Telah Terbit !

Yang sederhana, yang berserakan, yang tak diperhitungkan dan bertebaran di mana-mana, tetaplah harus dirayakan. Spesial SARBI edisi 8 di akhir tahun!

Segera Dapatkan !

Buku Puisi Karya KOMANG IRA PUSPITANINGSIH.

Toko Buku SARBI

Kumpulan buku bekas pilihan yang asik untuk dibaca dan dikoleksi dengan harga bersahabat.

Telah Terbit!

BULETIN TIKAR EDISI 02/2013 Diterbitkan oleh Komunitas Tikar Merah (KTM)

Dapatkan!

Buku Terbaru SARBIKITA Publishing Karya Heru Susanto

Blogroll

Wednesday, March 27, 2013

Puisi Surabaya : Habis Gelap Terbitlah Terang

 photo where_is_my_mind___by_bernardumaine-d5cyluq_zps5342132c.jpg
 "Where is my mind?" artwork by bernardumaine

Oleh Umar Fauzi

Membaca sejarah sastra (baca, perpuisian) Indonesia –pun mungkin kesusastraan dunia– dengan cara sederhana adalah  membaca pengotakan zaman, sebagai khazanah yang coba dimitoskan ke dalam angkatan-angkatan atau periodeisasi kesusastraan. Dari bentukan angkatan/periode itulah, kritikus –secara sadar maupun terpaksakan– menemukan benang merah hingga layaklah disebut sebagai sebuah angkatan bla-bla-bla kesuasatraan Indonesia. Ini menjadi makfum, sebagaimana diungkapkan oleh Dami N Toda, tentang “benang merah”  bahwa hadirnya kesamaan pencerapan diakibatkan “roh waktu” alamiah yang biasanya muncul sebagai trend mode karena lingkungan kode, simbol budaya, konversi dan konsumsi budaya yang sama. Secara praktis pun usaha ini memunyai kepentingan besar bagi perbendaharaan museum sastra Indonesia di masa mendatang, terutama bagi para pemerhatinya.
            Menarik dari apa yang diungkapkan oleh Dami N Toda tersebut, adalah juga pembagian atau pemetaan sastra menurut “daerah estetika” yang dapat ditelaah melalui keberadaan/ tempat tinggal sastrawan. Jadi tidak hanya pembagian dalam arti kurun waktu, sastra Indonesia, telah menggoda para kritikusnya untuk melihat sengkarut proses kreatif dengan keberadaan sang penyair. Terjadi kemudian, wilayah geografis itu, tidak hanya dibaca sebagai usaha pencapaian estetik individu, namun penemuan corak-corak keterwakilan yang dibaca secara komunal sebagai ciri karya sastra daerah bla-bla-bla.
Usaha untuk ini sudah cukup banyak, misalnya yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, bertajuk “Cakrawala Sastra Indonesia” tahun 2004 membuat antologi sastrawan masing-masing provinsi, diterbitkan oleh penerbit Logung dan Akar Indonesia. Antologi Jawa Timur dalam program tersebut adalah Birahi Hujan, memuat puisi Mardi Luhung, W. Haryanto, Indra Tjahyadi, Tjahjono Widijanto, dan Tjahjono Widarmanto dengan kurator Zawawi Imron. Majalah Horison, misalanya juga pernah menerbitkan edisi daerah. Antologi kota misalnya dapat dibaca pada antologi Lima Pusaran, Bunga Rampai Puisi Festival Seni Surabaya 2007, penyunting Nirwan Dewanto, memuat puisi-puisi Zen Hae (Jakarta) Iswadi Pratama (Lampung), Gunawan Maryanto (Jogja), S. Yoga (Surabaya), dan Sindu Putra (Bali).
Dari serangkaian antologi “wakil” wilayah geografis itulah, mencuat dan menjadi menarik adalah perhatian para kritikus terhadap puisi-puisi Jawa Timur (dibaca juga, Surabaya), yang katanya, keluar “terlalu jauh” dari maenstream perpuisian Indonesia. Inilah puisi gelap.
Resepsi menarik itu dapat dibaca seperti pendapat berikut. Puisi-puisi gelap sebagai akibat salah baca terhadap surealisme yang coba diusung sebagai “ideologi” kata Binhad Nurrohmad (dalam Sastra Perkelaminan, Pustaka Pujangga 2008); kecenderungan apokaliptik, ceramah Abdul Hadi pada waktu “Cakrawala Sastra Indonesia” dan kata pengantar Arif  B. Prasetyo untuk Antologi Lima Penyair Jatim, Rumah Pasir, Festival Seni Surabaya 2008; Nirwan Dewanto mengatakan “puisi (Surabaya) yang menjelma keajaiban atau keganjilan dengan kocokan maut kata-kata.”
Memang yang mengemuka dalam peta penyair Jawa Timur, kebanyakan dari mereka adalah penyair-penyair yang matang berproses di Surabaya, utamanya dari kampus, seperti W. Haryanto, Mashuri, Indra Tjahjadi, S. Yoga, Tjahjono Widarmanto. Terlepas dari Surabaya yang menjadi inspirasi kelangsungan hidup mereka, Surabaya adalah delta pertemuan menarik, sebelum akhirnya para penyair itu kembali ke kampung halaman, sehingga puisi gelap tidak hanya dibaca sebagai Surabaya, akan tetapi ia adalah milik Jawa Timur.
Puisi gelap itu tak hanya dibaca sebagai capaian estetika individu, ia juga dibaca sebagai Surabaya, bahkan juga dibaca sebagai Jawa Timur. Karena itulah ia pun tak lagi dibaca sebagai pencapaian estetika individu, akan tetapi berubah menjadi “ideologi” komunal.
Perilaku ini ditemui pada “proklamasi” antologi Manifesto Surrealis oleh W. Haryanto, Mashuri, Indra Tjahjadi, dan Mohamad Aris. Jejak itu juga terasa dalam antologi tunggal mereka. Garda inilah sebenarnya yang cukup mengejutkan publik sastra Indonesia. Dengan membawa semangat Andre Breton, pencetus Surealisme, mereka mengira telah sampai pada taraf surealisme yang dimaksud, yang terjadi adalah puisi-puisi mereka jatuh pada “kegelapan.” Di sinilah rumusan puisi surrealis dan puisi gelap perlu dikonkretkan kembali.
Secara historis, Surabaya –sebelum puisi madzab “surealis” ini ada– telah ada prosa surealis yang dikatakan juga “anti novel” diciptakan oleh pengarang Iwan Simatupang dan Budi Darma. Kedua nama inilah dikatakan sebagai pembaharu prosa Indonesia juga sebagai pelopor prosa periode ’70an. Kehadiran dua pengarang penting ini, setidaknya dapat dilihat dari banyaknya resepsi apresiatif terhadap karya-karya mereka. Meskipun dikatakan ganjil dan menyimpang dari “struktur” lazim prosa, justru estetika inilah yang dibaca sebagai kenikmatan prosa oleh pembacanya. Bahkan novel eksistensialisme ini juga dapat dikupas dengan baik oleh pelajar SLA, Julia Surjakusuma, pemenang penulisan esai DK Jakarta1973.
Sejalan dengan suksesnya surealisme dalam prosa, usaha terbalik terdapat dalam khazanah puisi “kredo” surealis Surabaya. Hal ini maklum, karena puisi memiliki struktur berbeda dengan prosa. Menarik untuk melihat bagaimana tidak mudahnya, surealisme puisi diterima oleh khalayak, adalah kata-kata terakhir Hasif Amini (dalam kolom “Tilas”, Kompas, 5 Maret 2006 dengan judul “Surealisme”) sebagai sebuah cita-cita yang mulia, tapi alangkah sulitnya. Tapi apa salahnya… Pun apa yang dikatakan oleh S. Yoga (SINDO, 1 Juli 2007) “puisi surealis yang baik tentu saja tetap membayangkan sesuatu yang nyata dalam ketidaknyataan. Kualitas ini harus dicapai jika tidak ingin disebut sebagai puisi gelap.”
Polemik “puisi gelap” Surabaya, pun secara nasional, seperti pernah dialamatkan pada puisi-puisi Afrizal Malna tidak hanya menyangkut pola ekspresi simbolik yang terlampau subjektif sehingga menyulitkan pembaca, akan tetapi –dalam konteks perpuisian Surabaya– lebih kepada pilihan tema yang terakumulasikan dari diksi yang tersebar. Jika kita membaca secara bersamaan puisi-puisi Afrizal Malna, Indra Tjahjadi, dan Mardi Luhung misalnya, tentu persoalan puisi gelap tidak lagi dalam konteks kesulitan dipahaminya sebuah puisi, melainkan pada jalinan peristiwa dalam puisi tersebut juga tema yang diangkat.
Afrizal Malna sebagai “anak”dari modernitas yang sedang berlangsung, memungut remah-remah diksinya dari apa yang ia lihat sebagai representasi teknologi, benda-benda, dan kegelisahan-kegelisahan di dalamnya, dalam Kalung Dari Teman, (Grasindo,1999). Atau “anak” pesisiran, macam Mardi Luhung yang bebal dan tanpa andeng-andeng itu, dalam Ciuman Bibirmu yang Kelabu, (Akar Indonesia, 2007). Menikmati imaji-imaji kedua jenis puisi itu, tentu akan berbeda ketika kita menikmati sarkasme maut-nya Indra Tjahjadi, sebuah kumpulan puisi dalam Ekspedisi Waktu (2004) yang remah diksi-diksinya tak “memijak” bumi, melainkan mengawang dan berasal dari dunia antah berantah, mungkin lebih mirip film hantu Indonesia, ketika kita menikmatinya, pun menikmati puisi-puisi aurat-nya Mashuri, atau kesangaran W. Haryanto.

Angkatan Baru Penyair Surabaya           
Estetika gelap itu mungkin akan atau sudah berlalu, dirasakan atau tidak, beberapa penyairnya mulai sedikit “jenuh” dan membelot meski tidak secara terang-terangan dan malu-malu pada pola pengungkapan baru, tengoklah misalnya puisi Mashuri, setelah Pengantin Lumpur –setidaknya yang terbit di media-media nasional dan lokal beberapa tahun belakang– seperti dua puisinya yang termuat antologi Pena Kencana 2008, misalnya.
            Meskipun begitu masih ada studi cukup menarik dan kontras, pabila menikmati antologi bersama lima penyair Jawa Timur dalam Rumah Pasir, Festival Seni Surabaya 2008. Dalam puisi itu kita melihat tiga penyair “lawas”: Indra Tjahjadi, Mashuri, dan Denny Tri Ariyanti, serta dua penyair “baru”: A. Muttaqin dan F. Aziz Manna. “Lawas” karena mereka masih menampilkan kegarangan dalam kegelapan  puisi-puisi mereka. Dan “baru” karena dua penyair tersebut terakhir, adalah penyair yang datang dengan segala respon lahir-batin terhadap kesuraman puisi-puisi pendahulunya.
Puisi-puisi Festival Seni Surabaya 2008 yang bertajuk Tribute to Surabaya itu, apa boleh buat, sebenarnya lebih pantas disebut “Lima Penyair Surabaya (kota)”, bukan Jawa Timur. Ini karena kelima penyair tersebut ternyata adalah penyair yang pernah menikmati delta pendidikan sastra di Surabaya. Arif B. Prasetyo selaku kurator ternyata masih diganduli kenyataan bahwa Surabaya adalah penghasil puisi apokalipstik, maka yang termaktub dan pantas mewakili Tribute to Surabaya adalah sajak-sajak seperti yang “lawas”. Seolah-olah Surabaya dengan dinamika sosialnya memanglah “segelap” puisi-puisi itu, padahal Tribute to Surabaya akan lebih dinamis seandainya Arif memahami usaha “penghijauan” di Surabaya. Setidaknya jika ini terjadi akan lebih layak menyandang “ lima penyair Jawa Timur”, seperti halnya Pelayaran Bunga, antologi mutakhir penyair Jawa Timur, pilihan Festival Cak Durasim 2007. Terlepas dari kondisi keterbatasan itu, antologi Rumah Pasir akan dibaca sebagai tonggak peralihan puisi Surabaya, yakni dari gelap menjadi terang.
Adalah A. Muttaqin, penyair fenomenal Jawa Timur saat ini, kalau mau dikatakan sebagai pelopornya. Kecendrungan itu setidaknya dibuktikan oleh diterimanya puisi-puisi Muttaqin oleh masyarakat sastra Indonesia. Kemunculan penyair ini, telah mengejutkan publik sastra Jawa Timur. Sebelumnya, Muttaqin tidak pernah ada dalam peta penyair muda Jatim. Lihatlah misalnya tulisan S. Yoga yang menyebut nama-nama penyair muda Jatim dalam esainya di SINDO 1 Juli 2007, tidak ada nama Muttaqin di sana. Penyair lulusan Sastra Indonesia Unesa ini, seolah tanpa permisi kepada pendahulu Jawa Timur, tiba-tiba langsung melejit di koran nasional.
Muttaqin telah sampai pada pencapain estetik. Membaca Muttaqin dengan segala usahanya menarasikan flora dan fauna, seperti menikmati usaha “penghijauan” yang sering dikampanyekan Surabaya. Ia tidak menulis jelaga-jelaga Surabaya sebagiamana penyair pendahulunya. Puisi-puisinya pun tak perlu dikait-kaitkan dengan falsafah Jawa Timur dalam artian psikologis maupun sosiologis. Justru Muttaqin dengan demikian, telah melepaskan diri dari tema-tema umum yang selama ini digarap oleh pendahulunya, semacam puisi-puisi gelap.
Sajak-sajaknya mendamaikan diksi dengan rima, sehingga simbolisme yang naratif bertemu dengan visualisasi logis. Inilah mungkin yang membuat sajaknya terang benderang. minimal, pembaca dapat terbuai oleh ketukan ritmis sajak-sajaknya, seperti orang Belanda yang terbuai menikmati gending Jawa. Lihatlah salah satu petikan sajak ini:

Di gelap ombak, mungkin di taman gagak, kuraba-
raba keharuman yang menanjak. Sepasang daging
membengkak dan segala arwah merebak

(Lukisan Kamboja)

Begitulah Muttaqin mengeksplorasi diksi dengan rima sebagai “diri” kepenyairannya. Bunyi-bunyi puisinya melantur secara alamiah. Muttaqin cukup jeli menangkap objek dan menyusunnya dalam kerangka estetika bahasa. Kita dapat merasakan bagaimana konsonan /k/ menjadi ritmis yang berpadu dengan diksi yang sekerabat seperti /ombak/ dan /gagak/ yang mempunyai asosiasi kegelapan. Begitupun dengan frasa /keharuman menanjak/, /sepasang daging membengkak/ dan /arwah merebak/. Puisi ini adalah narasi tentang Kamboja. Kamboja menjadi simbol imajinya pun untuk menjelaskan tema kematian. Lukisan Kamboja dapat ditafsirkan –selain berbagai kemungkinan tafsir– sebagai peristiwa membusuknya sebuah mayat: dilalui oleh penanda kematian yang secara umum dimetaforkan dengan gagak, lalu mayat itu membusuk –di sini Muttaqin menggunakan diksi ‘keharuman’ sehingga tampak ironis, namun inilah ledakan diksinya– lalu membengkak, hingga tak berbentuk karena arwahnya telah merebak ke tempat semestinya.
Bandingkanlah frasa dari metafor yang disusun dalam petikan puisi-puisi berikut, “Ingatan bunga-bunga tercekik di dalam/ kemaluanmu, (Rumah Duan-Daun, Indra Tjahjadi) dengan “ hanya karna menanam bunga-bunga di kepala” (Laut Lalat, A. Muttaqin); atau  saat mayat-mayat menari –gemulai/ menorehkan darah pada tanah peradaban” (Tarian Sebuah Musim, Denny Tri Aryanti) dengan “Seperti mayat yang tenang, seperti langit yang/ lenggang, jika umur adalah semut yang merambat ke/ senja berat.” (Lukisan Kamboja, A. Muttaqin); atau “aku segera beriman pada kekosongan” (Kembali Ke Neraka, Indra Tjahjadi) dengan “Raut yang/ mengajar aku bersujud dan mengimani Yang Tak/ Terjemput” (Ladang Siput, A. Muttaqin).
Bait-bait puisi di atas, telah menggambarkan bagaimana A. Muttaqin merespon geliat diksi yang penuh dengan aroma nanah dan darah yang sering menghiasi puisi Surabaya dekade awal 2000-an. “Lukisan Kamboja” yang bertema kematian digambarkan dengan demikian tenang oleh Muttaqin dan terasa logika “alur” dan narasinya. Ini tentu berbeda dengan tema kematian yang mendominasi puisi-puisi Indra Tjahjadi, dkk, yang berjumpalitan selayaknya penghuni neraka.
 Dari sini dapat terbaca bagaimana sesungguhnya rumusan puisi gelap, yakni bukan persoalan kesukaran dipahaminya puisi-puisi Surabaya, lebih dari itu adalah bangunan suasana itulah yang gelap. Secara gamblang Indra mengakui bahwa sajakku terasing dan menemukan rumahnya dikegelapan. Puisi-puisi semacam itu mungkin lebih tepat, disebut puisi gotik, yang tak hanya melemparkan pembaca pada kesunyian mencekam melainkan pada kengerian.
Dari sini pula, surealisme yang menjadi mula segala persoalan estetik yang diangkat perlu ditegaskan. Surealisme merupakan tafsir terhadap psikoanalisis Sigmund Freud –terutama konsep mimpi– yang diformulasikan dalam teknik penulisan puisi oleh Andre Brenton, disebut dengan otomatisme. Secara sederhana teknik ini adalah usaha melukiskan objek dengan naluri bawah sadar dan menafikan prinsip-prinsip logika (seperti teori strukturalis) dalam proses penciptaan karya seni.
Mengingat apa yang pernah dikatakan oleh Sigmund Freud bahwa mimpi adalah jalan tol menuju alam bawah sadar, maka dalam konteks ini representasi “mimpi” yang coba dihadirkan penyair Surabaya, lebih kepada mimpi buruk yang membuat pagi jadi buta dan gelap, dari pada mimpi indah yang membuat pagi jadi benderang. Jadi sebenarnya inilah letak persoalannya. Senada juga dengan apa yang dikemukakan S. Yoga di depan.
Perbandingan menarik juga dapat kita baca pada studi puisi-puisinya Mardi Luhung yang juga “dituduh” gelap. Jika puisi-puisi Surabaya secara sadar menasbihkan diri sebagai surealisme –yang pada akhirnya memang berkecendrungan gelap– maka puisi Mardi Luhung adalah karnaval –istilah Mikhail Bakhtin– imajisme dengan benih-benih diksi yang secara sadar adalah kondisi sosio-psikologis pesisiran Jawa Timur, Gresik. Pencapaian estetik inilah yang harus dibaca, jika ingin memasuki centang-perenang dan hingar-bingar puisi-puisi Mardi Luhung yang ramai di tengah “nyanyi sunyi” dominasi perpuisian Indonesia. “Siapkan cintamu bagi dagingku, lelaki perahuku/ lekatkan seluruhnya pada pantai dan bakau-bakauan/ yang terulur dari bahasaku” (Lelaki Perahuku) demikian kata si penyair Mardi Luhung.
Sebenarnya hampir secara bersamaan ketika Surabaya dibaca sebagai penghasil puisi gelap, ada seorang penyair yang berada “di luar pagar” kecendrungan tersebut. Dia adalah S. Yoga. Ekspresi puisi-puisi S. Yoga adalah sebuah objek yang ia narasikan dengan segala bentuk filosofis yang mengganduli sajaknya. Ia serupa pemotret ulung, yang dengan itu ia hendak menampilkan sisi humanis, seperti petikan sajak ini: “di atas penderitaanmu/ memang kebahagiaan yang selalu kucari/ dengan api yang menerangi kegelapan/ sebelum tubuh habis dilalapnya” (Lilin).
Sajak S Yoga ini menemui turunannya pada pola pengungkapan  F. Aziz Manna. Salah seorang penyair angakatan baru penyair Surabaya. Di saat sahabat-sahabatnya masih “mengimani” kitab Manifesto Surealis –seperti Dheny Jatmiko dan Ahmad Faishal– F Aziz Manna, tegak berdiri dengan puisinya yang sederhana bahkan cenderung realis, seperti sajak berikut: “ternyata, waktu hanya hitungan/ hanya cara mengeraskan kenangan/ seperti mesin pembeku dalam lemari es” (November). Karakter puisinya memang belum selepas dan sebebas sajak-sajak Muttaqin. Aziz masih menerima kecenderungan  “umum” perpuisian Indonesia, terutama terasa sekali pola S. Yoga.
Terlepas dari apa yang telah saya uraikan di atas, Surabaya kini tengah memasuki era baru dalam kancah perpuisian Indonesia. Sebuah dinamika yang akan terus bergerak mengisi kekosongan atau mendobrak konvensi yang sudah mengalami kejenuhan dan kepunahan. Muttaqin dan Aziz Manna adalah generasi yang secara lembut mungkin akan mengatakan selamat tinggal kegelapan…

*) Umar Fauzi, pengamat sastra alumnus sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya, tinggal di Sampang Madura

Catatan : Esai ini termuat pada harian Surabaya Post pada tahun 2009 lalu. 

Thursday, March 21, 2013

Lembar SARBI edisi #7 Maret 2013

 photo covercopy_zps5c15b9b7.jpg

 photo daftarisicopy_zps8fdc7509.jpg

 photo hikayatbawukcopy_zps38116cd8.jpg

Lembar SARBI edisi 7 Terbit Maret 2013

KONTRIBUTOR

- Kulit Muka
Stefan Thompson

- Penulis
1. Thoni Mukharrom IA 
2. Angga Priandi
3. Sosiawan Leak
4. Heru Susanto
5. Rolly Latendengan
6. A'yat Khalili
7. Umar Fauzi Ballah
8. Dody Kristianto

- Perupa
1. Dan Ciurczak
2. Dora Chiodini 
3. Sergi Brosa
4. Anneli Olander
5. Nur Kholis
6. Bahar Karbuz
7. Papay Wicaksono


-Musik
Convulsive Brain

 Lembar Sarbi edisi 7 terbit dalam versi flash player dapat diunduh gratis di link ini:http://www.mediafire.com/download.php?y7en1qqrrpfrh91

Versi pdf : http://www.mediafire.com/download.php?mjy029kf9udwkm9

Versi cetak hitam putih dapat dipesan diredaksi dengan kirim inbok/email atau kontak sms di 085851857130

*Kritik, saran dan semua yang hendak dikirim perihal SARBI dapat dialamatkan ke sarbikita@gmail.com


TERIMA KASIH

Wednesday, March 20, 2013

BRAINSTORM I

 photo 426495_617358084946122_911250030_ncopy_zps3de210f2.jpg

BRAINSTORM merupakan one day event, 
tema yang dibawakan "main-main dengan omset bersama desainer grafis dan advertiser kreatif"
dengan komposisi acara berupa workshop, lomba, seminar, dan pameran seni.

acara dimulai pukul 08.00 - 10.00 malam. 22 April 2013

dengan rincian:

08.00 - 11.30  --  pameran seni, workshop, lomba
12.30 - 15.30  --  pembukaan acara puncak, seminar sesi 1
16.00 - 18.00  --  seminar sesi 2
18.00 - 18.10  --  penyerahan penghargaan
19.30 - 20.00  --  pengumuman lomba penutup

http://brainstorm-satu.blogspot.com/

Mengundang mahasiswa, praktisi, pelaku pendidikan, pelaku bisnis, dan umum.
Dihadiri oleh 1200 audience di Gedung Graha Cakrawala UM.

Selama acara berlangsung, dibalut dengan pameran seni 2D dan 3D di sebelah kanan dan kiri gedung dengan panjang kurang lebih 30M.

Di buka dengan tari tunggal khas Indonesia,

Pemateri workshop dibawakan oleh Iroel D'art Studio,
menyandang prestasi pelukis no 2 dunia dengan spesialis pensil warna.
Prestasinya bisa dilihat di http://www.iroelpencilwarna.blogspot.com/

Lomba manual sketch and drawing, dengan ketentuan lomba di umumkan saat acara,
menggunakan art pen dengan media kertas. alat dan media sudah disediakan.

Acara puncak Seminar yg di bagi menjadi 2 sesi,

sesi 1: membahas all about tentang desain, idealismenya, penerapan, peran aktif praktisi terhadap orang awam maupun sebaliknya,
serta materi lain yg tidak didapatkan di materi kuliah maupun pendidikan formal.

keynote speaker: Surianto Rustan, Ssn.  
Speaker, Lecturer, Writer, Graphic Designer,
prestasinya bisa di lihat di http://www.rustangrafis.com/

sesi 2: membahas all about tentang advertizing, idealismenya, penerapan, peran aktif praktisi terhadap orang awam mauun sebaliknya,
serta materi lain yg tidak didapatkan di materi kuliah maupun pendidikan formal.

keynote speaker: C. Aristantono SWP.
creative director at Dwi Sapta agency.
  pembuat iklan djarum si jin gila "wani piro"
http://www.dwisapta.com/

bonus materi bedah iklan dari P3I (persatuan perusahaan periklanan indonesia)

moderator 1:  Aldy Menzhu, CHt, CMT, CNLP
     moderator, speaker, hypnotheraphist
     dikenal luas sebagai Pelatih Bisnis & Marketing 
     Paling Diminati Perusahaan Swasta Nasional & Multinasional Indonesia.

moderator 2:  Celixa Amenity Yovanka
     psychologist & Experimental Public Speaker

HTM seminar pro: 100rb + include kursi VIP, sertifikat, 1x launch, 1x snack, berbagai discount product
HTM seminar reg:  60rb + include kursi standart, sertifikat, snack, berbagai discount product

pendaftaran Lomba: 30rb FREE Workshop
(dengan syarat memiliki tiket seminar)

organized by:  emotio, AAM
suported by :  ADGI, P3i

Thursday, March 7, 2013

Setelah Candi Kata

 photo candi_sewu_bw_zpsb28ba87b.jpg 


Esai Zen Hae 

Dunia puisi Indonesia modern adalah dunia yang hancur-lebur. Lebih dari 60 tahun silam Chairil Anwar sudah menyatakan itu dalam sajak-sajaknya. Kehancuran dunia dan upaya aku untuk terus bertahan bukan hanya menjadi tema yang bersembunyi di balik struktur sintaksis puisi, tetapi muncul lewat frasa-frasa yang tegas sekaligus kikuk, padat-gerumpung, dengan bentukan kata yang bergerak antara kelisanan yang telah berurat-akar dan keberaksaraan yang terus memperkukuh diri. Chairil mengalami modernitas sebagai yang pedih dan mematikan tapi juga menyala-nyala, memberi daya hidup hingga seribu tahun lagi.

Sindu Putra adalah salah satu penyair Indonesia mutakhir yang memperpanjang gema kehancuran dunia itu. Dalam naungan gema itu, segalanya bisa tidak memberi harapan sama sekali, termasuk puisi itu sendiri. Baginya, puisi adalah “candi kata”–“Rumahku dari unggun-timbun sajak,” kata Chairil. Sebuah tempat semadi yang semula dipercaya bisa menyelamatkan penyair, tapi kemudian terus-menerus kehilangan aura mistiknya dan kelak hancur. 

Tentu saja candi kata bukanlah temuan yang khas Sindu. Lebih dari delapan abad silam, menurut P.J. Zoetmoelder, para penyair Jawa Kuno (sang kawi) menegaskan puisi sebagai alat untuk berkomunikasi dengan dewa sekaligus wadah tempat ia bersemayam. Dalam “yoga literer” itu, sang penyair berharap keindahan syair-syairnya mampu memikat sang dewa supaya turun dan berdiam di dalam candi kata sebelum akhirnya ia mencapai kemanunggalan dengan dewa pilihannya itu. Pengantar kakawin Bhomantaka menyebut, “Semoga candinya kini didirikan di dalam kata-kata syair ini, sehingga merupakan suatu tempat kediaman yang pantas bagi dewa asmara yang menampakkan diri.” 

Sindu dan para pendahulunya menempatkan candi kata sebagai sebentuk metafora. Bedanya, Sindu mengupayakan tipografi puisi yang lebih asosiatif. Di mana pun dalam puisi Dongeng Anjing Api (Arti Foundation, Juli 2008), pemenang Khatulistiwa Literary Award 2009, kita akan menemukan bangun puisi yang menyaran kepada wujud separuh candi, yang jika dicerminkan akan menjelma sosok candi utuh. Penyair memadukan sedemikian rupa larik-larik panjang dan pendek, di samping menjarangkan secara ekstrem spasi antarkata, sehingga menyerupai lubang-lubang pada dinding candi. 

Lubang-lubang itu seakan-akan mau menegaskan bahwa sebuah tempat semadi tidak terputus sepenuhnya dengan dunia ramai, semacam ventilasi yang mengalirkan udara dan cahaya matahari. Tapi mereka bisa juga muncul akibat copotnya sejumlah besar batu penyusun candi tersebut. Karena itu, unsur-unsur di dalamnya bukan lagi “puing-puing yang saling merekatkan diri,” sebagaimana dinyatakan Nirwan Dewanto dalam pengantar Lima Pusaran: Bunga Rampai Puisi Festival Seni Surabaya 2007, tetapi yang bersiap menyongsong kehancuran. Sebuah nujuman sang penyair menyebut pada akhirnya “candi kata itu pun runtuh.” Lantas, “puisi terakhir yang aku tulis di tubuhku, punah” (puisi “Akhir dari Puisi”). 

Puisi sebagai candi telah runtuh, selaku rajah pun sirna. Maka tampillah zaman tanpa puisi. Zaman tanpa keindahan. Ketika manusia, dengan “tangan meleleh”, “tanpa aksara”, “kehilangan warna dan rambut merah”, terpenjara di dalam “rumah kaca”. Sedang di luarnya hanyalah dunia yang penuh luka dan kematian. Tapi dua makhluk yang melambangkan kebebasan dan keindahan penyair dan puisinya masih mencoba bertahan hidup: “kupu-kupu mendaur ulang sayapnya / di sela waktu yang tersobek / burung-burung mengeramkan paruhnya hingga tanpa abu”. Dalam hantaman samsara ini yang bisa dilakukan aku kemudian adalah semadi untuk menemukan kembali kaitan dirinya dengan alam ilahiah. Maka, di bait akhir puisi itu Sindu menulis: 

Tubuhku inilah tanah sebuah hutan terbuka 
ke mana pohon merapuh, burung dan kupu-kupu dituakan”
aku ciumkan tanah, menghormati padi 
menghormati segala yang ditanam dengan siraman air mata 
tubuhku pun payau, merindukan bakau 
puisi, berakhir juga ke tubuhku 

Tamatnya puisi adalah tema penting, jika bukan terpenting, dalam Dongeng Anjing Api. Puisi lainnya, “Dalam Tubuh Artupudnis”, menyatakan sirnanya puisi berlangsung di dalam keseluruhan tubuh “artupudnis” (anagram dari Sindu Putra). Bedanya, sirnanya puisi di sini tidak didahului oleh bencana. Bukan manusia, melainkan tuhan (dengan “t”) yang mendapati fakta itu. Apakah itu berarti penyair artupudnis sudah mati, sehingga puisi di tubuhnya lenyap begitu ajalnya tiba? Sehingga yang hadir di hadapan tuhan adalah bukan lagi penyair, tetapi “mantan penyair”? 

Teka-teki ini bisa dipecahkan dengan menelusuri berubahnya proyeksi ujaran puisi. Jika pada dua bait pertama “aku lirik tersembunyi” menempatkan artupudnis sebagai alter ego dalam posisi orang ketiga yang tampaknya sudah mati, baik harfiah maupun metaforis. Di bait-bait berikutnya aku menempatkan alter ego-nya itu dalam posisi orang kedua dan disebutnya “kau”: “Kau masuk ke dalam mimpi mereka”. 

Lantas siapakah mereka? Mereka adalah orang-orang yang memburu terang yang lain setelah kematian penyair. Yang berpesta di bawah patung pahlawan di tengah keramaian kota. Sebuah pesta yang karena permainan oksimoron dan pengulangan subjek menjadi tak bermakna dan mengasingkan: “mereka berpesta cahaya lampu yang gelap / mereka kenakan bunga-bunga tanpa warna”. Kau kemudian bukan hanya hadir dalam mimpi tapi dalam kehidupan nyata, seperti Yesus yang menampakkan diri di depan muridnya, yang membuat mereka “melolong / memandangimu yang tegak di antara mereka / bagai patung pahlawan, bagai patung garam”. 

Kini yang terasing bukan hanya mereka, tetapi juga kau yang tidak bisa memahami perilaku mereka, karena “mereka baca sajak-sajak yang tak kau kenal / yang belum dicipta para mantan penyair”. Tapi di mata tuhan, semua ini keheningan belaka; sebuah kondisi yang mendorongnya menunjukkan kuasa, “dan keheningan ini tuhan / mewarnai juga mimpi mereka”. Sebuah keheningan mahapanjang yang menandai tamatnya puisi: “dalam tubuh artupudnis / tuhan tak lagi menemui puisi / sepanjang sejuta tahun keheningan ini”. 

Jika tamatnya puisi membuat penyair tidak lagi punya peran dominan, kematian penyair berlangsung bersamaan dengan kelahiran puisi. Ia adalah pemakzulan terhadap hasrat yang mendewa-dewakan penyair sebagai oknum yang lebih penting daripada puisi itu sendiri, setelah sebelumnya otoritas kepenyairan itu disangsikan. Dalam puisi “Penyair dalam Diriku” sang penyair dinyatakan “mati” dan puisi menjadi “epitaf nisan, tempat namaku / dilupakan, nama penyairku”. Sementara puisi “Batuan” merumuskan pemakzulan itu dengan pembalikan logika Cartesian: “karena aku menulis puisi / maka aku tak ada”. 

Penyair tidak sepenuhnya sirna, sebenarnya. Ia mengepompong. Momen yang dalam puisi lainnya dimanfaatkan untuk “memahami gurat bunga” (puisi “Hutan Bakau”). Lanjutan puisi “Batuan” menegaskan bahwa sebagai patung indigo si penyair akan menjadi penjaga rumah kupu-kupu: 

… 
dan nun di batu-batu Batuan 
sebuah rumah kupu-kupu berdiri 
setipis bayangan, 
dikelilingi pohon-pohon yang dikerdilkan 
yang bersikeras memanjang 
berbunga dalam redup, 
lebih rendah dari perdu 
sarang serangga malam, dengan sengat beracun 
dengan mata awan yang tumbuh 
rumah kupu-kupu itu kini, 
milikmu. tinggi. 
sementara dengan sayap-sayap berlumpur 
aku berkepompong dari luarnya 

Kutipan ini menonjolkan setidaknya dua hal. Pertama, surutnya dominasi aku lirik atas ujaran puisi. Di sini ia semata-mata narator dan bukan tokoh utama. Ia dikendalikan, bukan mengendalikan. Ia hanya kepompong, belum lagi kupu-kupu. Yang dominan di sini adalah suasana liris alam yang bergerak sedemikian rupa; yang tak terjangkau lagi oleh kekuasaan aku. Kosongnya peran aku lirik, dalam contohnya yang terbaik, bisa kita temukan dalam sejumlah “puisi suasana” Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono. 

Kedua, pemalihan. Kepompong adalah fase yang menghubungkan “aku-yang-sudah” (manusia-ulat) dengan “aku-yang-akan” (manusia-kupu-kupu). Dengan kata lain, “aku” akan mengalami pemalihan (metamorfosis). Bukan lagi manusia, tetapi segala yang bukan-manusia: hewan dan tumbuhan. Bukan hanya kupu-kupu, tapi juga burung, ulat, serangga, ikan, kodok hijau, batang pisang, dan seterusnya. Dalam Hinduisme, konsep yang berkerabat dengan fenomena ini adalah reinkarnasi. Yakni, seperti kata Robert Zaehner, “Kondisi di mana jiwa individu dilahirkan kembali merupakan akibat perbuatan-perbuatan buruk atau baik yang dilakukan dalam kehidupan sebelumnya.” 

Bagaimana hubungan pemalihan ini dengan dengan reinkarnasi dalam Hinduisme, bisa menjadi telaah tersendiri. Yang bisa dicatat, pada Sindu pemalihan lebih menyerupai sebentuk adaptasi dalam hidup yang dirundung kehancuran, dengan imbuhan surealisme di sana-sini, daripada “hukuman” bagi jiwa yang buta terhadap jalan iman dan kitab Veda. Di awal puisi “Tentang Sebatang Pohon”, misalnya, aku lirik yang memasuki hutan kota dan menggenggam pohon tiba-tiba menjelma jadi sebatang pohon, yang di lidahnya mekar sekuntum anggrek hitam. Tapi itu belum cukup. Di akhir, ia benar-benar menjadi sekuntum bunga, setelah tergoda oleh permainan elipsis: “aku merasa (jadi) sebidang kupu-kupu”:

… 
aku berulang-ulang mengeja membungkuk searah matahari 
merebahkan tubuh mengikuti sumbu bumi 
aku merasa sebidang kupu-kupu di antara warna-warna membakar 
seseorang memintaku memasuki kepompong waktu 
aku jadi setangkai kembang manikung yang tertanam dalam api 

Apakah sebatang pohon yang menjadi setangkai bunga sama dengan Gregor Samsa yang menjadi seekor serangga raksasa atau ulat yang menjadi kupu-kupu? Pemalihan ini baru tampak masuk akal jika permainan elipsis itu ditafsir begini: “aku merasa (kehadiran) sebidang kupu-kupu”. Kelak kupu-kupu yang berkomplot dengan api itulah yang mengisap saripati kembang manikung. Lantas ia akan layu, mati, hangus. Bukan hanya oleh kupu-kupu, tapi juga oleh api. Inilah fenomena yang diharapkan bisa sejajar dengan kematian penyair dan keruntuhan candi kata: wujud-wujud mutakhir dunia yang hancur-lebur itu.

 ___________________________ 

 Zen Hae telah menerbitkan kumpulan cerpen Rumah Kawin (KataKita, 2004) dan kumpulan puisi Paus Merah Jambu (Akar Indonesia, 2007). 

Esai ini dimuat oleh Koran Tempo 21 Maret 2010 dan dijumput dari: http://cintakuwaktu.blogspot.com/2010/03/setelah-keruntuhan-candi-kata.html


@ Redaktur SARBI: Dody Kristianto

Puisi Ferdi Afrar, Kompas 3 Maret 2013

 photo _MG_0591copy_zpsc3978594.jpg


Tualang Kopi

di lengan dedahan pokok
kami pentil tersabar, mendongak
dan melongok pada tingkap petang antariksa.
sembari merapal doa dan tafakur – akan segera tiba,
akan segera tiba meninggalkan muasal menuju tualang.
sungguh ini tak sekedar perjalanan ketertundukan. seperti suratan pengembara tersedak buah
pada jakun dan payudara. atau ngilu leher
kambing kurban pada meja persembahan.

akan segera tiba mereka menjemput,
yang mengasah taring dan pisau kuku
dan memburaikan liur geraham.
yang berkelebat pada gelap samar bulan,
seperti mekar kelelawar yang menawar rasa lapar
atau cakar musang mengintip daging merah pilihan.
mencicipi manis-getir sari sari.

maka kami jalani kodrat tamasya
dalam kerongkongan dan jeroan.
atau kami akan tengadah dalam jemuran pekebun, merelakan sebagian dari badan disesap matahari
hingga kisut-kusut langsai. hingga sampai-sampai,

di tangan pekebun itu kami tergelincir
di pinggir tubir ujung jari asap limpahan
penuhi wajan penggorengan dan seisi bedeng.
masak-masak! gulingkan gulingkan.
agar bara blarak hantarkan gurih menir,
dan cukilan kambil merasuk ke daging.
sutil yang meratakan uap panas tungku
menguningkan kuku dan mencoklatkan kami,
yang kian renyah terpanggang dan meronggong.

adakah gosong telah menjadikan kami hamba
bebijian tabah yang terpilah dalam tampah,
akan sempurna dalam penggilingan atau
tumbukan lesung alu.

sungguh kami telah girang terhidang dalam perjamuan, bersamamu, ketela goreng dan serbuk susu
dan seseorang di seberang yang bersikeras
menulis sajaknya yang kian gagu.

2012

Genduk

engkau yang kerap membuat cemas,
gumukmu menyaji lugas

kami yang tertahan di ujung ubun,
yang mengencangkan panggul

engkau sabetan kuas nan lancip,
melengkung ke tingkap birahi

kami pemain harpamu,
menyentil senar ke ujung susup

engkau perigi yang diselipi kantil,
juga kenanga yang merawat rahasia

kami perajin gerabah,
mengaduk liat hasrat ke ujung mega

engkau selapis ketan,
yang tersaji klimis bersama parutan

kami jemari yang mengelus pelan,
lembah bakung mahkotamu

engkau irisan pepaya,
yang menghenyakkan watas purba

kami pengendara tersesat,
diujung sempit alis matamu

2012

Taksidermi Kata
- Meminjam Lukisan Berburu Banteng-nya Raden Saleh

keributan dalam celah kalimat sebuah sajak :

belum menutup benar matanya yang binal,
ketika kami menohokkan sebuah tumbak
ke pundaknya yang berlemak. seketika badan
segarnya terjungkal ke arah kanan.
dengan gemetar kami seret dagingnya
dari gelanggang, saat petang lengang itu.

dengan kesabaran petapa, antara diam dan mendaras
kami menunggu yang hendak tampak bergegas.
menguar keras dalam bahasa. berkelebat dalam
benak, yang bersembunyi dalam alam rasa.
yang tiba-tiba menyeruduk ke arah muka,
kami siap mengelak-menjeratnya dengan kelihaian pencak,
sigap kuda-kuda.

di pendapa, badan sintalnya kami gantung.
kami garit lambungnya agar pisah jeroan dengan kulitnya.
kami samak tampangnya agar bertengger sangar dalam kaca.
mengkilap dalam kalimat, berkacak dalam sajak.

2012
 






Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post