Blogroll

Tuesday, June 4, 2013

Puisi, Pesta; Riuh Pasar Pencitraan

 photo tumblr_m6l1kiPfdG1runipgo1_400_zpsdeb5b409.jpg

Oleh Khalil Tirta Segara

 ““Saya tidak belajar menulis puisi kepada Umbu, akan tetapi saya belajar kehidupan puisi”
-Emha Ainun Najib

Dari percikan esai Cak Nun (16/12/2012), catatan saya ini berangkat dengan suasana yang cemas dan bertanya-tanya, tentang kehidupan puisi yang sesungguhnya. Gerangan, seperti apakah yang dimaksud dengan kehidupan puisi itu?
Dalam tulisan Cak Nun itu, saya menemukan dua hal yang pantas saya curigai kembali, antara menulis puisi dan kehidupan puisi. Di sini saya menemukan celah-celah adanya dikotomi untuk dipahami dan ditumbuh kembangkan terus-menerus.
Seyogyanya, setiap orang bisa menulis puisi. Yang penting ada keinginan (niat), kesabaran untuk mencatat apa saja dalam benaknya, menyusun bahasa serapi mungkin, sepadat mungkin untuk menyampaikan pesan. Kecakapan memilih diksi, bermain-main dengan metafora, bahasa-bahasa simbol, menghadirkan rima atau bunyi, untuk bahan-bahan estetikanya pada sebuah kontruksi teks. Dan yang paling penting jangan lupa membaca puisi penyair yang sudah “mencapai”.
Setelah itu, datang ke warnet untuk mengirim naskah puisi yang sudah selesai ditulis. Mencari alamat media. Sejenak, berpikir ulang di depan komputer, mereka-reka, memilah-milah, kira-kira media apa yang pas untuk puisi yang baru ditulis itu? Terbersit di kepala, o, ternyata media ini pas untuk karakter puisi itu, media itu pas untuk karakter puisi yang ini. Begitulah kiranya siklus dinamika perpuisian kita? Lantas, menunggu hari minggu, berharap puisi kita yang nongol pada hari yang telah kita nanti-nantikan. Kadang berakhir dengan perasaan kecut, kadang berakhir dengan perasaan girang, kalau ternyata ada media memuat puisi yang disayang-sayang.
Tetapi untuk penyair yang sudah dianggap mapan oleh media tertentu, biasanya, redaktur hanya menentukan jadwal pemuatan. Minggu ini puisinya siapa yang keluar, minggu selanjutnya milik penyair siapa yang keluar. Sampai pada akhirnya, terciptalah semacam mainstream atau sejenis barometer sebuah karya puisi di benak kita. Misalnya, dengan anggapan yang sudah lazim; seseorang bisa dianggap penyair atau puisi dianggap bermutu kalau sudah pernah dimuat di mesia A, di koran B, di majalah Z atau yang sejenis. Lalu generasi setelahnya menjadikannya sebagai rujukan kepenulisan.
Tak dapat dipungkiri, pada akhirnya kita berduyun-duyun untuk menulis puisi dan mengirimkannya ke media tertentu tersebut, agar eksistensi segera mendapatkan pengakuan khalayak, bahwa kita “penyair”, bahwa puisi kita sudah bermutu.
Namun bukan hanya “media” yang telah menjadi standar umum dalam kerja puisi kita selama ini, akan tetapi, juga muncul semacam sindrom yang menggurita di benak kita, bahwa seseorang dimantabkan dan ditokohkan sebagai penyair hebat apabila pernah diundang dalam pertemuan ini dan itu. Sementara di sisi lain, orang-orang yang menghidupi komunitas-komunitas kecil di kampung-kampung, di gang-gang, di tempat-tempat terpencil dengan niat belajar bersama, bekerja dengan masyarakatnya, menyediakan media kecil untuk pertumbuhan pengetahuan mereka yang terbelakang, justru terabaikan, dan tak dianggap ada dalam khazanah sastra kita. Ironisnya lagi, orang-orang yang sudah dianggap mapan itu seperti hidup dalam dunia lain, di puncak menara yang jauh. Dunia yang hanya berisi dia, dan yang setara dengannya. Inilah yang kemudian menyeret dunia puisi berada dalam titik arogansi; antara pertemuan para satrawan di sebuah halaman yang mewah dan perangkap media yang menghegemoni dalam skala politik identitas.
Dengan demikian, disadari atau tidak, situasi menyeret kita menulis hanya untuk dimuat di koran. Lalu diam-diam kita bermimpi tentang sebuah taman dan meja makan yang menyemerbakkan aroma daging panggang yang lezat. Seolah-olah kita dituntut untuk selalu berdiam diri di kamar, menekuri puisi, mengelus-elus kata di tengah bayang-bayang kenyataan yang hancur. Lantas, di manakah kehidupan yang nyata itu kita peragakan? Dalam bahasa lambang yang tak berefek apa-apa, dalam rima yang tak berefek apa-apa, atau dalam bahasa yang tak menggugah nilai-nilai kemanusiaan yang kian terpendam? Mari kita berjalan lagi.
***
Pada suatu malam yang bising, tepatnya di warung kopi, pernah seorang kawan melontarkan sebuah kecemasannya tentang puisi, “kenapa kita masih menulis puisi, sementara masyarakat kita tidak hidup dengan puisi?” Katanya dengan wajah kusut-masai. Mungkin bagi seorang kawan itu, –dari suaranya– saya menangkap nada frustrasi, rasa kecewa, menyaksikan kehidupan puisi yang kian terseret ke lembah kata-kata.
Sebab pada kenyataannya, realitas dan fenomena yang semakin sesak dan riuh di daun kuping kita, berlalu begitu saja, dan puisi tak merespons apa-apa. Politik yang semakin mengeras bagai batu-batu cadas, kebudayaan yang semakin lindap dan remang, perang antar-agama dan aliran, gemuruh iklan di media massa, caleg-caleg yang mengurung masyarakat dengan money politic, pesta dangdut, dan parade foto di jalan-jalan, sistem dan kurikulum pendidikan yang yang menjauhkan anak-anak dari dirinya, maling uang negara yang setiap hari hanya terdengar beritanya, slogan-slogan iklan yang menggerakkan bibir remaja kita, semua berjejal-melingkar-berpusar dalam riuh gemuruh pasar-pasar pencitraan.
Sementara itu kita sibuk di dalam kamar dengan puisi, mengurung diri dalam diksi, metafora, dan cita-cita yang dikurung media dan hegemoni politik sejarah. Di luar “kamar”, realitas sudah bergerak jauh melampaui eksistensi. Setiap hari penyair memproduksi puisi di “kamar”nya, orang-orang jahat memproduksi tindak korupsi di apartemennya, dan rakyat kecil semakin tak mengerti tentang ladang dan dapur-nya.
Maka dari semua kecemasan-kecemasan itu ada baiknya kalau saya mencurigai tulisan Cak Nun sebagai refleksi atau pengingat (saya sendiri) tentang kehidupan puisi sebagai laku. Bagaimana kemudian penyair juga mesti terlibat dalam pergulatan zamannya, dalam penderitaan sesamanya, dalam memperjuangkan kemanusiaan. Kita tidak lagi sibuk dengan pencitraan atau label tertentu untuk diakui atau dibuang (karena tak penting). Sebab menurut saya sendiri, yang dimaksud dengan kehidupan puisi, ialah sesuatu yang menyimpan tatanan nilai dan spirit kemanusiaan yang mesti diwujudkan dalam tindakan di luar teks.
Ada baiknya kalau saya bernoltagia dengan sajak Umbu Landu Peranggi:

Sajak Kecil
dengan mencintai
puisi-puisi ini
sukma dari sukmaku
terbukalah medan laga
sekaligus kubu
hidup takkan pernah aman
kapan dan di manapun
selamanya terancam bahaya

Dari sajak di atas dengan bunyi sebuah larik “terbukalah medan laga” -berarti di depan mata ada lapangan untuk sebuah pertarungan kehidupan dan kemanusiaan. Dalam konteks ini, para penyair tidak semestinya hanya menjadi penonton pasif dalam sebuah kamar yang sempit, akan tetapi terlibat aktif dalam perhelatan panjang yang sedang mencabik-cabik sosio-kultural, sosio-politik di sekitarnya. Sebab, “hidup takkan pernah aman/kapan dan di manapun/ akan terancam bahaya.
Lalu masih adakah ruang untuk mencemaskan teks-teks puisi, sehingga kita menjadi kawatir kalau-kalau puisi kita tidak bisa menjadi doa orang-orang lapar, dan petani di kampung yang tak sempat membaca puisi? Sebab umumnya pembaca puisi adalah sesama penyair. Jadinya puisi untuk puisi, teks untuk teks, penyair untuk penyair, seni untuk seni. Naif sekali.
Akan tetapi, penyair bisa saja belajar dari apa yang didengungkan dalam sajaknya (itupun kalau mau); sebuah spirit yang mampu menggerakkan tubuhnya ke arah lain. Sebab, alangkah pecundangnya, apabila kita hanya mencuri sepercik realitas, lalu menggotongnya ke dalam kamar untuk mengkontruksinya dalam bangunan teks-teks imajiner yang kalut, lalu kita mencari tempat perlindungan dalam metafora, diksi, rima, dan bentuk-bentuk pencitraan yang lain. Sementara kita tak mengerti apa-apa, selain membayangkan. Dan pada saat yang sama, dunia yang dibayangkan berbalik arah, bergerak meninggalkan puisi yang terpuruk dalam ruang kesedihan yang semu. Atau malah realitas yang menulis kita yang mabuk dalam “pesta kata-kata”. Na’udzubillahi min dzalik. Semoga kita termasuk orang-orang yang terus-menerus berbenah. Salam.

Surabaya, 16 Januari 2013

*) Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya,
dan penjual buku bekas. Bergiat di Komunitas Tikar Merah.

--Esai ini sebelumnya dimuat buletin TikaR 

@Redaktur SARBI: Ferdi Afrar

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post