Oleh
Umar Fauzi Ballah
Judul Buku : Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu
Pengarang : AS Laksana
Penerbit : Gagas
Media
Tebal : 214
hlm.
Cetakan : pertama, 2013
ISBN : 979-780-644-8
Harga : Rp49.000,00
Ketika berhadapan
dengan AS Laksana sesungguhnya kita sedang berhadapan dengan dua rupa, yakni
esai dan fiksinya. Selain piawai berbahasa dengan esai, ia juga piawai
berbahasa dengan cerpen.
Pengalaman menakjubkan, bahkan
jauh lebih menakjubkan dari esai-esainya, adalah ketika berhadapan dengan Murjangkung. Ketika menikmati Murjangkung, mau tidak mau dan tanpa
sadar akan ingat pula pada esainya.
Cara berbahasanya di beberapa bagian nyaris serupa. Namun, tentu AS Laksana
sadar bahwa ia sedang menulis cerpen, bukan esai.
Hal terpenting yang perlu dipahami dari cerpennya adalah teknik (men)dongeng
sebagai style dan gaya khas AS
Laksana. Walaupun demikian, secara interteksutual, gaya cerita AS Laksana dalam
khazanah sastra Indonesia mengingatkan saya pada absurdisme fiksi-fiksi karya
Budi Darma.
Klausa kau tahu
Jika kita awas pada apa yang
menjadi karakter AS laksana, kita akan paham bahwa pengarang ini gandrung dengan klausa kau tahu, tidak hanya dalam
esainya, tetapi juga dalam cerpennya. Klausa tersebut selalu
muncul dalam setiap cerpennya. Setidaknya,
ada 76 klausa kau tahu yang diucapkan
narator, 2 klausa kau tahu sebagai
bentuk percakapan antartokoh (hlm.71 dan hlm. 160), dan sebuah klausa yang
dijamakkan, kalian tahu, yang
terdapat pada cerpen “Cerita untuk Anak-anakmu.” Khusus pada cerpen tersebut,
klausa kalian tahu memang tepat
karena narator sedang berdongeng kepada anak-anak. Namun ternyata, tetap muncul
klausa kau tahu pada paragraf yang
lain.
Klausa kau tahu adalah pintu masuk bagaimana pengarang
sebagai narator menempatkan posisinya dalam cerpen dan pembacanya. Pengarang
menggunakan sudut pandang orang pertama yang seolah secara langsung membacakan cerita kepada pembaca dengan sapaan “kau tahu.”
Karena itu, penting bagi kita memahami pengarang dan narator. Pengarang adalah
AS Laksana. Narator adalah “yang hadir”
membacakan cerita. Dialah yang selalu mengatakan kau tahu dan menyapa kau.
Karena itu, dalam beberapa cerpen yang seolah menggunakan sudut pandang orang
ketiga, menjadi batal karena kehadiran kau yang taklain disapa sang narator, pendongeng, sebagai aku
yang tersembunyi.
Lain dari itu,
karena sedang membacakan dongeng, dan sebagaimana umumnya dongeng, narator
taklupa menyampaikan amanat-amanat yang disampaikan secara tersurat. Dalam hal
ini, narator menyampaikannya dalam berbagai nasihat. Amanat (baca, nasihat) dalam
cerpen-cerpennya bertaburan seperti bintang. Ada yang baik dan ada yang sinis.
Perhatikan petikan cerpen “Seorang Utusan Memotong Telinga Raja Jawa” ini. Karena
itu, kau tak perlu cemburu jika suatu saat berpapasan di jalan dengan lelaki
buruk rupa yang sedang menggandeng tangan perempuan jelita. Perlu kutegaskan
nasihat ini karena kau mungkin pernah memaki dalam hati ketika melihat lelaki
buruk rupa berpasangan dengan perempuan cantik. Ingatlah bahwa pada tengah
malam nanti, ketika si perempuan mencium kening lelaki itu, si buruk akan
menjadi tampan.
Karnaval
Bahasa AS Laksana
yang satire dan sinis itu tidak lain adalah efek sebuah karnaval. Dalam bahasa
yang lebih sederhana, karnaval dalam sastra, sebagaimana dikatakan Letche, adalah canda tawa,
seperti parodi, ironis, dan satiris. Ia tidak memiliki objek. Karnaval
bersifat struktur ambivalen. Logikanya bukan benar atau
salah, melainkan logika ambivalen.
Dengan perkataan lain,
karnaval adalah hakikat karya sastra sebagai kirab, struktur pawai, tokoh-tokoh
secara bebas bersembunyi di balik topeng, parodi terhadap bentuk, dan konvensi yang sudah
stabil. Karya sastra memberikan kemungkinan terhadap hal-hal yang dalam
kehidupan sehari-hari takmungkin terjadi
(Ratna,
2007:264).
Karena itu, dalam Murjangkung kita bisa menjumpai berbagai
anakronisme seperti kisah nabi, mitos, dan dongeng-dongeng yang ditabrakkan
dengan kondisi kekinian dan dengan caranya yang parodis. Tokoh-tokoh yang ganjil
dengan nama-nama yang antonomasia seperti si cacing, si belatung, Kadal, Kondom
dan sebagainya. Nasihat-nasihat pun bisa dicomot berdasarkan mitos-mitos.
Karena AS Laksana
pada saat yang lain adalah seorang esais ternama, sesungguhnya cerpennya pun menjadi
bias antara bahasa fiksi dan nonfiksinya. Barangkali inilah bentuk karnaval
yang lain. Ia bisa mencampur adukkan hal itu. Namun, pada saat itu, lahirlah
ornamen baru yang mengakibatkan bahasa dan ceritanya menjadi gemerlap.
Keterampilan dan
kerajinan berbahasa dalam Murjangkung,
bahkan sampai pada tataran diksi. Kata-katanya berkilauan. Mungkin, cerita bisa
kita dapati. Namun, dalam Murjangkung,
diksi adalah unsur tersendiri yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Di
dalamnya kita bisa memetik sesuatu yang membuat kita tercengang, tersenyum, dan
tertawa lebar seperti petikan ini, Begitulah,
pagi itu, sebelum para pemalas turun dari tempat tidur, sebuah persekongkolan
telah terbangun… pada saat-saat tertentu ia sengaja memperlihatkan kepada
ayahnya betapa dekat ia dengan ibunya, menggelendot-gelendot manja,
menyerempet-nyerempet bahaya.. (“Seto Menulis Peri, Pelangi, dan Para
Putri”)
AS Laksana tidak punya pretensi
untuk menuliskan “sejarah” dalam cerita-ceritanya. Namun, hal itu mengalir
dengan sendirinya. Ia juga tidak hendak dengan sengaja mencantumkan secara
tersurat unsur amanat dalam cerpennya.Namun, hal itu muncul laiknya seorang
pendongeng dalam tuntutannya mendongeng.
Satu hal yang pasti bahwa AS
Laksana menulis dengan cara satire yang membuat pembaca bisa tersenyum
sekaligus terhenyak. Dia
sangat pandai mengolah itu semua menjadi hiburan
dan perenungan. Karya sastra,
sebagaimana pada teori yang cukup purba,
bertujuan seni untuk seni atau seni untuk masyarakat.
AS Laksana mampu merengkuh itu semua. Karena itu, dia menulis dengan cara
mendongengkan, bisa juga dengan cara resensi, atau cara esai. Semua teknik itu
menjadi karnaval seperti pelangi. Semuanya menjadi sebuah anekdoke yang mengasyikkan.
*) Kritikus dan pengajar di Ganesha Operation, Sumenep. Twitter @uf_ballah
5 comments:
Pinter sampeyan, Cak. Iki apik.
Eh, bagian yang ini; "Ketika menikmati Murjangkung, mau tidak mau dan tanpa sadar akan ingat pula pada esainya.", mana subjeknya? :-)
Hahaha... Iya, kalimatnya tidak baku. Tidak bersubjek. Mungkin bisa dikatakan itu namanya subjek tersembunyi.
Aaaaa...pik e
Suwun, uut hehe
Post a Comment