Pastilah
saya tidak akan membahas puisi-puisi dalam antologi Kicauan Sajak. Yang pasti berat untuk menuntaskan pembacaan pada
seratus puisi lebih dalam waktu kurang dari 24 jam. Namun, di luar membincang puisi-puisi
dalam kumpulan ini, membincang proses ternyata juga tak kalah penting. Proses
jualah yang bakal menentukan apakah seorang penyair bakal terus menulis puisi,
menempuh jalan panjang ini ataukah mencukupkan diri dengan menghentikan
perjalanan di separuh jalan.
Kehadiran
antologi ini sebenarnya juga patut kita rayakan. Bagaimanapun, ia adalah produk
sebuah “proses” (atau tugas?). Dan saya mesti bahagia sekaligus prihatin.
Bahagia karena puisi masih tetap diapresiasi, dinikmati, bahkan harus berlarat-larat
karenanya meski ia sekadar sebagai tugas belaka. Namun, saya prihatin pula.
Dari sekian mahasiswa yang menulis puisi dalam kumpulan ini, berapakah yang
akan terus melangkah memantapkan diri dalam jalur kepenyairan yang sebenarnya?
Lebih berhubungan dengan kumpulan ini, berapa karya dalam buku ini yang dapat
disebut sebagai puisi, bukan gumam belaka.
Kiranya,
cukup bijak saat Umar Fauzi Ballah menyebut buku ini sebagai embrio. Mungkin
dalam bahasa saya, ia adalah upaya menuju puisi, belum menjadi puisi itu
sendiri. Jalan menuju puisi masihlah cukup panjang berliku. Maka, tidaklah
salah bila Hasan Aspahani menelurkan buku Menapak
ke Puncak Sajak. Atau Tengsoe Tjahjono dengan Menembus Kabut Puisi. Dalam kondisi sesungguhnya, kata kerja menapak puncak serta menembus kabut adalah usaha yang harus dilakukan dengan sungguh. Bila dalam
banyak kegiatan apresiasi pada siswa sekolah menengah ditanam pemahaman bahwa
menulis puisi itu mudah, percayalah, akan cukup berliku arah menuju jalan puisi
yang sebenarnya.
Bahwa
seorang penyair adalah ia yang menjawab pengaruh dari pendahulunya bisa jadi
benar belaka. Mengutip apa yang dikatakan oleh A Muttaqin bahwa penyair tak
lebih dari ia yang diciptakan (sekaligus menciptakan) pendahulunya. Karenanya,
kita dapat menyusuri jejak Amir Hamzah pada beberapa puisi Chairil Anwar
sekaligus menemukan pengaruh Chairil pada beberapa penyair sesudahnya, semacam
Sapardi Djoko Damono atau Goenawan Mohamad.
Dari
sini, mereka yang ingin menempuh jalan kepenyairan dapat memetik pelajaran : membaca. Ya, bagaimana mungkin mereka
menantang pendahulu mereka bila tidak membaca karya-karya yang sudah ada?
Bukankah, perangkat teknologi terkini telah mendekatkan puisi pada pembacanya?
Bukankah, jejaring sosial semacam facebook juga menjadi sebuah antologi puisi
raksasa di mana seseorang bebas keluar masuk membaca puisi sekaligus
menuliskannya?
Tiba-tiba saya teringat pertanyaan
Tengsoe Tjahjono kala saya masih kuliah dulu, sudah berapa buku puisikah yang
kalian baca? Lantas, sudah berapa buku puisi yang sudah dibaca oleh para
penulis dalam kumpulan ini?
Bilakah
memang telah membaca, seorang penulis pemula pastilah mematut-matutkan karyanya
dengan penyair yang digandrunginya. Ia akan membuat puisinya semirip benar
dengan penyair idolanya. Hal ini sah-sah saja dan bisa menjadi pemantik bagi
atmosfer kepenulisan selanjutnya. Tetapi sebagaimana jalan berliku menuju
puisi, perjuangan tidak berhenti sampai di sini.
Seringkali
puisi para calon penyair ini tertahan di kamar. Ia hanya menjadi seonggok kertas
yang hanya dinikmati oleh sang penyair. Aih,
bukankah pembaca puisimu yang sebenar adalah mereka yang berada di luar? Mungkin,
ketidakpercayaan menimpa para penyair ini. Pun alasan seperti takut karyanya
dicerca, dikatakan jelek, atau yang lainnya bisa saja bergelayut di kepala para
calon penyair ini. Ah, sebuah puisi
justru menemukan sudut pandang beragam kala ia diadu dengan berbagai kepala.
Bila tak percaya, segeralah pajang puisimu pada facebook dan bagikan pada
sebanyak mungkin pembaca. Baca beberapa komentar pedas, kritikan, bahkan
cacian. Yang keras itulah yang justru akan membimbingmu pada jalan puisi!
Bila
membaca kumpulan ini kembali, jelaslah ia sebagai semacam tugas akhir.
Nyata-nyata, puisi bukanlah tugas akhir. Ia juga sesuatu yang tak tuntas
dibahas hanya dalam pertemuan dua jam di kelas. Banyak penyair rela berdebat
selama berjam-jam di sebuah warung kopi sederhana di pinggir jalan hanya demi
puisi. Ya, mengasah ketajaman puisi harus dilakukan terus menerus. Karenanya,
bertungkus lumus dalam komunitas harus dilakukan oleh mereka yang memang ingin
menemukan jalan kepenyairan.
Di
dalam komunitaslah, tempat sekian banyak kepala beradu. Menghasilkan puisi
sekaligus menghakiminya. Beberapa nama seperti Alek Subairi, Didik Wahyudi, A
Muttaqin, Umar Fauzi Ballah, ataupun Ashif Hasanudin juga dilahirkan dari rahim
komunitas bernama Rabo Sore. Di komunitas inilah, nama-nama ini diasah,
digodog, serta dimatangkan untuk bertarung pada ranah kepenyairan nasional.
Satu
pertanyaan menarik adalah akan ke mana antologi ini? Apakah ia hanya menjadi
sebuah tugas akhir belaka. Akhirnya, ia hanya menjadi semacam tumpukan
dokumentasi belaka yang mungkin akan berdebu sekian tahun ke depan. Sebuah pengingat bahwa para penulis di
dalamnya pernah mengalami situasi menuju puisi.
Ataukah,
ia justru menjadi pintu gerbang masuk bagi penyair baru yang akan mewarnai
gelanggang silat dunia perpuisian di Indonesia (bahkan dunia)? Mungkin para
penulis di dalamnya akan mengalami kritik pedas hingga caci maki pada
karya-karyanya. Kritik yang akan terus
mengasah dan menguatkan hingga mereka menemukan jalan puisi. Dan jalan
puisi itu adalah sebuah pencarian. Ia akan terus dicari, bahkan oleh para
penyair yang telah menjadi sekalipun.
Aih, ternyata saya sudah meracau cukup
panjang….
Sidoarjo,
2013
*) Tulisan untuk acara apresiasi puisi Kelas PNA dan PNB Jur. Bahasa dan Sastra Indonesia, Unesa, pada tanggal 19 Desember 2013
**)
Mantan mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya.
0 comments:
Post a Comment