Blogroll

Wednesday, March 7, 2012

PUISI DODY KRISTIANTO, MAJALAH HORISON MARET 2012


Photobucket

-- Puisi-Puisi yang termuat --

Padri
kamilah yang gemar membaca doa-doa di larut petang sebab kami percaya, sebagian dari kami tersimpan dan menyimpan diri di lubuk kata. sewaktu-waktu, malam akan memanggil kami, mungkin sebagian dari kami, untuk menjadi lentera di celah sunyi ini, di hati dalam yang tak pernah kami raih


kami senantiasa menghapal kata-katanya, meraba makna satudua kalimat yang biasa kami baca. sebab kami tahu kata, kalimat itu perlahan menjauhkan kami dari sepi, dari hantu yang terlampau sering jadi bayang-bayang kami, dari ingatan yang bersembunyi di kiri kanan kami. sebab menjelang pagi, kata-kata yang kami anggap sebagai doa itu kami dengar pelan-pelan menghilang. kata-kata itu berubah rahasia paling diam


2011

Penunggu Lilin
Yang berdiam di depan kami. Terima kasih. Sudah kau temani saat-saat terakhir kami. Saat-saat ketika kuncup sudah kedip mataapi kami dan telah tampak segala terang di depan kami. Terang yang membuka pintu surga di hadapan kami.

Kau iringi hidup sementara kami dengan syair-syair suci. Syair yang kau panjatkan pada leluhurmu. Pada arwah-arwah yang sesungguhnya tak pernah berkunjung padamu. Tapi kau selalu menunggu mereka sewaktu-waktu. Mungkin sewaktu-waktu mereka kembali ke bumi tapi bukan karena rindu namamu.

Terima kasih.

Kini terimalah cinta terakhir kami : wujud luluh kami yang tak lagi tinggi hati

2011


-- Puisi yang lain --

Pengujar Bebal
Kami hanya sekumpulan orang bebal. Kamilah orang miring yang lupa pada perihal belajar. Kami lupa bagaimana cara sekawanan burung di atas kami terbang. Kami sungguh alpa aroma sendawa mabuk kami yang melayang di atas kepala, menjelma awan, lalu jadi hujan yang jatuh pada kulit kasar kami.

Kami telah lama ingin mencoba membaca kitab ingatan, hikayat muasal, sampai riwayat para pejalan di depan kami. Kitab, hikayat, dan riwayat yang aksara dan tanda bacanya tak mau parkir sejenak di lubuk kenangan kami. Kitab, hikayat, atau riwayat yang mengira tubuh kami bukan rumah yang ramah bagi sekerumunan aksara.

Sungguh, sudah lupa kami pada mengeja, kosakata yang sukar benar kami hapal. Serupa kami berjumpa serdadu yang muskil kami taklukkan. Serdadu yang selalu sembunyi setiap tatap kami menilas pandang. Serdadu yang tak dapat kami rapal : dengan hurup apa musti kami eja namanya. Sungguh, kami hanya sekumpulan orang-orang bebal.

Kami musti melepaskan mata-mata kami. Kami musti mencopoti otak-otak kami

2011

Pengisah Ibu
Di sebalik pintu, ibu sungguh-sungguh menyimpan
sebuah dunia utuh untukku. Di sana tak akan ada haru
apalagi pilu yang selalu rindu bertamu di sekian tidurku

“hanya ada rindu anakku, rindu, sebab rindu ibu
satu dan selalu untukmu”

Tapi aku tak dapat melangkah ke balik pintu itu ibu,  
kudapati hanya jejak ibu bersijingkat terburu
seolah ada hantu gemar memburu ibu
di malam paling cemburu

“mungkinkah itu hantu ayah, ibu, yang ada dalam ingatan,
hantu yang menunggu sebagai kenangan dan gumam
dendam paling panjang, yang menunggu lengang lapang?”

Pada lain waktu, ibu dapati hantu itu berdiam
di pelupuk mataku. Ia lekas menutup pintu, bergegas
ke dunia jauh sembari meninggalkan sepasang tetes
airmata padaku, pada mata yang sembab biru

“sebab di dunia itu, ibu menyimpan hantu lain
untukmu”

2011


Kembali ke Tubuhmu

aku ingin kembali
ke tubuhmu

bebas dari kata dusta
atau sekumpulan mantra
paling purba

sebab kau tahu,
tubuhmu tempatku bermula

segala pintu ada di sana :

setapak jalan menantiku kembali
sebagai anak hilang di perjalanan

di tubuhmu pula
aku bangun sajakku:

sebagai rumah paling rindang,
sebagai rumah semua kenangan

akan berpulang

2011


Peniup Lilin
Semua akan pulang
kembali pada muasal


seperti kami
menuntaskan riwayatnya
mengembalikan ia
pada gelap terpurba


memadamkan ketip sipitnya
menyudahi jalan lamban
temali putih jantungnya


2011



Kepada Sapi-sapi Kami
Tahulah kami yang berada di bumi ini, bila sebilah pisau yang telah menamatkan riwayatnya, membawa ia pada makan malam kami, hanya sekadar mengantar ia menuju nirwana. Menuju tempat semestinya ia berada. Tempat ia bertemu segala dewa, keluarga, juga kawan-kawan lama yang telah lama memanggil namanya.

Maka berdoalah kami agar senantiasa daging-dagingnya tulus bersarang dalam tubuh kami, menemani tualang panjang kami, darahnya yang seupama kali selalu mengalir kintir di desir jantung kami. Agar kami yang masih terkunci di bumi ini  dapat menyusulnya. Menyusul ia yang kini berdiam menunggu kami di gerbang nirwana. Menyusul ia yang diam-diam mengucap nama kami pada sebilah pedang.

Sebilah yang kelak mengelus pelan leher kami, membelai lembut dada kami, menyusur lekuk suam kulit kami.

2011 


Tembang Rentan
karena puisi, kami dijaga dari goda berpuluh-puluh bara yang merekah marah sepanjang malam. kami tetapkan hati kami agar tenang meski salak anjing di kejauhan kian menantang. kami mujur tak gemetar pada lengang walau tatap kami disinggahi gelap mencekam. kami tak gentar, sebab dalam sunyi puisi ini, kami bertahan. dengan puisi ini kami menyusun kembali sejuta doa kami, segugus kata yang menembus kelam. kami ingin menyapa segala kesenyapan di depan kami. kami ingin menyampaikan mahakata kami, meski sulur-sulur hitam di sekeliling kami terus menunggu tubuh tua kami direbahkan

2011

Rupa Papa
kami lebih senang memelihara kutu dalam ngiang kami. atap kami sesekali menyimpan dan menjamu segenap titik hujan lalu memasukkan satudua butirnya ke dalam jantung kamar kami yang penuh debu. kami tahu jika anjing-anjing buduk itu selalu rindu mendengus, mengendus di sela pepori tempat tidur kami yang mahalusuh. kami mengerti pintu kurapan di samping kami kerap mengundang dan mengandung  air bah, aih, setumpukan pulau sampah, atau aroma para sisa yang tak pernah alpa singgah dalam hidung tajam kami, menghiasi kamar-kamar kecil kami. kami masih senang. kami riang memandang biang kekacauan yang perlahan merasuk dalam kepala kami

2011

Perih Pipih
sejujurnya kami tak resah benar dengan ruang sempit ini tapi kami benar risih dan tersisih bila si pengukur datang sebelum pagi sebab lebar badan kami ini perlahan dilenyapkannya dan tak punya bentuk tetap lagi  kami mengintip bila langit di atas terus menghimpit tubuh kami bintang-bintang berputar kian senang memasuki kepala kami angin di luar gemar menbentuk badai dalam perut kami

2011

Dody Kristianto, lahir di Surabaya, 3 April 1986. Lulusan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya. Giat di Komunitas Rabo Sore (KRS) dan Redaktur Puisi SARBI. Buku kumpulan puisi terbarunya "LAGU KELAM REMBULAN"


1 comments:

diucapkan selamat untuk Bung Doddy. Saya punya majalah Horison versi cetaknya :)

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post