Blogroll

Thursday, March 29, 2012

ULANG TAHUN DELTA SASTRA

Photobucket


Mozaik Delta Sastra

Konon, keberadaan sebuah komunitas sastra adalah motivasi tambahan bagi sebuah individu untuk terus berkarya dan mengembangkan dirinya. Mengutip apa yang dikatakan oleh Umar Fauzi Ballah bahwa komunitas menjadi persenyawaan kreatif individu. Pun, sebuah komunitas sastra berfungsi menyatukan dan mempertemukan individu yang memiliki persamaan visi dan misi. Konon, sejarah sastra Indonesia telah mencatat sejumlah nama. Sebutlah nama-nama semacam (apabila secara tersita dapat  disebut sebagai komunitas) Pujangga Baru dengan tiga serangkainya : Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, serta Armijn Pane, angkatan 45 yang digelorai dan digairahi oleh Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin, sampai nama-nama komunitas yang saat ini masih eksis berdiri dan tegak pada belantara sastra Indonesia.

Sebutlah nama-nama semacam Komunitas Salihara, Komunitas Berkat Yakin (Lampung), Komunitas Daun, Komunitas Intro (Padang), Komunitas ASAS (Bandung), Tikar Pandan (Banda Aceh), Rumah Dunia (Serang), dll. Di Jawa Timur pun, kita tak dapat menepikan begitu saja komunitas yang telah menjadi dan memiliki keteguhan sendiri dalam melalui derasnya arus sastra. Kita tentu sudah mendengar nama-nama semacam Bengkel Muda Surabaya (BMS), Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP), Komunitas Rabo Sore (KRS), Komunitas Lembah Pring, Komunitas Arek Japan Mojokerto, Komunitas Sanggar Lentera Sumenep dan masih banyak lagi. Semua komunitas di atas dipersatukan oleh unsur “primordialisme”, entah satu kesatuan kampus, daerah, ideologi, dan lain-lain.

Kini, memasuki abad XXI, komunitas bukanlah sebuah kumpulan yang harus bertemu dan berdiskusi dalam sebuah tempat khusus. Komunitas tidak harus ada dalam satu waktu yang sama. Ya, batas-batas semacam itu telah dirusak oleh globalisasi, internet dalam hal ini. Melalui beberapa medium, semacam, forum-forum milis, blog, jejaring sosial, kita dapat berdiskusi tanpa harus bertemu muka. Ya, saya dapat berdiskusi dengan seorang teman yang saat ini berada di negeri nun jauh di sana. Pada satu sisi, hal ini tentu menggembirakan. Pertemuan kreatif akhirnya tidak harus dibatasi oleh ruang dan waktu. Namun, pada satu sisi, hubungan secara estetis bisa pula tidak sekuat ketika kita berkomunitas dan menjalin pertemuan secara langsung. Dibandingkan dengan bahasa tulis,  ada yang berbeda ketika sebuah pesan harus disampaikan dalam bahasa lisan. Tentu hal ini disebabkan karena kita lebih terbiasa menggunakan bahasa lisan tinimbang tulis. Ya, ternyata kelisanan belum sepenuhnya beralih pada keberaksaraan.

Kali ini, saya bertemu dengan kumpulan cerpen Komunitas Delta Sastra yang berbasis di kota Sidoarjo, sebuah kota yang sepi secara sastra dan mungkin hanya dapat saya temukan nama-nama semacam R Giryadi, F Aziz Manna, Tan Tjin Siong, (Alm.) Lan Fang, sampai generasi seperti Dody Kristianto yang telah menorehkan nama pada pentas kesusastraan nasional. Akan tetapi, bila kita melihat siapa saja nama-nama yang berada pada kumpul`n cerpen ini, kita akan menemukan bahwa mereka berasal dari berbagai tempat dan tidak dibatasai oleh waktu dan ruang. Sangat mungkin, nama-nama ini saling menjalin silaturahmi kreatif melalui dunia maya sehingga bersepakatlah mereka untuk  melahirkan sebuah kumpulan yang mungkin dimaksudkan sebagai pengejahwantahan atas diskusi kreatif yang mereka lakukan selama ini. Maka, kumpulan cerpen ini bisa kita sebut sebagai ajang “pertemuan langsung” kawan-kawan Delta Sastra di dunia nyata.

Sekali lagi, jika kita membaca para cerpenis di dalam kumpulan ini, kita akan mendapati bahwa nama-nama ini berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda. Nama-nama ini juga bukanlah nama besar yang sudah melanglang buana di dunia sastra kita. Nama-nama ini bisa jadi adalah nama-nama baru yang beritikad untuk menggairahkan dunia sastra. Hal ini sekaligus semakin memperkuat asumsi bahwa internet telah membuat gaung sastra melebar. Tentu saja kegairahan bersastra via internet ini juga dibarengi dengan beberapa efek negatif.
***
Kali ini saya berhadapan dengan sebuah kumpulan cerpen Komunitas Delta Sastra yang berjudul Hujan Melukis Lautan. Judul ini adalah analogi yang pas sebagai awal mula penciptaan. Bukankah kita masih ingat bahwa berjuta tahun yang lalu, lautan memang tercipta dari hujan deras yang turun kali pertama di bumi. Hujan deras inilah yang lantas menjadi lautan bagi bumi dan lautanlah yang dicurigai mencipta cikal bakal bibit kehidupan di bumi. Tentu saja hal di atas menurut para penganut teori evolusi.

Seperti sudah saya singgung di atas, para cerpenis ini berasal dari pelbagai latar belakang daerah, pendidikan, dan profesi. Dan yang patut kita apresiasi adalah mereka memiliki keberanian untuk berkarya lantas memublikasikasikan dalam satu kumpulan yang ada di depan kita ini. Semangat ini patut kita acungi jempol dan kita berharap tentunya para cerpenis ini tidak berhenti sampai pada Hujan Melukis Lautan.

Seperti halnya para penulis yang umum kita temui pada dunia jejaring sosial, khususnya, facebook, para penulis ini (mungkin) sudah cukup banyak menerima apresiasi dalam forum jejaring sosial tersebut. Entah itu berupa pujian, tepuk tangan, masukan, saran, kritikan, bahkan sampai cacian sekalipun. Ya, mengutip apa yang pernah dibahas oleh Fahrudin Nasrullah dalam Temu Sastra Jatim 2010, bahwa facebook adalah dunia simulacra, di mana segala bisa masuk dan bersengkarut di sana.

Tentunya tulisan ini terlalu sempit bila harus mengapresiasi secara luas karya para cerpenis dalam kumpulan Hujan Melukis Lautan. Anggaplah tulisan ini sekadar sebagai pengantar diskusi saja. Para cerpenis dalam kumpulan ini, telah berhasil memindahkan realitas sehari-hari ke dalam sebuah bentuk fiksi. Ya, kata Suripan Sadi Hutomo, sastra memang tak terlepas dari kenyataan dan rata-rata isi cerita para cerpenis ini berdasarkan dari kenyataan, entah pengalaman pribadi, hasil pembacaan di berita, eksplorasi terhadap masa lalu, dan sebagainya. Bahkan, saya memosisikan para cerpenis ini sukses memberikan gambaran mengenai kehidupan pada kita.

Hanya saja, penikmat sastra tetap harus kritis terhadap sebuah karya. Artinya, sebuah karya sesempurna apapun, tetap membuka satu celah untuk dimasuki. Kritik tetap perlu diberikan untuk mengawal para sastrawan agar karya-karya mereka tetap terjaga kualitasnya. Kali awal membaca, saya menangkap judul para cerpenis ini cenderung ingin berindah-indah dengan bahasa yang cenderung klise. Tengoklah judul-judul semacam “Takdir Berduri”, “Ombak Keraguan” (Kwek Li Na), “Pelangi Jelaga” (Filiya Putri), “Lembaran Kasih yang Terberai” (Iis Istrini), “Semoga Cinta Bersemi Selamanya”, “Persembahan Kasih di Langit Cinta” (Pena Armansyah), “Menepis Badai di Batas Cakrawala” (Sukmawati Ryo).

Apakah judul-judul di atas tidak boleh dituliskan dalam karya sastra? Tentu saja boleh dan setiap orang berhak untuk menuliskan judul pada karya yang ia hasilkan. Akan tetapi, ternyata menulis judul sebuah karya tak semudah apa yang kita bayangkan. Saya tak tahu apa yang dipikirkan oleh Budi Darma sehingga menghasilkan judul-judul semacam “Olenka”, “Rafilus”, “Derabat”, sampai “Pohon Jejawi”. Dalam sebuah ulasan di Jurnal Sajak edisi II, Agus R Sarjono menyebutkan bahwa bahasa klise adalah salah satu musuh bagi puisi (adakah ia juga musuh bagi sastra secara keseluruhan?)  

Selain itu, ada kecenderungan bahwa para penulis cerpen ini terjebak dalam melodrama berkepanjangan seperti karya Sukmawati Ryo misalnya. “Menepis Badai di Batas Cakrawala” menyuguhkan cerita mengenai perjalanan dua anak manusia yang bertemu sekian tahun lalu, lalu terpisah, dan akhirnya berjumpa kembali. Selain sangat “detail”, cerita ini juga muda ditebak pada akhirnya. Hal ini tentu saja membuat kenikmatan untuk memburu akhir cerita berkurang.

Sebuah cerpen Kwek Li Na, “Latar Berduri” juga meninggalkan sejumlah pertanyaan bagi saya pribadi. Di manakah latar terjadinya cerpen ini? Apakah ia berada di Taiwan? Atau bahkan di Indonesia? (adanya tokoh Pak Karin dan Bu Is membuat kecurigaan saya mengarah pada Indonesia sebagai latar). Tentu saja hal ini semakin mengagetkan tatkala Natesya berhasil menemui pamannya di Taiwan. Aneh, seorang tokoh yang (mungkin) terdampar di Indonesia bisa kembali ke Taiwan.

Cerpen-cerpen Hawa El Pandani mungkin lebih sederhana dalam bertutur. Rata-rata cerpennya bercerita mengenai kehidupan wanita malam. Hawa El Pandani relatif sangat bersahaja dalam menyampaikan pesan moral pada pembacanya. Dalam bahasa Nirwan Dewanto, sekali lagi, sastra adalah pertemuan antara sisi moral dan bentuk. Sebuah karya sastra akan terjebak pada kutbah-kutbah bila hanya menitikberatkan pada pesan moral belaka. Bentuk, mestilah mendapat poris berimbang. Saya teringat pada sebuah cerpen DN Kurnia yang berjudul “Perempuan Tengah Malam”. Gaya bertutur DN Kurnia dalam cerpen itu menggunakan sudut pandang orang kedua : Ia sebagai penutur. Kehidupan seorang pelacur pun akhirnya terceritakan melalui sudut pandang orang lain. Itu merupakan sebuah strategi untuk membuat bentuk baru terhadap suatu tema.

Saya tertarik dengan sebuah cerpen Teguh Budi Utomo “Bunga Genjer di Sorban Kyai”. Cerpen berlatar sejarah ini turut mengingatkan saya pada sebuah cerpen Indra Tranggono, “Jas, Tongkat dan Kesunyian”. Cerpen yang berlatar belakang pembantaian massal pada tahun 1965 menjadi sebuah sudut pandang lain dalam penceritaan sejarah kita. Bagi saya, menulis cerita dengan latar belakang sejarah selalu memberikan tantangan tersendiri. Latar sejarah menuntut kita untuk peka pada konteks dan persoalan yang terjadi pada masa itu.

Pada akhirnya, saya mengucapkan selamat pada Komunitas Delta Sastra. Kelahiran kumpulan ini semoga menjadi awal yang baik bagi perjalanan komunitas ini. Tentu saja komunitas ini haruslah peka terhadap kritik, sebab kritik yang sebenarnya menjadi pelecut bagi karya-karya yang akan lahir pada masa mendatang.   Wallahualam bissawab.

Pengantar diskusi disampaikan oleh Arfan Fathoni di acara ulang tahun Komunitas Delta Sastra Tgl 26 Februari 2012



Photobucket


Photobucket


Photobucket


Photobucket

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post