Blogroll

Monday, July 22, 2013

Puisi-Puisi Dokter Zhivago

 photo Dr_Zhivago_zpsbbf63da9.jpg


Pleidoi
Pengertian bahasa asing dalam bahasa Indonesia adalah pengertian yang denotatif. Kalau kita maksudkan bahasa asing, tentu yang dimaksud adalah bahasa selain bahasa Indonesia—bisa bahasa Spanyol, Inggris, Perancis, Mandarin, Jepang, Rusia, Swahili, Kongo, Arab. Pengertian itu tak akan mencakup bahasa-bahasa yang dinamai “bahasa daerah” karena “bahasa daerah” itu ada “di dalam” dan “karib” serta “dikenal”.

Walhasil, bahasa asing adalah bahasa dari negeri antah-berantah dan benar-benar “asing”. Ia ada “di luar”, “jauh”, dan “tak dikenal”. Akibatnya, karya sastra yang menggunakan bahasa asing pun menjadi karya sastra yang “asing” dan milik “orang lain” serta tak terpahami oleh “kita” yang berbicara dalam “bahasa kita”. 

Begitu pun sebaliknya. Bagi Ajip Rosidi, bahasa suatu bangsa—lebih tepatnya komunitas pewicara—memiliki relung-relung dan ceruk-ceruk bahasa yang hanya bisa dikenali dan ditapaki bangsa itu. Penerjemahan karya sastra berbahasa asing, dengan demikian, adalah “mustahil”, karena relung-relung dan ceruk-ceruk itu akan hilang ketika dicoba disajikan dalam bahasa tujuan. Tetapi, dengan segenap kesukaran itu, penerjemahan karya sastra bukannya musykil dilakukan. 

Beberapa tahun setelah reformasi, penerbit-penerbit Jogja dan Bandung memicu penerbitan buku-buku terjemahan dari karyatama kelas dunia semacam Origin of Species, Interpretation Dream, One Hundred Years of Solitude dan lain-lain. Jauh sebelumnya ada terjemahan roman-roman Victor Hugo dan Sir Walter Scott. Khusus untuk puisi, misalnya, ada terjemahan sajak-sajak Octavio Paz oleh Arief B. Prasetyo, Antologi Puisi Nobel oleh Sapardi Djoko Damono dkk, dan di tahun yang lebih lampau Amir Hamzah menerjemahkan Bhagavad Gita dan M. Taslim Ali menerbitkan antologi sajak-sajak terjemahan bertajuk Puisi Dunia

Dari pelbagai terbitan itu, yang menerjang batas yang kelihatannya mustahil diruntuhkan, penerjemah telah memperoleh peran penting. Penerjemah adalah kurir, messenger, Hermes kecil, yang menyampaikan niat yang mulanya terucapkan bahasa di jagat antah-berantah yang jauh dan tak terpahami oleh bahasa di bumi penerima. 

Dan Puisi-puisi Dokter Zhivago ini pun diterjemahkan—semampunya, karena ada wanti-wanti menakutkan dari seorang kritikus, yang benar-benar kritis, yang mengatakan bahwa menerjemahkan karya sastra sebenarnya membutuhkan syarat mendasar yang sulit: penerjemah harus sama mahirnya dengan pencipta karya itu. Tetapi, kalau kerja ini tak dilaksanakan dan hanya dijadikan cambuk penakut saja, maka puisi-puisi itu tak akan pernah tersampaikan kepada telinga dan batin orang Indonesia. 

Dan kekurangan dalam terjemahan ini bertambah parah karena diterjemahkan dari bahasa kedua, tepatnya terjemahan dalam bahasa Inggris (bahan puisi-puisi diambil dari beberapa puisi yang ada di bagian belakang novel Doctor Zhivago, terbitan Fontana Monarch, cetakan keenam, 1964). Ini tak bisa dihindari. Selain kesulitan dalam bidang kemahiran itu, ada juga kesulitan yang tampaknya lebih bersifat linguistis dan, akhirnya, politis.

Tak banyak orang Indonesia yang memahami bahasa Rusia, dan lebih sedikit lagi orang yang tergerak untuk menerjemahkan karya-karya sastra Rusia dari bahasa aslinya. Ini dipersulit lagi oleh fakta bahwa bahasa Rusia adalah bahasa yang jauh dan “dijauhkan” dari kita, sejauh letak bekas negeri tirai besi itu dari Indonesia. Ada ketakutan kolektif yang ditanamkan pemerintah Orde Baru kepada segala yang berbau Komunisme—sedangkan Rusia adalah citadel Komunisme yang tangan-tangan kejinya dianggap berbahaya bagi batin orang Indonesia. 

Mungkin pada masa Demokrasi Liberal yang lebih permisif terhadap perbedaan ideologi pernah muncul terjemahan karya-karya Rusia yang diterjemahkan langsung dari bahasa aslinya. Tetapi, mendapatkan hasil terjemahan yang semacam itu sama sulitnya dengan, yah, katakan saja: menegakkan benang basah. 

Demikianlah maka puisi-puisi Dokter Zhivago pun diterjemahkan.

***  

PUISI-PUISI DOKTER ZHIVAGO
 
Hamlet 

Keriuhan padam. Aku melangkah ke panggung, bersandar di ambang pintu 
aku coba terka dari gaung yang jauh itu apa akan terjadi dalam masa hidupku. 
Gelap malam membidikku dalam kesaksian seribu kaca gedung opera. 
Abba, Bapa, dengan restumu, biarlah cawan ini kulewatkan. 

Aku suka kehendakmu yang kokoh itu, dengan riang akan kujalani peranku. 
Tapi kini drama yang lain tengah dipentaskan: sekali ini biarkan aku menjadi. 
Tetapi semua laku telah direncanakan dan ujung jalan ini tak terelakkan. 
Aku sendiri: segalanya karam dalam kemunafikan orang Farisi. 

Menjalani hidup tak sesederhana melintasi sepetak ladang* 

* Larik terakhir ini adalah pepatah Rusia, dalam bahasa Inggris berbunyi “To live your life is not as simple as to cross a field”.

Maret 

Dunia kegerahan dalam cahaya siang, lorong-lorong hampa menyerbu hidup yang risau, 
pisau tuai di tangan musim semi, si gadis penuai itu. 
Salju meleleh di reranting kecil yang seperti otot-otot biru, 
tetapi kandang sapi mengepulkan asap, gigi gerigi garpu tuai berisik. 

Malam-malam ini, hari dan malam-malam ini, hujan menabuh genderang di jendela kala senja, 
kerikil-kerikil es menimpuki genteng, percakapan sungai-sungai yang susah tidur. 
Kandang kuda dan sapi semua terbuka. 
Bebek-bebek memunguti butiran gandum di salju 
Pelakunya, sekaligus pemberi hidup, adalah kotoran hewan beraroma udara segar. 

Di Minggu Suci 

masih gelap malam dan begitu muda dunia hingga bintang-bintang di langit 
tak terbilang dan seterang siang, dan kalau saja boleh, 
bumi akan tidur sepanjang Paskah 
dininabobokan oleh gumam Amsal. 

masih gelap malam dan begitu muda dunia 
hingga lapangan membentang seperti keabadian 
antara pojok dan perempatan jalan 
dan pagi dan kehangatan seribu tahun jauhnya. 

Bumi masih cukup bugil, tak punya apa-apa buat dikenakan di malam hari 
tetapi terus mendentangkan lonceng untuk menyahuti kur di hatinya. 
Dan dari Kamis Baik sampai Sabtu Suci 
air membikin liang di tepi-tepi kali dan memusar di kolam. 

Hutan ditelanjangi, dan di musim Kasih Yesus bebatang cemara 
berdiri seperti jemaat misa, sementara di kota, berkerumun seperti pertemuan, 
pohon-pohon bugil memandangi pagar gereja. 

Pesona. Peringatan itu terpahami. Kebun tumbuh melampaui pagar, 
fondasi bumi guncang: Tuhan sedang dikuburkan. 
Mereka lihat cahaya di gerbang kerajaan,* 
tabir hitam dan lilin-lilin berpacak baris, 
wajah-wajah yang disayat tangis: tiba-tiba prosesi itu maju kepada mereka 
dengan selubung dan kedua pohon birch di gerbang mesti memberi jalan. 

Prosesi itu memutari halaman gereja dan kembali, di sepanjang trotoar, 
membawa musim semi dan percakapan musim semi dari jalanan ke beranda, 
dan udara beraroma hosti dan musim semi beraroma batubara. 
Dan Maret menebarkan salju di atas kerumunan orang lumpuh di beranda, 
seolah-olah ada seseorang yang membawakan bahtera Nuh, 
membukanya dan memberikan semua isinya tanpa sisa. 

Lagu itu terus berputar hingga fajar. Setelah dikeringkan isinya, 
Amsal dan Doa-doa menjangkau lebih lembut ke jalan 
yang berlumuran sinar lampu. Tapi di tengah malam, 
hewan-hewan buas dan manusia membisu, karena mendengar 
kabar burung dari musim semi: 

segera setelah cuaca berubah 
Ajal akan dikalahkan dengan kerja berat Kebangkitan. 

*royal gate: gerbang kain dalam gereja Rusia yang memisahkan altar dengan bagian tengah gereja. 

Malam Putih 

Aku lihat masa lalu yang jauh dan sebuah rumah di Petersburg Quai* 
Putri tuan tanah kecil dari padang stepa, kau datang dari Kursk untuk menjadi mahasiswa. 
Engkau cantik, para pemuda mencintaimu. Sepanjang malam putih itu 
kita berdua duduk di ambang jendelamu 
menjenguk ke bawah dari pencakar langit itu. 

Lampu-lampu jalan bagaikan kupu-kupu gas yang gemetar oleh sentuhan pagi. 
Aku berkata dengan lembut kepadamu seperti kejauhan yang tertidur itu. 
Dan kita, seperti Petersburg yang membentang sampai jauh di Neva yang tak punya pesisir, 
tertawan dengan lembut dalam dekapan sebuah misteri. 

Di luar sana, di kejauhan, di rimba-rimba lebat, di malam putih musim semi itu, 
burung bulbul mengisi hutan dengan gemuruh lagu puja. 
Kegilaan itu terus saja, suara burung yang sekecil itu 
membangkitkan keriangan di kedalaman hutan yang seperti kena mantra. 
Ke sanalah malam merangkak, mendekap pagar-pagar seperti pengembara telanjang kaki, 
mencuri dengar percakapan dari balik langkan jendela. 

Dalam jangkauan gaung itu, di kebun-kebun berpagar, 
dahan-dahan apel dan cherry mengurai kuntum-kuntum putih, 
dan seputih hantu, pepohonan berkerumun di jalan seolah-olah 
melambaikan selamat jalan kepada malam yang putih 
yang telah melihat terlalu banyak. 

*Petersburgskaya Storona: sebuah distrik di tepi sungai 

NB : puisi-puisi ini diambil dari blog An Ismanto, lake-innisfree.blogspot.com

Redaktur SARBI: Dody Kristianto

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post