Berita Perjalanan
Buat H.B. Jassin
Kujelajah bumi dan alis kekasih
Kuketok dinding segala kota
Semua menyisih
Keragaman nikmat bebas
Serta kerdilnya ikatan batas
Tersisa di tangkapan hanya
hampa
Saat memuncak
Detik menolak
Terbanting diri pada
kebuntuan
Hati berontak
Batas mengelak
Meruah ingin dalam kekosongan
Jakarta, A’dam, Paris, Genova
satu nama
Salju Alpina di Jibuti guruan
Afrika
Sejak itu sepakat kebuntuan
Jadi teman seperjalanan
kekosongan
Dalam sajak mencari kepenuhan
Perang antara kesetiaan dan
pengembaraan
Kepada Anakku
Hai, anakku jadilah tukang
Di waktu senggang jangan baca
Sajak-sajak petualang
Cintailah kerjamu
Lupakan kepedihan bapak
Tebusan duka ibu
Bila datang penyair
Jangan terima bertamu
Segala yang mengingatkan padamu
Usir
Bahagia
Hanya di hidup sederhana
Antara pagi kerja
Dan senja memuja
Kehidupan sederhana
Di tengah manusia kenal setia
Paris-Yuillet
Bois de Boulogne Grand Lac
Antara hari-hari pohon tak berdaun
Kita terlena di bawah musim bunga
Hidup seakan kita serahkan pada hari mengalun
Tertidur di atas perahu kolam terlucut damba
Sungguh, Lamartine bisa saudara
Jika Rimbaud tak lari ke tepi Sahara
Gambar Kota Dulu
Depan jendela gadis mengurai rambut
Ditimpa sinar pagi menyepuh kota
Sungai di bawah memantul sinar bulan muda
Di mata selamanya yang masih kusut
Di cermin tertera kejadian dalam
Nafsu remaja yang berakhir di malam
Menyatu dengan dendang pagi
Hari baru yang menyusukan hati
Cinta hidup yang tidak kepalang
Di dadanya yang tak tahu diri telanjang
Meraih diriku yang tak tahu pulang
Sebelum semua pintu terpalang
Adakah malammu sudah berhenti risau
Mencari pacar
semenjak semua telah lalu
kenangan jad pudar?
Tapi kau bukan merpati ̶ kutahu
Yang bisa tenteram merindu
dalam sangkar
Akupun nanar.
Surat Kertas Hijau
Segala kendaraannya sudah tersaji hijau muda
Melayang di lembaran surat musim bunga
Berita dari jauh
Sebelum kapal angkat sauh
Segala kerontokan menonjol di kata-kata
Menepis dalam kelakar sonder dusta
Harum anak dara
Mengimbau dari seberang benua
Mari, Dik, tak lama hdup ini
Semusim dan semusim lagi
Burung pun berpulangan
Mari, Dik, kekal bisa semua ini
Peluk goreskan di tempat ini
Sebelum kapal dirapatkan
______________________________
Sitor Situmorang adalah seorang penyair ulung
Indonesia yang telah puluhan tahun berkarya. Ia lahir pada tanggal 2 Oktober
1923 dan genap berusia 90 tahun. Bagi Sitor, mencapai usia lanjut bukan
halangan untuk berkarya, karena Sitor masih menulis puisi, masih menikmati
karya sastra orang lain dan selalu bersemangat untuk mengikuti diskusi dan
pembicaraan mengenai sastra dan politik. Beberapa buku puisinya antara lain Surat Kertas Hijau (1954), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1956), Zaman Baru (1962), Dinding Waktu (1976), Angin Danau (1982), Bunga di Atas Batu (1989), serta Rindu Kelana (1994).
Ia dilahirkan di sebuah desa kecil bernama Harianboho di pulau
yang (kini) bernama Samosir, sebuah pulau kecil di tengah Danau Toba di Sumatra Utara. Ia memiliki darah
murni dari Suku Batak, karena dalam silsilah keluarga dari garis ayah dan ibu,
semuanya merupakan orang Batak. Pada usia muda Sitor sudah merantau keluar
kampung, dan pada akhirnya ia keliling dunia, sesuatu yang diinginkannya sejak
remaja.
Kecintaannya pada Suku Batak telah diwujudkan dengan ketekunannya
menelusuri sejarah suku tersebut yang kemudian disusun dalam satu buku berjudul Toba Na Sae (The Last Toba). Dalam buku itu
Sitor merunut sejarah sukunya melalui berbagai penelitian pustaka, mewawancarai
tokoh adat bahkan juga menyusun kembali legenda dan mitos yang selama ini
dikenal sebagai cerita lisan (dongeng). "Nama pulau Samosir dulu bukan
Samosir, tetapi karena orang-orang dari desa Samosir sering menyeberang ke daratan,
maka orang mengenal dan menjuluki semua penduduk pulau itu sebagai orang dari
Pulau Samosir," kata Sitor sekilas mengenai sejarah kampung
halamannya.
Sang pengenala ini mengaku sangat mencintai kota Paris, Perancis
yang disebutnya sebagai Jantung Peradaban Eropa. Setelah gagal dalam pernikahan
pertama (dan mempunyai sejumlah putra dan cucu), Sitor melabuhkan hatinya pada seorang
wanita Belanda, Barbara Brouwer yang menjadi istrinya serta ibu dari seorang
anaknya. Puisi-puisi di atas diambil dari kumpulan Malam Sutera (2004, Matahati).
Redaktur SARBI:
Dody Kristianto
1 comments:
Misi numpang nanya, puisi-puisi di atas dari buku yang mana ya?
Post a Comment