Karya Daniel Spoerri (Lahir 1930) Judul: Prose Poems Poèmes en prose Tahun: 1959-60 Media: Glass, paper, ceramic, metal and plastic on wood. Koleksi: Tate
Esai Beni Setia
Struktur
buku kumpulan puisi Acep Zamzam Noor, Menjadi Penyair Lagi (Pustaka Azan,
2007), dibangun dua fondasi: “Ada yang Belum Kuucapkan” (AyBK), yang terdiri
dari 53 sajak, dan “Menjadi Penyair Lagi” (MPL), yang terdiri dari 38 sajak.
Bukanlah satu kebetulan bila kumpulan itu diawali dengan sajak “Setelah
Mencintaimu” (dari AyBK) dan diakhiri sajak “Di Malioboro” (dari MPL) yang
memang diletakkan di pengujung.
Memang
ada dua sajak yang mengawali sajak “Setelah Mencintaimu”. Namun, sajak
“Preluda” memang dihadirkan untuk mengartikulasikan kehadiran sebuah sajak
sebagai ikon dari sebuah peristiwa yang telah lewat. Asilum untuk menurunkan
beban kekinian, retreat, dan bagaimana semua itu ditinjau sebagai liku hidup
yang menjadi harta batin, dengan segala suka dan duka yang selesai. Adapun
sajak “Lagu Berdua” merupakan proklamasi estetis penulisan kreatif puisi Acep
Zamzam Noor.
Ada
dua fenomena dalam sajak itu. Fenomena riil pada tiga bait pertama, dan
fenomena puitis haiku dalam tiga bait selanjutnya. Kesejajaran teks yang tak
beda jauh antara yang ingin diungkapkan, yang ditandai, dan yang mengungkapkannya, sang penanda, merujuk
pada pengakuan (kata pengantar) sang penyair kalau ketika itu (April 2007,
sebelum kumpulan itu terbit), ia kembali ke pola ungkapan sederhana.
Ungkapan
sederhana-sehingga apa yang terkandung dalam teks puisi gampang
ditebak-berkaitan dengan intensitas pengalaman, kepekatan empati memaknai
kejadian, dan kejernihan perumusan peristiwa yang mengusung diksi yang memiliki
gigil bat?n khas puisi lirisjauh dari benturan kejadian yang mendorong rumusan
naratif bersifat berita, balada, dan puisi protes sebagaimana yang diisyaratkan
dalam sajak “Menjadi Penyair Lagi”. Substansi pola dan metode kreasi sederhana
Acep Zamzam Noor ini, dengan jernih ditangkap Mikihiro Moriyama, dan
diungkapkannya dalam pengantar yang simbolik memotret suasana pastoral dan
guyub insan pedesaan Singaparna, Tasikmalaya. Manifestasi mencintai
Dalam
kerangka itu, kita bisa menandai pentingnya kehadiran sajak “Setelah
Mencintaimu”, yang bertumpu pada peristiwa perpisahan sepasang kekasih di
Stasiun Tugu, Yogyakarta, setelah terjalin saling pengertian. Sebuah perpisahan
yang bersifat wajib agar sang penyair yang dikodratkan untuk selalu mencari
terra incognita bisa mencari wanita lain. Si anonim yang harus dikenalinya, dan
yang akan melahirkan pengalaman mencintai yang tak kesampaian, mencintai yang
kesampaian, mencintai yang ditolak, mencintai yang dicampahkan, dan seterusnya.
Yang melahirkan lentikan pengalaman otentik yang berasal dari diskursus alamiah
dengan yang berkualitas terra incognita.
Satu
kreativitas yang bermula dari ingin mengalami yang baru di antara hal-hal yang
biasa terjadi dan ada di sekitar kita, tetapi tampil otentik sebagai yang
dirasuki dan merasuki batin si bersangkutan sebagai diskursus fenomenologis
yang menggetarkan-dalam terminologi Acep Zamzam Noor-membuat bulu kuduk
berdiri. Konsepsi dasar yang rumit ini bisa kita jabarkan dengan merujuk satu
tulisan rama Sindhunata, tentang pola kreasi seorang Martopangrawit, yang
teramat tergantung pada eksistensi pengalaman romantis otentik pracipta,
sehingga kita tak bisa membedakan apakah ia Cassanova yang pangrawit atau
pangrawit yang playboy (“Martopangrawit, Empu Gending: Perasaan adalah Pangkal
Utama dalam Menggubah”, dalam Cikar Bobrok, Penerbit Kanisius dan Bentara
Budaya, cetakan VI/2002, halaman 51-57).
Sementara
itu, sajak “Di Malioboro” kembali menempatkan sang penyair di Stasiun Tugu.
Bedanya, dulu ia naik kereta api untuk pergi ke barat, tetapi kini ia turun
dari kereta api yang beranjak ke timur. Sebuah siklus telah genap. Ia kembali
menemui kekasih dan mengukuhkan kenyataan-semuanya telah selesai. Telah menjadi
berita pada majalah lama, menjadi satu episode catatan sejarah di kata pengantar,
Acep Zamzam Noor mengakuinya sebagai, “yang mengingatkan saya pada sejumlah
tempat dan peristiwa…sejumlah nama.” Sebuah ziarah puitis yang berperan sebagai
ekspresi kesetiaan (sajak “Mei”) atau isyarat ketuaan (sajak “Remang”), yang
menandai teramat banyak kepiluan hubungan pria dan wanita.
Goenawan
Mohamad berpuisi untuk (atau tentang) mengabadikan sesuatu yang kelak (pasti)
retak. Sapardi Djoko Damono (dalam satu sajaknya) merumuskan keikhlasan
pengorbanan dan penghancuran (eksistensi) sebagai manifestasi mencintai. Acep
Zamzam Noor berpuisi tentang mengekalkan luka sambil mengenangkan yang terindah
dari percintaan yang harus buyar meski tidak gagal. Penghukuman diri
Sajak
“Menjadi Penyair Lagi”-dengan pembacaan pola sajak “Lagu Berdua”-sebenarnya
mengungkap (1) kenangan satu peristiwa percintaan dan (2) rumusan reflektif
atas kenangan kuat yang bertumpu pada saat menziarahinya pada masa kini. Ini
merupakan teks puisi karena merujuk pada yang ditandai pada masa lalu sehingga
(3) hakikat puisi adalah kehadiran (penghadiran) diksi otentik yang
memproyeksikan pengalaman masa lalu yang traumatik, tetapi disaring sehingga
tidak sekadar lanturan. Maka, bagi Acep Zamzam Noor, bencana alam, peristiwa
sosial, dan seterusnya hanya fatamorgana, narasi ilusi lancung tanpa
otentisitas pengalaman aku lirik.
Meski
sosok Acep Zamzam Noor sebagai manusia dan penyair baur, ia tetap bisa dingin
akademik, obyektif memisahkan kebauran itu dan sigap analisis mengerat-ngerat
perasaan dan batinnya sendiri, agresif memisahkan aku-manusia, yang mencari
terra incognita di mana pun dan kapan pun, dari aku-penyair yang terlena.
Peneguhan yang mampu menyebabkan aku-penyair bangkit, dan terjadilah proses
penghukuman (diri) yang agresif dan luka-luka itu langsung diempati sehingga
pengalaman otentik tersuling.
Sebuah
proses penyiksaan diri yang membangkitkan harga diri seperti yang dilakukan
seorang samurai yang ber-seppuku dengan pisau pendeknya. Seperti yang
diungkapkan Mikihiro Moriyama, “…tidak langsung diekspresikan, tetapi ditahan
dan dikiaskan.” Tidaklah mengherankan, kumpulan puisi yang mengerat-ngerat diri
ini, setelah dengan amat sadar ia terlebih dahulu mengeluyurkan itu, bisa
memenangi KLA 2007 di bidang puisi.
Sebuah
anugerah bagi satu pola kreasi yang berpangkal dari pengembaraan dan ditutup
dengan upaya dingin agresif menghukum diri secara empatik.
NB : esai di atas diambil dari blog
sastrapemberontak.blogspot.com yang diasuh oleh Nurel Javissyarqi.
Redaktur SARBI: Dody Kristianto
0 comments:
Post a Comment