Blogroll

Monday, January 25, 2016

Jalan Panjang Menuju Puisi*


modern surreal art by Tony Futura
Dody Kristianto**

Pastilah saya tidak akan membahas puisi-puisi dalam antologi Kicauan Sajak. Yang pasti berat untuk menuntaskan pembacaan pada seratus puisi lebih dalam waktu kurang dari 24 jam. Namun, di luar membincang puisi-puisi dalam kumpulan ini, membincang proses ternyata juga tak kalah penting. Proses jualah yang bakal menentukan apakah seorang penyair bakal terus menulis puisi, menempuh jalan panjang ini ataukah mencukupkan diri dengan menghentikan perjalanan di separuh jalan.
Kehadiran antologi ini sebenarnya juga patut kita rayakan. Bagaimanapun, ia adalah produk sebuah “proses” (atau tugas?). Dan saya mesti bahagia sekaligus prihatin. Bahagia karena puisi masih tetap diapresiasi, dinikmati, bahkan harus berlarat-larat karenanya meski ia sekadar sebagai tugas belaka. Namun, saya prihatin pula. Dari sekian mahasiswa yang menulis puisi dalam kumpulan ini, berapakah yang akan terus melangkah memantapkan diri dalam jalur kepenyairan yang sebenarnya? Lebih berhubungan dengan kumpulan ini, berapa karya dalam buku ini yang dapat disebut sebagai puisi, bukan gumam belaka.
Kiranya, cukup bijak saat Umar Fauzi Ballah menyebut buku ini sebagai embrio. Mungkin dalam bahasa saya, ia adalah upaya menuju puisi, belum menjadi puisi itu sendiri. Jalan menuju puisi masihlah cukup panjang berliku. Maka, tidaklah salah bila Hasan Aspahani menelurkan buku Menapak ke Puncak Sajak. Atau Tengsoe Tjahjono dengan Menembus Kabut Puisi. Dalam kondisi sesungguhnya, kata kerja menapak puncak serta menembus kabut adalah usaha yang harus dilakukan dengan sungguh. Bila dalam banyak kegiatan apresiasi pada siswa sekolah menengah ditanam pemahaman bahwa menulis puisi itu mudah, percayalah, akan cukup berliku arah menuju jalan puisi yang sebenarnya.
Bahwa seorang penyair adalah ia yang menjawab pengaruh dari pendahulunya bisa jadi benar belaka. Mengutip apa yang dikatakan oleh A Muttaqin bahwa penyair tak lebih dari ia yang diciptakan (sekaligus menciptakan) pendahulunya. Karenanya, kita dapat menyusuri jejak Amir Hamzah pada beberapa puisi Chairil Anwar sekaligus menemukan pengaruh Chairil pada beberapa penyair sesudahnya, semacam Sapardi Djoko Damono atau Goenawan Mohamad.
Dari sini, mereka yang ingin menempuh jalan kepenyairan dapat memetik pelajaran : membaca. Ya, bagaimana mungkin mereka menantang pendahulu mereka bila tidak membaca karya-karya yang sudah ada? Bukankah, perangkat teknologi terkini telah mendekatkan puisi pada pembacanya? Bukankah, jejaring sosial semacam facebook juga menjadi sebuah antologi puisi raksasa di mana seseorang bebas keluar masuk membaca puisi sekaligus menuliskannya?
Tiba-tiba saya teringat pertanyaan Tengsoe Tjahjono kala saya masih kuliah dulu, sudah berapa buku puisikah yang kalian baca? Lantas, sudah berapa buku puisi yang sudah dibaca oleh para penulis dalam kumpulan ini?
Bilakah memang telah membaca, seorang penulis pemula pastilah mematut-matutkan karyanya dengan penyair yang digandrunginya. Ia akan membuat puisinya semirip benar dengan penyair idolanya. Hal ini sah-sah saja dan bisa menjadi pemantik bagi atmosfer kepenulisan selanjutnya. Tetapi sebagaimana jalan berliku menuju puisi, perjuangan tidak berhenti sampai di sini.
Seringkali puisi para calon penyair ini tertahan di kamar. Ia hanya menjadi seonggok kertas yang hanya dinikmati oleh sang penyair. Aih, bukankah pembaca puisimu yang sebenar adalah mereka yang berada di luar? Mungkin, ketidakpercayaan menimpa para penyair ini. Pun alasan seperti takut karyanya dicerca, dikatakan jelek, atau yang lainnya bisa saja bergelayut di kepala para calon penyair ini. Ah, sebuah puisi justru menemukan sudut pandang beragam kala ia diadu dengan berbagai kepala. Bila tak percaya, segeralah pajang puisimu pada facebook dan bagikan pada sebanyak mungkin pembaca. Baca beberapa komentar pedas, kritikan, bahkan cacian. Yang keras itulah yang justru akan membimbingmu pada jalan puisi!
Bila membaca kumpulan ini kembali, jelaslah ia sebagai semacam tugas akhir. Nyata-nyata, puisi bukanlah tugas akhir. Ia juga sesuatu yang tak tuntas dibahas hanya dalam pertemuan dua jam di kelas. Banyak penyair rela berdebat selama berjam-jam di sebuah warung kopi sederhana di pinggir jalan hanya demi puisi. Ya, mengasah ketajaman puisi harus dilakukan terus menerus. Karenanya, bertungkus lumus dalam komunitas harus dilakukan oleh mereka yang memang ingin menemukan jalan kepenyairan.
Di dalam komunitaslah, tempat sekian banyak kepala beradu. Menghasilkan puisi sekaligus menghakiminya. Beberapa nama seperti Alek Subairi, Didik Wahyudi, A Muttaqin, Umar Fauzi Ballah, ataupun Ashif Hasanudin juga dilahirkan dari rahim komunitas bernama Rabo Sore. Di komunitas inilah, nama-nama ini diasah, digodog, serta dimatangkan untuk bertarung pada ranah kepenyairan nasional.
Satu pertanyaan menarik adalah akan ke mana antologi ini? Apakah ia hanya menjadi sebuah tugas akhir belaka. Akhirnya, ia hanya menjadi semacam tumpukan dokumentasi belaka yang mungkin akan berdebu sekian tahun ke depan. Sebuah pengingat bahwa para penulis di dalamnya pernah mengalami situasi menuju puisi.
Ataukah, ia justru menjadi pintu gerbang masuk bagi penyair baru yang akan mewarnai gelanggang silat dunia perpuisian di Indonesia (bahkan dunia)? Mungkin para penulis di dalamnya akan mengalami kritik pedas hingga caci maki pada karya-karyanya. Kritik yang akan terus mengasah dan menguatkan hingga mereka menemukan jalan puisi. Dan jalan puisi itu adalah sebuah pencarian. Ia akan terus dicari, bahkan oleh para penyair yang telah menjadi sekalipun.
Aih, ternyata saya sudah meracau cukup panjang…. 
Sidoarjo, 2013

*) Tulisan untuk acara apresiasi puisi Kelas PNA dan PNB Jur. Bahasa dan Sastra Indonesia, Unesa, pada tanggal 19 Desember 2013
**) Mantan mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya.

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post