Telah Terbit !

Yang sederhana, yang berserakan, yang tak diperhitungkan dan bertebaran di mana-mana, tetaplah harus dirayakan. Spesial SARBI edisi 8 di akhir tahun!

Segera Dapatkan !

Buku Puisi Karya KOMANG IRA PUSPITANINGSIH.

Toko Buku SARBI

Kumpulan buku bekas pilihan yang asik untuk dibaca dan dikoleksi dengan harga bersahabat.

Telah Terbit!

BULETIN TIKAR EDISI 02/2013 Diterbitkan oleh Komunitas Tikar Merah (KTM)

Dapatkan!

Buku Terbaru SARBIKITA Publishing Karya Heru Susanto

Blogroll

Monday, July 22, 2013

Nuansa Kristiani-Yahudi dalam Puisi Faisal Imron

 photo P06457_10_zps496861f8.jpg



Oleh Isbedy Stiawan Zs


….. sebagian dari gaya puisi  Ahmad Faisal Imron (yang) menyerupai gaya puisi Goenawan Mohamad. Sulit dipungkiri bahwa Faisal menulis puisi di bawah pengaruh Goenawan Mohamad.”

ARIF Bagus Prasetyo saat memberi catatan pada buku puisi Ahmad Faisal Imron Langit Lemburawi ini pada kesimpulannya menurunkan pernyataan yang saya kutip di pembuka tulisan ini.
Untuk menguatkan “penemuan” Arif Bagus Prasetyo dalam tulisannya di akhir buku Faisal “Mengaji Langit Lemburawi” ini, memerlukan satu alinea di bagian akhir kata penutupnya (87-108).
Puisi-puisi Ahmad Faisal Imron (1973), penyair Bandung, memang berkelindan gaya dan nuansa dari puisi-puisi Goenawan Mohamad (GM). Tetapi apakah ada yang salah? Ketika banyak penyair muda kita nyatanya tak mampu lari dari bayang-bayang GM. Kita bisa deretkan di sini betapa banyak penyair dari tahun 1980-an sampai mu’asir tak bisa melepaskan diri bayang-bayang puisi GM.
Karena itu, dalam kesempatan ini saya tak hendak memperkuat pernyataan Arif Bagus Prasetyo bahwa puisi-puisi Faisal Imron “di bawah pengaruh Goenawan Mohamad” benar adanya.
Saya menutup perbincangan terhadap pengantar penutup Arif. Ada yang menarik dari puisi-puisi Faisal Imron yang terhimpun dalam buku puisi Langit Lemburawi yang diterbitkan Kata Kita, Mei 2012 ini, nuansa Kistiani dan Yahudi (Israel).
Meskipun apa yang dilakukan Ahmad Faisal Imron bukan tanpa pendahulu. Jauh sebelum dia, penyair Sapardi Djoko Damono juga telah melakukannya, begitu pula sebagian dari puisi Goenawan Mohamad.
Baik Faisal ataupun Sapardi dan GM, kita tahu adalah muslim. Bahkan lebih “ekstrem” lagi, penyair Faisal Imron (adalah jebolan beberapa pesantren, otomatis santri dan) kini mengelola sebuah Pondok Pesantren Baitul Arqom di Jawa Barat.
Sehari-harinya juga taat pada agama. Sikap hidup Faisal tergolong santun, dan selalu menarik diajak berteman. Beberapa kali saya berjumpa di berbagai event sastra, tidak pernah berubah. Jauh dari congkak.
Tetapi, manakala disodorkan 29 puisi dalam Langit Lemburawi, saya terperangah. Ternyata santri di sejumlah pesantren dan pengelola pondok pesantren ini, teramat fasih ihwal pemikiran dan ajaran Kristiani dan Yahudi, bahkan keyakinan lainnya.
Kalau saja nama Ahmad Faisal Imron sebagai penulis ditiadakan (dihapus) sementara dalam buku ini, barang tentu pembaca akan mengira penulisnya bukan muslim. Walaupun ada juga puisi yang termaktub di buku ini bernuansa Islam.
Puisi-puisi Faisal Imron dalam bukunya ini cenderung panjang-panjang, bahkan ada yang 8 halaman (“Kepada Yehuda Amichai”, hlm.13-21). Wajar jika ketebalan buku ini 108 halaman, dikurangi pengantar penutup Arif Bagus Prasetyo.
***
PUISI pembuka dalam buku ini, pasti sudah diperhitungkan si penyair, ialah “Kepada Yehuda Amichai” karena saat buku ini diterbitkan, persoalan Jalur Gaza kembali memanas.
Siapa Yehuda Amichai? Lagi-lagi Arif telah panjang lebar menjelaskan penyair kontemporer berdarah Israel, kelahiran Jerman tahun 1924 dan meninggal dunia tahun 2000. Pada tahun 1935, Amichai yang bernama asli Ludwig Pfeuffer, pindah ke kawasan Palestina lalu ke Yerussalem.
Penujuan kepada penyair Yahudi ini, saya menduga hanya untuk menggiring pembaca (apresian) bisa larut ke persoalan bangsa Israel ini. Lalu, apa hubungannya bagi Indonesia yang dikenal mayoritas muslim se-Dunia, hanya untuk “mengaji” ihwal bangsa yang juga telah dikutuk dan diusir Tuhan sebagaimana tertulis dalam kitab suci?
Apalah lagi, Yahudi melalui kekuatan Amerika dan bangsa-bangsa di Eropa seakan hendak menghilangkan satu kaum, sebagaimana Nazi-Jerman ingin menghapus Yahudi dari muka bumi?
Faisal Imron membuka puisinya dengan menggunakan titimangsa tahun, sebagai bentuk untuk menyadarkan kita betapa pentingnya sejarah (historis) dalam hidup ini:

di hari penebusan, 1967 itu
kau sesali semua yang tinggal debu
di kota tua Yerusalem
di negeri mesiu
……
Tahun 1967 adalah mula bangsa Israel memenangkan perang selama enam hari saat melawan Arab—di dalamnya Mesir, Yordania, Syiria—sehingga mampu merebut Semenanjung Sinai, daratan Tinggi Golan, Jalur Gaza, dan Tepi Barat Sungai Yordan, termasuk Yerusalem Timur. Demikian sejarah mencatat.
Jalur Gaza pun bagaikan lembah yang penuh oleh pencabut nyawa. Palestina, suatu bangsa yang lebih dulu mendiami daerah itu, bagaimana anak ayam tak memiliki kandang. Ratusan ribu warga Palestina terusir dari tanah mereka, sisanya yang masih bertahan harus hidup menderita di bawah pendudukan Israel.
Dan masjid yang telah diukir dalam kitab sucinya umat Islam, Masjid Al-Aqsha, terancam pula dibumihanguskan.
Apakah saat 1967 itu, mula kali bangsa Yahudi mengangkat senjata maka sang penyair kontemporer Yehuda Amichai ikut pula memuntahkan senjata?
Faisal Imron tidak sedang menggambarkan ketokohan penyair Yehuda Amichai dalam puisinya ini. Dia hanya mengironikan ihwal bangsa Yahudi: di Eropa ia ditindas dan terusir oleh tangan Nazi-Jerman, sebaliknya di Jalur Gaza ia menjadi penindas dan monster bagi bangsa Palestina.
Gambaran eksodus warga Yahudi dari tanah Jerman menuju kamp atau saat menaiki kereta menuju pengusiran dengan baik ditulis dalam baris-baris puisi “Kepada Yehua Amichai” ini.
Faisal Imron juga demikian fasih menyebut Tuhan-nya Yahudi, sebagaimana tertulis ini:

apakah ada restu di jejak sepatu
tas yang tak menyimpan mesiu
bumi di hari ini, yang mulai anyir
doa di saat laju kereta, di formulir
dan sisa tinta di jari yang ungu
di selatan, semoga Yahweh tersipu
………
Yahweh, dan Yahweh tak kunjung tiba
……..
Yahweh, engkau seakan membujuk kami, agar selalu berdoa
……
Tuhan Abraham, Tuhan Moses
Tuhan Jesus di bukit Tabor

(“Kepada Yehuda Amichai” hal 14, 16, 17, dan 19).
Sementara itu, nuansa (nafas?) Kristiani misalnya dapat dibaca pada puisi “Jarum Jam” (hal 39) dan “Piano” (hal 43), dan ada beberapa lagi yang lain.
Dalam “Jarum Jam” yang boleh jadi lahirnya puisi ini saat penyair menunggui keluarganya—sang anak—yang dirawat inap di rumah sakit, sebagaimana persembahan puisi ini bagi Sidratul Muntaha.
Jarum jam sekaligus juga sebagai jarum infus di rumah sakit, saat si pasien bagaikan merasakan bahwa “infus (yang) menetes, menggerakkan semua jarum jam (….) pada diri manusia.”
Nuansa Kristen dapat dilihat dari bait pertama puiisi tersebut: “19 hari, di lonceng gereja;/di gema yang dituntaskan matahari/langit itu seluruhnya adalah besi/anakku menjelma tragedi”
Lalu pada bait kedua, penyair mengamsalkan ruang-ruang pengobatan adalah susunan ajal bagi siapa saja yang tak menyimpan alamat, kecuali nama depan dan sebuah tanya: berapa jumlah tuhanmu? (“Jarum Jam”).
Ternyata benar, puisi ini memang ditujukan kepada anak Ahmad Faisal Imron, Sidratul Muntaha. Hal ini diperjelas melalui bait di bawah ini:

aku, saat menyusun kembali
paru-paru anakku, yang hanya terbaring
dan berkedip harap, semoga tak lenyap
infus, seperti kepanjangan tuhan
dari balik waktu dan malaikat-malaikat sayu

Sebuah duka yang diterima secara santai, bahkan hanya rasa geli? Tragedi yang disambut dengan ironi. Ajal yang tak lebih hanya “menggerakkan semua jarum jam pada diri manusia.
Dan, mohon maaf jika saya ingin meminjam Sutardji Calzoum Bachri yang hanya menertawakan luka dalam puisinya bertajuk “Luka”: ha ha ha. Sedangkan penyair ini, mengatakan:

tuhan tak lebih
dari sekadar jarum suntik
yang memberi geli

Puisi yang nafasnya – nuansanya – nyaris sama dengan “Jarum Jam” adalah “Di Ruang Tunggu” (Rumah Sakit), masih ihwal sang anak Sidratul Muntaha tentu saja.
Namun pada “Di Ruang Tunggu” (hal 41), Faisal Imron justru mepertanyakan sekaligus memrotes kehadiran maut. Dia mempertanyakan siklus antara ada dan tiada, antara mencipta dan ketiadaan.
Demikian Faisal mengalusi kematian itu: “kenapa ketiadaan selalu ditemukan/pada saat tidak diinginkan//pada saat manusia mencipta jam/jam mencipta berjuta-juta manusia/ketidaan semakin ada//di ruang tunggu/ketiadaanlah yang berlintasan.”
Kemudian pada puisi “Piano” juga nuansa kristiani sangat jelas, utamanya pada penujuan setelah judul, - gereja di perbatasan kota.
Namun demikian, Ahmad Faisal Imron bukan berarti melupakan agama yang telah diyakini sejak anak-anak dan agama yang sudah turun-temurun keluarga. Apalagi Faisal mempedalam Islam di pondok pesantren, lalu dilanjutkan menyebarkannya melalui pondok pesantren pula yang dikelolanya.
Penyair Jawa Barat ini memang lintas-agama, tanpa ia memburuk-burukkan agama yang diyakini sejak lahir. Sebagai penyair, Faisal Imron memang melepaskan sekat-sekat, terutama agama dan filsafat.
Dengan begitu ia telah membebaskan diri, sekaligus juga telanjang “di hadapan puisi” seperti pada puisinya ini: “dan saat malam bertabur timah/kau dan aku, bermain telanjang/di bawah cahaya raksasa//semoga selamanya.
Alusi-alusi Faisal Imron memang bisa bergerak ke mana saja, berkelindan ke mana-mana, dan menukik ke hakiki-an diri dan keyakinan. Puisi-puisinya memiliki daya spiritualitas yang dibangun dari permainan alusi, sehingga membentuk sebuah lapisan makna puitik di dalamnya.
Alusi-alusi itu yang “memberangkatkan” Faisal Imron hingga ke jatuhnya tanah Yerusalem ke tangan Israel di tahun 1967, enam tahun sebelum dia lahir ke bumi (1973). Boleh jadi untuk memeroleh data “di hari penebusan, 1967 itu” ia membaca sejarah perang di Tanah Arab ataupun biografi penyair Israel “Yehuda Amichai” sebagai referensi puisinya ini sehingga menjadi kuat.
Faisal Imron memang banyak membaca tokoh para penyair dunia, semisal Lorca dan lainnya. Termasuk pula Goenawan Mohamad, penyair Indonesia, yang diklaim Arif Bagus Prasetyo telah membayang-bayangi kepenulisan Faisal Imron—dan sejatinya banyak lagi penyair muda Tanah Air.
Bayang-bayang, betapa tidak, akan mengikuti kita sebagaimana bayangan tubuh di bawah cahaya matahari ataupun bulan. Itulah bukti kedekatan seseorang pada yang dikaguminya…

NB : Ini sebenarnya merupakan resensi Isbedy Stiawan Zs atas buku Langit Lemburawi karya Ahmad Faisal Imron. Resensi ini pernah termuat pada rimanews.com

Redaktur SARBI: Dody Kristianto

Miniatur Puisi Dunia

 photo T04109_10_zps5bb35acc.jpg 
Koleksi www.tate.org.uk

Esai Risang Anom Pujayanto*

Jawa Timur. Sebagai kawasan kaya aneka seni-budaya, sungguh celaka apabila tidak memiliki semacam monumen suaka pencatat segala gilang-gemilang. Sebagai pemilik kultur sosial terbuka sekaligus tidak adanya identitas pusat-pinggiran, telah berimplikasi pada kemudahan pencerapan informasi dari luar. Sehingga bersamaan dengan kemudahan informasi tersebut, dialektika wacana lokal dan ’dari luar’ merupakan hal yang tak terelakkan dalam dinamika pendewasaan warna seni-budaya yang berkarakter Jawa Timur.
Dalam setiap periode persinggungan wacana lokal dan ’dari luar’, setidaknya salah satu seni yang terlibat di dalamnya niscaya sempat menduduki posisi puncak kejayaan. Namun jangan dibayangkan tahta itu akan bertahan lama di Jawa Timur. Tidak. Semua cekat melesat. Silih berganti. Sehingga bila masanya terganti—seni yang pernah berada di masa keemasan tapi lupa disudikan dalam catatan—kondisinya bakal tertumpuk oleh tawaran seni-seni kreasi baru. Alhasil, keteledoran tidak mencatat fenomena tersebut mengakibatkan jejak yang berserak semakin sulit terlacak.
Pendeknya untuk menghindari hal itu sekaligus sebagai penanda identitas daerah, ikhtiar pendokumentasian perkembangan seni Jawa Timur memang berada di titik yang vital untuk diperhatikan. Pada 2009, Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) sebagai lembaga yang menaungi seni di Jawa Timur telah memberi sinyal terang; salah satunya dengan meghadirkan satu buku antologi puisi Jawa Timur: Pesta Penyair. Dalam buku Pesta Penyair ini dihadiri oleh 55 penyair berbeda generasi. Dan, masing-masing penyair berpartisipasi menulis tiga puisi terbaik.
Pada prinsipnya, seperti yang diungkap salah satu penyair sekaligus Ketua Komite Sastra DKJT Mashuri, langkah-langkah pendokumentasian tanpa menancapkan tonggak di dalamnya sekali pun, memang sudah cukup baik. Pasalnya, ketika berhenti pada tataran ini, dokumentasi telah mengejawantah dengan sendirinya berupa data-data. Artinya, manakala ada yang berkenan membawa data ke ruang yang lebih megah, di mana di ruangan tersebut ’yang berkenan’ bebas mengeksekusi sesuai kepentingan tertentu, maka catatan Pesta Penyair yang belum terjamah ini merupakan data-data asli, murni, dan terbaik untuk dijadikan salah satu pertimbangan referensi.
Akan tetapi ketika ditinjau dari aspek kuratorial, pandangan yang membiarkan dokumen-dokumen berhenti pada sekadar dokumen belaka merupakan hal yang tidak sehat, semena-mena dan sangat tidak bertanggung jawab. Sebab, setiap obyek puisi yang diciptakan selalu menggunakan unsur prespektif struktur indah, dasar peresepsiannya pun pasti bukan didasarkan pada alasan nama besar saja, sekadar kenal, maupun asal diketahui pernah menulis puisi. Melainkan ditengok dari pencapaian-pencapaian gagasan yang ditawarkan penyair. Karena itu, untuk mengetahui perkembangan perpuisian di Jawa Timur, pembaca dapat menyimak tiap-tiap puisi lebih detail dalam Pesta Penyair.
Apabila dipetakan dengan menggunakan kategori umur, secara garis besar terdapat tiga generasi yang turut serta dalam Pesta Penyair. Katakanlah: senior, menengah dan junior. Pengklasifikasian ini bukan otomatis mendudukkan kualitas persajakan senior lebih unggul ketimbang junior. Bukan. Namun akan sangat terlihat perbedaan ciri khas karya generasi tua, menengah dan yang junior. Kendati tidak secara keseluruhan, perbedaannya terletak pada penekanan salah satu unsur dalam suatu karya. Generasi Akhudiat, Aming Aminoedin, Sabrot D Malioboro, Roesdi Zaki, D Zawawi Imron, Saiful Hadjar, Tengsoe Tjahjono, dan lainnya merupakan generasi yang telah makan asam garam, berpengalaman dalam menjalani kehidupan. Pengalaman kehidupan ini berpengaruh pada puisi mereka. Sehingga, puisi-puisi yang tampak sangat bijaksana, menggunakan metafor sederhana dan cenderung menasehati. Ciri ini dikentarai karena para penyair senior telah mengandaikan adanya pembaca.
Sebaliknya penyair yang masih muda memiliki karakter yang berbanding terbalik dengan para penyair senior. Beberapa karyanya terkesan egois, personal, kaya akan gaya bahasa, abstrak dan seolah-olah ingin dimengerti. Pembaca yang wajib memahami, bukan penyair menyodorkan gagasan setara kemampuan intelektual pembaca awam. Terdapat beberapa kemungkinan penyair muda ini memilih gemar mengeksplorasi teknik-teknik. Di antaranya, eksperimentasi akan aliran puisi atau justru karena minimnya pengetahuan, penguasaan dan pengalaman akan obyek yang hendak dieksplor, sehingga hasil akhirnya terkadang dibuat-buat sangat abstrak. Tentu dengan menebar dalih, karya yang baik adalah karya yang susah dipahami. Atau pembaca yang tidak paham merupakan pembaca yang hanya memiliki kemampuan pas-pasan.
Sementara penyair generasi menengah memperlihatkan kematangannya. Mereka berhasil mengkombinasikan keunggulan, mereduksi kekurangan-kekurangan yang muncuk di lain generasi yang disebut terdahulu. Karya-karya matang itu tampil dengan citra yang tidak menggebu-gebu, tidak egois, persetubuhan dengan obyek dengan berlama-lama dikarenakan gairah memuncak hingga benar-benar menimbulkan kompleksitas konstruks teks, dan pesan moral yang tersampaikan pun tidak hadir secara eksplisit juga laten. Tetapi tentu tetap tepat tujuan.
Peletakkan penyair berdasarkan kriteria umur ini memang bukan kebenaran tunggal. Tetapi setidaknya ternyata mampu memberi bukti bahwa usia mampu mempengaruhi proses penciptaan suatu karya. Sebutlah seindah sajak Akhudiat. Jika dibandingkan dengan sajak-sajak karya penyair sejamannya, Akhudiat sejatinya memiliki teknik tak kalah dengan generasi yang masih matang, hanya saja di akhir puisi-puisinya terdapat sebersit nasehat yang kurang elegan, terlalu vulgar, seakan keluar dari keapikan bait-bait yang dibangun sebelumnya.
Sementara itu, penyair muda lebih mudah diketahui. Pasalnya, penyair muda selalu ingin tampak sempurna. Dan ini tervisualisasikan dalam pembaitan, pertimbangan pemilihan diksi, unsur bunyi, dan sebagainya. Kecenderungan memang tampil seragam sesuai kriterium puisi zaman sekarang, namun bukan berarti tidak ada tawaran kebaruan sama sekali. Dody Kristianto, misalnya, puisi Dody merupakan puisi dongeng. Perpaduan antara puisi dan logika dongeng. Selain aspek penceritaan, dalam puisi-puisi Dody juga terdapat pengambil-alihan keajaiban dongeng yang biasanya terpatok pada binatang, kini di tangan Dody beralih pada media-media lain. Karakter yang khas dimiliki penyair muda juga terjadi pada puisi-puisi Arif Junianto, Ahmad Faishal, Akhmad Fatoni, Wildansyah Bastomi, dan sebagainya. Kini pertanyaannya, seberapa besar penyair muda ini tetap bertahan pada temuannya ini?
Sedangkan penyair yang telah matang, yang memiliki kebaruan dan tidak terlepas dari tautan sejarah perpuisian nusantara, yakni milik F Azis Manna. Tapi sayang stamina Azis kurang menjadi fokus perhatian. Lihat ’Orang-Orang Kampung’ yang terbagi dalam empat babakan. 1-3 masih konsisten menyangkut kemanusiaan, tetapi pada bagian 4 berubah menuju ketuhanan. Memang tidak ada yang salah, hanya sedikit timpang. Di puisi Azis yang lain, ’Genting’ dan ’Cinta Kami’, semakin membuktikan bahwa stamina berpuisi Azis sedikit menghambat kesempurnaan.
Terlepas dari itu, seluruh puisi yang tersebar dalam Pesta Penyair sejatinya tidak hanya bisa diukur dengan penggolongan usia. Sebab banyak hal yang bisa dimaknai keunikannya. Katakanlah, ketika melihat dari kaca mata kultur di mana penyair kerap melakukan kontak sosial, persoalan gender penyair yang mempengaruhi puisi-puisinya, persoalan kota dan pedesaan, penggunaan teknik konvensional tradisional dan pembawa aliran seni tertentu, penyair mana yang berangkat dari teori-teori besar atau yang karena bersentuhan langsung dengan obyek, dan beberapa tata cara lainnya dalam menikmati puisi.
Karena itu, kendati Pesta Penyair tak ubahnya miniatur perpuisian dunia lantaran sifat seni Jawa Timur yang terbuka, tetapi puisi-puisi dalam Pesta Penyair tetap terasa nafas ciri Jawa Timur.

*) Anggota Komunitas Cak Die Rezim (CDR) Surabaya. Esai sebenarnya merupakan resensi buku Pesta Penyair Jawa Timur dan pernah dimuat di harian Surabaya Post sekitar tahun 2010.

Redaktur SARBI: Dody Kristianto

Puisi-Puisi Dokter Zhivago

 photo Dr_Zhivago_zpsbbf63da9.jpg


Pleidoi
Pengertian bahasa asing dalam bahasa Indonesia adalah pengertian yang denotatif. Kalau kita maksudkan bahasa asing, tentu yang dimaksud adalah bahasa selain bahasa Indonesia—bisa bahasa Spanyol, Inggris, Perancis, Mandarin, Jepang, Rusia, Swahili, Kongo, Arab. Pengertian itu tak akan mencakup bahasa-bahasa yang dinamai “bahasa daerah” karena “bahasa daerah” itu ada “di dalam” dan “karib” serta “dikenal”.

Walhasil, bahasa asing adalah bahasa dari negeri antah-berantah dan benar-benar “asing”. Ia ada “di luar”, “jauh”, dan “tak dikenal”. Akibatnya, karya sastra yang menggunakan bahasa asing pun menjadi karya sastra yang “asing” dan milik “orang lain” serta tak terpahami oleh “kita” yang berbicara dalam “bahasa kita”. 

Begitu pun sebaliknya. Bagi Ajip Rosidi, bahasa suatu bangsa—lebih tepatnya komunitas pewicara—memiliki relung-relung dan ceruk-ceruk bahasa yang hanya bisa dikenali dan ditapaki bangsa itu. Penerjemahan karya sastra berbahasa asing, dengan demikian, adalah “mustahil”, karena relung-relung dan ceruk-ceruk itu akan hilang ketika dicoba disajikan dalam bahasa tujuan. Tetapi, dengan segenap kesukaran itu, penerjemahan karya sastra bukannya musykil dilakukan. 

Beberapa tahun setelah reformasi, penerbit-penerbit Jogja dan Bandung memicu penerbitan buku-buku terjemahan dari karyatama kelas dunia semacam Origin of Species, Interpretation Dream, One Hundred Years of Solitude dan lain-lain. Jauh sebelumnya ada terjemahan roman-roman Victor Hugo dan Sir Walter Scott. Khusus untuk puisi, misalnya, ada terjemahan sajak-sajak Octavio Paz oleh Arief B. Prasetyo, Antologi Puisi Nobel oleh Sapardi Djoko Damono dkk, dan di tahun yang lebih lampau Amir Hamzah menerjemahkan Bhagavad Gita dan M. Taslim Ali menerbitkan antologi sajak-sajak terjemahan bertajuk Puisi Dunia

Dari pelbagai terbitan itu, yang menerjang batas yang kelihatannya mustahil diruntuhkan, penerjemah telah memperoleh peran penting. Penerjemah adalah kurir, messenger, Hermes kecil, yang menyampaikan niat yang mulanya terucapkan bahasa di jagat antah-berantah yang jauh dan tak terpahami oleh bahasa di bumi penerima. 

Dan Puisi-puisi Dokter Zhivago ini pun diterjemahkan—semampunya, karena ada wanti-wanti menakutkan dari seorang kritikus, yang benar-benar kritis, yang mengatakan bahwa menerjemahkan karya sastra sebenarnya membutuhkan syarat mendasar yang sulit: penerjemah harus sama mahirnya dengan pencipta karya itu. Tetapi, kalau kerja ini tak dilaksanakan dan hanya dijadikan cambuk penakut saja, maka puisi-puisi itu tak akan pernah tersampaikan kepada telinga dan batin orang Indonesia. 

Dan kekurangan dalam terjemahan ini bertambah parah karena diterjemahkan dari bahasa kedua, tepatnya terjemahan dalam bahasa Inggris (bahan puisi-puisi diambil dari beberapa puisi yang ada di bagian belakang novel Doctor Zhivago, terbitan Fontana Monarch, cetakan keenam, 1964). Ini tak bisa dihindari. Selain kesulitan dalam bidang kemahiran itu, ada juga kesulitan yang tampaknya lebih bersifat linguistis dan, akhirnya, politis.

Tak banyak orang Indonesia yang memahami bahasa Rusia, dan lebih sedikit lagi orang yang tergerak untuk menerjemahkan karya-karya sastra Rusia dari bahasa aslinya. Ini dipersulit lagi oleh fakta bahwa bahasa Rusia adalah bahasa yang jauh dan “dijauhkan” dari kita, sejauh letak bekas negeri tirai besi itu dari Indonesia. Ada ketakutan kolektif yang ditanamkan pemerintah Orde Baru kepada segala yang berbau Komunisme—sedangkan Rusia adalah citadel Komunisme yang tangan-tangan kejinya dianggap berbahaya bagi batin orang Indonesia. 

Mungkin pada masa Demokrasi Liberal yang lebih permisif terhadap perbedaan ideologi pernah muncul terjemahan karya-karya Rusia yang diterjemahkan langsung dari bahasa aslinya. Tetapi, mendapatkan hasil terjemahan yang semacam itu sama sulitnya dengan, yah, katakan saja: menegakkan benang basah. 

Demikianlah maka puisi-puisi Dokter Zhivago pun diterjemahkan.

***  

PUISI-PUISI DOKTER ZHIVAGO
 
Hamlet 

Keriuhan padam. Aku melangkah ke panggung, bersandar di ambang pintu 
aku coba terka dari gaung yang jauh itu apa akan terjadi dalam masa hidupku. 
Gelap malam membidikku dalam kesaksian seribu kaca gedung opera. 
Abba, Bapa, dengan restumu, biarlah cawan ini kulewatkan. 

Aku suka kehendakmu yang kokoh itu, dengan riang akan kujalani peranku. 
Tapi kini drama yang lain tengah dipentaskan: sekali ini biarkan aku menjadi. 
Tetapi semua laku telah direncanakan dan ujung jalan ini tak terelakkan. 
Aku sendiri: segalanya karam dalam kemunafikan orang Farisi. 

Menjalani hidup tak sesederhana melintasi sepetak ladang* 

* Larik terakhir ini adalah pepatah Rusia, dalam bahasa Inggris berbunyi “To live your life is not as simple as to cross a field”.

Maret 

Dunia kegerahan dalam cahaya siang, lorong-lorong hampa menyerbu hidup yang risau, 
pisau tuai di tangan musim semi, si gadis penuai itu. 
Salju meleleh di reranting kecil yang seperti otot-otot biru, 
tetapi kandang sapi mengepulkan asap, gigi gerigi garpu tuai berisik. 

Malam-malam ini, hari dan malam-malam ini, hujan menabuh genderang di jendela kala senja, 
kerikil-kerikil es menimpuki genteng, percakapan sungai-sungai yang susah tidur. 
Kandang kuda dan sapi semua terbuka. 
Bebek-bebek memunguti butiran gandum di salju 
Pelakunya, sekaligus pemberi hidup, adalah kotoran hewan beraroma udara segar. 

Di Minggu Suci 

masih gelap malam dan begitu muda dunia hingga bintang-bintang di langit 
tak terbilang dan seterang siang, dan kalau saja boleh, 
bumi akan tidur sepanjang Paskah 
dininabobokan oleh gumam Amsal. 

masih gelap malam dan begitu muda dunia 
hingga lapangan membentang seperti keabadian 
antara pojok dan perempatan jalan 
dan pagi dan kehangatan seribu tahun jauhnya. 

Bumi masih cukup bugil, tak punya apa-apa buat dikenakan di malam hari 
tetapi terus mendentangkan lonceng untuk menyahuti kur di hatinya. 
Dan dari Kamis Baik sampai Sabtu Suci 
air membikin liang di tepi-tepi kali dan memusar di kolam. 

Hutan ditelanjangi, dan di musim Kasih Yesus bebatang cemara 
berdiri seperti jemaat misa, sementara di kota, berkerumun seperti pertemuan, 
pohon-pohon bugil memandangi pagar gereja. 

Pesona. Peringatan itu terpahami. Kebun tumbuh melampaui pagar, 
fondasi bumi guncang: Tuhan sedang dikuburkan. 
Mereka lihat cahaya di gerbang kerajaan,* 
tabir hitam dan lilin-lilin berpacak baris, 
wajah-wajah yang disayat tangis: tiba-tiba prosesi itu maju kepada mereka 
dengan selubung dan kedua pohon birch di gerbang mesti memberi jalan. 

Prosesi itu memutari halaman gereja dan kembali, di sepanjang trotoar, 
membawa musim semi dan percakapan musim semi dari jalanan ke beranda, 
dan udara beraroma hosti dan musim semi beraroma batubara. 
Dan Maret menebarkan salju di atas kerumunan orang lumpuh di beranda, 
seolah-olah ada seseorang yang membawakan bahtera Nuh, 
membukanya dan memberikan semua isinya tanpa sisa. 

Lagu itu terus berputar hingga fajar. Setelah dikeringkan isinya, 
Amsal dan Doa-doa menjangkau lebih lembut ke jalan 
yang berlumuran sinar lampu. Tapi di tengah malam, 
hewan-hewan buas dan manusia membisu, karena mendengar 
kabar burung dari musim semi: 

segera setelah cuaca berubah 
Ajal akan dikalahkan dengan kerja berat Kebangkitan. 

*royal gate: gerbang kain dalam gereja Rusia yang memisahkan altar dengan bagian tengah gereja. 

Malam Putih 

Aku lihat masa lalu yang jauh dan sebuah rumah di Petersburg Quai* 
Putri tuan tanah kecil dari padang stepa, kau datang dari Kursk untuk menjadi mahasiswa. 
Engkau cantik, para pemuda mencintaimu. Sepanjang malam putih itu 
kita berdua duduk di ambang jendelamu 
menjenguk ke bawah dari pencakar langit itu. 

Lampu-lampu jalan bagaikan kupu-kupu gas yang gemetar oleh sentuhan pagi. 
Aku berkata dengan lembut kepadamu seperti kejauhan yang tertidur itu. 
Dan kita, seperti Petersburg yang membentang sampai jauh di Neva yang tak punya pesisir, 
tertawan dengan lembut dalam dekapan sebuah misteri. 

Di luar sana, di kejauhan, di rimba-rimba lebat, di malam putih musim semi itu, 
burung bulbul mengisi hutan dengan gemuruh lagu puja. 
Kegilaan itu terus saja, suara burung yang sekecil itu 
membangkitkan keriangan di kedalaman hutan yang seperti kena mantra. 
Ke sanalah malam merangkak, mendekap pagar-pagar seperti pengembara telanjang kaki, 
mencuri dengar percakapan dari balik langkan jendela. 

Dalam jangkauan gaung itu, di kebun-kebun berpagar, 
dahan-dahan apel dan cherry mengurai kuntum-kuntum putih, 
dan seputih hantu, pepohonan berkerumun di jalan seolah-olah 
melambaikan selamat jalan kepada malam yang putih 
yang telah melihat terlalu banyak. 

*Petersburgskaya Storona: sebuah distrik di tepi sungai 

NB : puisi-puisi ini diambil dari blog An Ismanto, lake-innisfree.blogspot.com

Redaktur SARBI: Dody Kristianto

Duel Dua Bajingan

 photo N03607_10_zps44540321.jpg


Cerpen Fahrudin Nasrulloh

Di tebing jurang Wuluh di Bukit Kumbang, onggokan mayat-mayat berserakan di mana-mana. Gubuk-gubuk padepokan lantak terbakar. Amis darah meruap, menjelma bebayang hantu ditelan asap dan menyarang pedat ke rongga-rongga batu karang.
Roh mayat-mayat beterbangan
Diterpa cahaya purnama
Yang lahir dan yang mati
Tinggal kisah di sekotak peti
Jadi kenangan esok hari
Malam terus merayapi rasa kelam. Tapi kobaran api kian menerbangkan lelatu kematian. Membubung tinggi. Hitam pekat berliuk-liuk. Bergulung-gulung bagai ribuan naga sanca yang berlesatan menerobos angkasa. Di atas purnama bersaput warna kuning jingga, kejahatan malam itu bak geriap ajal yang membelit bayangan pandangan mata yang durja.
Ia mendengus beringas. Tatapannya sangar. Mengoceh ngalor-ngidul. Mulutnya memuncratkan ludah banger. Baunya bisa semaputkan orang. Ia berjubah hitam. Bertubuh gempal. Tegap gagah, tampan. Tapi rautnya penuh parut bekas bacokan. Mengerikan dan angker. Omongannya ngawur. Mbelgedhes! Mbelgedhes! Semprotan itu selalu ia semburkan ketika amarahnya muntap.
Tubuhnya dekil. Bau bangkai babi. Petakilan tingkahnya. Berangasan bila melihat perempuan ayu montok. Tak malu ngocol di jalanan. Memang ia suka menumpahkan berahi di sembarang jalan. Ia menghunus pedang bergagang naga. Matanya memancarkan kilat bersaput kejora. Melesat ia, secepat lawa, di atas selembar daun jati, menembus pepohonan. Berlayangan dari ranting ke ranting. Seperti gagak maut yang mengibaskan kepak bengis sekarat, melengkingkan kesumat, amuknya terpanggang dendam membara. Sekujur tubuhnya bergetar gemuruh angkara.
Di Bukit Kumbang, kobaran api masih berjilat-jilat, lelaki itu berdiri bak arca yang bangkit dari kutukan zalimnya. Jubah hitamnya berkibar-kibar diterpa sangit malam. Ingatan yang lamur, sayup-sayup terbayang di pelupuk mripatnya simbahan darah sang guru, Ki Padas Getas. Bagai janin mimpi beraroma keji, pembumihangusan padepokan Bukit Kumbang baginya betul-betul menorehkan tragedi yang memilukan. Empat puluh murid Ki Padas Getas binasa dengan cara mengerikan. Puluhan kitab warisan Syekh Karamuk musnah terbakar. Sebagian dilenyapkan ke Jurang Wuluh, sebagian dirampok para pemburu kitab di bawah pimpinan bajingan Pieter Zan Boven, si Belanda pincang bermata buta.
Lelaki itu berkelebat di udara. Tangannya mengusap-usap wajah buruknya. Sembari memekik, ia berteriak lantang ketika melihat Pieter tergopoh-gopoh bersama dua orang berbaju hitam yang menggembol bungkusan besar.
"Mau lari ke mana kau, Landa bangsat!? Hayo hadapi aku, jika kau benar-benar pembunuh bayaran Kompeni laknat itu!"
Mendengar celometan itu, Pieter hanya terkekeh-kekeh sengir menatap tingkah pongah Sawungpati. Seraya meludah-ludah jijik, ia duduk berleha-leha dan bersiul-siul ngece di sebongkah karang. Mengelus-elus pistolnya bergagang emas. Sebilah keris berwarangka kuning kemerah-merahan tersengkelit di pinggangnya
"Sawungpati, jangan cuma pamer kesaktian, Kau! Aku tak akan lari dari kematian. Akulah tuan dari segala kematian. Dan kematianmu tinggal selangkah lagi. Dan malam inilah malam terakhirmu. Ketahuilah, Ki Padas Getas dan semua muridnya sudah mati dengan peluru-peluru berajah babiku ini. Memang mereka pantas mampus. Ia telah bersekongkol dengan Surapati yang mempecundangi dan membunuh Kapten Francois Tack di Kartasura. Karena itu, aku dapat bayaran banyak dari Kompeni untuk membunuh semua sahabat dan antek-antek Surapati."
"Bangsat kalian semua! Persetan dengan Kompeni! Juga Sri Sunan yang jadi begundal dan boneka kaum kafir itu. Kalian sebut Surapati sebagai bandit pengacau. Tapi dia sahabatku yang punya keyakinan dan jiwa ksatria, dan bagiku, dia-lah yang layak menjadi raja di tlatah Jawa, ketimbang Sri Sunan yang dungu, gampang membunuh, dan gelap kekuasaan itu. Terlebih lagi, kalianlah perampok negeri kami! Bangsat! Jiancurit! Anjing najis kalian semua!!! Cuih! Bedebah! Cuih!"
"He he he, Siapa yang lebih anjing bin babi hoi, murid begajulan! Kau curi Kitab Bajra Tapak Geni Ki Padas Getas. Kau cabuli putrinya, Ni Mayang Wulan, hingga ia terhina dan gantung diri. Kau tak pernah bergabung dengan laskar Surapati dalam peperangan sekalipun. Hidupmu cuma kau buang untuk berhura-hura. Berjudi. Sabung ayam. Merampok dan menjarahi harta juragan-juragan Cina. Main perempuan hingga zakarmu kena raja singa. Ha ha ha, kau lebih laknat dari iblis, Sawungpati! Dan sekarang, kita ini sama-sama biadab, Sawungpati! Kau tak terima juga jika sekarang aku melakukan kejahatan yang sebenarnya lebih sesat dari kejahatanmu!"
Dua murid murtad Ki Padas Getas itu gencar saling berserapah dan lempar tuduhan. Pieter, si jangkung merit beraut mayat, bertulang bak jrangkong. Dengusan napasnya bagai memletikkan rambut pasir api yang kuasa membangkitkan mimpi buruk bagi siapa pun yang terjebak menatap kesangaran wajahnya. Ketangkasannya bertarung sabung memang setara dengan Sawungpati yang telah menguasai Kitab Bajra Tapak Geni. Namun pelor-pelor pistolnya yang berajah gaib itulah, yang banyak membikin gentar musuh. Bahkan Kompeni juga orang-orang Mataram pun menggigil menghadapinya.
"Pieter, kenapa kau tega membunuh guru kita?"
"Ia pantas mati. Bukan perkara aku dibayar oleh Kapten Eygel untuk membinasakannya. Tapi aku yakin, jika tak kubunuh si bongkeng bau tanah itu, dia pasti nanti kau bunuh juga dan kau rampas pula kitab saktinya. Dan ternyata benar dugaanku."
"Tapi mengapa pula kau lenyapkan semua kitab Syekh Karamuk?"
"Aku sudah mempelajarinya semua. Termasuk kitab babon Segara Ireng Kalimatul Arsy wal Maut. Aku yakin, tak seorang pun pewarisnya yang khatam mengamalkannya. Kecuali aku. Aku. Akulah pewaris tunggal semua ilmu guru yang kelak menjadi jawara di tlatah ini yang tiada tandingnya."
"Sontoloyo, celeng demit begejil!! Terbakarlah leluhur bejatmu di alam baka, bangsat!"
"Hei, lancang benar kau sebut-sebut roh leluhurku di Den Haag yang telah beristirahat dengan tenang. Memang, aku sudah telanjur jadi iblis. Aku bukan pengabdi Kompeni, bukan budak siapa pun. Akulah tuan dari kebejatanku sendiri, dari segala kejahatan dunia. Sudahlah! Jangan banyak cincong kau! Hayo kita bertarung!!!" Ciaaatttttt!!!
Ciaw, ciow, cah cih cuh
Mata elang sambar menyambar
Bayangan getih bersintakan
Digulat dendam, silir menyilir
Yahoi, jurus-jurus beradu
Menetak nadi, gemetar pepati
Ciaw, ciow, cah cih cuh
Pieter berkelebat. Menghambur ke arah Sawungpati. Sementara, dua pengikutnya, jawara bule peranakan; Gajul van Deer dan Bajul van Keer telah bersiap-sigap menyerang dari sisi kanan dan kiri.
"Hoi, Kalian menyingkirlah! Ini urusanku dengan Sawungpati. Jangan ikut campur!!!"
"Kami berdua juga ingin menguji kesaktian Sawungpati, Tuan!" pekik Bajul van Keer.
"Benar, Tuan, aku juga sudah gatal ingin meremukkan kepala si durjana ini!" sambung Gajul van Deer.
"Jamput! Dasar kroco-kroco tak tahu diri. Kalian bukan tandingannya. Jangan membantah perintahku! Atau kubunuh kalian sekarang!?"
Seketika keduanya ciut nyali dan nyengir seperti disawuri kotoran anjing. Mereka mundur barang lima tombak. Bersungut-sungut gentar campur grundel sambil mondar-mandir mengayun-ayunkan pedang dan kapak mereka.
Bagi Gajul dan Bajul, mereka hanya sekali menyaksikan pertarungan dua pendekar urakan itu. Inilah persabungan kedua mereka setelah, lima tahun sebelumnya, Pieter dicocor mripat kirinya dengan jurus Tapak Carang Goyang oleh Sawungpati hingga buta dan kemiren kaki kanannya tertetak pedangnya hingga pincang. Tapi Sawungpati juga terluka cukup memedihkan. Karena sabetan keris Wotyamadipati milik Pieter, hampir sekujur wajahnya penuh carut luka. Mengerikan. Menyayat pandangan.
Dalam sekejap keduanya sudah bertarung sengit. Berlompatan di udara. Menukik. Menghunus. Saling sambar menyambar dengan jurus masing-masing. Hunjaman demi hunjaman keris Pieter menyodok ke wajah Sawungpati. Sabetan pedang Sawungpati juga berkali-kali menjurus ke dada Pieter, namun ia tangkas berkelit lincah.
Sesekali keduanya berkelebatan dari bongkahan karang satu ke bongkahan karang yang lain. Jika tak hati-hati, mereka bisa terpeleset terjerumus ke Jurang Wuluh. Tapi mereka bukan pendekar urakan biasa yang ceroboh seperti dua cecunguk Pieter yang keberanian dan ketangguhannya terbilang kacangan.
Hiaattt!.... Ciahhhh!....
Ciaaatttt!.... Heahhh!....
Gema suara mereka melengking menggelegar hebat. Denting keris dengan pedang memekakkan telinga. Percikannya bak tebaran timah panas berpletikan ke mana-mana. Menggiriskan bulu kuduk. Memaksa mata tersodok berkejap sebab kilaunya memerihkan tatapan. Membunarkan jarak pandang. Memusingkan kepala bagi siapa saja yang jika berani coba-coba membuka kedipan mata.
Tiba-tiba Sawungpati mundur tiga langkah. Menata kuda-kuda. Membuka jurus-jurus dari Kitab Bajra Tapak Geni. Kaki kirinya dilipat dan ditapakkan di dengkul kanannya. Matanya terpejam. Dua telapak tangannya saling dirapatkan dan diacungkan ke langit. Mulutnya komat-kamit merapalkan mantra:
aji bajra tapak geni
segara langit segara bumi
lipat pati latu getih
biqudratillahi mautika
rajiun wa laknatun
Pieter tidak tinggal diam. Lima pelor berajah babi telah siap dibidikkan. Namun ia juga berjaga-jaga dengan mendaraskan mantra dari Kitab Segara Ireng Kalimatul Arsy wal Maut:
aji geni ireng segara areng
sipat Gusti sipat langgeng
sipat menus sipat pati
matia sajroning dzat Gusti
la ilaha illallahu Muhammadar rasulullahu
Serentak keduanya saling menerjang. Kibasan, pukulan, dan sodokan sama-saama mereka lancarkan.
Pieter mulai keteter. Dengan susah payah ia berkelit dan menangkis pukulan dan tendangan Sawungpati. Sawungpati terus mendesak. Jurus kelima Bajra Tapak Geni ia tukikkan ke ulu hati Pieter. Sial. Pieter tak sempat menghindar. Kecepatan pukulan itu melebihi desahan napasnya yang mulai ngos-ngosan. Ia terjengkang tiga langkah ke belakang. Sambil memegangi ulu hatinya, Pieter menghirup setarikan napas.
"Ha, ha, ha, bagaimana rasanya Bajra Tapak Geni-ku, Pieter? Jantungmu bisa-bisa ambrol dan gosong!!! Ha, ha, ha!!!"
Pieter tak meladeni ocehan itu. Sekilat lepas ia tembakkan pistolnya. Sawungpati tergeregap menghindar. Berjumpalitan bagai kutu loncat. Empat tembakan dapat ia tepiskan. Tapi satu peluru menyarang di perutnya. Darah mulai menetes. Ia merintih-rintih, nyengar-nyengir kesakitan. Wajahnya yang bercarut luka kini memerah. Pelor rajah babi memang dengan sendirinya merasuk ke seluruh aliran darah dan membuat si terluka makin garang dan lepas kendali bagai celeng alas mengamuk menyerang musuhnya.
Sementara Pieter mulai terhuyung-huyung dan berjalan terdingklang-dingklang sembari memegangi ulu hatinya dengan tangan kirinya. Tangan kanannya masih tetap menodongkan pistol yang kosong itu ke jidat Sawungpati. Ia tahu tak ada waktu lagi mengisi peluru, lantas membuang pistol.
Pieter segera mencabut Keris Wotyamadipati. Keringat dingin menderas meleleri sekujur tubuhnya. Ia semakin gemetar merasakan keampuhan pukulan Bajra Tapak Geni itu. Sawungpati juga mencabut pedangnya. Tapi pedang ini bukan pedang pusaka. Kendati pedang ini pernah membikin picak dan pincang si Pieter. Itu pun karena gabungan jurus pedang dengan dengan ajian Bajra Tapak Geni.
Keduanya saling berhadapan dalam jarak dua tombak. Tampaknya inilah pertarungan hidup-mati mereka. Lalu keduanya saling menyerang.
Crasss.... Jlepp....
Akhkhkh.... Eighghrrhghrrr...
Tebasan pedang Sawungpati membuntungkan tangan kiri Pieter. Mata Pieter mengerjap-ngerjap. Menatap dengan nanar ke purnama yang hendak tenggelam dijemput fajar. Pieter limbung. Gontai, dan tersungkur tepat di kaki Sawungpati.
Adapun Sawungpati lebih tragis lagi, keris Wotyamadipati menancap di lehernya hingga tembus ke tengkuk. Darahnya muncrat membasahi sekujur tubuhnya. Namun ia tetap berdiri tegap dengan mata mendelik. Nyalang mripatnya seolah mau menghirup cahaya fajar yang mulai menyingsing. Mulutnya hendak memekikkan sesuatu. Tapi tak kuasa. Lalu ia terjatuh tersimpuh. Meregang nyawa. Suaranya mengorok-orok sesenggrokan. Seperti suara sapi kejang yang disembelih.? Sejenak kemudian, kepalanya tertunduk. Dan darahnya yang menghitam kental itu masih saja merembes dari lehernya.
Dengan cekatan Gajul dan Bajul menyingkirkan Pieter dari posisi Sawungpati yang tewas bersimpuh itu. Pieter barangkali hanya pingsan sebab kehabisan darah. Tapi pukulan Sawungpati itu juga sangat mematikan. Akhirnya, dengan membopong Pieter beserta barang jarahan lain keduanya cepat-cepat meninggalkan Bukit Kumbang itu.***

Lembah Pring, Jombang, 2006-2007


NB : Cerpen ini dimuat oleh harian Suara Merdeka, 13 Januari 2008 sekaligus mengenang Bung Fahrudin Nasrulloh yang telah berpulang pada 30 Mei 2013.

Redaktur SARBI: Dody Kristianto

Saturday, July 20, 2013

Puisi Dody Kristianto, Koran Tempo 7 Juli 2013

 photo untukdody_zps53109abe.jpg

Syarat Mengurai Ikatan

Ini bukan tentang adab sopan. Melucuti adalah tingkah wajar
Bagi yang bertandang dan bersua dengan yang bersemayam.

Tapi sungguh, tuntaskan dulu memindai hikayat ikat. Siram
Badan kasat pandang dengan kewingitan kembang setaman.

Biar sempurna benar malam penghanyutan. Biar tak bangun
Yang sudah menerima talkin penghabisan. Ketahuilah, kupak

Pertama membuka langkah menuju ia yang tak lagi sempurna.
Tak perawan, tak bujang, tak ada yang tertinggal dalamingatan.

Tak lagi ada silat lidah bila berjumpa. Cermatkan pula,awaskan
Gelagat telinga. Sigapkanlah serupa radar. Yang kautuntaskan

Hanyalah memgudar yang mengikat. Tak patut kau pamerkan
Kelihaian menjamah yang berada di sebalik lembar. Harus pula

Kau cergas membeda mana kaki mana kepala. Sebab beberapa
Depa dari pandang. Beberapa langkah dari liang. Telah siaga

Sekian badan api yang ingin menandangi kaum pemijak bumi.

(2013)


Mufakat Memilah Sajak

Sebagai penyair lapar berjagalah di pertengahan malam
Benar pula, harus mampu kau memilah sajak yang tiba-tiba

Datang. Bisa ia mencurigakan serupa seteru yang menyapa
Sembari memamerkan ancang satu dua tingkah binatang

Amati dan leburkan ke dalam sajak. Sebuah sapuan
Akan serupa majas bening di permukaan. Tangkaslah

Memandang mana tingkah kanan mana perangai kidal
Belah udara keparat hingga menembus hakikat kata

Masuklah ke dalam inti sebagaimana pemburu makna
Jangan bimbang bulan terang itu membikin lapar badan

Bisa jadi ia mula seteru yang harus diredakan
Angin jahat pastilah menyimpan pesan kurang ajar.

Ditutupnya segala jalan darah. Tapi selaku yang tabah
Dari kekejian tak kasat, mantapkan itikad bertirakat

Jangan sampai mata terpejam dan sajak luput selintas
Pandang. Jangan sampai kau seolah cecunguk yang rubuh
Dalam sekejap serang

(2013)


Perihal Tak Seimbang

Kamulah yang mengasingkan yangmematikan.
Kamulah yang menyimpan,mendiamkannya
agar kelak yang banyak gertaktak lagi sesumbar
memamerkan itikad galak.

Jika begitu, aku memilih beranjak dari tarung ini.

Sumpah. Dengan kelihaianmelipat gunung
sekalipun, badan tanggung initak dapat mengelak
gelagat rahasia yang kamusemayamkan. Ini gelut
paling serius.

Lebih liar dari pelor yang menggasak dada.
Lebih dengung dari meriam kompeni di hadap
wajah.

Silat beracun yang kusimpanmungkin
perlawanan kadaluarsa.Merinding leherku
bila sampai kamu hentak tanah.

Yang berdiam. Yang menunggupeluang
membikin badan pingsan adalahyang kamu
undang sebagai sekutu di jalanan.

Segala rupa kegaiban. Yang terjelek. Yang termursal.
Yang termiring. Yang tak lagi berbadan lengkap
pasti kelak menerkam dan menenggakku.

Sia-sia pula segala hantam akulepas. Tak lagi berdaya
aku ikat tenaga dalam. Ingat,lidahku lidah kaku
dan tak kuat mengucapistighfar. Pastilah
mataku sekadar disaratipenampakan yang berbadan,
tapi tak mungkin kuterabasdengan tendang.

Demikianlah, aku telah terperangkap
dalam rupa tarung tak seimbang.

(2013)


Melepas Serdadu Gaib

Ke depan, kedepanlah.

Inilah tingkah serdadu rahasia
menyelinap dan merayap 

Mungkin ngibrit kadal kudis yang menantang
Juga segala anjing buduk, kucing koreng,
hingga centeng gagu pasti luput mengganggu.

Perayaan ini sungguh syahdu. Aku bujang
yang melepasmu. Seolah kau pacar
yang menyeberang ke tanah jauh.

Tapi sungguh. Jangan membaca ayat itu
atau kalimat berapi yang akan mengafirkan tubuh.

Sebab pagilah yang sejati menunggumu.
Dengan penyiraman darah ke tubuhmu yang batu.

Maafkan aku. Aku hanya dungu berbadan
yang menunggu di belakangmu.

Ke depan, ke depanlah.

(2012)

Kenduri Ganjil

Bisa pula kita sepasang yang asing :

Aku di kamar, sedang kau ditampik
segala pandang

Lalu, kubiarkan diri menyeru langit,
tapi kau berujar gelap.
Aku percaya rumah, sementara kau berserah
untuk yang rimbun tak kasat.

Sesungguhnya, ini kenduri berdua. Tak ada mata
yang ditinggal. Hingga unggunan di seberang
menyeru namaku Mungkin pula mengutukmu
yang disapih segala hikayat jauh.

Riuh pula, bukan merintih,
hentak rampak rebana, hingga dandang kelontengan

dang plak dung dangdung

(2012)

Mengurai Angin Ribut

Berkelokkah, menukik, atau menikung?
Dengan adab apa kita berhadapan?

Tentulah kita tak harus mendelik
untuk saling mengancam.

Aku yang tengah siaga sendirian.
Dan kau yang datang tiba-tiba.
Jangan lagi berkelit bersama tangan jahat di udara

Pantaslah ini dinamakan tarung rahasia.
Aku bersama jurus dan tingkah manusia
Kau yang lebih mengenal perilaku percik dan pijar.

Gerakmu terbalik memusingku.
Sungguh, telah kumasukkan jurus sekian
yang tak habis menyentuhmu.
Aku melepas lesat tercepat. Tapi dengan tanah
atau kayu engkau bersekutu.

Benarlah telah siap kau melebur tubuhku
Kau bakar atau cebur melebihi jahat dunia.

(2012)

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post