Solitude
dalam tangan sunyi
jam dinding masih bermimpi
di luar siang menguap jadi malam
tiba-tiba musim mengkristal rindu dendam
dalam detik-detik, dalam genggaman usia
mengombak suaramu jauh menggema
menggigilkan jemari, hati pada kenangan
bayang-bayang mengusut jejakmu, mendera kekinian
seberkas cahaya dari menara waktu
menembus tapisan untung nalang nasibmu
di luar tiba-tiba angin, lalu gerimis berderai
dalam gaung kumandang bait demi bait puisi
Percakapan Selat
Pantai berkabut di sini, makin berkisah dalam tatapan
sepi yang lalu dingin gumam berhantam di buritan
Juluran lidah nampak di bawah kerjap mata menggoda
dalam lagu siul, di mana-mana menghadang cakrawala
Laut bersuara di sini, makin berbentur dalam kenangan
rusuh yang ganjil sampai gelisah terhempas di haluan
Pusaran angin di atas geladak bersambung menderu
dalam terpencil, hingga di mana nafas dendam rindu
Menggaris batas jaga dan mimpikah cakrawala itu
mengarungi perjalanan rahasia penumpang itu
Langit terus memainkan cuaca, sampai tanjung, rusuk senja
bintang di mata si anak hilang, taruhannya terus mengembara
Sabana
memburu fajar
yang mengusir bayang-bayangku
menghadang senja
yang memanggil petualang
sabana sunyi
di sini hidupku
sebuah gitar tua
seorang lelaki berkuda
sabana tandus
mainkan laguku
harum nafas bunda
seorang gembala berpacu
lapar dan dahaga
kemarau yang kurindu
dibakar matahari
hela jiwaku risau
karena kumau lebih cinta
hunjam aku ke bibir cakrawala
Sajak Kecil (1)
dengan mencintai
puisi-puisi ini
sukma dari sukmaku
terbukalah medan laga
sekaligus kubu
hidup takkan pernah aman
kapan dan di mana pun
selamanya terancam bahaya
dan kebenaran sunyi itu
penawar duka bersahaja
selalu risau mengembara
mustahil seperti misteri
bayang-bayang rahasia
bayang-bayang bersilangan
bayang lintas bayang
pelintasanku
Sajak Kecil (2)
dengan mempercayai
kata kata kata
yang kutulis ini
jiwa dari jiwaku
jadilah raja diraja
sekaligus budak belian
sebuah kerajaan
purbani
lebih dari nafasku
bernama senantiasa
nasibmu
Tentang Penyair
Umbu Landu Paranggi dilahirkan di Sumba,
Nusa Tenggara Timur, 10 Agustus 1943. Menamatkan SD dan SMP-nya di Sumba,
kemudian melanjutkan ke SMA Bopkri 1 di Yogyakarta. Setelah tamat, ia berkuliah
di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, namun tidak ia tamatkan dan di
Universitas Janabadra jurusan Sosiologi. Sejak tahun 1950-an, Umbu sudah
menulis puisi dan esai. Ketika bersekolah di SMA Bopkri itulah kebiasaannya
menulis puisi tumbuh subur. Di sekolah SMA itu pula Umbu menemukan seorang guru
yang baginya ikut mempengaruhi jalan hidupnya kemudian, Setiap kali ada
pelajaran guru itu, Umbu suka diam-diam menulis puisi. Sejak itulah Umbu rajin
menulis puisi dan kemudian di muat di beberapa koran.
Tahun 1968, di Yogyakarta, bersama penyair Suwarna Pragolapati,
Iman Budi Santosa, dan Teguh Ranusastra Asmara mendirikan dan mengasuh Persada
Studi Klub (PSK).
Komunitas sastra ini kemudian melahirkan nama-nama besar, seperti Emha Ainun
Nadjib, Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AG, Yudistira Adi Nugraha, dll.
Pernah menjadi redaktur kebudayaan Pelopor Yogya (1966-1975).
Umbu yang dijuluki sebagai Presiden Malioboro dan penyair yang
mempunyai bakat mendidik ini menetap di Bali sejak tahun 1979 dan kemudian
menjadi redaktur harian Bali Post, Denpasar,
Bali. Ia selalu mempunyai cara-cara unik untuk menggairahkan dunia perpuisian
dan membangkitkan gairah apresiasi sastra, seperti ; membuat jadwal pertemuan
rutin, kunjungan ke semua kabupaten untuk mengadakan apresiasi puisi, atau
dengan sentuhan-sentuhan pribadi yang membuat anak-anak muda merasa berada
dalam sebuah ikatan keluarga besar.
Di Bali, pada era 1980-an dan 1990-an Umbu mengklasifikasikan
puisi-puisi yang dimuat di ruang sastranya ke dalam 4 kelas, yakni: kelas ‘Pawa’ bagi pemula yang baru belajar menulis
puisi, kelas ‘Kompetisi”
bagi penyair yang cukup gigih mengirim puisi ke gawangnya dan siap diadu dengan
penyair lain yang sekelas, kelas ‘Kompro’
atau ‘Kompetisi Promosi’
bagi penyair yang telah lolos dalam sejumlah babak kompetisi dan siap diadu di
luar kandang, kelas ‘Posbud’
atau ‘Pos Budaya’ diperuntukkan bagi penyair yang telah
dianggap handal menggoreng dan menendang bola kata-kata ke gawangnya hingga
gol.
Umbu menggunakan berbagai cara untuk menggugah kepercayaan diri
penyair Bali, salah satunya adalah dengan mencantumkan besar-besar slogan ‘Posbud = Horison’ di
ruang sastranya. Artinya puisi-puisi yang berhasil masuk kelas Posbud
kualitasnya dianggap sama dengan puisi-puisi yang dimuat Majalah Sastra
Horison. Tapi efeknya pada era itu karya penyair Bali jarang yang muncul di
media nasional karena mereka sudah merasa puas setelah menembus Posbud di ruang
Umbu. Belakangan muncul kelas ‘Solo
Run’ bagi penyair yang karyanya ditampilkan tunggal dalam satu
halaman penuh koran. Dan tentu saja ini kelas sangat sulit di tembus.
Sistem yang dibuat Umbu itulah yang bikin para penyair muda Bali ‘mabuk kepayang’ dan
tergila-gila menulis puisi. Apalagi pada setiap kesempatan pemuatan puisi-puisi
kelas Pawai dan Kompetisi, ia rajin mengontak dan menggoda para penyair muda
lewat kata-kata yang membakar semangat untuk berkarya lebih bagus. Seringkali
dibarengi dengan pemuatan foto para penyair yang dikontaknya lewat kolom kecil
bertajuk ‘Stop Press’.
Anak muda yang awalnya tidak suka puisi pun jadi ikut-ikutan menulis puisi,
mungkin karena ada keinginan fotonya dimuat Umbu. Bahkan kelas Pawai dan
Kompetisi pun terbagi menjadi sejumlah angkatan yang beranggotakan 5-10 penyair
muda. Di era 2000-an, Umbu mengubah konsep rubriknya menjadi ‘Posis’ atau ‘Pos Siswa’ sebagai ruang
untuk menampung tulisan-tulisan dari para siswa, ‘Posmas’ atau ‘Pos Mahasiswa’ bagi tulisan-tulisan dari
mahasiswa, dan ‘Pos Solo
Run’ bagi penulis yang tampil tunggal. Ia juga menyediakan ruang
bagi para guru yang suka menulis esai-esai pendek. Terkadang sejumlah puisi dan
prosa berbahasa Bali pun dimuat di rubriknya sebagai bentuk perhatiannya pada
sastra daerah.
Dalam sebuah rumah kecil yang diberi nama ‘Intens-Beh’ yang
merupakan akronim dari ‘Institut
Tendangan Sudut Bedahulu’ di Jalan Bedahulu, di sudut utara Kota
Denpasar, yang di gunakannya sebagai markas, Umbu sering berdiskusi dengan
Seniman-seniman muda dari mulai ngobrol kebudayaan sampai baca-baca puisi.
Sajak-sajaknya di muat dalam Mimbar Indonesia, Gadjah Mada,
Basis, Gema Mahasiswa, Mahasiswa Indonesia, Pelopor Jogja, Angkatan Bersenjata,
dan Horison. Selain itu karyanya juga terdapat
dalam buku kumpulan puisi bersama, seperti “Tonggak” yang dieditori Linus Suryadi
AG, “Bonsai’s Morning”, “Teh Ginseng”. Dalam rangka
memasyarakatkan puisi-puisi Umbu, penyair Tan Lioe Ie yang juga seorang mantan
penyanyi pub mengaransemen sejumlah puisi Umbu menjadi karya musikalisasi puisi
dan telah terkumpul dalam sebuah album sederhana berjudul kuda
putih.
@ Redaktur SARBI:
Dodi Kristianto
0 comments:
Post a Comment