Oleh Khalil Tirta Segara
““Saya
tidak belajar menulis puisi kepada Umbu, akan tetapi saya belajar kehidupan
puisi”
-Emha
Ainun Najib
Dari percikan esai Cak
Nun (16/12/2012), catatan saya ini berangkat dengan suasana yang cemas dan
bertanya-tanya, tentang kehidupan puisi yang sesungguhnya. Gerangan, seperti
apakah yang dimaksud dengan kehidupan puisi itu?
Dalam tulisan Cak Nun itu, saya menemukan
dua hal yang pantas saya curigai kembali, antara menulis puisi dan kehidupan
puisi. Di sini saya menemukan celah-celah adanya dikotomi untuk dipahami dan
ditumbuh kembangkan terus-menerus.
Seyogyanya, setiap orang bisa menulis
puisi. Yang penting ada keinginan (niat), kesabaran untuk mencatat apa saja
dalam benaknya, menyusun bahasa serapi mungkin, sepadat mungkin untuk
menyampaikan pesan. Kecakapan memilih diksi, bermain-main dengan metafora,
bahasa-bahasa simbol, menghadirkan rima atau bunyi, untuk bahan-bahan
estetikanya pada sebuah kontruksi teks. Dan yang paling penting jangan lupa
membaca puisi penyair yang sudah “mencapai”.
Setelah itu, datang ke
warnet untuk mengirim naskah puisi yang sudah selesai ditulis. Mencari alamat
media. Sejenak, berpikir ulang di depan komputer, mereka-reka, memilah-milah,
kira-kira media apa yang pas untuk puisi yang baru ditulis itu? Terbersit di
kepala, o, ternyata media ini pas untuk karakter puisi itu, media itu pas untuk
karakter puisi yang ini. Begitulah kiranya siklus dinamika perpuisian kita?
Lantas, menunggu hari minggu, berharap puisi kita yang nongol pada hari yang
telah kita nanti-nantikan. Kadang berakhir dengan perasaan kecut, kadang
berakhir dengan perasaan girang, kalau ternyata ada media memuat puisi yang
disayang-sayang.
Tetapi untuk penyair yang sudah dianggap
mapan oleh media tertentu, biasanya, redaktur hanya menentukan jadwal pemuatan.
Minggu ini puisinya siapa yang keluar, minggu selanjutnya milik penyair siapa
yang keluar. Sampai pada akhirnya, terciptalah semacam mainstream atau sejenis
barometer sebuah karya puisi di benak kita. Misalnya, dengan anggapan yang
sudah lazim; seseorang bisa dianggap penyair atau puisi dianggap bermutu kalau
sudah pernah dimuat di mesia A, di koran B, di majalah Z atau yang sejenis.
Lalu generasi setelahnya menjadikannya sebagai rujukan kepenulisan.
Tak dapat dipungkiri,
pada akhirnya kita berduyun-duyun untuk menulis puisi dan mengirimkannya ke
media tertentu tersebut, agar eksistensi segera mendapatkan pengakuan khalayak,
bahwa kita “penyair”, bahwa puisi kita sudah bermutu.
Namun bukan hanya “media” yang telah
menjadi standar umum dalam kerja puisi kita selama ini, akan tetapi, juga
muncul semacam sindrom yang menggurita di benak kita, bahwa seseorang
dimantabkan dan ditokohkan sebagai penyair hebat apabila pernah diundang dalam
pertemuan ini dan itu. Sementara di sisi lain, orang-orang yang menghidupi
komunitas-komunitas kecil di kampung-kampung, di gang-gang, di tempat-tempat
terpencil dengan niat belajar bersama, bekerja dengan masyarakatnya,
menyediakan media kecil untuk pertumbuhan pengetahuan mereka yang terbelakang,
justru terabaikan, dan tak dianggap ada dalam khazanah sastra kita. Ironisnya
lagi, orang-orang yang sudah dianggap mapan itu seperti hidup dalam dunia lain,
di puncak menara yang jauh. Dunia yang hanya berisi dia, dan yang setara
dengannya. Inilah yang kemudian menyeret dunia puisi berada dalam titik
arogansi; antara pertemuan para satrawan di sebuah halaman yang mewah dan perangkap
media yang menghegemoni dalam skala politik identitas.
Dengan demikian,
disadari atau tidak, situasi menyeret kita menulis hanya untuk dimuat di koran.
Lalu diam-diam kita bermimpi tentang sebuah taman dan meja makan yang
menyemerbakkan aroma daging panggang yang lezat. Seolah-olah kita dituntut
untuk selalu berdiam diri di kamar, menekuri puisi, mengelus-elus kata di
tengah bayang-bayang kenyataan yang hancur. Lantas, di manakah kehidupan yang
nyata itu kita peragakan? Dalam bahasa lambang yang tak berefek apa-apa, dalam
rima yang tak berefek apa-apa, atau dalam bahasa yang tak menggugah nilai-nilai
kemanusiaan yang kian terpendam? Mari kita berjalan lagi.
***
Pada suatu malam yang
bising, tepatnya di warung kopi, pernah seorang kawan melontarkan sebuah
kecemasannya tentang puisi, “kenapa kita masih menulis puisi, sementara
masyarakat kita tidak hidup dengan puisi?” Katanya dengan wajah kusut-masai.
Mungkin bagi seorang kawan itu, –dari suaranya– saya menangkap nada frustrasi,
rasa kecewa, menyaksikan kehidupan puisi yang kian terseret ke lembah
kata-kata.
Sebab pada kenyataannya,
realitas dan fenomena yang semakin sesak dan riuh di daun kuping kita, berlalu
begitu saja, dan puisi tak merespons apa-apa. Politik yang semakin mengeras
bagai batu-batu cadas, kebudayaan yang semakin lindap dan remang, perang
antar-agama dan aliran, gemuruh iklan di media massa, caleg-caleg yang
mengurung masyarakat dengan money politic, pesta dangdut, dan parade foto di
jalan-jalan, sistem dan kurikulum pendidikan yang yang menjauhkan anak-anak
dari dirinya, maling uang negara yang setiap hari hanya terdengar beritanya,
slogan-slogan iklan yang menggerakkan bibir remaja kita, semua
berjejal-melingkar-berpusar dalam riuh gemuruh pasar-pasar pencitraan.
Sementara itu kita sibuk
di dalam kamar dengan puisi, mengurung diri dalam diksi, metafora, dan
cita-cita yang dikurung media dan hegemoni politik sejarah. Di luar “kamar”,
realitas sudah bergerak jauh melampaui eksistensi. Setiap hari penyair
memproduksi puisi di “kamar”nya, orang-orang jahat memproduksi tindak korupsi
di apartemennya, dan rakyat kecil semakin tak mengerti tentang ladang dan
dapur-nya.
Maka dari semua kecemasan-kecemasan itu ada
baiknya kalau saya mencurigai tulisan Cak Nun sebagai refleksi atau pengingat
(saya sendiri) tentang kehidupan puisi sebagai laku. Bagaimana kemudian penyair
juga mesti terlibat dalam pergulatan zamannya, dalam penderitaan sesamanya,
dalam memperjuangkan kemanusiaan. Kita tidak lagi sibuk dengan pencitraan atau
label tertentu untuk diakui atau dibuang (karena tak penting). Sebab menurut
saya sendiri, yang dimaksud dengan kehidupan puisi, ialah sesuatu yang
menyimpan tatanan nilai dan spirit kemanusiaan yang mesti diwujudkan dalam
tindakan di luar teks.
Ada baiknya kalau saya
bernoltagia dengan sajak Umbu Landu Peranggi:
Sajak
Kecil
dengan
mencintai
puisi-puisi
ini
sukma
dari sukmaku
terbukalah
medan laga
sekaligus
kubu
hidup
takkan pernah aman
kapan
dan di manapun
selamanya
terancam bahaya
Dari sajak di atas
dengan bunyi sebuah larik “terbukalah medan laga” -berarti di depan mata ada
lapangan untuk sebuah pertarungan kehidupan dan kemanusiaan. Dalam konteks ini,
para penyair tidak semestinya hanya menjadi penonton pasif dalam sebuah kamar
yang sempit, akan tetapi terlibat aktif dalam perhelatan panjang yang sedang
mencabik-cabik sosio-kultural, sosio-politik di sekitarnya. Sebab, “hidup
takkan pernah aman/kapan dan di manapun/ akan terancam bahaya.
Lalu masih adakah ruang untuk mencemaskan
teks-teks puisi, sehingga kita menjadi kawatir kalau-kalau puisi kita tidak
bisa menjadi doa orang-orang lapar, dan petani di kampung yang tak sempat
membaca puisi? Sebab umumnya pembaca puisi adalah sesama penyair. Jadinya puisi
untuk puisi, teks untuk teks, penyair untuk penyair, seni untuk seni. Naif
sekali.
Akan tetapi, penyair
bisa saja belajar dari apa yang didengungkan dalam sajaknya (itupun kalau mau);
sebuah spirit yang mampu menggerakkan tubuhnya ke arah lain. Sebab, alangkah
pecundangnya, apabila kita hanya mencuri sepercik realitas, lalu menggotongnya
ke dalam kamar untuk mengkontruksinya dalam bangunan teks-teks imajiner yang
kalut, lalu kita mencari tempat perlindungan dalam metafora, diksi, rima, dan
bentuk-bentuk pencitraan yang lain. Sementara kita tak mengerti apa-apa, selain
membayangkan. Dan pada saat yang sama, dunia yang dibayangkan berbalik arah,
bergerak meninggalkan puisi yang terpuruk dalam ruang kesedihan yang semu. Atau
malah realitas yang menulis kita yang mabuk dalam “pesta kata-kata”.
Na’udzubillahi min dzalik. Semoga kita termasuk orang-orang yang terus-menerus
berbenah. Salam.
Surabaya,
16 Januari 2013
*) Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya,
dan penjual buku bekas. Bergiat di
Komunitas Tikar Merah.
--Esai ini sebelumnya dimuat buletin
TikaR
@Redaktur SARBI: Ferdi Afrar
0 comments:
Post a Comment