Telah Terbit !

Yang sederhana, yang berserakan, yang tak diperhitungkan dan bertebaran di mana-mana, tetaplah harus dirayakan. Spesial SARBI edisi 8 di akhir tahun!

Segera Dapatkan !

Buku Puisi Karya KOMANG IRA PUSPITANINGSIH.

Toko Buku SARBI

Kumpulan buku bekas pilihan yang asik untuk dibaca dan dikoleksi dengan harga bersahabat.

Telah Terbit!

BULETIN TIKAR EDISI 02/2013 Diterbitkan oleh Komunitas Tikar Merah (KTM)

Dapatkan!

Buku Terbaru SARBIKITA Publishing Karya Heru Susanto

Blogroll

Saturday, November 30, 2013

Petarung Kidal

Petarung Kidal, kumpulan puisi Dody Kristianto, Rp25rb. hub. 085731949086.

Dalam ilmu bersilat dan berpencak, tak hanya dikenal jurus belaka, namun di balik itu ada filosofi, ajaran, pedoman hidup, bahkan ritual yang dianggap sakral. Sajak-sajak Dody Kristianto cukup berhasil menampakkan filosofi itu.
(Tjahjono Widarmanto, penyair yang pernah belajar silat)

Ada elusan hikmah dalam tendangan. Sesekali memar sajak pada pukulan.
(M Faizi, penyair dan anggota Bis Mania Community)

Setelah menyelesaikan "puasa puisi", sepertinya Dody menikmati "lebaran puisi" terus-menerus. Petarung Kidal adalah puisi-puisi yang bertenaga. Latihan pernapasan mungkin dibutuhkan untuk membaca puisi-puisi dalam buku ini.
(Toni Lesmana, penyair dan cerpenis)

Petarung Kidal bukan kitab silat, biar di dalamnya menjajar jurus-jurus. Ketahuilah, sekali-kali Dody bukan pendekar, tapi hanya penyair yang menghantam kebingungannya sendiri sebagai "syariat" mengikat berbagai kelebat yang ia "imani" sebagai puisi.
(A Muttaqin, penyair dan pembalap)

Dalam buku puisi Petarung Kidal ini, dunia silat yang tergambar di dalamnya dapat mengubah gagasan kita yang masih berpikir dalam tradisi lisan menjadi sebuah tradisi tulisan. Pun pengungkapan di dalamnya terasa amat segar.
(Ahmad S Rumi, akademisi dan pegiat sastra di Kubah Budaya Banten)

Puisi Dody Kristianto berada dalam pusaran arus puisi Indonesia mutakhir di mana puisi lahir sebagai olahan dari teks yang ada.
(Umar Fauzi Ballah, penyair dan ustad di sebuah lembaga pendidikan) 


Monday, November 18, 2013

Diksi Traumatik Acep Zamzam Noor

 photo _MG_0615copy-_zpsf6972450.jpg
Karya Daniel Spoerri (Lahir 1930) Judul: Prose Poems Poèmes en prose Tahun: 1959-60 Media: Glass, paper, ceramic, metal and plastic on wood. Koleksi: Tate

Esai Beni Setia

Struktur buku kumpulan puisi Acep Zamzam Noor, Menjadi Penyair Lagi (Pustaka Azan, 2007), dibangun dua fondasi: “Ada yang Belum Kuucapkan” (AyBK), yang terdiri dari 53 sajak, dan “Menjadi Penyair Lagi” (MPL), yang terdiri dari 38 sajak. Bukanlah satu kebetulan bila kumpulan itu diawali dengan sajak “Setelah Mencintaimu” (dari AyBK) dan diakhiri sajak “Di Malioboro” (dari MPL) yang memang diletakkan di pengujung.

Memang ada dua sajak yang mengawali sajak “Setelah Mencintaimu”. Namun, sajak “Preluda” memang dihadirkan untuk mengartikulasikan kehadiran sebuah sajak sebagai ikon dari sebuah peristiwa yang telah lewat. Asilum untuk menurunkan beban kekinian, retreat, dan bagaimana semua itu ditinjau sebagai liku hidup yang menjadi harta batin, dengan segala suka dan duka yang selesai. Adapun sajak “Lagu Berdua” merupakan proklamasi estetis penulisan kreatif puisi Acep Zamzam Noor.

Ada dua fenomena dalam sajak itu. Fenomena riil pada tiga bait pertama, dan fenomena puitis haiku dalam tiga bait selanjutnya. Kesejajaran teks yang tak beda jauh antara yang ingin diungkapkan, yang ditandai, dan  yang mengungkapkannya, sang penanda, merujuk pada pengakuan (kata pengantar) sang penyair kalau ketika itu (April 2007, sebelum kumpulan itu terbit), ia kembali ke pola ungkapan sederhana.

Ungkapan sederhana-sehingga apa yang terkandung dalam teks puisi gampang ditebak-berkaitan dengan intensitas pengalaman, kepekatan empati memaknai kejadian, dan kejernihan perumusan peristiwa yang mengusung diksi yang memiliki gigil bat?n khas puisi lirisjauh dari benturan kejadian yang mendorong rumusan naratif bersifat berita, balada, dan puisi protes sebagaimana yang diisyaratkan dalam sajak “Menjadi Penyair Lagi”. Substansi pola dan metode kreasi sederhana Acep Zamzam Noor ini, dengan jernih ditangkap Mikihiro Moriyama, dan diungkapkannya dalam pengantar yang simbolik memotret suasana pastoral dan guyub insan pedesaan Singaparna, Tasikmalaya. Manifestasi mencintai

Dalam kerangka itu, kita bisa menandai pentingnya kehadiran sajak “Setelah Mencintaimu”, yang bertumpu pada peristiwa perpisahan sepasang kekasih di Stasiun Tugu, Yogyakarta, setelah terjalin saling pengertian. Sebuah perpisahan yang bersifat wajib agar sang penyair yang dikodratkan untuk selalu mencari terra incognita bisa mencari wanita lain. Si anonim yang harus dikenalinya, dan yang akan melahirkan pengalaman mencintai yang tak kesampaian, mencintai yang kesampaian, mencintai yang ditolak, mencintai yang dicampahkan, dan seterusnya. Yang melahirkan lentikan pengalaman otentik yang berasal dari diskursus alamiah dengan yang berkualitas terra incognita.

Satu kreativitas yang bermula dari ingin mengalami yang baru di antara hal-hal yang biasa terjadi dan ada di sekitar kita, tetapi tampil otentik sebagai yang dirasuki dan merasuki batin si bersangkutan sebagai diskursus fenomenologis yang menggetarkan-dalam terminologi Acep Zamzam Noor-membuat bulu kuduk berdiri. Konsepsi dasar yang rumit ini bisa kita jabarkan dengan merujuk satu tulisan rama Sindhunata, tentang pola kreasi seorang Martopangrawit, yang teramat tergantung pada eksistensi pengalaman romantis otentik pracipta, sehingga kita tak bisa membedakan apakah ia Cassanova yang pangrawit atau pangrawit yang playboy (“Martopangrawit, Empu Gending: Perasaan adalah Pangkal Utama dalam Menggubah”, dalam Cikar Bobrok, Penerbit Kanisius dan Bentara Budaya, cetakan VI/2002, halaman 51-57).

Sementara itu, sajak “Di Malioboro” kembali menempatkan sang penyair di Stasiun Tugu. Bedanya, dulu ia naik kereta api untuk pergi ke barat, tetapi kini ia turun dari kereta api yang beranjak ke timur. Sebuah siklus telah genap. Ia kembali menemui kekasih dan mengukuhkan kenyataan-semuanya telah selesai. Telah menjadi berita pada majalah lama, menjadi satu episode catatan sejarah di kata pengantar, Acep Zamzam Noor mengakuinya sebagai, “yang mengingatkan saya pada sejumlah tempat dan peristiwa…sejumlah nama.” Sebuah ziarah puitis yang berperan sebagai ekspresi kesetiaan (sajak “Mei”) atau isyarat ketuaan (sajak “Remang”), yang menandai teramat banyak kepiluan hubungan pria dan wanita.

Goenawan Mohamad berpuisi untuk (atau tentang) mengabadikan sesuatu yang kelak (pasti) retak. Sapardi Djoko Damono (dalam satu sajaknya) merumuskan keikhlasan pengorbanan dan penghancuran (eksistensi) sebagai manifestasi mencintai. Acep Zamzam Noor berpuisi tentang mengekalkan luka sambil mengenangkan yang terindah dari percintaan yang harus buyar meski tidak gagal. Penghukuman diri

Sajak “Menjadi Penyair Lagi”-dengan pembacaan pola sajak “Lagu Berdua”-sebenarnya mengungkap (1) kenangan satu peristiwa percintaan dan (2) rumusan reflektif atas kenangan kuat yang bertumpu pada saat menziarahinya pada masa kini. Ini merupakan teks puisi karena merujuk pada yang ditandai pada masa lalu sehingga (3) hakikat puisi adalah kehadiran (penghadiran) diksi otentik yang memproyeksikan pengalaman masa lalu yang traumatik, tetapi disaring sehingga tidak sekadar lanturan. Maka, bagi Acep Zamzam Noor, bencana alam, peristiwa sosial, dan seterusnya hanya fatamorgana, narasi ilusi lancung tanpa otentisitas pengalaman aku lirik.

Meski sosok Acep Zamzam Noor sebagai manusia dan penyair baur, ia tetap bisa dingin akademik, obyektif memisahkan kebauran itu dan sigap analisis mengerat-ngerat perasaan dan batinnya sendiri, agresif memisahkan aku-manusia, yang mencari terra incognita di mana pun dan kapan pun, dari aku-penyair yang terlena. Peneguhan yang mampu menyebabkan aku-penyair bangkit, dan terjadilah proses penghukuman (diri) yang agresif dan luka-luka itu langsung diempati sehingga pengalaman otentik tersuling.

Sebuah proses penyiksaan diri yang membangkitkan harga diri seperti yang dilakukan seorang samurai yang ber-seppuku dengan pisau pendeknya. Seperti yang diungkapkan Mikihiro Moriyama, “…tidak langsung diekspresikan, tetapi ditahan dan dikiaskan.” Tidaklah mengherankan, kumpulan puisi yang mengerat-ngerat diri ini, setelah dengan amat sadar ia terlebih dahulu mengeluyurkan itu, bisa memenangi KLA 2007 di bidang  puisi.

Sebuah anugerah bagi satu pola kreasi yang berpangkal dari pengembaraan dan ditutup dengan upaya dingin agresif menghukum diri secara empatik.

NB : esai di atas diambil dari blog sastrapemberontak.blogspot.com yang diasuh oleh Nurel Javissyarqi.

Redaktur SARBI: Dody Kristianto

Puisi Dody Kristianto, Kompas 10 November 2013

 photo _MG_0615copy_zps2ee80005.jpg



Pelari Katai

kaki semenjana, tungkai nan rentan,
tapak yang kadang goyah. dengan
kiat apa kau bersanding dengan sang kidal
di gelanggang? bermohonlah 

pada begawan agar mambang segala ranah
memasuki tubuh. sebelum kau seru,
sebelum kau tantang ia lantang-lantang. 
lantas, mantra kudakah yang kau mantapkan

dalam badan? ancanganmu yang sederhana
harus tetap liat dan giras. jangan disangkal bila
gerak awal yang tak kukuh telah bermukim
di badan. tak akan paham sekujur tubuh

menopang kesempurnaan ancangan. bisa jadi,
dengan rona diam sang kidal menyalipmu dari kejauhan.
ia yang berdamai dengan jarak, yang berbisik dengan jalan,
yang berlalu dengan gerak kompak selanggam

adalah yang bakal menuntaskan balap dengan segenap
kesempurnaan. menjauhlah, menjauh segera. langkah
kurangmu tentu menyiksa tubuh. taklah ia selanyah
bahasa kilat. mungkin benar dalam pandangan,

sekian langkah ia tertinggal di belakang. namun,
kidal memanglah kidal. langkah pendek yang teguh
tetap tak kukuh meredakannya. tak cukup hentak
beberapa depa berselang badan. masih kurang meski

kau berserah pada kegaiban. mubazirlah rajah bersemayam
dalam kaki kiri kanan. lekas urungkan, cukupkan
hingga pertengahan belaka, mundur saja perlahan
dari gelanggang yang muskil kau tuntaskan.

(2013)


Perihal Menyaluti Pedal

Yang diluputi sajak. Yang abai dari rima.
Yang tak abadi dalam bahasa

Bukankah kau yang bernama pedal?
Yang menjunjung kami dalam
Lenanya kayuhan. Sungguh mulia
Ketelentanganmu yang sabar

Lagi maha menanggung beban.
Berserah pasti tubuh tambun ini
Dalam langgam selaras namun lamban.
Lamat saja. Jangan ada gelagat tergesa.

Bukankah badan lupa pulang ini
Perlu dituntun dengan benar.
Dengan laju lambat yang sebenar
Menyapa getar di sekitar.

Terima kasih. Kini kami sempurnakan
pasrah dan rebahmu. Bimbinglah
domba sesat jalan ini menuju
kepulangan yang abadi.

(2013)        



Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post