Telah Terbit !

Yang sederhana, yang berserakan, yang tak diperhitungkan dan bertebaran di mana-mana, tetaplah harus dirayakan. Spesial SARBI edisi 8 di akhir tahun!

Segera Dapatkan !

Buku Puisi Karya KOMANG IRA PUSPITANINGSIH.

Toko Buku SARBI

Kumpulan buku bekas pilihan yang asik untuk dibaca dan dikoleksi dengan harga bersahabat.

Telah Terbit!

BULETIN TIKAR EDISI 02/2013 Diterbitkan oleh Komunitas Tikar Merah (KTM)

Dapatkan!

Buku Terbaru SARBIKITA Publishing Karya Heru Susanto

Blogroll

Thursday, August 16, 2012

Ketika Benda-Benda Menjadi Misterius


Ilustrasi oleh Ferdi Afrar  untuk SARBI


Oleh Ferdi Afrar*

-         Feodalisme dalam wujudnya yang konkret, telah luluh lantak.
Tapi dengan itu, modernitas datang, mengajak kita menghamba kepada benda-benda.-
 
Perempuan itu tergeletak. Matanya cekung dengan wajah pucat. Rambutnya yang hitam bergelombang terurai berserak di atas matras. Tepat di samping dan sebagian di atas tubuhnya, cairan kolagen berceceran. Jarum suntik pun terdiam. Rupanya roh tak lagi hinggap di tubuhnya.

Arina, begitu Kelik Priharyanto menamakan tokohnya dalam cerita pendek Kisah dari Fransiska tentang Arina dalam kumpulan cerpen terpilih Balairung 2004. Sebuah prosa yang berkisah tentang sisi lain modernitas dan gegap gempita kemenangan kapitalisme. Ketika Arina tergagap-gagap berjalan diantara etalase, cover majalah, bilbor, iklan yang tersebar di setiap sudut ia berada. Ia merasa terasing dengan lingkungannya. Merasa asing dengan tubuhnya. Ia terpedaya, oleh sosok Liy Tyler, Sophia Latjuba, Tamara Blezinsky yang terpampang indah di setiap media. Padahal teman-temannya mengakui ia cantik, dengan muka bulat telur, hidung mancung, tinggi 171 cm, berat 64 kg, rambut hitam panjang bergelombang. Ideal bukan? Tapi ia telah terperosok, terjerat oleh para pekerja kreatif. Ia terkena bulimia dan hidupnya berakhir di salon pembesar payudara.

Secara detail cerita pendek Kelik berkisah tentang perdebatan tokoh “aku” dengan Fransiska mengenai Arina melalui e-mail. Arina, teman SMA mereka, yang mungkin bisa dikatakan tak waras, tergila-gila dengan kecantikan. Fransiska menuduh “aku” yang bekerja di advertising agency sebagai penyebabnya. Di akhirnya cerita, pengarang rupanya menyelesaikan bahwa tokoh “aku” bersalah. Ia termasuk setan, biang kerok meninggalnya Arina. Tapi bukankah “aku” adalah skrup kecil dalam desain besar sebuah dunia. Sebuah dunia dengan tata hidup yang dibentuk dari hubungan jual-beli. Siapa yang mendesain, kita pun meraba?

Modernitas
Memang iklan—bilbor, poster, etalase, dst— adalah sebuah ilusi yang memikat. Mungkin kita tahu, mungkin juga tidak, tapi kita tak akan beranjak dari sana. Goenawan Mohamad (Catatan pinggir, Tempo, 28 Juli 2002) mengatakan, ketika jalan-jalan menampilkan bilbor iklan. Ia pun merayu dan menghibur kita, untuk menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya: bahwa “kebaruan” yang tampak di sana menyembunyikan pengulangan. Bahwa “keperluan” yang hadir di sana adalah hasrat yang tak kunjung terpuaskan. Iklan adalah sebuah alegori, mengemukakan satu hal sebagai sesuatu yang sebenarnya menunjukkan hal lain: bukankah paras perempuan cantik dibilbor bukan menyatakan perempuan itu, bukan pula produk yang konkret, melainkan sebuah ide tentang produk dan kecantikan? Bukankah ia hendak membentuk hasrat dan membangun ilusi-ilusi buat kita?

Bisa jadi; Oleh sebab itu iklan tak sekedar paparan yang menjejalkan komoditi. Bahkan menawarkan lebih dari sekedar itu Ia menawarkan tata hidup, gaya hidup bahkan tawaran moral. Anak-anak esok hari adalah anak yang dilahirkan dengan fantasi hidup dari tawaran komoditi. Seperti yang telah terjadi, generasi MTV telah lahir. Begitu juga soal pelacuran. Ia tak lagi hanya soal kemiskinan. Tapi tuntutan gaya hidup yang harus selalu dipuaskan. Hasrat yang selalu meletup-meletup. Seperti yang dikatakan Daniel Bell dalam Goenawan Mohamad—Zarathustra ditengah pasar—iklan dan cara beli barang tanpa bayar konstan disebut sebagai penemuan manusia yang menakutkan setelah mesiu.

Di balik itu, penguasa modal sedang termangu dengan kecemasan. Menunggu komoditinya direspon pasar atau tidak. Pasar dengan bentuknya yang fleksibel, menampilkan teka-teki. Bukankah seorang konsumen dengan bebas memilih produk yang ia suka? Oleh sebab itu pasar adalah ketidakpastian. Meski disana ada kebebasan, bukan berarti tanpa dusta. Di sana rakus, bisa jadi bagus? Penguasa modal pun akhirnya terasing dengan lingkungannya. Lengkap dengan penderitaanya.

Apa yang terjadi selanjutnya? Seolah-olah yang hidup di dunia ini adalah benda-benda berseliweran. Uang, pabrik, mall, iklan, dst. Seperti benda-benda angkasa yang berputar konstan mengelilingi matahari. Manusia terkesan terkungkung, merintih, tak sempat bertepuk tangan dengan kegemilangan hidup. Mungkin kegemilangan itu juga tak ada?
Apakah hal ini yang dikatakan B. Barohmad, majalah Blank edisi 6, dengan tulisannya berjudul design will eat itself : “Laju modernitas telah bergerak jauh lebih cepat melampaui percepatan gerakannya sendiri”?

Orang Kebanyakan
Tapi inilah zaman dimana “orang kebanyakan” mempunyai sejarahnya. Orang “istimewa” tak lagi mempunyai tempat. Tak ada lagi darah ningrat, dimana keluarga kerajaan dapat berkuasa absolut atau pun kekuasaan yang bersumber dari hal lain. Semisal Hitler dengan fasisnya, Uni Soviet dengan totaliternya dapat semena-mena—dapat dilihat dari sistem pemerintahan demokrasi, ilmu manajemen pemasaran yang bergelora dalam bisnis, internet—Semua orang mempunyai kesempatan sama menunjukkan hidupnya.

Goenawan Mohamad dalam Poster, Politik, Paradoks (Kompas, 3 Desember 2005) mengatakan, tampilnya orang kebanyakan dalam panggung sejarah. Bermula dari sebuah masa yang muram di Eropa. Wabah pes melanda wilayah itu di pertengahan abad ke-14. Maut yang membinasakan seperempat penduduk Eropa. Bukan saja menyebabkan tenaga kerja menjadi langka, tetapi meletakkan anggota masyarakat dari kelas manapun dalam posisi setara. Gereja dan semua penghuni kerajaan tak tampak sebagai penyelamat. Siapa saja tak berdaya di depan ajal.

Orang kebanyakan juga yang menghadirkan seni rupa—embrio poster dan iklan— ke rumah-rumah mereka. Seni rupa menjadi barang orang kebanyakan semenjak lahirnya teknik reproduksi. Walter Benyamin dalam Goenawan Mohamad (Tentang seni dan pasar) menyebutnya dengan seni rupa “pasca-auratik”, ketika aura yang dulu pernah terasa hadir dalam lukisan sebagai ikon religius, hingga orang-orang Eropa di zaman pertengahan harus bersimpuh ketika rombongan gereja mengarak lukisan itu. Lukisan saat itu tak sekedar obyektifikasi dari orang-orang suci, semisal Yesus. Tapi ia adalah penubuhan yang benar-benar hidup dari tokoh tersebut. Tiba-tiba aura itu susut, ketika seni rupa dilipat gandakan.

Pada saat itulah hadir iklan yang berdiri dibawah kapitalisme, meski awal mulanya bukan visual, tapi kata-kata yang diteriakkan oleh pedagang. Kata-kata yang dijalin indah mirip dengan syair. Tetapi ketika seni rupa menjadi milik orang kebanyakan. Mereka pun tahu daya pikat seni rupa. Maka lahirlah iklan dalam bentuk poster. Mereka menggandakan dan menyebarkan. Iklan tersebut pun akhirnya merayu siapa saja yang ditemuinya. Tentunya saat itu kehidupan kapitalisme belum merasuk ke kesadaran.

Orang kebanyakan adalah simbol emansipasi manusia, dari yang “istimewa”. Kita tahu apa yang terjadi dengan revolusi Prancis, dengan runtuhnya penjara Bastille. Kita juga tahu dengan apa yang terjadi dengan revolusi Bolshevik, 1917 di Rusia. Feodalisme luluh lantak. Tapi apa yang terjadi selanjutnya? Tak ada kekuasaan absolut yang mengatur kehidupan bermasyarakat. Siapa saja berhak menentukan kehidupannya sendiri. Maka dengan itu demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Dimana kekuasaan bersumber. Tentu saja undang-undang adalah kesepakatan. Tak ada yang absolut, semua bisa di amandemen.

Leisure class
Ketika orang kebanyakan mengambil sejarah. Begitu juga pasar datang, dengan berbagai macam tawaran yang menggoda. Ia akan siap membuat setiap orang menjadi bak raja.—dapat dilihat dari ilmu manajemen pemasaran, semua produk diciptakan berorientasi kepada konsumen, konsumen adalah raja—Bukankah ini yang dirindukan setelah feodalisme runtuh? Setiap orang mengejar kerinduan akan kemewahan.

Mungkin keruwetan itu terletak disini? Ketika semua orang, tanpa terkecuali merindukan kemewahan bak seorang raja. Yang terjadi adalah sebuah pemberjuisan dan apa yang disebut dengan ciri masyarakat leisure class: lapisan masyarakat yang mempunyai banyak uang dan waktu luang untuk menikmati keduanya dengan layak.
Kerinduan ini mungkin yang dinamakan Freud dengan id, yang bersumber dari libido manusia? Kerinduan yang sebenarnya adalah hasrat yang terus berkobar. Hasrat yang tak pernah kunjung terpuaskan. Sejak saat itu benda-benda yang diperjualbelikan menjadi misterius. Produk tak hanya dinilai menurut nilai tukar maupun nilai gunanya. Ia menjadi nilai “tanda”, yang diatur menurut hierarkinya. Entah siapa yang mengaturnya—Konsumen atau penguasa modal? Semacam kasta yang digelarkan pada suatu produk. Merek A adalah produk untuk kalangan tertentu. Produk B adalah produk untuk kalangan tertentu lagi. Bukankah dalam manajemen pemasaran ada segmentasi? Saya, mungkin juga anda begitu bergembira ketika dapat membeli sepatu Adidas dengan harga selangit. Saat mengenakannya, kita seperti menjadi sosok lain. Tentu sosok yang mungkin mirip seperti raja, atau sosok yang ekskulusif. Tapi sepatu Adidas adalah produk yang selamanya dapat ditukar oleh setiap orang dengan daya beli tertentu. Bandingkan jika kita mengenakan sepatu dengan merek Kasogi. Sosok itu menjadi lain, bisa jadi sosok orang kebanyakan, yang semua orang mampu mendapatkannya, sebab harganya terjangkau. Atau sebab lain, tawaran fantasi yang lain. Padahal bahan dari produk tersebut bisa jadi sama.

Iklan dengan sejuta bujuk rayunya di bawah kapitalisme dan orang kebanyakan adalah simbol dari modernitas. Keduanya saling menghadang. Saling mengecoh. Sama-sama menampilkan teka-teki. Saya tak tahu mana yang mengendalikan diantaranya. Tapi yang terjadi, seolah manusia tak lagi akrab dengan tubuhnya, begitu asing dengan lingkungannya. Hanya benda-benda berseliweran yang tampak hidup disana, bukankah sekarang memiliki menjadi begitu “penting”? Saya, anda, kita, konsumen dan penguasa modal adalah budak dari benda-benda itu : Uang, cek, buku, mall, lipstik, celana, sepatu, kaos, komputer,……

--Esai ini banyak terinspirasi dengan tulisan-tulisan Goenawan Mohamad—

* Ferdi Afrar, Penikmat sastra dan seni rupa, tinggal di Sidoarjo.

Sajak-Sajak Yuswan Taufiq


 Ilustrasi oleh Ayib Mahmun untuk SARBI

Balada Negeriku

Negeriku bermata pencaharian angin
hilir mudik berebut hembus terkencang

Jika malam telah tiba
ingin kubunuh itu angin
Biar negeriku kembali bercocok tanam
di dalam rumahnya sendiri

Negeriku lebih suka berbedak
pada sekujur tubuhnya
Agar di depan cermin
sim salabim, yakin beraroma sedap
di mata

Jika malam telah tiba
ingin kutanak masak itu bedak-bedak
lalu kujadikan menu pagi sehari-hari
Biar negeriku kembali bergizi tinggi
bebas pengawet makanan

Anak-anak negeriku menyusu induk semang
berduyun-duyun ke televisi
ke iklan, dipenjara dengan bangga
Sebab orangtua-orangtua juga sudah hilang
di ketiak, para induk semang

Jika malam telah tiba
ingin kuberangus itu induk-induk semang
biar mereka tak jumawa berkuasa
tak bernyali menyusup-nyusup
Hingga negeriku bisa kembali pulang
tak ada lagi anak-anak hilang
di pelukan ibunya sendiri

Dan jika malam benar-benar datang
akan kuporandakan tatanan siang
kuleburkan sepenuh malam
biar menyala, itu api dalam sekam

(Keputih, Maret 2010)



Rumahku Tentangmu

Yang kurasa
pintu-pintu telah digenapkan
Gaduh peta mulai terukur
di jantung rumah

Mata angin tak lagi gerah
berpijak pada nafas rumah

Hingga setiap pintu pun berayun
disapa semilir yang menerobos
Ruang-ruang pena jadi penuh
serentak lepas berkejaran

Yang kumau
lorong-lorong kian pasang
membanjir seisi rumah
bandang ke pintu-pintumu

(Keputih, Nopember'09)

Mata Padang

Di setiap senyum pada mata
kurangkai pagi hingga senja
Seolah berlari pada kurusetra
di setiap jengkalnya menyala

Pada jeda waktu ingin kurebah
di semburatmu yang menyemai remah
Mengeja sari yang enggan bernyanyi
dari pertapaan kabut yang ditebah

Lalu di ujung hari
kutemu mata yang terpaku
di padang tetap menyala
di umbul-umbul kian nyalang

(Keputih, Okt '09)






Peluh Ku Jauh
 
Dirimu selukis wajah halilintar
meliuk di baris-baris belukar
Diriku berkas-berkas mural pelayar
menyelusup di bilik-bilik bandar

Laju yang bersentuh gerimismu
selelap ombak menuai riak
berlarian di jauh pintu anganku

Jalan pulang kini kutuju
Di simpang akhir sesayup gema
Ke ujung waktu direndam haru

(17 Juli 2009, sby)

Bayi Peminta-Minta

Bayi-bayi tamasya kota
dalam gendongan jalan-jalan
Menyapa lubuk hati rumahmu
Meratapi nasib anak-anakmu

Memesan seujung kering selimut
sehangat kamar tidur
Menawarkan padamu
gigil basah langit hujan

Merengeki sengatan matahari
selepas lelap menyusu pangkuan
Hembuskan celoteh kanaknya
rindu teduh canda serambi depan

Bayi-bayi polos tersenyum
dalam seringai gendongan
salami dada penderma kasihan

Bayi-bayi terus berjalan
terhanyut hari-hari gendongan
di tidurnya yang culas

Kerdip hatinya sendirian
tatapan yang menyongsong ke depan
Kapan pulang aku kelak?

Rumahku tak semestinya!

(5 Juli 2009, sby)

*) Yuswan Taufiq, pegiat Komunitas ESOK. Saat ini tinggal di Surabaya.


Dimuat lembar sastra SARBI edisi 2, Oktober 2010

Tadarus Sastra, Dewan Kesenian Sidoarjo


Photobucket
 Narasumber: Mardi Luhung


Photobucket
 Mardi Luhung dan Arfan Fathoni (Moderator)


Photobucket
Mardi Luhung memberikan kenang-kenangan buku 
kepada pengurus Dewan Kesenian Sidoarjo











Puisi Dody Kristianto, Kompas 12 Agustus 2012




Di Depan Petarung Tanggung

Tahan. Redam ancangan dan jurusmu menjelang sabetan pertama itu tiba. Jangan lupa menyimpan satu pitingan secepat kerjap yang membuat para jawara

terbangun dari tidurnya.  Kuda-kudamu tentu matang sungguh. Kau yang telah menjalani pertarungan tanpa jeda dengan pesilat berjurus munyuk dan pendekar bertoya buluk.

Telah kau jalani

Hingga kau mengerti benar arti menerima pukulan atau bagaimana menjamu tendangan yang bertandang telak di tepi wajahmu.  Kau yang belajar

tentang sakitnya kalah. Tentu bukan ancaman,  sekumpulan cecunguk dungu yang mengumbar kelewang dan sesumbar menyeru namamu.   

(2012)

Mengamati Tiga Jurus

kau yang belia, pendaras kitab yang setia
tidak sia-sia jika jawara tua itu
menghardik namamu dengan lantang
sembari menunjukkan tiga ancangan
menghajar

agar kau yang muda senantiasa berjaga
dan menerka mana jurus yang kelak
dapat kau ikat dalam raga

dia guru dan seteru yang sempurna
persiapkan dirimu
sebab kau akan tahu
bagaimana cakaran elang
kehilangan koyakannya
atau ketenangan siasat ular
tak berdaya di depan kekangannya
berjagalah, buat tatapanmu siaga
dan menerka kuda-kuda apa
yang  ia tunjukkan

mungkin ancangan ekor naga
gerak gelebat gesit liat
yang tak mudah dibebat
meski tombak terpanjang
mengancam di hadapan
ia sungguh tak dapat diredam
dan diredakan
gerak yang sungguh tangguh
yang dipungkasi dengan sekian
rangkai tinju

bisa juga, ia membimbingmu
dengan kekukuhan tapak beruang
geraknya yang lambat, yang amat
mengingat langkah dengan cermat
percayalah, segala pukulan tak berdaya 
di depan tubuh mahakuat,
dengan urat-uratnya yang tegap
yang sanggup melumpuhkan 
tindakan segerombolan penyerang

tak akan lengkap jika tak kau tangkap
satu jurus pamungkas : tingkah lihai kera
yang tangkas dan sukar ditebak
kau tak akan tahu dengan cara apa
tiba-tiba dia mengelak
kemudian tanpa duga melakukan hentak
kau tak akan mengira, sebab inilah siasat
yang mahir menyimpan segala gamparan,
tendangan, atau pitingan
kala cecunguk yang sesumbar 
mencoba menyerang, menusukmu
dengan sebilah kelewang

(2012)

Kunyuk Melempar Buah

yang tentu matang
bersama kuda-kuda
adalah segala tenaga
yang berlintasan
di sekitar

yang tak diurai mata
yang telah dipecah
dan siap dihempaskan
di depan jemawa
yang menantang

kau yang mengenal
segala ikhwal pencak
dari kembara gila itu
juga satu siasatnya
yang dapat melumpuhkan
para penyerbu dari langkah
sekian jauh

tentu ia tuntunkan padamu
putaran untuk menjinakkan
angin
ia ajarkan perihal memuntir
gerak tiba-tiba itu
lantas amati bagaimana
sepasang kaki melangkah
lincah
memijak dan mengentak
tanah

agar yang di bawah
mengirim dayanya
daya yang memberi
sebuah kekukuhan
pada lesatan pukulan
yang akan diarahkan
ke semua arah

(2012)

Thursday, August 9, 2012

Lelaki yang Menyusu Matahari


Photobucket
Ilustrasi oleh Tito Yusuf  untuk SARBI


Oleh Yusuf Ariel Hakim*


                  Sudah berkali-kali saya menyapanya, seorang lelaki yang selalu berdiri di pagi hari, tetapi selalu saja lelaki itu diam saja, selalu mengacuhkan kehadiran saya. Bahkan ketika saya mencoba untuk bersikap baik padanya meski hanya sekadar berpura-pura, tetap saja lelaki itu tak pernah memicingkan matanya kepada saya, apalagi membuka katup kedua bibirnya yang bersahaja.
            Dan ketika saya mencoba meluruskan niat saya untuk menyapanya dengan hati yang tulus dan keikhlasan, tetap saja lelaki itu tak mau menyahuti sapaan saya. Lelaki itu tetap berdiri angkuh memandangi matahari pagi sambil bibirnya komat-kamit seperti membaca sebuah mantra.
            Tentu saja, saya menjadi kelabakan dan penasaran, sudah berapa pagi saya selalu menyapanya. Yang bermula dari sebuah keisengan saya lantas menjadi sebuah rutinitas yang seakan-akan menjadi wajib bagi diri saya untuk sekadar menyapanya. Awal-awal hari minggu pertama saya masih betah untuk menyapa dan sekadar mengamatinya. Minggu kedua pun saya jalani seperti biasanya, selalu menyapa sambil mencatat apa-apa saja yang dilakukannya oleh lelaki itu.
            Seperti ada semacam magnet dalam diri lelaki itu untuk menyuruh bibir saya di setiap pagi untuk selalu menyapa dengan sebutan yang berbeda. Dan saya sendiri pun heran, entah mengapa bibir saya mau saja untuk mengeluarkan kata-kata hanya sekadar untuk kegiatan yang tak pernah ada hasilnya.
            Mungkin bagimu perbuatan saya adalah suatu perbuatan yang sangat hayali dan sia-sia. Atau bahkan mungkin semacam ide gila dalam membuat sebuah naskah pertunjukkan drama. Terserah dirimu menilai saya demikian. Alhasil, saya sendiri pun tidak bisa menemukan jawaban yang pantas untuk kegiatan diri saya sendiri ini di setiap pagi.
            Dan dirimu pasti menyangka pada saya bahwasanya cerita yang saya buat ini adalah bohong belaka. Mana ada orang di setiap pagi selalu memandang matahari dan selalu bibirnya komat-kamit seperti merapalkan sebuah mantra. Saya tahu  dan saya mengerti bahwasanya saya tidak bisa meyakinkan diri saya atas apa yang saya lihat apalagi untuk meyakinkan dirimu yang tak pernah selalu memercayai cerita saya.
 Tapi biarlah aku akan menceritakan semuanya ini padamu, kalau di suatu hari saya menyapanya untuk yang terakir kalinya. Dan mencoba membuka percakapan yang bagi saya sendiri masih terasa asing. Lebih baiknya ikuti saja jalinan percakapan saya dengan lelaki itu.
Selamat pagi yang ke seratus lelaki yang selalu mengusikku untuk memandang matahari dengan sempurna. Seperti seorang bayi yang menetek pada putting susu ibunya, saya melihat anda sangat begitu antusias untuk selalu menyusu di setiap pagi pada matahari.
Bukan saya berkata sok tahu pada anda, tapi yang saya lihat anda benar-benar membuat alam pikiran saya untuk mengatakan bahwasanya anda benar-benar gila. Saya katakan anda gila, karena anda  selalu melakukan perbuatan yang sama, perbuatan ganjil yang selalu di ulang-ulang.
Bahkan kegilaan anda ini membuat saya juga ikut menjadi gila untuk selalu menyapa dan mengamati anda di setiap pagi. Seolah-olah anda telah menyuruh saya untuk melakukan perbuatan yang demikian. Sebenarnya saya benar-benar ingin memberontak dengan kegiatan anda ini dengan keacuhan anda terhadap saya, tapi rasa penasaran saya yang sangat membesar kepada anda yang membuat saya bertahan untuk tidak meninggalkan anda sedetik pun di setiap upacara pagi anda.
Seakan-akan rutinitas yang anda lakukan itu telah membuat satu rutinitas pula bagi saya. Tidak munafik, saya memang ingin jawaban dari anda tentang rutinitas yang anda lakukan ini hampir setiap pagi untuk yang keseratus kali ini, yang tercatat di agenda buku kerja saya. Awal-awalnya saya berharap demikian, semoga anda membuka hati anda untuk selalu menerima sapaan saya. Tapi entah mengapa, hati saya selalu mencegah untuk tidak melakukan tindakan yang anarkis kepada anda. Saya tahu, anda pasti merasakan kehadiran saya.
Tiba-tiba lelaki itu menggerakkan bahunya.
Tiba-tiba lelaki itu menggerai rambutnya.
Tiba-tiba lelaki itu menggerakkan kakinya.
Tiba-tiba lelaki itu menggempalkan kedua tangannya.
Tentu saja, saya tahu gerakan lelaki itu karena saya berada di belakangnya.
Tentu saja, saya tahu gerakan lelaki itu karena saya mendengar detak nafasnya.
Tentu saja, saya tahu gerakan lelaki itu karena saya merangkul pinggangnya.
Tentu saja, saya tahu gerakan lelaki itu karena saya meniup-niupkan angin di telinganya.
Saya gila dengan perbuatan anda ini. Saya gila dengan ketidakwarasan anda yang selalu berdiri memandang matahari. Saya gila, dan saya benar-benar telah gila, teriak saya kuat-kuat sambil tetap merapatkan rangkulan saya pada lelaki itu.
Tapi lelaki itu tetap diam.
Tapi lelaki itu tidak bergeming.
Tapi lelaki itu tidak bersuara.
Kaku.
Mengeras.
Kaku.
Mengeras.
Patung.
Ya, patung.
Patung.
Bisakah?
Mungkinkah?
Nyatakah?
Mimpikah?
Saya pun melepaskan rangkulan.
Saya pun melepaskan jepitan tangan saya.
Saya pun mencoba melangkah, mencoba bertatapan muka kepada lelaki itu.
Saya pun ingin menatap wajahnya.
Benarkah?
Benarkah ini kau?
Badan saya tiba-tiba lemas. Kaki saya tiba-tiba lunglai. Malin…..lirih bibir saya terbata-bata.

* Lahir di Surabaya, 1 April 1982. Bergiat di KRS (Komunitas Rabo Sore). Alumnus Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya.

Dimuat lembar sastra SARBI edisi 2,  Oktober 2010 

Sajak -Sajak Dadang Yudiantoro


Photobucket

Ilustrasi oleh Dina Prastyawan untuk SARBI

Sajak - Sajak Dadang Yudiantoro*

Ketika sajak tak bertuan

sajakku meraung diatas telaga meraup dan mencium bau anyir......
tepat saat bayang-bayang memelototi tuannya, dub-dub jantung bersenandung nyanyian padang pasir seperti memanggil-manggil orang untuk berhenti sejenak mencium tanah dengan alasnya.... mantra-mantra para pujangga keluar tanpa tuannya. tuan tanpa segan lupa tanpa alasan hanya karna dia diatas alasnya..... “oh alas itukah yang kau banggakan” , kata sandalnya..... “bukan, mungkin karena tuan lupa tuannya”, bela kaki..... “kalau kau dengar maka tak kau lihat sandal, “kata kaki menjatuhkan sandal untuk diinjaknya.... sajakku tak bertuan hinggap di terubus alang-alang, selamat datang kawan selamat datang dimana kau tak kan pernah menemukan tuan untuk dirimu karna tuan yang cari ada pada diri.... walau kau bedakan serumit apapun tak kan kau temukan, bahkan kau tak mengenal siapa dirimu. maka berhentilah memikirkan tuanmu.....



Tenggelamnya syair-syair air…

syair-syairku mulai mati terkulai lemas di tanah lapang. saat itu matanya berair jatuh berlinang di dedaunan pagi. Dia coba menangkap beberapa air yang jatuh namun hingga saat itu gravitasi masih menang. “Newton berapa besar gravitasi yang harus aku lawan saat berhadapan dengan air jatuh agar tak jatuh dan menjadi lusuh?” tanya dia. Newton hanya diam, lalu cicak pun terheran-heran melihat dia kebingungan menangkap air "cek...cek....cek". Esok pagi air pun mulai berair di dalam air, kadang menggumpal dan jadi cair.....
si dia menghitung satu, dua, tiga.... masih tak menemukan jawaban beda cair berair dan air..... dia tak sadar airku mencair didalam air menjadi butir-butir yang tersortir. hingga kini dia tak bisa melihat air di dalam air...

Syir berdarah

semakin kalut dan hanyut dalam lumut kering...
seolah bantai mata mengukir dirinya di garis-garis pasir....
semoga tak lupa gelap gelombang di mata warna....
syair-syair'ku berdarah di dahinya, bertanya mata dunia....
lidahnya membengkok memutar kata....
kata itu pelik hingga hidungnya bengkok dan telinganya tuli.....
tentang keindahan.
keindahan mata dunia yang kau tanya.....

racun

Aku-lah
kumpulan darah
yang tercecer
yang membius sunyi
dari rasa sepi.

candu

Wanita itu seperti wewangian anggur surga
yang memabukkan
dan akulah yang kan selalu meminumnya
segelas demi segelas untuk tetap hidup

kidung pamungkas

Pendulum kematian
Aku sepertimu sebelum kau
Berwujud satu sebelum dua
Jika kau tau kenapa
Katakan
             Tiupkan
                            Gerakkan
Maka kubedakan dan kutunjukkan
Mana wangi dan rasa bunga
Dengar dan rasakan
Tinggal satu bulan purnama
Kartika wiwaha
Memanah arjuna
                                  Ting
                            Wing teng
                          Tong     tong
                     Hoooooooooooong


* Pelaku kebatinan, pernah menganggit Buletin Gerilya semasa kuliah. 
Saat ini tinggal di Blitar.

Dimuat lembar sastra SARBI edisi 2, Oktober 2010







Sajak-Sajak Dody Kristianto


Photobucket
Ilustrasi oleh Ferdi Afrar untuk SARBI

Sajak - Sajak Dody kristianto*


syair yang ditumpas malam

                          - merayakan Black Marianya Kevin Young

Sepanjang kegelapan rambutmu
kami tanami darah di dasar kabut.

Mimpi dan kematian paling dingin
melepas segala kereta
ke penjuru kedalaman.

Segeralah berlari sayangku. Kotakota konyol
dalam mimpi selalu minta hujannya.

Hanya lelaki, hanya lelaki yang kirim
kekelamannya bersegera : menudung tatapan
dan menggambar kotakota dalam teriakan.

Tapi kotakota hanyalah rembulan tidur
dan beratus spora mengirimkan pelamunnya.

Untuk ingatan hitam atau rumput
yang lebih kering dari luka.

2010



gladak kembar

Kota kematian, hujan melanturkan dirinya
entah akan ke mana. Para hantu jalan berjalan,
perlahan, menjelma kota baru bagi tubuhnya

: segera kami bertelanjang ke atas, ratusan bulan
di udara menandak puisi kelahirannya.

Kunang pucat pasi menggelar geram tarian
untuk kota baru-kotakota ingin bayang jasadnya
lepas dan telanjang

2010

*Dody Kristianto, bergiat pada Sastra Alienasi Rumbut Berbasis
Independen (SARBI)



Dimuat lembar sastra SARBI edisi 2, Oktober 2010





Lenyapnya Maestro Pulau Buru Dari Dunia Pendidikan


Photobucket
Ilustrasi oLeh Hanif untuk SARBI



Oleh Heru Susanto*

Keyakinan terhadap suatu ideologi tertentu memang mampu menyeret seseorang pada ruang penderitaan. Padahal, tidak semua keyakinan itu dimaksudkan mendatangkan kerusakan pada tatanan masyarakat, melainkan sebaliknya. Akan tetapi, setiap keyakinan tidaklah berdiri sendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Ada banyak keyakinan hingga tidak jarang menimbulkan pertentangan yang menjurus pada kekerasan. Yang menggelikan, kekerasan itu muncul bukan berdasarkan memajukan peradaban, melainkan untuk berebut dan mempertahankan kekuasaan.

Salah satu tokoh nasional yang mengalami kekerasan dengan alasan keyakinan ideologi yang membahayakan kestabilan nasional ialah Pramoedya Ananta Toer (Pram). Pram merupakan sosok pribumi yang memiliki semangat dan keberanian dalam memperjuangkan kemerdekaan yang hakiki. Seakan-akan denyut nandinya penuh teriakan darah perlawanan. Dia tak segan-segan mengkritisi ketidakberesan pemerintah yang menyebabkan rakyat menderita di masa pemerintahan represif. Keganjilan yang bersliweran di lingkungan sosial dibingkainya dalam suatu pemikiran, lalu diteriakkan. Tidak heran kalau pemikirannya dianggap membahayakan kedudukan pemerintahan.

Sikap kritis Pram banyak dituangkan dalam tulisan. Tidak terhitung banyaknya karya-karya yang mengangkat keadaan sosial bangsanya. Tetapi, nasib tulisan itu ternyata tidak sepenuhnya berada di tangan pengarangnya, melainkan di tangan pemegang kekuasaan. Tidak sekadar nasib karya, nasib pengarangnya pun seakan-akan ditentukan oleh penguasa. Pram harus menghadapi konsekuensi terhadap pemikirannya hingga dia ditahan dan diasingkan di Pulau Buru. Di pulau itulah, dia mendapatkan “wahyu” dan menjelmalah dalam empat novel (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) yang dikenal dengan Tetralogi Buru. Dengan karya-karya yang begitu mengagumkan, Pram memang pas menyandang gelar sastrawan besar Indonesia yang layak untuk diapresiasi generasi saat ini. Tetapi, apakah generasi kita mengetahui bahkan memahami?


Sengaja Dilupakan?

Dalam dunia pendidikan, nama Pram tidak pernah terpampang dalam buku-buku pelajaran. Bila siswa ditanya, “Siapa Pramoedya Ananta Toer?”, tidak jarang mereka diam atau malah berpikir, “Artis sinetron baru kale!.” Nah, ini bukan semata-mata karena siswa gagap dalam menyerap pengetahuan. Tetapi, siswa tersekap dalam ketakutan masa silam kekuasan.

Bila dicermati, perjuangan Pram dalam membangkitkan jiwa nasionalisme yang dewasa cukup signifikan. Hal itu dapat dilihat ketika Pram memperjuangkan persamaan hak terhadap masyarakat Tionghoa. Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959), Soekarno mengesahkan P.P No. 10 yang mengharuskan semua pedagang eceran Tionghoa menutup usaha mereka di daerah pedalaman. Peraturan yang diskriminatif itulah yang menyebabkan keturunan Tionghoa semakin terpinggirkan dan menjadi korban kekerasan. Saat itu, Pram mengkritisi kebijakan tersebut dengan memunculkan tulisan Hoakiou di Indonesia (Hoakiau). Namun, Pram justru dianggap menjual negerinya sendiri karena lebih berpihak pada bangsa Tionghoa dan tulisan itu dibredel. Dia pun ditahan tanpa proses pengadilan. Saat itu, Pramlah salah satu tokoh yang dengan sadar berani mengambil risiko memperjuangkan nasionalisme yang lebih menyeluruh dan memberontak diskriminasi. Tapi, apakah perjuangannya tercantum dalam pembelajaran sejarah di sekolah kita?

Pembelajaran kita memang terkesan nyeleneh. Dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, Pram juga tidak pernah muncul dalam buku-buku pelajaran. Padahal, Pram merupakan sastrawan besar yang karya-karyanya digandrungi di berbagai negara. Karya-karyanya dipelajari di sana. Seharusnya, kita justru yang awal mengapresiasinya karena merupakan karya anak bangsa. Tetapi, di dalam negara sendiri, dia justru terasingkan hingga sekarang. Karya-karyanya masih dianggap sebagai karya yang tidak patut untuk dipelajari dan dijauhi. Pelajar cenderung disuguhi wacana sastra yang itu itu saja, sebut saja sastrawan angkatan Balaipustaka, Pujangga Baru, dan Angkatan 45. Bukan berarti angkatan itu tidak perlu diajarkan tetapi setidaknya pelajar juga harus mengenal maestro Pulau Buru untuk memperluas khasanah pengetahuan intelektual dan kesusastraan kita.

Wawasan terhadap jiwa nasionalisme bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan sebenarnya dapat dipelajari dari novelnya. Hal itu dapat dilihat dalam novel Tetralogi Buru yang mengisahkan perjuangan pribumi memperjuangkan hak-hak yang dirampas oleh bangsa kolonial. Nilai-nilai kebudayaan daerah juga dapat diserap dalam novel tersebut. Bahkan, wacana yang dihadirkan dalam karya Pram masih relevan dalam kondisi sosial-politik saat ini yang masih cenderung memperebutkan kekuasaan semata. Dengan mempelajari karya Pram, pelajar setidaknya mengetahui wacana kritis dan perjuangan pribumi untuk bangsanya. Sekali lagi, pelajaran sastra kita masih dipersempit dengan materi sastra yang itu-itu juga. Pembahasan mengenai karya-karya Pram masih sangat minim, bisa jadi tidak ada sama sekali. Apa ya kira-kira penyebabnya?

Kurikulum pendidikan kita memang diwanti-wanti untuk tidak mengajarkan pemikiran yang menyimpang. Oleh sebab itu, Pram tidak pernah nongol dalam ranah pembelajaran dengan beberapa alasan. Pertama, keyakinan ideologi yang diperjuangkannya dianggap melawan pemerintah. Kedekatannya dengan Lekra yang mendukung politik PKI menyebabkannya dilabeli sebagai komunis yang tidak sesuai dengan dasar negara. Pram dianggap tidak percaya pada Tuhan, sedangkan negara kita adalah negara yang berketuhanan.

Sebenarnya, menganggap Pram sebagai ateis itu perlu dipertanyakan. Pram masih meyakini keberadaan Tuhan. Dalam video dokumenter Mendengar Sibisu Bernyanyi yang dikeluarkan Yayasan Lontar, Pram pernah mengatakan, “Tuhan, kalau saya tidak dipergunakan dalam dunia ini, ambillah nyawa saya!” Itu diucapkan ketika Pram mengalami keputusasaan dan masih menyebut Tuhan sebagai tempat kembalinya segala sesuatu. Walau perkataan itu terlontar sebelum dikaitkan-kaitkan dengan komunis, Pram menunjukkan ekspresi yang memiliki spirit terhadap adanya kekuatan transendental. Pram juga membiarkan dirinya dituduh sebagai komunis dan tetap teguh dalam prinsipnya untuk menentang penindasan. Inilah intrik politik penguasa represif terhadap lawan politik yang dianggap membahayakan terhadap kedudukan nyamannya.

Kedua, karena berganti-ganti bui, antara lain bui masa kolonial, Orde Lama, dan Orde Baru dan baru bebas sepenuhnya tahun 1999, tampaknya masyarakat menganggap bahwa Pram seorang cacat hukum (penjahat/bandit). Stigma inilah yang menyebabkannya teralienasi dari lingkungan sosial, khususnya pendidikan. Stigma ini dilanggengkan untuk kepentingan kekuasaan semata. Bekas tahanan seakan-akan dianggap sebagai hewan yang belum mencapai tingkat evolusi yang sempurna.

Ketiga, dari kedua alasan tadi, secara tidak langsung, Pram adalah musuh pemerintah. Siapa yang berani melawan pemerintah, berarti dia adalah pengkhianat negara. Oleh sebab itu, memperkenalkan Pram pada dunia pendidikan juga berarti mengajarkan pemikiran musuh negara. Hal itu menyebabkan pendidik juga harus berpikir beberapa kali sebelum mengajarkannya, sebelum mereka pun nantinya juga dianggap sebagai musuh pemerintah. Walaupun wacana ini muncul di masa kekuasaan lama, pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Karenanya, sosok Pram bukan terlupakan, tapi cenderung dilupakan. Kita pasti yakin, bangsa kita bangsa besar yang memiliki pemikir-pemikir besar pula. Mungkinkah kita amnesia di usia yang sangat muda?

Butuh Keberanian

Bagi pengajar yang sudah lama mengabdi di dunia pendidikan, mengabdi di masa kekuasaan Orde Baru menyisakan trauma yang berpengaruh pada proses mengajar. Tidak perlu diragukan, ketakutan tersebut masih membekas di dunia pendidikan. Kenyataan ini mempengaruhi lambatnya pengenalan sosok Pram di dunia pendidikan. Sangat disayangkan bila sosok sastrawan itu dilupakan. Pengajar membutuhkan keberanian untuk meningalkan trauma masa silam.

Tidak perlu pengajar menunggu adanya buku pelajaran yang memuat sosok Pram atau menunggu Diknas untuk mengeluarkan kebijakan. Pembelajaran kita sudah harus mampu menerobos sejarah kelam. Kita bertanggung jawab pada generasi baru untuk mengenalkan masa lalu. Pram adalah salah satu kunci pendidikan demokrasi bangsa ini. Dia sekaligus sumber materi untuk memunculkan keberanian beraspirasi dan penentangan terhadap kepincangan politisi kekuasaan. Semoga kita kian belajar terbuka mulai saat ini. Ataukah kita juga melanjutkan kediaman terhadap sejarah kelam masa silam? Yang perlu diingat, mempelajari tidak harus mengikuti. Bisa jadi, mempelajari justru memberikan simulus pemikiran untuk mengkritisi. Semoga kita kian belajar terbuka mulai saat ini. Ataukah kita juga melanjutkan kediaman terhadap sejarah kelam masa silam? Subhanallah....

* Heru Susanto, Guru pada SMP Al-Azhar 13 Surabaya.
Penulis buku menguak misteri Tanda.

Dimuat lembar sastra SARBI edisi 2,  Oktober 2010 

Wednesday, August 1, 2012

Cerpen Angga Priandi, Majalah Story November 2010





Try out

“Ayo anak-anak, waktunya kurang sepuluh menit lagi!” kata penjaga try out yang dari tadi dengan sabar menunggui Haris dan kawan-kawannya.
Sontak hampir semua siswa gelagapan kebingungan lantaran masih ada banyak nomor jawaban mereka yang masih kosong. Oto tiba-tiba menggaruk kepalanya karena pusing dengan rumus-rumus matematika yang membingungkan. Kali ini adalah try out dari Diknas tiga mata pelajaran: Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia. Kemudian dilanjutkan besok juga tiga mata pelajaran: Fisika, Kimia, dan Biologi.
Haris masih ingat ketika awal mula soal-soal menjengkelkan itu dibagikan. Semua teman-temannya cukup PD dengan kemampuan mereka masing-masing. Atau mungkin, mereka telah berdoa agar si penjaga cukup sabar menjaga dan melayani keinginan siswa untuk saling menyontek. Haris pun demikian. Dia telah siap dengan beberapa kertas berisi rumus-rumus Matematika yang tidak dihapalnya. Dia pun telah berdoa agar penjaganya sabar.
Pukul 07.00.
“Tteeetttttt……!!!” suara bel meraung-raung.
Semua siswa telah siap di tempat duduknya masing-masing. Beberapa menit kemudian, penjaga try out datang membawa soal dan lembar jawaban yang masih kosong. Para siswa telah memberi kode kepada teman yang lain untuk saling membantu. Satu per satu soal dan lembar jawaban kosong telah dibagikan. Semua siswa yang telah siap dengan pensil 2B-nya langsung mengisi data diri mereka masing-masing.
“Waktunya 120 menit dimulai dari sekarang.” kata pengawas try out yang juga guru Matematika mereka.
“Mati aku, Pak ini kan killer.” gerutu Haris.
Haris membuka lembar soal pertama. Dilihatnya soal Matematika yang menantang untuk ditaklukkan. Satu nomor selesai, dua nomor selesai. Nomor tiga dilewati karena susah. Pun demikian dengan nomor-nomor selanjutnya sampai pada nomor sepuluh. Sebelas dilalui dengan selamat meski sedikit gak yakin. Pada nomor ke dua belas, Haris mulai malas.
“Ah, langsung saja ke soal Bahasa Inggris.” Pikirnya.
Dibukalah soal nomor ke-21. Jumlah soal try out ini 60: 20 Matematika, 20 Bahasa Inggris, dan 20 soal Bahasa Indonesia. Haris cukup lancar dalam mengerjakan soal Bahasa Inggris tersebut. Hanya beberapa nomor yang gagal diselesaikannya. Cukup membutuhkan waktu 30 menit, dia menyelesaikan soal Bahasa Inggris dengan meninggalkan 5 nomor saja.
Pukul 07.50.
Soal ke-41, Bahasa Indonesia. Karena mengerjakan soal Bahasa Inggris tadi dengan cukup cepat, Haris merasa sangat PD untuk menyelesaikan soal Bahasa Indonesia dengan cepat pula. Tapi, ketika kali pertama membuka soal itu, muncullah bacaan-bacaan yang panjang dan melelahkan. Melihatnya saja sudah merasa kenyang, apalagi harus membacanya.
“Ancrit!” gumamnya.
Dia melihat teman-temannya yang masih serius mengerjakan soal.
“Ancrit, anak-anak ini pada serius semua. Kayaknya pada bisa neh. Ancrit!” umpatan demi umpatan muncul dari pikiran Haris yang tak rela melihat temannya itu bisa mengerjakan soal yang dia sendiri tak mampu menyelesaikannya.
Dia masih memperhatikan teman-temannya itu sambil mencari kekuatan untuk kembali semangat mengerjakan soal-soal menyebalkan itu. Kemudian, dia memperhatikan jam tangan pemberian ibu tercinta: 07.53.
“Ah, masih lama.” Pikirnya.
Tiba-tiba terdengar suara lirih memanggilnya, “Ssstttt….” suara Evin lirih.
Sambil clingak-clinguk dia mencari sumber suara itu.
“Hem?” suara Haris lirih sambil mengangkat kepalanya dengan cepat lalu turun kembali.
“Sudah selesai?” tanya Evin.
“Belum lah.”
“Nomor lima belas apa?”
“Gak tahu. Sebentar, nanti saja.”
“Ok.”
Haris kembali merenung. Dia menaruh kepalanya di atas tangan yang telah disingkap dan berada di atas meja. Sambil terpejam, dia mencoba merangkai kembali semangat-semangatnya yang telah jatuh tercecar berhamburan ke mana-mana. Sempat terpikir untuk izin ke toilet untuk mencuci muka, tapi ragu.
“Ah, izin saja.”
Dia berjalan ke toilet untuk membasahi muka agar rasa malas itu sirna dari pikirannya. Selepas dari toilet, semangatnya kembali meski tak seutuh tadi.
“Saatnya membantai soal-soal brengsek itu.” gumamnya.
Dia teringat kata guru Bahasa Indonesianya di tempat les yang mengatakan bahwa soal Bahasa Indonesia itu jangan dibaca teksnya dulu, tetapi dibaca soalnya dulu. Kalau memang wajib membaca teks, ya dibaca, kalau tidak, ya langsung saja. Ah, metode singkat ini memang cukup digemari siswa dan anak muda zaman sekarang. Membaca adalah momok yang menyeramkan bagi siswa. Padahal, membaca adalah jendela dunia. Setidaknya ini kata para pakar pendidikan. Tapi tidak hanya itu. Bahkan, surat pertama yang turun dari kitab suci agama Islam, yaitu Alquran, adalah surat Al-alaq 1 – 5. Ayat pertama berbunyi iqro’ yang berarti bacalah. Tuhan pun telah menganjurkan umat-Nya untuk membaca. Lalu ada apa dengan anak muda zaman sekarang yang susah untuk disuruh membaca?
Beberapa soal akhirnya terselesaikannya juga walau memakan waktu yang cukup lama. Soal demi soal, materi demi materi, dan tema demi tema terjawab: tentang wacana, tentang tabel, tentang resensi, dan tentang daftar pustaka. Sekarang masuk pada materi sastra.
“Mati aku. Aku kan gak bisa sastra.”
Dia melirik pada penjaga try out yang memasang tampang seram.
“Ancriitt.”
08.30.
Waktu berjalan tanpa perintah. Haris masih berjuang dengan kegalauan pikiran untuk menjawab soal Bahasa Indonesia. Dia melihat reaksi teman-temannya juga mulai gelisah. Ada yang garuk-garuk kepala. Ada yang memegang kepala sambil mendongak ke atas. Ada yang menyandarkan kepalanya di atas meja. Bahkan, ada juga yang tertidur dengan lelapnya.
“Ah, persetan. Kalau tidak bertindak sekarang, bisa-bisa lembar jawabanku bisa kosong terus.” Pikir Haris sambil menghitung jumlah jawaban yang belum diisi: Matematika kurang 15 jawaban, Bahasa Inggris 5 jawaban, dan Bahasa Indonesia 10 jawaban.
“Yud….” suaranya berbisik memanggil Yudi, teman yang duduk di depannya tepat.
“hem….”
“Aku lihat jawabanmu donk?” sambil melihat ke arah penjaga. Aman.
“Aku belum selesai.”
“Iya, ndak papa. Aku cuma pengen lihat saja.”
“Belum koq, ntar aja ya?”
“Ancrit, cuma lihat saja nggak boleh. Dasar pelit!” pikir Haris.
Perburuan diganti ke arah samping kanan.
“Ssstttt, Fa…”
Ifa menoleh sambil menaikkan alisnya lalu dengan cepat turun kembali.
“Sudah selesai?”
Tanpa bersuara, Ifa hanya menggeleng dan menaikkan bahunya dengan ekspresi wajah yang innocent. Mungkin ke arah samping kiri bisa dapat jawaban.
“Jeng,…Ajeng….”
“Apa, Ris?”
“Lihat jawabanmu donk?”
“Neh….” kata Ajeng sambil menunjukkan lembar jawabannya yang ternyata juga masih banyak yang kosong, bahkan lebih banyak. Haris baru sadar kalau ternyata Ajeng punya kemampuan pelajaran yang di bawah rata-rata. Akhirnya dia melirik lembar jawaban Reni yang duduk tepat di belakangnya. Ada beberapa nomor yang bisa disonteknya, terutama pada soal Matematika.
“Syukurlah. Dari pada tidak sama sekali, hehehe.” Senyum kecil Haris muncul dari bibir tebalnya.
08.40.
“Ancrit, dua puluh menit lagi. Masih ada 20 soal lagi yang belum.” gerutunya.
“Oh, iya, aku kan punya beberapa rumus Matematika.” pikirnya tiba-tiba.
Dibukanya pelan-pelan kertas-kertas kecil itu. Dilihatnya rumus-rumus sialan itu. Semakin dilihat, semakin diseriusi, malah semakin puyeng. Sama seperti kepanjangan dari Matematika, Makin Tekun Makin Tidak Karuan.
Mungkin karena keadaan sudah kepepet, tiba-tiba semangatnya meninggi. Kemampuannya meningkat. Daya ingatnya semakin kalap untuk melahap soal-soal itu. Kemampuan seseorang akan menjadi besar tatkala dia berada pada situasi yang sulit, situasi yang terjepit, dan situasi yang mengharuskannya untuk berpikir cepat. Alam bawah sadar lebih berkuasa saat itu. Seandainya kita bisa menaikkan kemampuan kita dalam segala kondisi.
Dengan kemampuannya itu, soal-soal tersebut seolah kerupuk yang dengan mudah dikunyahnya lalu ditelan. Dari 20 soal yang kurang, setengahnya telah terjawab.
Tiba-tiba, “Ayo anak-anak, waktunya kurang sepuluh menit lagi!” kata penjaga try out yang dari tadi dengan sabar menunggui Haris dan kawan-kawannya.
Sontak hampir semua siswa gelagapan kebingungan lantaran masih ada banyak nomor jawaban mereka yang masih kosong. Oto tiba-tiba menggaruk kepalanya karena pusing dengan rumus-rumus matematika yang membingungkan. Rico dan Andre saling memandang. Susan tetap tenang dengan lembar jawaban dan soal di hadapannya. Sepertinya dia sudah tinggal beberapa nomor lagi atau bahkan dia sudah selesai. Yeni kaget karena tiba-tiba pensilnya terjatuh dan patah. Dia harus menyerutnya kembali. Kartika dan Melati yang dari tadi kerja sama tenang-tenang saja.
Semakin panik, maka pikiran semakin ruwet memikirkan jawaban yang tepat. Semakin tidak tenang, pun tidak tenang hasilnya.
“Apa boleh buat, pasti sudah tak sempat lagi kalau harus mengerjakannya dengan cara manual. Harus dengan cara yang lebih instan, yaitu menyontek. Hehehe.” kreativitas Haris muncul bersamaan dengan munculnya strategi setan untuk membantunya mendapat jawaban.
Diambillah lembar jawaban Reni tanpa ragu. Dilihatinya satu per satu, nomor demi nomor. Ada jawaban berkeliaran, langsung tangkap. Dikembalikan lembar jawaban itu. Dua nomor telah terisi.
Kelas semakin gaduh. Penjaga ternyata juga menghalalkan sontek-menyontek itu meskipun dia terkenal sebagai guru yang killer. Mungkin dia tak tega melihat siswanya mendapat nilai jelek. Atau mungkin, dia tak ingin citra sekolah tempatnya mengajar menjadi jatuh karena hasil try out Diknas siswa-siswanya jelek.
Melihat penjaganya bergeming, siswa semakin tak sungkan untuk saling bertukar pikiran langsung melalui lembar jawaban. Haris pun memanfaatkan moment spesial itu untuk memenuhi kuota jawaban yang harus terisi dari nomor 1 sampai dengan 60.
“Tteeetttt….!!” bel akhir masa pertempuran telah berbunyi. Semua puas, semua ikhlas terhadap hasil jawaban mereka meskipun belum tentu semua benar.
Haris tersenyum puas karena jawaban telah terisi meski sedikit tak yakin. Dilihatnya Yudi dan Ifa yang tadi tak mengacuhkannya. Dia hanya bergumam, “Try out ini sesungguhnya tak sepenuhnya menguji kepandaian, tetapi juga menguji kesetiaan.”


Surabaya, 22-23 Februari 2010

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post