Blogroll

Sunday, April 10, 2016

Cerpen: Roti Terakhir

www.tumblr.com
Oleh: Faisal Hakim

Alih-alih di garda depan, hasrat saya untuk mati bela negara tak tersampaikan. Saya di garda paling belakang. Bukannya pengecut atau pecundang, melainkan garis kehidupan saya bukan untuk tombak pertempuran.

Tak lama setelah negara saya merayakan kemenangan, saya tiba-tiba dihinggapi penyesalan: tidak bisa mati bersama kawan-kawan di medan perang, juga bersama Sukinah, istri saya. Saya dalam kedukaan. Kesunyian. Dan penjajahan. Saya terperangkap dalam tubuh dengan garis kenyataan yang tak sesuai dengan harapan. Katanya, itu adalah takdir Tuhan.

Belum lama ini nama saya sering disebut-sebut oleh banyak orang. Saya heran.  Manusia renta dengan latar belakang pembuat roti bisa menjadi topik pembicaraan. Saya teringat propaganda perang. Jangan-jangan saya diwacanakan yang tidak-tidak. Saya paham betul bagaimana propaganda menjadi mitos yang bisa merasuk secara radikal ke benak halayak! Seharusnya mereka tidak perlu repot-repot, saya akan mengaku sebagai pecundang. Dengan senang hati.

Baru saya ketahui kedatangan wartawan beberapa hari lalu bukan untuk mengupas kepecundangan saya. Tak lama, judul berita di salah satu koran ternama di negera saya adalah “Semangat Roti Perang Rasminto”. Saya kaget bukan kepalang. Bagaimana mungkin seorang tukang roti menjadi perbincangan. Di koran?

Suatu hari saya diminta membuat roti perang oleh sepasang suami-istri kaya raya. Manusia terhormat. Perusahaannya di mana-mana. Keduanya kaya keturunan. Saya menolak. Mereka membujuk. Katanya, mereka akan mengadakan pesta besar-besaran. Merayakan perusahan barunya. Pesta itu akan dihadiri oleh: dari rakyat biasa hingga pejabat-pejabat negara, termasuk juga mengundang Pemimpin negara.

Saya tetap menolak. Alasannya, selain pensiun, resep yang saya gunakan tidak ada di toko roti manapun. Bukan berupa bahan-bahan yang biasa: soda, telur, tepung, dan lain-lain. Resep yang saya gunakan adalah semangat. Dalam kemurnian jiwa. Letaknya di luar kesadaran. Syukur akan lebih nikmat jika saya bisa campur beberapa tetes air mata. Dan itu sulit dilakukan.

Saya katakan kepada mereka, “Jangan hanya karena saya pembuat roti perang, atau saya sedang menjadi buah bibir di media massa, lantas bisa dijadikan roti saya sebagai bahan prestisius di depan para pejabat!”

“Meskipun kami bisa membantumu pergi berperang di garda depan?” jawab Suami dari wanita cantik di sebelahnya.

“Hmm.. Ya, baiklah.”  Saya memang mendambakan mati di medan perang.

Seminggu kemudian, sepuluh ribu satu roti telah  saya sediakan. Seorang pesuruh mengambil di gubuk saya. Saya katakan kepadanya, roti terakhir yang saya buat adalah yang paling nikmat. Tanpa sengaja air mata saya menetes saat mencetaknya karena ingat Sukinah. Dan itu pertanda terakhir saya membuat roti.

***
Di pesta pembukaan perusahaan. Suami dari wanita cantik itu berpidato di depan para undangan. Ia memperkenalkan bagaimana perusahaan barunya. Istri dari laki-laki yang berpidato itu mendampingi. Anggun sekali, sedikit ambisius. Senyum manis kepada para tamu. Tajam tatapannya, sebagaimana tatapan pemburu birahi. Pun demikian dengan isi pidato suami dari wanita cantik itu, menggelegar menembus gendang telinga para hadirin.

Pembicaraan mengenai bisnis baru Pasutri itu hampir selesai. Tidak lupa, lelaki itu membicarakan tentang roti perang buatan Kakek. Konon, memakan roti perang, seperti bisa merasakan sensasi perang. Beberapa puluh tahun lalu. Ia juga menceritakan tentang pembuat roti tersebut, yang baru-baru ini menjadi perbincangan publik karena rotinya yang mengasup energi sedikit magis ke dalam tubuh.

Para tamu undangan semakin penasaran pada tumpukan roti di meja. Panjangnya seratus meter membentuk dua siku huruf U di halaman rumah megah itu.  Pemimpin tertinggi dipersilahkan menyantap roti, disertai penghormatan setinggi-tingginya. Disusul oleh para Menteri, Walikota, Gubernur, dan Bupati masing-masing daerah serta Dewan Perwakilan Rakyat dari daerah hingga pusat. Dengan Penghormatan setinggi-tingginya juga.

Tak pandang Presiden, Menteri, Gubernur, atau pejabat-pejabat yang lainnya. Mereka merasakan sensasi yang luar biasa nikmat. Ketika gigitan pertama, seolah boleh dikatakan, “jika tidak karena menyandang gelar, mereka akan keluar kebringasannya bak singa kelaparan.” Atau, seperti malam pertama setelah dipingit bertahun-tahun. Sayangnya, karena status prestisius yang menempel di pundak mereka, menghambat lidah untuk merasakan secara sempurna. Meski begitu, ada beberapa juga yang tak sungkan menyembunyikan di balik jas hitam atau kemeja batiknya untuk dilahab bersama dengan nafsu dasariahnya, nanti setelah pulang.

Giliran para pebisnis menuju meja. Tak sabar menunggu para pejabat bergeser. Lama sekali. Seperti tak rela meninggalkan meja tempat roti-roti itu disajikan. Tumpukan roti itu, nyaris mengendalikan otak sehat para pebisnis untuk mengambil alih tempat kumpulan para pejabat. Bagaimanapun, sejatinya pejabat tetap di bawah para pebisnis-pebisnis. Bedanya, para pejabat adalah wujud dari sosok yang nampak terhormat.

Tapi tidak, para pebisnis masih bisa menahan nafsu melumat roti-roti itu. Tak lama kemudian, Presiden dan para pejabat negara lainnya beralih tempat. Sudah tidak enak dipandang. Pasutri yang menjadi tuan rumah itu pun sedikit kikuk.

Setelah melahapnya, para pebisnis berkelakuan aneh. Mirip para pejabat. Namun sedikit lebih rakus. Pantas saja, mereka sedikit aman, tidak ditempeli gelar oleh rakyat. Lebih lama pula. Para undangan biasa, seperti tetangga kanan-kiri Pasutri tersebut sudah berdorong-dorongan. Oh ya, para pemuka agama ikut di dalam kumpulan yang sedang berdorong-dorongan itu.

Penasaran, para undangan yang terakhir pun  mengambil alih kumpulan para pebisnis. Mereka tak sungkan-sungkan lagi. Saling pukul. Berebut. Suasana menjadi riuh. Ricuh. Chaos. Mereka tak mau dijadikan yang terakhir. Mereka berpikir, nanti para pebisnis hanya menyisakan sedikit untuk mereka, sedangkan jumlah mereka jauh lebih banyak!

Pasutri Bingung. Juga penasaran. Sebagai tuan rumah, mereka sengaja tidak mencicipi roti perang sebelumnya. Itu kesalahan. Atau mungkin malah menjadi langkah yang benar. Setidaknya, pendapat kedua ini lebih menghargai tamu karena menyajikan makanan yang bukan sisa. Entahlah.

Pasutri heran. Bisa-bisanya pesta hancur hanya karena roti perang! Mereka juga berusaha mencicipi. Tapi sial, keduanya hanya kebagian secuil dari hasil merebut dari tangan seseorang. Meski begitu, mereka merasakan kenikmatan tiada tara. Ketagihan. Tapi sayang roti segera habis. Hanya mendapat masing-masing sebesar batu akik. Pesta berantakan. Tapi satu hal, rasa malu atau sungkan dengan kondisi demikian menjadi lebur, lenyap.

Para undangan pulang satu persatu sering habisnya roti di meja. Satu-dua orang berhasil membawa pulang roti yang di sematkannya di dalam jas, kemeja, bahkan celana dalam. Pasangan suami istri itu termenung. Duduk beradu punggung di dekat meja roti. Tak sengaja, keduanya melihat satu roti yang jatuh di kolong meja. Kebetulan, itu adalah roti paling nikmat dengan campuran tetesan air mata.

***
Tidak seperti pasangan suami istri yang romantis dan penuh pengertian. Mereka tidak mau mengalah satu sama lain.  Terjadilah ikrar, “Jika salah satu dari kita ada yang mengeluarkan suara, maka ia kalah dan harus merelakan roti itu!” tantang suami wanita cantik itu.

“Baiklah, dan satu lagi, jika kita berpindah dari tempat kita duduk, atau sedikit saja tidak memandang roti itu, maka ia akan kalah!” tambah istri laki-laki itu penuh ambisi.
“Baik, saya sepakat!” suami wanita cantik itu tak mau kalah.

***
Sudah dua hari berselang. Pasutri itu masih bersikukuh dengan pendiriannya. Tidak ada cinta. Tidak ada kemesraan. Mereka fokus terhadap roti di kolong meja. Parah, mereka tak pernah berpindah sekalipun ingin membuang kotoran dari dalam tubuhnya!

Sementara itu, roti dilihat dari jarak Pasutri itu duduk, sudah kelihatan menjamur. Tetap saja, mereka enggan merubah pendirian satu sama lain, “Itu roti perang, mana mungkin bisa menjamur atau basi hanya berselang beberapa hari.”, batin dari salah satu di antara keduanya.

Memasuki hari ketiga. Malam. Mereka berdua semakin lusuh. Kotor. Masih saling mengawasi roti di kolong meja. Membisu seperti batu. Hingga terdengar suara detik jam yang kian cepat, dan detak jantung yang kian lambat.

Dalam kesenyapan di rumah megah itu, melahirkan berbagai alasan bagi dua orang undangan di dalam pesta tempo hari. Dua orang itu, kenyataannya masih terbayang betapa nikmatnya roti yang disajikan. Timbullah pikiran bahwa Pasutri tersebut masih memiliki roti simpanan yang bisa untuk dicuri.

Kelengahan rumah Pasutri yang megah itu membuat leluasa dua pencuri memasukinya. Masuk jendela melalui pohon di sebelahnya. Di tengah aksinya, mereka berubah pikiran. Rumah sunyi senyap. Mereka mengemasi seluruh isi rumah. Aman sekali. Bahkan mereka sempat pulang dan kembali lagi membawa truk. Mereka angkut semua isi rumah. Rumah megah mejadi kosong. Tetapi roti pun yang pernah memicunya untuk mencuri tidak juga ditemukan.

“Meski isi rumah sudah kosong, mungkin di halaman depan masih ada sisa-sisa roti.” Ujar salah satu pencuri.
“Ya, encer juga pikiranmu.” Kata temannya.

Keduanya pun langsung menuju halaman rumah Pasutri. Mereka kaget. Bertemu dengan Pasutri yang duduk beradu punggung dan menoleh kearah yang sama. Kedua pencuri menahan langkah. Terpukul mundur. Setelah mereka tengok, tak ada siapa pun. Mereka tak di kejar! Mereka kembali. Mengendap sambil mengenakan topeng. Mereka mendekati Pasutri yang diam saja. Mereka merasa aneh. Merasa diuntungkan, lalu mengemasi barang-barang layak curi di halaman rumah. Namun tak menemukan roti di kolong meja itu.

Merasa aman, kedua pencuri menjadi-jadi. Istri cantik laki-laki itu menjadi incaran. Kedua pencuri menarik tubuh wanita itu dari punggung suaminya. Wanita itu tetap membatu meski tubuhnya diseret. Kepala wanita tetap menoleh ke kolong meja. Kedua pencuri kebelet birahi. Mereka fokus pada si wanita cantik.

Suami wanita cantik tetap diam seribu bahasa. Mempertahankan posisinya, “Pencuri bodoh, cepat buat bersuara mulut istriku, aku tak sabar menyantap benda di kolong meja!” katanya dalam hati. Kedua pencuri abai saja pada laki-laki penatap roti.

Wanita cantik meronta sambil mulut terkunci. Berusaha mempertahankan posisi. Kedua pencuri tak tahan. Tak jauh, sekitar dua meter di belakang suami si wanita, kedua pencuri melepaskan birahi kepada si wanita cantik. Suaminya tetap diam. Fokus kepada roti. Tak kuat menahan kelakuan pencuri, wanita cantik melenguh seperti sapi betina.

Bersama lenguhan istri, sang suami berkata, “Akhirnya mulutmu terbuka, aku menang, aku berhak atas roti itu!” Triak suami dari wanita cantik itu sambil menuju kolong meja dan cepat-cepat melumat roti ternikmat campuran air mata itu. Dia melahapnya di kolong meja!

Sementara suami dari wanita cantik itu menuju kolong meja kemudian menyantap roti usang itu, dua pencuri selesai dengan hasratnya, mereka pergi meninggalkan rumah Pasutri.

Laki-laki yang mendapatkan roti terakhir keluar dari kolong meja. Wajahnya puas, matanya berkaca-kaca. Ia menuju kepada isterinya dan berkata, “Aku menang, dan kau kalah!”

“Bodoh!” Dengan suara lirih si wanita. Tak berdaya.

***
Mendengar kabar Pasutri itu, kakek saya shok. Saya merasa bersalah sudah menceritakannya. Sekarang sudah empat puluh harinya.  




Surabaya, 2015






0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post