Blogroll

Tuesday, October 8, 2013

Monolog Kasir Kita (2)

 photo ArtistPawelAlthamerborn1967TitleSelf-PortraitasaBusinessmanAutoportretjakoBiznesmenDate2002withadditions2004MediumJackettrou_zpse798fbf5.jpg

Karya Pawel Althamer(Lahir1967) Berjudul: Title Self-Portrait as a Businessman Autoportret jako Biznesmen Tahun 2002, with additions 2004 Medium:  Jacket, trousers, dress shirt, silk tie, shoes, socks, und. Koleksi Tate

Karya Arifin C Noer

naskah ini merupakan kelanjutan dari naskah monolog Kasir Kita karya almarhum Arifin C Noer. naskah ini sengaja ditampilkan karena memang sering digunakan sebagai naskah wajib pada perlombaan monolog tingkat SMA maupun tingkat perguruan tinggi.

Pasti isteri saya
Menarik napas panjang

Saya telah mencium bau bedaknya. Demikian wanginya sehingga saya yakin kulitnya yang menyebabkan bedak itu wangi. Oh, apa yang sebaiknya saya katakan?

Tidak! Saya harus tahu harga diri. Kalau dia ku maafkan niscaya akan semakin kurang ajar. Saudara tahu? Mengapa semua ini bisa terjadi? Oh, kecantikan itu! Ah! Bangsat! Selama ini saya diusiknya dengan perasaan-perasaan yang gila. Bangsat!

Saudara tahu? Dia telah berhubungan lagi dengan pacarnya ketika di SMA! Ya, memang saya tidak tahu benar, betul tidaknya prasangka itu. Tapi cobalah bayangkan betapa besar perasaan saya. Suatu hari secara kebetulan saya pulang dari kantor lebih cepat dari biasanya dan apa yang saya dapati? Laki-laki itu ada di sini dan sedang tertawa-tawa. Dengar! Tertawa-tawa. Ya, Tuhan. Cemburuku mulai menyerang lagi. Perasaan cemburu yang luar biasa.

Telepon berdering lagi.

Pasti dia.
Mengangkat gagang telepon.


Misbach Jazuli di sini, hallo?

Segera menjauhkan pesawat telepon dari telinganya.

Inilah ular yang menggoda Adam dahulu. Perempuan itu menelepon dalam keadaan aku begini. Jahanam! (kasar) Ya, saya Jazuli, ada apa? Nanti dulu. Jangan dulu kau memakai kata-kata cinta yang membuat kaki gemetar itu! Dengar dulu! Apa perempuan biadap! Kau telah menghancurkan kejujuranku! Dengarkan! Kau telah menghancurkan kejujuranku! Dengarkan! Kau telah menyebabkan semuanya semakin berantakan dan membuat aku gelisah dan takut seperti buronan!

Meletakkan pesawat dengan marah.

Betapa saya marah. Sesudah beberapa puluh juta uang kantor saya pakai berpoya-poya, apakah ia mengharap saya mengangkat lemari besi itu ke rumahnya. Gila!
Ya, saudara. Saya telah berhubungan dengan seorang perempuan, beberapa hari setelah saya bertengkar di pengadilan agama itu. Saya tertipu. Uang saya ludes, uang kantor ludes. Tapi saya masih bisa bersyukur sebab lumpur itu baru mengenai betis saya. Setengah bulan yang lalu saya terjaga dari mimpi edan itu. Betapa saya terkejut, waktu menghitung beberapa juta uang kantor katut. Dan sejak itulah saya ingat isteri saya. Dan saya mendengar tangis anak-anak saya. Tambahan lagi isteri saya selalu menelepon sejak seminggu belakangan ini.
Tuhanku! Bulan ini bulan Desember, beberapa hari lagi kantor saya mengadakan stock opname. Inilah penderitaan itu.

Memandang potret di atas rak buku.

Sejak seminggu yang lalu saya pegang lagi potret itu. Tuhan, apakah saya mesti menjadi penyair untuk mengutarakan sengsara badan dan sengsara jiwa ini?

Apabila anak-anak telah tidur semua, dia duduk di sini di samping saya. Dia membuka-buka majalah dan saya membaca surat kabar. Pabila suatu saat mata kami bertemu maka kami pun sama-sama tersenyum. Lalu saya berkata lembut : “Manis, kau belum mengantuk?” Wajahnya yang mentakjubkan itu menggeleng-geleng indah dan manis sekali. Dia berkata, juga dengan lembut : “Aku hanya menunggu kau, mas” Saya tersenyum dan saya berkata lagi : “Aku hanya membaca koran, manis” Dan lalu ia berkata : “ Aku akan menunggui kau membaca koran, mas” Kemudian kami pun sama-sama tersenyum bagai merpati jantan dan betina.

Kubelai rambutnya yang halus mulus itu. Duuh wanginya. Nyamannya. Lautan minyak wangi yang memingsankan dan membius sukma. Apabila dia berkata seraya menengadah “Mas”. Maka segera kupadamkan lampu di sini dan lewat jendela kaca kami menyaksikan pekarangan dengan bunga-bunga yang kabur, dan langit biru bening dimana purnama yang kuning telor ayam itu merangkak-rangkak dari ranting keranting.

Tiba-tiba ganti nada.

Hah, saya baru saja telah menjadi penyair cengeng untuk mengenang semua itu. Tidak-tidak! Laki-laku itu ............, sebentar. Saya belum menelepon ke kantor bukan ? Sebentar.

Diangkatnya pesawat telepon itu ! memutar nomornya.

Hallo, minta 1237 utara. Hallo ! ....... Saudara Anief ... ? Kebetulan .... Ya, ya, mungkin pula influenza. (batuk-batuk-dan menyedot hidungnya) Yang pasti batuk dan pilek. Saudara....ya?....Ya, ya saudara Anief, saya akan merasa senang sekali kalau saudara sudi memintakan pamit saya kepada pak Sukandar....Terima kasih...Ya? Apa? Saudara bertemu dengan isteri saya disebuah restoran?
Nada suaranya naik.

Apa? Dengan laki-laki? (menahan amarahnya) Tentu saja saya tidak boleh marah, saudara. Dia bukan istri saya. Ya, ya...Hallo! Ya, jangan lupa pesan saya pada pak Sukandar.
batuk dan menyedot hidungnya lagi

Saya sakit. Ya, pilek. Terima kasih.

Meletakan pesawat telepon.

Seharusnya saya tak boleh marah. Bukankah dia bukan isteri saya lagi? Ah, persetan : pokoknya saya marah! Persetan : cemburuan kumat lagi? Ah, persetan! Saudara bisa mengira apa yang terdapat dalam hati saya. Saudara tahu apa yang ingin saya katakan pada saudara? Saya hanya butuh satu barang, saudara. Ya, benar-benar saya butuh pistol, saudara. Pistol. Saya akan bunuh mereka sekaligus. Kepala mereka cukup besar untuk menjaga agar peluru saya tidak meleset dari pelipisnya.

Nafasnya sudah kacau.

Kalau mayat-mayat itu sudah tergeletak di lantai, apakah saudara pikir saya akan membidikkan pistol itu ke kening saya? Oh, tidak! Dunia dan hidup tidak selebar daun kelor, saudara! Sebagai orang yang jujur dan jangan lupa saya adalah seorang ksatria dan sportif, maka tentu saja secara jantan saya akan menghadap dan menyerahkan diri pada pos polisi yang terdekat dan berkata dengan bangga dan herooik : “Pak saya telah menembak Pronocitra dan Roro Mendut.”

Tentu polisi itu akan tersenyum. Dan kagum campur haru. Dan bukan tidak mungkin ia akan memberi saya segelas teh. Dan baru setelah itu membawa saya ke dalam sebuah sel yang pengap.

Hari selanjutnya saya akan diperiksa. Ya, diperiksa. Lalu diadili. Ya, diadili. Saudara tahu apa yang hendak saya katakan pada hakim? Kepada hakim, kepada jaksa, kepada panitera dan kepada seluruh hadirin akan saya katakan bahwa mereka pengganggu masyarakat maka sudah sepatutnya dikirim ke neraka jahanam. Bukankah bumi ini bumi Indonesia yang ketentramannya harus dijaga oleh setiap warganya?

Saudara pasti tahu seperti saya pun tahu hakim yang botak itu akan berkata seraya menjatuhkan palunya : “Seumur hidup di Nusa Kambangan!”
Pikir saudara saya akan pingsan mendengar vonis semacam itu? Ooo, tidak saudara. Saya akan tetap percaya pada Tuhan. Tuhan lebih tahu daripada Hakim yang botak dan berkaca mata itu.

Lagi pula saya sudah siap untuk dibawa ke Nusa Kambangan. Di pulau itu saya hanya akan membutuhkan beberapa rim kertas dan pulpen. Ya, saudara. Saya akan menjadi pengarang. Saya akan menulis riwayat hidup saya dan proses pembunuhan itu yang sebenarnya, sehingga dunia akan sama membacanya. Saya yakin dunia akan mengerti letak soal yang sejati. Dunia akan menangis. Perempuan-perempuan akan meratap.

Dan seluruh warga bumi ini akan berkabung sebab telah berbuat salah menghukum seseorang yang tak bersalah. Juga saya yakin hakim itu akan mengelus-elus botaknya dan akan mengucurkan air matanya sebab menyesal dan niscaya dia akan membuang palunya ke luar. Itulah rancangan saya.

Saya sudah berketetapan hati. Saya sudah siap betul-betul sekarang. Siap dan nekad. Ooo, nanti dulu. Saya ingat sekarang. Saya belum punya pistol. Dimana saya bisa mendapatkannya? Inilah perasaan seorang pembunuh. Dendam dendam yang cukup padat seperti padatnya kertas petasan. Dahsyat letusannya. Saya ingat Sherlocks Holmes sekarang. Agatha Christi, Edgar Allan Poe. Sekarang saya insaf. Siapapun tidak boleh mencibirkan segenap pembunuh. Sebab saya kini percaya ada berbagai pembunuh di atas dunia ini. Dan yang ada di hadapan saudara, ini bukan pembunuh sembarang pembunuh. Jenis pembunuh ini adalah jenis pembunuh asmara.

Nah, saya telah mendapatkan judul karangan itu.
“Pembunuh Asmara” Lihatlah dunia telah berubah hanya dalam tempo beberapa anggukan kepala. Persetan! Dimana pistol itu dapat saya beli? Apakah saya harus terbang dulu ke Amerika, ke Dallas? Tentu saja tidak mungkin. Sebab itu berarti memberikan mereka waktu untuk melarikan diri sebelum kubekuk lehernya.

Oh, betapa marah saya. Darah seperti akan meledakan kepala saya. Betapa! Sampai-sampai saya ingin menyobek dada ini. Oh,...saya sekarang merasa bersahabat dengan Othello. Saudara tentu kenal dia, bukan? Dia adalah tokoh pencemburu dalam sebuah drama Shakespeare yang terkenal.
Othello. Dia bangsa Moor sedang saya bangsa Indonesia, namun sengsara dan senasib akibat kejahilan cantiknya anak cucu Hawa.
Telepon berdering! Seperti seekor harimau ia!
Itu dia.
Mengangkat pesawat telepon dengan kasar.

Hallo!!! Ya, disini Jazuli !! Kasir !! Ada apa?
Tiba-tiba berubah.
Oh,...maaf pak. Pak Sukandar, kepala saya. Maaf, pak. Saya kira isteri saya. Saya baru saja marah-marah...Ya, ya memang saya...Ya, ya.

Tertawa.

Ya, pak...
Batuk-batuk. Menyedot hidungnya.
Influenza... Ya, mudah-mudahan..Ya, pak....Ya.
Saudara, dengarlah. Dia mengharap saya besok masuk kantor untuk pemberesan keuangan....Ya?..Insya Allah, pak..Ada pegawai baru?..Siapa, pak? Istri saya, pak?

Tertawa.
Ya, pak...

Batuk-batuk dan menyedot hidungnya.

Ya, pak. Terima kasih. Terima kasih, pak. Besok.
Meletakan pesawat telepon.

bersambung....


_____________________

Redaktur SARBI: Dody Kristianto

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post