Karya Pawel Althamer(Lahir1967) Berjudul: Title Self-Portrait as a Businessman Autoportret jako Biznesmen Tahun 2002, with additions 2004 Medium: Jacket, trousers, dress shirt, silk tie, shoes, socks, und. Koleksi Tate
Karya Arifin C Noer
naskah ini merupakan kelanjutan dari naskah monolog Kasir Kita karya almarhum Arifin C Noer. naskah ini sengaja ditampilkan karena memang sering digunakan sebagai naskah wajib pada perlombaan monolog tingkat SMA maupun tingkat perguruan tinggi.
Pasti isteri saya
Menarik napas panjang
Saya telah mencium bau bedaknya. Demikian wanginya sehingga
saya yakin kulitnya yang menyebabkan bedak itu wangi. Oh, apa yang sebaiknya
saya katakan?
Tidak! Saya harus tahu harga diri. Kalau dia ku maafkan
niscaya akan semakin kurang ajar. Saudara tahu? Mengapa semua ini bisa terjadi?
Oh, kecantikan itu! Ah! Bangsat! Selama ini saya diusiknya dengan
perasaan-perasaan yang gila. Bangsat!
Saudara tahu? Dia telah berhubungan lagi dengan pacarnya
ketika di SMA! Ya, memang saya tidak tahu benar, betul tidaknya prasangka itu.
Tapi cobalah bayangkan betapa besar perasaan saya. Suatu hari secara kebetulan
saya pulang dari kantor lebih cepat dari biasanya dan apa yang saya dapati?
Laki-laki itu ada di sini dan sedang tertawa-tawa. Dengar! Tertawa-tawa. Ya,
Tuhan. Cemburuku mulai menyerang lagi. Perasaan cemburu yang luar biasa.
Telepon berdering lagi.
Pasti dia.
Mengangkat gagang telepon.
Misbach Jazuli di sini, hallo?
Segera menjauhkan pesawat telepon dari telinganya.
Inilah ular yang menggoda Adam dahulu. Perempuan itu
menelepon dalam keadaan aku begini. Jahanam! (kasar) Ya, saya Jazuli, ada apa?
Nanti dulu. Jangan dulu kau memakai kata-kata cinta yang membuat kaki gemetar
itu! Dengar dulu! Apa perempuan biadap! Kau telah menghancurkan kejujuranku!
Dengarkan! Kau telah menghancurkan kejujuranku! Dengarkan! Kau telah
menyebabkan semuanya semakin berantakan dan membuat aku gelisah dan takut
seperti buronan!
Meletakkan pesawat dengan marah.
Betapa saya marah. Sesudah beberapa puluh juta uang kantor
saya pakai berpoya-poya, apakah ia mengharap saya mengangkat lemari besi itu ke
rumahnya. Gila!
Ya, saudara. Saya telah berhubungan dengan seorang
perempuan, beberapa hari setelah saya bertengkar di pengadilan agama itu. Saya
tertipu. Uang saya ludes, uang kantor ludes. Tapi saya masih bisa bersyukur
sebab lumpur itu baru mengenai betis saya. Setengah bulan yang lalu saya
terjaga dari mimpi edan itu. Betapa saya terkejut, waktu menghitung beberapa juta
uang kantor katut. Dan sejak itulah saya ingat isteri saya. Dan saya mendengar
tangis anak-anak saya. Tambahan lagi isteri saya selalu menelepon sejak
seminggu belakangan ini.
Tuhanku! Bulan ini bulan Desember, beberapa hari lagi kantor
saya mengadakan stock opname. Inilah penderitaan itu.
Memandang potret di atas rak buku.
Sejak seminggu yang lalu saya pegang lagi potret itu. Tuhan,
apakah saya mesti menjadi penyair untuk mengutarakan sengsara badan dan
sengsara jiwa ini?
Apabila anak-anak telah tidur semua, dia duduk di sini di
samping saya. Dia membuka-buka majalah dan saya membaca surat kabar. Pabila
suatu saat mata kami bertemu maka kami pun sama-sama tersenyum. Lalu saya
berkata lembut : “Manis, kau belum mengantuk?” Wajahnya yang mentakjubkan itu menggeleng-geleng
indah dan manis sekali. Dia berkata, juga dengan lembut : “Aku hanya menunggu
kau, mas” Saya tersenyum dan saya berkata lagi : “Aku hanya membaca koran,
manis” Dan lalu ia berkata : “ Aku akan menunggui kau membaca koran, mas”
Kemudian kami pun sama-sama tersenyum bagai merpati jantan dan betina.
Kubelai rambutnya yang halus mulus itu. Duuh wanginya.
Nyamannya. Lautan minyak wangi yang memingsankan dan membius sukma. Apabila dia
berkata seraya menengadah “Mas”. Maka segera kupadamkan lampu di sini dan lewat
jendela kaca kami menyaksikan pekarangan dengan bunga-bunga yang kabur, dan
langit biru bening dimana purnama yang kuning telor ayam itu merangkak-rangkak
dari ranting keranting.
Tiba-tiba ganti nada.
Hah, saya baru saja telah menjadi penyair cengeng untuk
mengenang semua itu. Tidak-tidak! Laki-laku itu ............, sebentar. Saya
belum menelepon ke kantor bukan ? Sebentar.
Diangkatnya pesawat telepon itu ! memutar nomornya.
Hallo, minta 1237 utara. Hallo ! ....... Saudara Anief ... ?
Kebetulan .... Ya, ya, mungkin pula influenza. (batuk-batuk-dan menyedot
hidungnya) Yang pasti batuk dan pilek. Saudara....ya?....Ya, ya saudara Anief,
saya akan merasa senang sekali kalau saudara sudi memintakan pamit saya kepada
pak Sukandar....Terima kasih...Ya? Apa? Saudara bertemu dengan isteri saya
disebuah restoran?
Nada suaranya naik.
Apa? Dengan laki-laki? (menahan amarahnya) Tentu saja saya
tidak boleh marah, saudara. Dia bukan istri saya. Ya, ya...Hallo! Ya, jangan
lupa pesan saya pada pak Sukandar.
batuk dan menyedot hidungnya lagi
Saya sakit. Ya, pilek. Terima kasih.
Meletakan pesawat telepon.
Seharusnya saya tak boleh marah. Bukankah dia bukan isteri
saya lagi? Ah, persetan : pokoknya saya marah! Persetan : cemburuan kumat lagi?
Ah, persetan! Saudara bisa mengira apa yang terdapat dalam hati saya. Saudara
tahu apa yang ingin saya katakan pada saudara? Saya hanya butuh satu barang,
saudara. Ya, benar-benar saya butuh pistol, saudara. Pistol. Saya akan bunuh
mereka sekaligus. Kepala mereka cukup besar untuk menjaga agar peluru saya
tidak meleset dari pelipisnya.
Nafasnya sudah kacau.
Kalau mayat-mayat itu sudah tergeletak di lantai, apakah
saudara pikir saya akan membidikkan pistol itu ke kening saya? Oh, tidak! Dunia
dan hidup tidak selebar daun kelor, saudara! Sebagai orang yang jujur dan
jangan lupa saya adalah seorang ksatria dan sportif, maka tentu saja secara
jantan saya akan menghadap dan menyerahkan diri pada pos polisi yang terdekat
dan berkata dengan bangga dan herooik : “Pak saya telah menembak Pronocitra dan
Roro Mendut.”
Tentu polisi itu akan tersenyum. Dan kagum campur haru. Dan
bukan tidak mungkin ia akan memberi saya segelas teh. Dan baru setelah itu
membawa saya ke dalam sebuah sel yang pengap.
Hari selanjutnya saya akan diperiksa. Ya, diperiksa. Lalu
diadili. Ya, diadili. Saudara tahu apa yang hendak saya katakan pada hakim?
Kepada hakim, kepada jaksa, kepada panitera dan kepada seluruh hadirin akan
saya katakan bahwa mereka pengganggu masyarakat maka sudah sepatutnya dikirim
ke neraka jahanam. Bukankah bumi ini bumi Indonesia yang ketentramannya harus
dijaga oleh setiap warganya?
Saudara pasti tahu seperti saya pun tahu hakim yang botak
itu akan berkata seraya menjatuhkan palunya : “Seumur hidup di Nusa Kambangan!”
Pikir saudara saya akan pingsan mendengar vonis semacam itu?
Ooo, tidak saudara. Saya akan tetap percaya pada Tuhan. Tuhan lebih tahu
daripada Hakim yang botak dan berkaca mata itu.
Lagi pula saya sudah siap untuk dibawa ke Nusa Kambangan. Di
pulau itu saya hanya akan membutuhkan beberapa rim kertas dan pulpen. Ya,
saudara. Saya akan menjadi pengarang. Saya akan menulis riwayat hidup saya dan
proses pembunuhan itu yang sebenarnya, sehingga dunia akan sama membacanya.
Saya yakin dunia akan mengerti letak soal yang sejati. Dunia akan menangis.
Perempuan-perempuan akan meratap.
Dan seluruh warga bumi ini akan berkabung sebab telah
berbuat salah menghukum seseorang yang tak bersalah. Juga saya yakin hakim itu
akan mengelus-elus botaknya dan akan mengucurkan air matanya sebab menyesal dan
niscaya dia akan membuang palunya ke luar. Itulah rancangan saya.
Saya sudah berketetapan hati. Saya sudah siap betul-betul
sekarang. Siap dan nekad. Ooo, nanti dulu. Saya ingat sekarang. Saya belum
punya pistol. Dimana saya bisa mendapatkannya? Inilah perasaan seorang
pembunuh. Dendam dendam yang cukup padat seperti padatnya kertas petasan.
Dahsyat letusannya. Saya ingat Sherlocks Holmes sekarang. Agatha Christi, Edgar
Allan Poe. Sekarang saya insaf. Siapapun tidak boleh mencibirkan segenap
pembunuh. Sebab saya kini percaya ada berbagai pembunuh di atas dunia ini. Dan
yang ada di hadapan saudara, ini bukan pembunuh sembarang pembunuh. Jenis
pembunuh ini adalah jenis pembunuh asmara.
Nah, saya telah mendapatkan judul karangan itu.
“Pembunuh Asmara” Lihatlah dunia telah berubah hanya dalam
tempo beberapa anggukan kepala. Persetan! Dimana pistol itu dapat saya beli?
Apakah saya harus terbang dulu ke Amerika, ke Dallas? Tentu saja tidak mungkin.
Sebab itu berarti memberikan mereka waktu untuk melarikan diri sebelum kubekuk
lehernya.
Oh, betapa marah saya. Darah seperti akan meledakan kepala
saya. Betapa! Sampai-sampai saya ingin menyobek dada ini. Oh,...saya sekarang
merasa bersahabat dengan Othello. Saudara tentu kenal dia, bukan? Dia adalah
tokoh pencemburu dalam sebuah drama Shakespeare yang terkenal.
Othello. Dia bangsa Moor sedang saya bangsa Indonesia, namun
sengsara dan senasib akibat kejahilan cantiknya anak cucu Hawa.
Telepon berdering! Seperti seekor harimau ia!
Itu dia.
Mengangkat pesawat telepon dengan kasar.
Hallo!!! Ya, disini Jazuli !! Kasir !! Ada apa?
Tiba-tiba berubah.
Oh,...maaf pak. Pak Sukandar, kepala saya. Maaf, pak. Saya
kira isteri saya. Saya baru saja marah-marah...Ya, ya memang saya...Ya, ya.
Tertawa.
Ya, pak...
Batuk-batuk. Menyedot hidungnya.
Influenza... Ya, mudah-mudahan..Ya, pak....Ya.
Saudara, dengarlah. Dia mengharap saya besok masuk kantor
untuk pemberesan keuangan....Ya?..Insya Allah, pak..Ada pegawai baru?..Siapa,
pak? Istri saya, pak?
Tertawa.
Ya, pak...
Batuk-batuk dan menyedot hidungnya.
Ya, pak. Terima kasih. Terima kasih, pak. Besok.
Meletakan pesawat telepon.
bersambung....
_____________________
Redaktur SARBI: Dody Kristianto
_____________________
Redaktur SARBI: Dody Kristianto
0 comments:
Post a Comment