Blogroll

Monday, September 30, 2013

Monolog Kasir Kita (1)

 photo EdwardHopper_OfficeatNight1940_CollectionWalkerArtCenterMinneapolisGiftoftheTBWalkerFoundationGilbertMWalkerFund1948copy_zpsade16a0d.jpg  
Karya Edward Hopper. Berjudul: Office at Night. Tahun 1940. Koleksi: Walker Art Center, Minneapolis; Gift of the T.B. Walker Foundation, Gilbert M. Walker Fund, Tahun 1948.

karya Arifin C Noer

Catatan : monolog ini termasuk naskah yang sering dijadikan naskah wajib untuk perlombaan monolog tingkat SMA maupun perguruan tinggi. Salah satunya adalah ajang Peksiminal.
_____________________________________


Ruang tengah dari sebuah ruang yang cukup menyenangkan, buat suatu keluarga yang tidak begitu rakus. Lumayan keadaannya, sebab lumayan pula penghasilan si pemiliknya. Sebagai seorang kasir di sebuah kantor dagang yang lumayan pula besarnya. Kasir kita itu bernama Misbach Jazuli
Sandiwara ini ditulis khusus untuk latihan bermain. Sebab itu sangat sederhana sekali. Dan sangat kecil sekali. Dan sandiwara ini kita mulai pada suatu pagi. Mestinya pada suatu pagi itu ia sudah duduk dekat kasregisternya di kantornya, tapi pagi itu ia masih berada di ruang tengahnya, kelihatan lesu seperti wajahnya.
Tas sudah dijinjingnya dan ia sudah melangkah hendak pergi. Tapi urung lagi untuk yang kesekian kalinya. Dia bersiul sumbang untuk mengatasi kegelisahannya. Tapi tak berhasil.
Saudara-saudara yang terhormat. Sungguh sayang sekali, sandiwara yang saya mainkan ini sangat lemah sekali. Pengarangnya menerangkan bahwa kelemahannya, maksud saya kelemahan cerita ini disebabkan ia sendiri belum pernah mengalaminya; ini. Ya, betapa tidak saudara? Sangat susah.

Diletakkannya tasnya

Saya sangat susah sekali sebab istri saya sangat cantik sekali. Kecantikannya itulah yang menyebabkan saya jadi susah dan hampir gila. Sungguh mati, saudara. Dia sangat cantik sekali. Sangat jarang Tuhan menciptakan perempuan cantik. Disengaja. Sebab perempuan-perempuan jenis itu hanya menyusahkan dunia. Luar biasa, saudara. Bukan main cantiknya istri saya itu. Hampir-hampir saya sendiri tidak percaya bahwa dia itu istri saya.

Saya berani sumpah! Dulu sebelum dia menjadi istri saya tatkala saya bertemu pandang pertama kalinya disuatu pesta berkata saya dalam hati : maulah saya meyobek telinga kiri saya dan saya berikan padanya sebagai mas kawin kalau suatu saat nanti ia mau menjadi istri saya. Tuhan Maha Pemurah. Kemauan Tuhan selamanya sulit diterka. Sedikit banyak rupanya suka akan surpraise.

Buktinya? Meskipun telinga saya masih utuh, toh saya telah berumah tangga dengan Supraba selama lima tahun lebih.

Aduh cantiknya.
Saya berani mempertaruhkan kepala saya bahwa bidadari itu akan tetap bidadari walaupun ia telah melahirkan anak saya yang nomer dua, saya hampir tidak percaya pada apa yang saya lihat. Tubuh yang terbaring itu masih sedemikian utuhnya. Caaaaannnnttiiik.

Ah kata cantikpun tak dapat pula untuk menyebutkan keajaibannya. Cobalah. Seandainya suatu ketika gadis-gadis sekolah berkumpul dan istri saya berada diantara mereka, saya yakin, saudara-saudara pasti memilih istri saya, biarpun saudara tahu bahwa dia seorang janda.
Lesu.

Ya, saudara. Kami telah bercerai dua bulan lalu. Inilah kebodohan sejati dari seorang lelaki. Kalau saja amarah itu tak datang dalam kepala, tak mungkin saya akan sebodoh itu menceraikan perempuan ajaib itu.

Semua orang yang waras akan menyesali perbuatan saya, kecuali para koruptor, sebab mereka tak mampu lagi menyaksikan harmoni dalam hidup ini. Padahal harmoni adalah keindahan itu sendiri. Dan istri saya, harmonis dalam segala hal. Sempurna.

Menarik napas.

Bau parfumnya! Baunya! Seribu bunga sedap malam di kala malam, seribu melati di suatu pagi. Segar, segar!
Telepon berdering.

Itu dia! Sebentar (ragu-ragu) Selama seminggu ini setiap pagi ia selalu menelpon. Selalu ditanyakannya :”Sarapan apa kau, mas” Kemarin saya menjawab :”Nasi putih dengan goreng otak sapi”
Pagi ini saya akan menjawab .....

Mengangkat gagang telepon

Misbach Jazuli disini. Hallo? Hallo! Halloooo!

Meletakkan pesawat telepon

Salah sambung. Gilaa! Saya marah sekali. Penelpon itu tak tahu perasaan sama sekali.

Tiba-tiba
Oh ya! Jam berapa sekarang?

Gugup melihat arloji

Tepat! Delapan seperempat. Saya telah terlambat tiga perempat jam. Maaf saya harus ke kantor. Lain kali kita sambung cerita ini atau datanglah ke kantor saya, PT Dwi Warna di jalan Merdeka. Tanyakan saja disana nama saya, kasir Jazuli. Maaf. Sampai ketemu.
Melangkah cepat. Sampai di pintu sebentar ia ragu. Tapi kemudian ia terus juga.
Agak lama, kasir kita masuk lagi dengan lesu.

Mudah mudahan perdagangan internasional dan perdagangan nasional tidak terganggu meskipun hari ini saya telah memutuskan tidak masuk kantor.

Tidak, saudara! Saudara tidak bisa seenaknya mencap saya punya bakat pemalas. Saudara bisa bertanya kepada pak Sukandar kepala saya, tentang diri Misbah Jazuli.

Tentu pak Sukandar segera mencari kata-kata yang terbaik untuk menghormati kerajinan dan kecermatan saya. Kalau saudara mau percaya, hari inilah hari pertama saya membolos sejak enam tahun lebih saya bekerja di PT Dwi Warna.
Seperti saudara saksikan sendiri badan saya sedemikian lesunya, bukan? Tuhanku! Ya, hanya Tuhanlah yang tahu apa yang terjadi dalam diri saya. Saya rindu pada istri saya dan sedang ditimpa rasa penyesalan dan saya takut masuk kantor berhubung pertanggung jawaban keuangan....
Telepon berdering.
Sekarang pasti dia!
Menuju pesawat telepon

Saya sendiri tidak tahu kenapa selama seminggu ini ia selalu menelpon saya.
Apa mungkin ia mengajak rukun dan rujuk kembali...tak tahulah saya. Saya sendiri pun terus mengharap ia kembali dan, tapi tidak! Saya tak boleh menghina diri sendiri begitu bodoh! Bukan saya yang salah. Dia yang salah. Yang menyebabkan peristiwa perceraian ini bukan saya tapi dia. Dia yang salah. Sebab itu dia yang selayaknya minta maaf pada saya. Ya, dia harus minta maaf.

Toch saya laki-laki berharga : saya punya penghasilan yang cukup.
Laki-laki gampang saja menarik perempuan sekalipun sudah sepuluh kali beristri. Pandang perempuan dengan pasti, air muka disegarkan dengan sedikit senyum, dan suatu saat berpura-pura berpikir menimbang kecantikannya dan kemudian pandang lagi, dan pandang lagi, dan jangan sekali kali kasar, wajah lembut seperti waktu kita berdoa dan kalau perempuan itu menundukkan kepalanya berarti laso kita telah menjerat lehernya. Beres!

Nah, saya cukup punya martabat, bukan? Dan lagi dia yang salah! Ingat, dia yang salah. Nah, saudara tentu sudah tahu tentang sifat saya. Saya sombong seperti umumnya laki-laki dan kesombongan saya mungkin juga karena sedikit rasa rendah diri, tidak! Bukankah saya punya tampang tidak begitu jelek?

Telepon berdering lagi.

bersambung

_________________________________

Redaktur SARBI: Dody Kristianto

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post