Blogroll

Friday, March 16, 2012

PUISI UMAR FAUZI, JAWA POS 7 AGUSTUS 2011

Photobucket

Berbuka
selamat berbuka puasa
terimalah menu hari ini
apa adanya, seperti kau
menerima cintaku apa adanya
cinta yang selalu kau lukiskan
seperti senja yang kau telan
bersama kumandang ingatan


Sahur
Menikmati makan sahur
adalah menikmati
duduk diantara dua tidur
satu sisinya
mimpi tak bisa lagi diulur
di sisi yang lain
kita masih memperpanjang umur.
Tuhan,
demikiankah aku harus
diatur?


Puasa
hari-hari memar mencuci luka
setan-setan terbakar mencari mangsa
nafsu gemetar anaknya jadi pelupa
seakan mati rasa
teruskan saja, sebab nanti malam
akan kembali seperti sedia kala


GULALI
Membaca Annisa
demi kesemampaian, burung-burung harus tertabrak angin dan terik tai matahari
demi senyuman, ketika mataku mesti gugur duluan


demi keanggunan, ketika pagi beranjak siang,
sungguh aku tak tahu bagaimana membendung kekuarngajaran
demi kecantikan yang tersiar dalam setiap perjumpaan,
tatap muka ini sungguh tak kuragukan


betapa sempurna matanya yang bulat, alisnya lebat
rekah bibirnya mencuat, ranum pipinya membebat
jantung hatiku ke arah paling keramat. Aku ingin moksa
secepat kilat menjadi bagian ternikmat kecupan terakhirnya.


Kesempatan Sunyi
Akulah kejahatan
yang dilukis pekat malam
rimbun bayang dan gentayang


mimpimu indah dibawah guyuran hujan
ornamen hatiku bubaran tanpa hunian


sabtu malam
kubuatkan pelangi
kupetik dari kesempatan sunyi


agar kau rindu pada bumi yang tak sempat berbagi
dihadapan tuhan kau rupanya masih asyik mencuri
aku di depan dan tuhan mengikutiku dari belakang


Tabu
Wit, otakku terlalu lelet menerjemahkan
kata dekil
yang
kau simpan lama,
seperti anggur Swiss bergumul rasa, ditabung masa.
Maaf, aku belum mengerti tentang darah biru
yang mencampuri usiamu dan derai batasan
yang
menghalangi harapan.


Tahukah kamu, tentang getuk pisang
yang kau hidangkan
di bawah bulan adalah nikmat dari puisi
yang
pernah kulahirkan.
Meski ada juga omelet isi kornet untuk jamuan
malam, tapi aku tidak di sana
waktu itu,
sebab tubuhku lilit disulam amis
sebelum kuputuskan tinggalkan merah mara
dan merangkul tiang tabu di ufuk bara


Wit, lebih dari itu
garam bening di matamu
lebih sempurna dari sesuatu
yang
pernah kita terka.
Sisa nujum masih
membekas dalam ingatan,
mungkin akan segera melemparkan kita
ke ranah terduga atau barangkali terlupa


Dalam Kamar
Berdiam di kamar ini, lamunanku sepanjang
Dosa turunan yang tak terelaki.


Sementara menunggu waktu merenung,
Remang berkali-kali menggetarkan sendi,
Seperti pelukan yang hangat.


Akhirnya selalu gagal doa yang aku panjati.


Kalau sudah begitu, pintu harus terbuka.
Dan mimpi memilih sendiri tempatnya
Sembunyi, di antara seprei dan tumpukan
Buku yang berkali aku jamahi tak jua terpahami.


Lalu kembali keriuhan menjadi
Teman selingkuh paling menggembirakan;
Bermuka-muka, bersapa-sapa dengan
Segala basa dan basinya yang termaklumi.


Tapi saat itu juga,
Aku teringat yang sunyi
pun pandai-lihai memaklumi.


Dan soal maklum-memaklumi ini,
Telah mengaburkan sekian wajah.


Lalu tak terbedakan lagi,
Pengampunan dan pembiaran, kebiasaan dan keinginan…


Tempat birahi terselip abadi


Di Kamar Bersalin
Aku tidak tahu, sejak kapan mereka
menyalin tubuhku dari rahim ibu.
Menyalinnya dengan pakaian selembut sutera
juga putih warnanya seperti pakaian mereka.
Dan seperti sutera yang hendak diambil seratnya,
aku pun tak mampu menggeliat sempurna.
Sehingga putih dalam jasadku selalu tanggung.


Sejak kapan buaian peri itu beralih
dalam pelukan ibu, aku tidak tahu.
Seperti juga tidak aku ketahui, kekenyalan dadanya
mampu menyempurnakan yang putih-mutih tubuhku.


Dalam berapa lama lagi, semua yang dihadapanku
adalah putih; seputih salju, seputih susu, seputih mata,
seputih tulang, seputih mani, seputih yang keputihan,
seputih kafan…


Dan kelak yang putih itu,
aku lukiskan bergambar-gambar kenangan.
Betapa mereka tidak mengetahui
kenanganku yang lebih panjang dari lorong
tali pusar yang mereka potong.


Kecuali dalam kamar bersalin,
semua itu adalah menyakitkan.
Seperti gambar-gambar itu,
yang tertempel pasrah pada dinding kusam.




*) Umar Fauzi Ballah, lahir 2 Juli 1986. Alumnus Sastra Indonesia Unesa, aktif di KRS (Komunitas Rabo Sore) dan Forum Sarbi. Sekarang menetap di Sampang Madura

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post