬nya: Paijo tercinta!
            Pak Pong yang malang menatap kota dengan dendam di dalam hati. Jakarta, kesibukannya, Bina Graha, gedung-gedung itu, Istana Merdeka, night club, mobil merah telah memisahkan dia dari adiknya.
            Ditatapnya bungkusan kecil titipan emboknya, lalu diberikannya kepada si penjaga, “Untukmu. Kain yang dibatik oleh tangan orang tuaku. Di dalamnya terukir cinta ibu kepada anaknya. Coretan tanah kelahiran yang dikirim untuk mengikat tali persaudaraan!”
            Dua tetes air mata membasahi pipi yang tua, menandai kejadian waktu itu.


Dikutip dari Hoerip, Satyagraha. 1979. Cerita Pendek Indonesia 4. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Halaman 192–198. Diambil dari www.endonesa.wordpress.com


@Redaktur SARBI: Dody Kristianto


Friday, April 19, 2013

Makam Seekor Kuda

 photo contemporary-vibrant-horse-painting-svetlana-novikova_zpse3445e0c.jpg
Contemporary Vibrant Horse Painting - Acrylic On Canvas oleh Svetlana Novikova


Oleh Sunlie Thomas Alexander 

“INI makam seekor kuda,” kuingat jawaban ibuku ketika aku pertama kali menanyakan perihal makam yang terletak di tengah-tengah kota kecamatan kecil kami itu—tepatnya di samping kantor lurah yang bermuka-muka dengan rumah dinas camat. Itu kurang lebih dua puluh lima tahun silam dan aku masih duduk di sekolah dasar.
“Kuda? Kuda siapa?” tanyaku bingung. Namun Ibu hanya mengulum senyum saat itu.
Makam tua itu berbentuk empat persegi panjang, berundak-undak dengan undakan bagian teratas miring ke bawah. Di permukaannya, terukir sederet tulisan dalam bahasa Belanda yang bukan saja tak banyak lagi orang di kota kecil kami paham, tetapi juga sudah nyaris tak terbaca. Toh, masih tampak sebuah nama: HELENA. Jadi aku pikir kuda itu memang seekor betina seperti dikatakan orang-orang tua. Samar-samar tereja sederet tanggal:  Geb 21-9-1927 – Overl 3-7-1933.

“Ya, ini memang kuburan kuda,” tukas Brenda dalam bahasa Inggris usai mengamati tulisan di atas makam itu beberapa lama. Lalu tanpa kuminta ia mengartikan kalimat yang tertera di bawah nama: “Telah beristirahat dalam damai, kuda kesayangan kami….”
Asap dupa-dupa merah yang tertancap di bagian kaki makam, mengepul pekat, menebarkan aroma gaharu yang santer. Sehingga Brenda terpaksa menutup hidungnya dengan sapu tangan lantaran tak tahan pada wangi dupa yang tajam menyengat itu. Sudah tiga kali ia bersin sejak kami tiba setengah jam yang lalu.
Tiga buah apel, kue apem, dan sejumput rumput dalam tiga piring kecil—juga satu sloki arak—tersaji di depan batang-batang dupa menyala. Brenda mengabadikan semuanya dengan tustel yang ia bawa. Ketakjuban terpancar jelas dari kedua mata birunya yang berbinar-binar.

Seorang perempuan Tionghoa berumur separoh baya kemudian datang tergesa-gesa. Dari keranjang bawaannya yang penuh sayur-mayur, tampaknya dia baru pulang dari pasar. Dikeluarkannya sebungkus dupa dari keranjang, mengangguk saat melihat kami, lalu mencabut tiga batang dupa dari bungkusan. Disulutnya batang dupa dengan korek api, lantas berdiri di depan makam dan mengangkat dupa dengan sikap takzim. Tiga kali dia menjura sebelum akhirnya menancapkan dupa ke kaki makam.

Aku jadi teringat lagi pada Ibu. Ingat bagaimana dulu beliau terkadang mengajakku mengunjungi makam ini membawa dupa, sesekali buah-buahan. Meski kini, setelah mengidap rematik yang membuat jalannya tertatih-tatih, tak pernah lagi beliau datang bersembahyang. Maklum, umurnya sudah 65 tahun. Bahkan, beliau tak pernah lagi pergi ke pasar tiga tahun belakangan. Untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk belanja dan masak-memasak, Bibi Cin, adiknya nomor empatlah yang menangani.
“Ibumu marah,” kata bibiku yang tidak menikah itu tak lama setelah aku dan Brenda tiba di rumah. Kami sedang minum kopi di teras belakang ketika ia muncul sambil menenteng kantong kresek yang ternyata isinya kue jajanan pasar. Dituangkannya kue-kue itu ke atas piring dan menaruhnya di atas meja di hadapan kami.

“Marah kenapa, Ji Cai?” [1]

Bibi tidak menjawab, tapi ekor matanya melirik Brenda dengan segan. Aku menghela nafas, membiarkannya masuk kembali ke dapur tanpa merasa perlu menuntut jawaban. Rasanya aku sangat mengerti. Dan ternyata apa yang aku duga benar: Ibu tak suka aku berhubungan dengan Brenda, apalagi membawanya pulang.

“Aku masih lebih senang kau menikah dengan orang Melayu, daripada aku harus punya mantu gadis Holland yang suka telanjang itu!” kata Ibu ketus malam harinya ketika Brenda sedang beristirahat di kamar atas.

“Brenda bukan Belanda, dia orang Belgia,” aku coba menjelaskan meskipun tahu sia-sia belaka. Di mata Ibu—orang lama yang nyaris buta huruf—semua orang Barat sama saja. Mau orang Amerika, Perancis, Australia, bahkan Hispanik bakal tetap disebutnya Holland. Ai, aku jadi terkenang pada orang Jawa yang suka menyebut semua orang bule sebagai Londo. Tentu aku tak perlu menjelaskan padanya letak negara Belgia yang bertetangga dengan Belanda, atau negeri itu dulunya bagian dari Belanda sebelum memisahkan diri. Keadaan bisa tambah runyam.

“Kalau kakekmu masih hidup, dia pasti ngamuk!” tukas Ibu yang tak mau memandang wajahku. Bahkan sebelum beranjak ke kamar, beliau sempat memperingatiku: “Pokoknya aku tak mau dia berada dekat-dekat di altar kakekmu.”

Aku terhenyak di sofa. Lelah. Bayangan wajah mendiang Kakek berkelebat di mataku, juga cerita-cerita yang sering dituturkannya semasa hidup. Kakek meninggal saat aku duduk di bangku kelas tiga SMA. Dalam usia yang relatif tua: 92 tahun. Namun aku tidaklah sependapat dengan Ibu. Kurasa jika beliau masih hidup, Kakek akan menghargai pilihanku.
Almarhum Kakek—seperti halnya mendiang ayahku, putra keduanya yang tamatan Chung Hwa Hok Tong [2]—cukup berpendidikan. Walau tak pernah memiliki ijazah, Kakek fasih menulis hanji dan latin. Kurasa beliau juga bisa sedikit bahasa Belanda. Terbukti dari berkardus-kardus buku peninggalannya yang berbahasa China, beberapa di antaranya berbahasa Belanda.

***

KUDA betina yang dikuburkan di samping kantor kelurahan itu konon kuda kesayangan seorang Wedana Belanda. Van Sevenhoven namanya. Mendiang Kakek pernah mengambarkan sosoknya sebagai lelaki bertubuh jangkung sebagaimana umumnya orang Barat, tapi tidak kurus. Kedua matanya tajam dan berkilat-kilat licik, hidungnya yang mancung bengkok seperti paruh burung betet, keningnya lebar menonjol dan dagunya lancip, dengan rambut pirang berminyak yang tersisir rapi ke atas.

“Wedana itu membenci orang Tionghoa,” kuingat kata-kata mendiang Kakek. Sehingga ada saja peraturan yang sengaja dibuatnya untuk mempersulit orang Tionghoa. Toko-toko kerap tak cukup punya surat izin usaha tapi harus ada tambahan surat berstempel dari dirinya. Dan jangan harap bisa mengadakan keramaian bila dia tak memberi restu. Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan adat-tradisi Tionghoa pada hari-hari besar dibatasi, termasuk kegiatan kelenteng dalam skala agak besar.

“Ini karena Pemerintah kita waktu itu terlalu lemah untuk melindungi rakyatnya. Jangankan kita yang jauh berada di seberang lautan ini, rakyat di Thai Luk [3] saja tak mampu mereka lindungi. Kelaparan meluas, perang saudara tak kunjung berhenti, bandit berkeliaran di mana-mana. Manchuria sudah diduduki Jepang, Shanghai seenaknya dikangkangi orang Barat. Bayangkan di sana, di negeri kita sendiri, setan-setan putih itu berani menulis papan pengumuman berbunyi ‘orang China dan anjing dilarang masuk’ di daerah yang mereka kuasai! Dan Pemerintah Republik China tak berbuat apa-apa!” ujar Kakek mengertakkan geraham.

“Kadang peraturan wedana sinting itu tak masuk akal, misalnya saatKo Ngian [4] kita tak boleh bermain petasan malam hari,” menyambung Sam Suk Kong, adik laki-laki Kakek nomor tiga yang waktu itu sering bertandang ke rumah kami untuk makan malam, “Padahal nenek-moyang kita sudah melakukannya sebelum orang Belanda bisa bikin meriam!”
“Dia hanya bersikap agak baik pada penjual daging babi!” lanjut Kakek tergelak, “Tiga kali sehari dia pasti mengajak istrinya ke pasar babi. Dia paling suka babi panggang bikinan A Tet! Hahahaha….”

Begitulah pertama kali aku mendengar cerita tentang Van Sevenhoven—entah benarkah demikian namanya. Karena hingga saat ini aku belum berhasil mendapatkan satu pun catatan mengenai sosok wedana yang berkuasa kira-kira tahun 1925-1930-an itu. Maklum, kota kami hanyalah sebuah kewedanaan kecil kendati cukup kesohor sebagai kota penambangan timah. Dan Indonesia, kau tahu, selalu saja tak punya arsip yang utuh. Selain itu Kakek juga kehilangan banyak surat pentingnya tatkala terjadi kebakaran di tahun 1982. Jadi, jika aku ke Eropa bersama Brenda nanti, aku berjanji akan menelusuri jejaknya ke Belanda, mungkin ke perpustakaan Institut Kerajaan, Bahasa, Geografi dan Etnologi di Leiden.

Sam Suk Kong ikut tertawa, tapi kemudian terdiam. Sambil menyulut lagi sebatang kretek, adik kakekku yang pernah berdagang kain keliling Sumatera itu lantas berkisah bagaimana ia pernah ditangkap oleh opsir dan dimasukkan ke tahanan tangsi Belanda karena menggelar Judi Kodok-kodok pada malam Sam Sip Pu [5]. A Tet, penjual daging babi langganan sang wedana-lah yang menebusnya. Tak pernah jelas alasan Sam Suk Kung ditangkap, padahal di masa itu sudah jadi kelaziman jika pada hari-hari besar selain pasar malam, akan digelar aneka permainan judi.

“Ulangtahun Ratu Belanda saja boleh berjudi!” tukas Sam Suk Kong gusar mengingat pengalaman masa mudanya itu. Tapi wajahnya kemudian berangsur cerah dan ia terbahak-bahak saat Kakek menyinggung bagaimana istri sang wedana gemar mengoleskan minyak babi ke kulit lengannya yang kasar.

“Buah dada perempuan itu juga besar tapi kendor kayak payudara induk babi! Hahaha….” Kedua kakak-beradik itu tertawa sampai mata mereka yang sipit tinggal segaris. Ibu—yang menyimak semua pembicaraan dari kamarnya yang berbatasan langsung dengan ruang keluarga merasa obrolan kedua orang tua itu sudah menjurus ke hal-hal yang tak boleh didengar anak kecil—tiba-tiba keluar dan memintaku pergi tidur. Apalagi Kakek sudah mulai mengeluarkan arak-arak simpanannya. Biasanya mereka akan ngobrol sambil minum sampai dini hari.

***

BAGAIMANA makam kuda milik seorang wedana Belanda yang dibenci bisa disembahyangi orang-orang Tionghoa di kota kecamatan ini tentu ada ceritanya. Namun itu akan aku kisahkan nanti. Sebelumnya aku ingin menceritakan dulu bagaimana aku bertemu lagi dengan mendiang kakekku empat malam yang lalu.

Hantu Kakek mendatangiku pada malam ketiga aku berada di rumah ketika aku baru saja hendak terlelap. Mula-mula aku mencium aroma arak yang tajam di sekeliling tempat tidurku. Tapi karena badanku terlalu penat dan mataku sudah demikian berat, aku tak menghiraukan aroma yang kian santer itu. Sampai kemudian aku merasa seseorang mengguncang-guncang sebelah bahuku dengan keras. Aku terlonjak bangun dan menemukan ruh Kakek sudah duduk di kursi samping tempat tidurku.

Aku memang tak terlalu kaget lagi dengan kehadiran Kakek. Lantaran sebelumnya sudah pernah dua kali beliau mengunjungiku. Bahkan terakhir kali, sekitar dua tahun lalu, dia mengunjungiku di sebuah kamar hotel di Makassar saat aku sedang ada urusan kerja di kota itu. Waktu itu beliau datang untuk mengabari kalau ayahku sudah meninggal, sebelum setengah jam kemudian aku menerima telepon dari rumah. Kata orang, “Mereka yang telah mati tak bisa menyeberangi lautan,” tampaknya tak berlaku bagi arwah Kakek. Seperti kunjungannya yang lalu-lalu, beliau masih mengenakan stelan pakaian China model Pemimpin Mao berwarna abu-abu yang dikenakannya saat dikuburkan.

“A Kong [6]?” sambil menguap lebar aku buru-buru duduk di tepi ranjang, “Maaf Kong, aku belum sempat berziarah ke kuburan A Kong. Rencananya besok aku akan ke sana.”
Kulihat arwah orang tua itu tersenyum. “Tidak apa-apa, aku baik-baik saja. Aku ke sini karena ada yang ingin kutanyakan. Ibumu memberitahuku waktu dia sembahyang,” katanya sambil menatapku lekat-lekat. Aku menghela nafas, sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan selanjutnya.

“Hubunganmu dengan gadis Barat itu serius?” tanyanya dengan pandangan seperti menyelidiki. Aku mengangguk, “Tapi dia bukanHolland, Brenda orang….”
“Aku tahu. Aku tak mau mencampuri urusanmu sebenarnya. Zaman sudah berubah. Lagipula dulu juga tidak semua orang Belanda seperti si Van Sevenhoven. Orang Melayu juga banyak yang baik. Malah banyak orang China lebih jahat dari tentara Nippon!” kata Kakek. Aku tersenyum lega.

“Tapi kalau kau mau dengar nasihat aku yang sudah mati ini, sempatkanlah bawa dia ke makam kuda itu sebelum kalian pulang. Ajak dia sembahyang. Kalau dia mau, berarti dia memang jodohmu yang tepat,” lanjut beliau sebelum aku sempat mengucapkan sepatah kata pun.

“Ajak dia sembahyang ke makam kuda?” tanganku urung mengambil rokok yang kusimpan dibawa bantal. Kulihat arwah Kakek mengangguk.

“Aku tak bisa lama di sini. Kalau kau berziarah ke makamku nanti, bawakan aku kretek,” itu kata-katanya yang terakhir sebelum pergi.

“Kong!” aku hendak menahannya lebih lama karena banyak hal yang ingin aku tanyakan, namun ia sudah keburu menghilang. Lenyap seperti asap. Hanya aroma araknya yang tajam tersisa di kamarku.

***

YA, bagaimana mungkin makam kuda milik seorang wedana Belanda yang dibenci bisa disembahyangi orang-orang Tionghoa di kota kecamatan ini? Dahi Brenda tampak berkerut-kerut bingung. Ah, aku tak bisa langsung menjawab pertanyaannya. Untuk beberapa lama aku terdiam, mencoba mengumpulkan potongan-potongan cerita dari mendiang Kakek dan Sam Suk Kong yang terpencar-pencar dan menyatukannya lagi.

15 bulan 8 kalender lunar tahun masehi 1932, begitulah aku kemudian menceritakan ulang kisah yang kudengar semasa kanak itu pada Brenda. Kau tahu, kataku, itu hari Pat Ngiat Pan, puncak perayaan bulan dewa-dewi. Konon pada malam hari, purnama akan tampak lebih terang dibandingkan purnama-purnama di bulan manapun. Dan jika hatimu bersih, dengan mata telanjang sekalipun kau bisa melihat dewi bulan Song Ngo melayang-layang di sana….

Menurut Kakek, siang menjelang sore hari itu, ratusan orang Tionghoa yang telah berkumpul di sejumlah kelenteng berbaris keluar dari halaman kelenteng sambil menggotong patung-patung para dewa dalam tandu-tandu kecil. Selain Thai Pak Kung, juga patung Dewi Kwan Im dan Dewa Kwan Kong. Patung-patung suci itu seperti biasa akan diarak berkeliling kota: sebuah tradisi tahunan yang mereka bawa dari tanah leluhur.

Tiba-tiba salah satu rombongan (di mana Kakek ada di dalamnya) dikejutkan oleh suara letusan. Bukan mercon tapi pistol! Sang wedana Van Sevenhoven muncul di tikungan jalan menunggang kuda putihnya bersama dua serdadu berseragam tentara kerajaan Belanda.

“Kalian belum mendapatkan izin dariku!” teriaknya lantang menghadang barisan sambil mengangkat tongkat di tangan kanannya. Senapan dua serdadu terkokang ke arah rombongan. Ciu Suk Kong, pengurus kelenteng yang jadi ketua rombongan tergopoh-gopoh menghampiri sang wedana.

“Maaf, Tuan. Tuan Wedana masih di Palembang waktu kami datang meminta izin keramaian. Tapi kami sudah mendapatkan izin dari asisten Tuan,” ucap Ciu Suk Kong dengan wajah pucat.

“Aku sudah dua hari di sini, tapi kalian tak datang lagi kepadaku! Tanpa tanda tanganku, kalian tak bisa bikin keramaian. Bubar! Bilang ke semua rombongan, bubar sekarang!”
“Ta-tapi, itu tidak mungkin…. Arakan sedang di tengah jalan, dewa kami bisa murka,” tukas Ciu Suk Kong tak berani menentang mata biru Van Sevenhoven. Semua orang dapat menyaksikan bagaimana wajah wedana yang putih itu memerah. Dia menggebrak kudanya ke depan dan mendorong dada Ciu Suk Kong dengan ujung tongkatnya, “Apanya yang tak mungkin? Aku mau lihat bisa tidak dewa kalian marah padaku? Minggir kau!”
Dia mengangkat tongkatnya dan bermaksud hendak menyabet patung Dewa Kwan Ti  yang sedang diusung di depan barisan. Semua orang menahan nafas, sebagian berseru tegang. Tak ada yang mampu mencegah. Semua orang sudah bersiap melihat patung porselin sang dewa perang yang dibawa dari Tiongkok itu terguling dari tandu dan pecah berhamburan di jalan. Namun mendadak kuda putih tunggangan Van Sevenhoven meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya. Tubuh sang wedana oleng dan tongkatnya hanya menyabet udara kosong. Sesaat berikutnya tubuh jangkung itu jatuh terbanting di badan jalan. Dua serdadu yang mendampinginya kaget. Salah satunya tak sengaja menekan pelatuk. Senapannya meletus. Pelor melesat ke depan menembus kepala kuda. Ah!
“Apa yang terjadi kemudian? Wedana itu pasti mengamuk. Dia terluka?” tanyaku tak sabaran pada Kakek. Namun beliau menggeleng. Melihat kuda kesayangannya mati, lanjut Kakek, tanpa pedulikan tulang bahunya yang retak sang wedana langsung menghambur ke arah kuda pemberian Gubernur Jenderal di Batavia itu. Dia menangis meraung-raung seperti anak kecil sambil memeluk bangkai kudanya….

“Serdadu yang menembak kudanya tak dihukum?” kejar Brenda. Nah, soal ini aku tidak tahu. Kakek tak pernah cerita, mungkin beliau juga tidak tahu.

Kata Kakek, Van Sevenhoven membangun makam untuk kuda kesayangannya yang dikuburkan di seberang kewedanaan (tak jauh dari gedung Societet) itu tiga bulan berselang sebelum masa tugasnya sebagai wedana usai. 1933, tentu saja kala itu kantor lurah belum berdiri.

“Kalau masa tugasnya lebih panjang, barangkali akan dibuatnya patung untuk kuda betina itu,” ujar Kakek sambil menyeringai lebar. Tapi Van Sevenhoven kembali ke negeri Belanda dengan badan sakit-sakitan. Pejabat wedana yang kemudian menggantikannya—maaf, aku tak ingat lagi namanya—menurut mendiang Sam Suk Kung, bersikap sedikit lebih baik pada orang Tionghoa. Orangnya gemuk pendek dan suka makan bakmi!
“Lalu sejak kapan kalian orang-orang China mulai bersembahyang di makam ini?” bisik Brenda sambil memperhatikan seorang lelaki tua membakar dupa di depan makam.

“Sejak Ciu Suk Kong mendapat mimpi,” kataku. Mimpi? Kedua mata biru Brenda melebar. Ya, mimpi. Aku mengangguk.

“Suatu malam sekembali Van Sevenhoven ke Belanda, Ciu Suk Kong bermimpi hantu kuda betina itu mendatanginya. Kuda itu tak datang sendirian, tetapi ditunggangi seorang lelaki tinggi besar berseragam perwira China tempo dulu. Ciu Suk Kong kaget bukan kepalang saat mengenali penunggang kuda itu tak lain adalah Dewa Kwan Kong! Dia terbangun dengan baju basah kuyup.”

Keesokan paginya bergegas dia menyambangi makam kuda itu sambil membawa dupa, buah-buahan, dan sejumput rumput kering. “Kuda itu titisan kuda Kwan Ti!” katanya dengan yakin kepada orang-orang, “Aku melihat sendiri Kwan Kong menungganginya dalam mimpiku. Sosoknya begitu jelas, membawa pedang bercula. Tidak diragukan lagi.”

Tak semua orang percaya, tapi sebagian besar yakin kalau penjaga kelenteng itu tidak berdusta. Toh, Chiu Suk Kong selalu dikenal sebagai orang yang jujur. Satu-dua orang kemudian mulai ikut bersembahyang pada hari-hari berikutnya. Bertambah lagi pada hari yang lain, terus bertambah kendati tak semuanya percaya kalau kuda itu merupakan titisan kuda dewa. Hanya saja mereka percaya kuda itu telah mengorbankan nyawanya untuk menolong orang-orang Tionghoa.

“Kalian orang China memang aneh,” tukas Brenda mengulum senyum. Aku ikut tersenyum dan mengeluarkan sebungkus dupa dari dalam tas. Tentu saja tak kuceritakan padanya tentang hantu Kakek yang mendatangiku dan memintaku mengajaknya ke makam ini untuk bersembahyang. Bisa-bisa ia menganggapku gila. (*)


                                                                           Krapyak Wetan, Jogjakarta,
Januari 2013


Catatan Kaki:
[1] Ji Cai: Bibi kecil, adik ibu (dialek China-Hakka).
[2] Chung Hwa Hok Tong atau Tiong Hoa Hak Tong: adalah sekolah Tionghoa yang berada di bawah payung organisasi pendidikan Tiong Hoa Hwe Koan (Asosiasi Tionghoa), sebuah perkumpulan untuk memajukan pembaruan Konfusian dari kebudayaan Tionghoa lokal dengan memajukan pendidikan berbahasa Tionghoa modern. Karakter sekolah ini menggunakan bahasa Mandarin dalam pengajarannya, dengan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, tetapi tidak memberikan pelajaran bahasa Belanda. Model mereka adalah sekolah modern di Tiongkok dan Jepang, dengan pengaruh Barat yang kuat dalam mata pelajarannya. Sekolah Tiong Hoa Hak Tongyang pertama dibuka di Batavia (1901), Pangkalpinang-Bangka (1907), Belinyu-Bangka (1908), Sungailiat-Bangka (1910) dan Toboali-Bangka (1912).
[3] Thai Luk: berarti daratan besar, sebutan untuk negeri China.
[4] Ko Ngian: Tahun Baru Imlek (ejaan China-Hakka).
[5] Sam Sip Pu: Malam Tiga Puluh, malam Tahun Baru Imlek (ejaan China-Hakka).
[6] A Kong: Kakek (dialek China-Hakka).


Sumber: Harian Jawa Pos, 10 Februari 2013

@ Redaktur SARBI: Guntur Sekti Wijaya



Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post