Blogroll

Tuesday, April 1, 2014

Dongeng dan Bahasa AS Laksana, Kompas 30 Maret 2014

 photo IMG_0176copy_zps00b18253.jpg

Oleh Umar Fauzi Ballah

Judul Buku          : Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu
Pengarang            : AS Laksana
Penerbit                 : Gagas Media
Tebal                        : 214 hlm.
Cetakan                  : pertama, 2013
ISBN                         : 979-780-644-8
Harga                      : Rp49.000,00


Ketika berhadapan dengan AS Laksana sesungguhnya kita sedang berhadapan dengan dua rupa, yakni esai dan fiksinya. Selain piawai berbahasa dengan esai, ia juga piawai berbahasa dengan cerpen.
Pengalaman menakjubkan, bahkan jauh lebih menakjubkan dari esai-esainya, adalah ketika berhadapan dengan Murjangkung. Ketika menikmati Murjangkung, mau tidak mau dan tanpa sadar akan ingat pula pada esainya. Cara berbahasanya di beberapa bagian nyaris serupa. Namun, tentu AS Laksana sadar bahwa ia sedang menulis cerpen, bukan esai. Hal terpenting yang perlu dipahami dari cerpennya adalah teknik (men)dongeng sebagai style dan gaya khas AS Laksana. Walaupun demikian, secara interteksutual, gaya cerita AS Laksana dalam khazanah sastra Indonesia mengingatkan saya pada absurdisme fiksi-fiksi karya Budi Darma.

Klausa kau tahu
Jika kita awas pada apa yang menjadi karakter AS laksana, kita akan paham bahwa pengarang ini gandrung dengan klausa kau tahu, tidak hanya dalam esainya, tetapi juga dalam cerpennya. Klausa tersebut selalu muncul dalam setiap cerpennya. Setidaknya, ada 76 klausa kau tahu yang diucapkan narator, 2 klausa kau tahu sebagai bentuk percakapan antartokoh (hlm.71 dan hlm. 160), dan sebuah klausa yang dijamakkan, kalian tahu, yang terdapat pada cerpen “Cerita untuk Anak-anakmu.” Khusus pada cerpen tersebut, klausa kalian tahu memang tepat karena narator sedang berdongeng kepada anak-anak. Namun ternyata, tetap muncul klausa kau tahu pada paragraf yang lain.
Klausa kau tahu adalah pintu masuk bagaimana pengarang sebagai narator menempatkan posisinya dalam cerpen dan pembacanya. Pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama yang seolah secara langsung membacakan cerita kepada pembaca dengan sapaan “kau tahu.” Karena itu, penting bagi kita memahami pengarang dan narator. Pengarang adalah AS Laksana. Narator adalah “yang hadir” membacakan cerita. Dialah yang selalu mengatakan kau tahu dan menyapa kau. Karena itu, dalam beberapa cerpen yang seolah menggunakan sudut pandang orang ketiga, menjadi batal karena kehadiran kau yang taklain disapa sang narator, pendongeng, sebagai aku yang tersembunyi.
Lain dari itu, karena sedang membacakan dongeng, dan sebagaimana umumnya dongeng, narator taklupa menyampaikan amanat-amanat yang disampaikan secara tersurat. Dalam hal ini, narator menyampaikannya dalam berbagai nasihat. Amanat (baca, nasihat) dalam cerpen-cerpennya bertaburan seperti bintang. Ada yang baik dan ada yang sinis. Perhatikan petikan cerpen “Seorang Utusan Memotong Telinga Raja Jawa” ini.  Karena itu, kau tak perlu cemburu jika suatu saat berpapasan di jalan dengan lelaki buruk rupa yang sedang menggandeng tangan perempuan jelita. Perlu kutegaskan nasihat ini karena kau mungkin pernah memaki dalam hati ketika melihat lelaki buruk rupa berpasangan dengan perempuan cantik. Ingatlah bahwa pada tengah malam nanti, ketika si perempuan mencium kening lelaki itu, si buruk akan menjadi tampan.

Karnaval
Bahasa AS Laksana yang satire dan sinis itu tidak lain adalah efek sebuah karnaval. Dalam bahasa yang lebih sederhana, karnaval dalam sastra, sebagaimana dikatakan Letche, adalah canda tawa, seperti parodi, ironis, dan satiris. Ia tidak memiliki objek. Karnaval bersifat struktur ambivalen. Logikanya bukan benar atau salah, melainkan logika ambivalen. Dengan perkataan lain, karnaval adalah hakikat karya sastra sebagai kirab, struktur pawai, tokoh-tokoh secara bebas bersembunyi di balik topeng, parodi terhadap bentuk, dan konvensi yang sudah stabil. Karya sastra memberikan kemungkinan terhadap hal-hal yang dalam kehidupan sehari-hari takmungkin terjadi (Ratna, 2007:264).
Karena itu, dalam Murjangkung kita bisa menjumpai berbagai anakronisme seperti kisah nabi, mitos, dan dongeng-dongeng yang ditabrakkan dengan kondisi kekinian dan dengan caranya yang parodis. Tokoh-tokoh yang ganjil dengan nama-nama yang antonomasia seperti si cacing, si belatung, Kadal, Kondom dan sebagainya. Nasihat-nasihat pun bisa dicomot berdasarkan mitos-mitos.
Karena AS Laksana pada saat yang lain adalah seorang esais ternama, sesungguhnya cerpennya pun menjadi bias antara bahasa fiksi dan nonfiksinya. Barangkali inilah bentuk karnaval yang lain. Ia bisa mencampur adukkan hal itu. Namun, pada saat itu, lahirlah ornamen baru yang mengakibatkan bahasa dan ceritanya menjadi gemerlap.
Keterampilan dan kerajinan berbahasa dalam Murjangkung, bahkan sampai pada tataran diksi. Kata-katanya berkilauan. Mungkin, cerita bisa kita dapati. Namun, dalam Murjangkung, diksi adalah unsur tersendiri yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Di dalamnya kita bisa memetik sesuatu yang membuat kita tercengang, tersenyum, dan tertawa lebar seperti petikan ini, Begitulah, pagi itu, sebelum para pemalas turun dari tempat tidur, sebuah persekongkolan telah terbangun… pada saat-saat tertentu ia sengaja memperlihatkan kepada ayahnya betapa dekat ia dengan ibunya, menggelendot-gelendot manja, menyerempet-nyerempet bahaya.. (“Seto Menulis Peri, Pelangi, dan Para Putri”)
AS Laksana tidak punya pretensi untuk menuliskan sejarah dalam cerita-ceritanya. Namun, hal itu mengalir dengan sendirinya. Ia juga tidak hendak dengan sengaja mencantumkan secara tersurat unsur amanat dalam cerpennya.Namun, hal itu muncul laiknya seorang pendongeng dalam tuntutannya mendongeng.
Satu hal yang pasti bahwa AS Laksana menulis dengan cara satire yang membuat pembaca bisa tersenyum sekaligus terhenyak. Dia sangat pandai mengolah itu semua menjadi hiburan dan perenungan. Karya sastra, sebagaimana pada teori yang cukup purba, bertujuan seni untuk seni atau seni untuk masyarakat. AS Laksana mampu merengkuh itu semua. Karena itu, dia menulis dengan cara mendongengkan, bisa juga dengan cara resensi, atau cara esai. Semua teknik itu menjadi karnaval seperti pelangi. Semuanya menjadi sebuah anekdoke yang mengasyikkan.

*) Kritikus dan pengajar di Ganesha Operation, Sumenep. Twitter @uf_ballah

5 comments:

Pinter sampeyan, Cak. Iki apik.

Eh, bagian yang ini; "Ketika menikmati Murjangkung, mau tidak mau dan tanpa sadar akan ingat pula pada esainya.", mana subjeknya? :-)

Hahaha... Iya, kalimatnya tidak baku. Tidak bersubjek. Mungkin bisa dikatakan itu namanya subjek tersembunyi.

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post