![]() |
Oleh: Faisal Hakim
Alih-alih
di garda depan, hasrat saya untuk mati bela negara tak tersampaikan. Saya di
garda paling belakang. Bukannya pengecut atau pecundang, melainkan garis
kehidupan saya bukan untuk tombak pertempuran.
Tak
lama setelah negara saya merayakan kemenangan, saya tiba-tiba dihinggapi
penyesalan: tidak bisa mati bersama kawan-kawan di medan perang, juga bersama
Sukinah, istri saya. Saya dalam kedukaan. Kesunyian. Dan penjajahan. Saya
terperangkap dalam tubuh dengan garis kenyataan yang tak sesuai dengan harapan.
Katanya, itu adalah takdir Tuhan.
Belum
lama ini nama saya sering disebut-sebut oleh banyak orang. Saya heran. Manusia renta dengan latar belakang pembuat
roti bisa menjadi topik pembicaraan. Saya teringat propaganda perang.
Jangan-jangan saya diwacanakan yang tidak-tidak. Saya paham betul bagaimana
propaganda menjadi mitos yang bisa merasuk secara radikal ke benak halayak!
Seharusnya mereka tidak perlu repot-repot, saya akan mengaku sebagai pecundang.
Dengan senang hati.
Baru
saya ketahui kedatangan wartawan beberapa hari lalu bukan untuk mengupas
kepecundangan saya. Tak lama, judul berita di salah satu koran ternama di
negera saya adalah “Semangat Roti Perang Rasminto”. Saya kaget bukan kepalang.
Bagaimana mungkin seorang tukang roti menjadi perbincangan. Di koran?
Suatu
hari saya diminta membuat roti perang oleh sepasang suami-istri kaya raya.
Manusia terhormat. Perusahaannya di mana-mana. Keduanya kaya keturunan. Saya
menolak. Mereka membujuk. Katanya, mereka akan mengadakan pesta besar-besaran. Merayakan
perusahan barunya. Pesta itu akan dihadiri oleh: dari rakyat biasa hingga
pejabat-pejabat negara, termasuk juga mengundang Pemimpin negara.
Saya
tetap menolak. Alasannya, selain pensiun, resep yang saya gunakan tidak ada di
toko roti manapun. Bukan berupa bahan-bahan yang biasa: soda, telur, tepung,
dan lain-lain. Resep yang saya gunakan adalah semangat. Dalam kemurnian jiwa.
Letaknya di luar kesadaran. Syukur akan lebih nikmat jika saya bisa campur
beberapa tetes air mata. Dan itu sulit dilakukan.
Saya
katakan kepada mereka, “Jangan hanya karena saya pembuat roti perang, atau saya
sedang menjadi buah bibir di media massa, lantas bisa dijadikan roti saya
sebagai bahan prestisius di depan para pejabat!”
“Meskipun
kami bisa membantumu pergi berperang di garda depan?” jawab Suami dari wanita
cantik di sebelahnya.
“Hmm..
Ya, baiklah.” Saya memang mendambakan
mati di medan perang.
Seminggu
kemudian, sepuluh ribu satu roti telah
saya sediakan. Seorang pesuruh mengambil di gubuk saya. Saya katakan kepadanya,
roti terakhir yang saya buat adalah yang paling nikmat. Tanpa sengaja air mata
saya menetes saat mencetaknya karena ingat Sukinah. Dan itu pertanda terakhir
saya membuat roti.
***
Di pesta
pembukaan perusahaan. Suami dari wanita cantik itu berpidato di depan para
undangan. Ia memperkenalkan bagaimana perusahaan barunya. Istri dari laki-laki
yang berpidato itu mendampingi. Anggun sekali, sedikit ambisius. Senyum manis
kepada para tamu. Tajam tatapannya, sebagaimana tatapan pemburu birahi. Pun
demikian dengan isi pidato suami dari wanita cantik itu, menggelegar menembus
gendang telinga para hadirin.
Pembicaraan
mengenai bisnis baru Pasutri itu hampir selesai. Tidak lupa, lelaki itu
membicarakan tentang roti perang buatan Kakek. Konon, memakan roti perang,
seperti bisa merasakan sensasi perang. Beberapa puluh tahun lalu. Ia juga
menceritakan tentang pembuat roti tersebut, yang baru-baru ini menjadi
perbincangan publik karena rotinya yang mengasup energi sedikit magis ke dalam
tubuh.
Para
tamu undangan semakin penasaran pada tumpukan roti di meja. Panjangnya seratus
meter membentuk dua siku huruf U di halaman rumah megah itu. Pemimpin tertinggi dipersilahkan menyantap
roti, disertai penghormatan setinggi-tingginya. Disusul oleh para Menteri,
Walikota, Gubernur, dan Bupati masing-masing daerah serta Dewan Perwakilan
Rakyat dari daerah hingga pusat. Dengan Penghormatan setinggi-tingginya juga.
Tak
pandang Presiden, Menteri, Gubernur, atau pejabat-pejabat yang lainnya. Mereka
merasakan sensasi yang luar biasa nikmat. Ketika gigitan pertama, seolah boleh
dikatakan, “jika tidak karena menyandang gelar, mereka akan keluar
kebringasannya bak singa kelaparan.” Atau, seperti malam pertama setelah
dipingit bertahun-tahun. Sayangnya, karena status prestisius yang menempel di
pundak mereka, menghambat lidah untuk merasakan secara sempurna. Meski begitu,
ada beberapa juga yang tak sungkan menyembunyikan di balik jas hitam atau
kemeja batiknya untuk dilahab bersama dengan nafsu dasariahnya, nanti setelah
pulang.
Giliran
para pebisnis menuju meja. Tak sabar menunggu para pejabat bergeser. Lama
sekali. Seperti tak rela meninggalkan meja tempat roti-roti itu disajikan. Tumpukan
roti itu, nyaris mengendalikan otak sehat para pebisnis untuk mengambil alih
tempat kumpulan para pejabat. Bagaimanapun, sejatinya pejabat tetap di bawah
para pebisnis-pebisnis. Bedanya, para pejabat adalah wujud dari sosok yang
nampak terhormat.
Tapi
tidak, para pebisnis masih bisa menahan nafsu melumat roti-roti itu. Tak lama
kemudian, Presiden dan para pejabat negara lainnya beralih tempat. Sudah tidak
enak dipandang. Pasutri yang menjadi tuan rumah itu pun sedikit kikuk.
Setelah
melahapnya, para pebisnis berkelakuan aneh. Mirip para pejabat. Namun sedikit
lebih rakus. Pantas saja, mereka sedikit aman, tidak ditempeli gelar oleh
rakyat. Lebih lama pula. Para undangan biasa, seperti tetangga kanan-kiri
Pasutri tersebut sudah berdorong-dorongan. Oh ya, para pemuka agama ikut di
dalam kumpulan yang sedang berdorong-dorongan itu.
Penasaran,
para undangan yang terakhir pun
mengambil alih kumpulan para pebisnis. Mereka tak sungkan-sungkan lagi.
Saling pukul. Berebut. Suasana menjadi riuh. Ricuh. Chaos. Mereka tak mau dijadikan yang terakhir. Mereka berpikir,
nanti para pebisnis hanya menyisakan sedikit untuk mereka, sedangkan jumlah
mereka jauh lebih banyak!
Pasutri
Bingung. Juga penasaran. Sebagai tuan rumah, mereka sengaja tidak mencicipi
roti perang sebelumnya. Itu kesalahan. Atau mungkin malah menjadi langkah yang
benar. Setidaknya, pendapat kedua ini lebih menghargai tamu karena menyajikan makanan
yang bukan sisa. Entahlah.
Pasutri
heran. Bisa-bisanya pesta hancur hanya karena roti perang! Mereka juga berusaha
mencicipi. Tapi sial, keduanya hanya kebagian secuil dari hasil merebut dari
tangan seseorang. Meski begitu, mereka merasakan kenikmatan tiada tara. Ketagihan.
Tapi sayang roti segera habis. Hanya mendapat masing-masing sebesar batu akik.
Pesta berantakan. Tapi satu hal, rasa malu atau sungkan dengan kondisi demikian
menjadi lebur, lenyap.
Para
undangan pulang satu persatu sering habisnya roti di meja. Satu-dua orang
berhasil membawa pulang roti yang di sematkannya di dalam jas, kemeja, bahkan
celana dalam. Pasangan suami istri itu termenung. Duduk beradu punggung di
dekat meja roti. Tak sengaja, keduanya melihat satu roti yang jatuh di kolong
meja. Kebetulan, itu adalah roti paling nikmat dengan campuran tetesan air mata.
***
Tidak
seperti pasangan suami istri yang romantis dan penuh pengertian. Mereka tidak
mau mengalah satu sama lain. Terjadilah
ikrar, “Jika salah satu dari kita ada yang mengeluarkan suara, maka ia kalah
dan harus merelakan roti itu!” tantang suami wanita cantik itu.
“Baiklah,
dan satu lagi, jika kita berpindah dari tempat kita duduk, atau sedikit saja
tidak memandang roti itu, maka ia akan kalah!” tambah istri laki-laki itu penuh
ambisi.
“Baik,
saya sepakat!” suami wanita cantik itu tak mau kalah.
***
Sudah
dua hari berselang. Pasutri itu masih bersikukuh dengan pendiriannya. Tidak ada
cinta. Tidak ada kemesraan. Mereka fokus terhadap roti di kolong meja. Parah,
mereka tak pernah berpindah sekalipun ingin membuang kotoran dari dalam
tubuhnya!
Sementara
itu, roti dilihat dari jarak Pasutri itu duduk, sudah kelihatan menjamur. Tetap
saja, mereka enggan merubah pendirian satu sama lain, “Itu roti perang, mana
mungkin bisa menjamur atau basi hanya berselang beberapa hari.”, batin dari
salah satu di antara keduanya.
Memasuki
hari ketiga. Malam. Mereka berdua semakin lusuh. Kotor. Masih saling mengawasi
roti di kolong meja. Membisu seperti batu. Hingga terdengar suara detik jam
yang kian cepat, dan detak jantung yang kian lambat.
Dalam
kesenyapan di rumah megah itu, melahirkan berbagai alasan bagi dua orang
undangan di dalam pesta tempo hari. Dua orang itu, kenyataannya masih terbayang
betapa nikmatnya roti yang disajikan. Timbullah pikiran bahwa Pasutri tersebut
masih memiliki roti simpanan yang bisa untuk dicuri.
Kelengahan
rumah Pasutri yang megah itu membuat leluasa dua pencuri memasukinya. Masuk
jendela melalui pohon di sebelahnya. Di tengah aksinya, mereka berubah pikiran.
Rumah sunyi senyap. Mereka mengemasi seluruh isi rumah. Aman sekali. Bahkan
mereka sempat pulang dan kembali lagi membawa truk. Mereka angkut semua isi
rumah. Rumah megah mejadi kosong. Tetapi roti pun yang pernah memicunya untuk
mencuri tidak juga ditemukan.
“Meski
isi rumah sudah kosong, mungkin di halaman depan masih ada sisa-sisa roti.”
Ujar salah satu pencuri.
“Ya,
encer juga pikiranmu.” Kata temannya.
Keduanya
pun langsung menuju halaman rumah Pasutri. Mereka kaget. Bertemu dengan Pasutri
yang duduk beradu punggung dan menoleh kearah yang sama. Kedua pencuri menahan
langkah. Terpukul mundur. Setelah mereka tengok, tak ada siapa pun. Mereka tak
di kejar! Mereka kembali. Mengendap sambil mengenakan topeng. Mereka mendekati
Pasutri yang diam saja. Mereka merasa aneh. Merasa diuntungkan, lalu mengemasi
barang-barang layak curi di halaman rumah. Namun tak menemukan roti di kolong
meja itu.
Merasa
aman, kedua pencuri menjadi-jadi. Istri cantik laki-laki itu menjadi incaran.
Kedua pencuri menarik tubuh wanita itu dari punggung suaminya. Wanita itu tetap
membatu meski tubuhnya diseret. Kepala wanita tetap menoleh ke kolong meja.
Kedua pencuri kebelet birahi. Mereka fokus pada si wanita cantik.
Suami
wanita cantik tetap diam seribu bahasa. Mempertahankan posisinya, “Pencuri
bodoh, cepat buat bersuara mulut istriku, aku tak sabar menyantap benda di
kolong meja!” katanya dalam hati. Kedua pencuri abai saja pada laki-laki
penatap roti.
Wanita
cantik meronta sambil mulut terkunci. Berusaha mempertahankan posisi. Kedua
pencuri tak tahan. Tak jauh, sekitar dua meter di belakang suami si wanita, kedua
pencuri melepaskan birahi kepada si wanita cantik. Suaminya tetap diam. Fokus
kepada roti. Tak kuat menahan kelakuan pencuri, wanita cantik melenguh seperti
sapi betina.
Bersama
lenguhan istri, sang suami berkata, “Akhirnya mulutmu terbuka, aku menang, aku
berhak atas roti itu!” Triak suami dari wanita cantik itu sambil menuju kolong
meja dan cepat-cepat melumat roti ternikmat campuran air mata itu. Dia
melahapnya di kolong meja!
Sementara
suami dari wanita cantik itu menuju kolong meja kemudian menyantap roti usang
itu, dua pencuri selesai dengan hasratnya, mereka pergi meninggalkan rumah
Pasutri.
Laki-laki
yang mendapatkan roti terakhir keluar dari kolong meja. Wajahnya puas, matanya
berkaca-kaca. Ia menuju kepada isterinya dan berkata, “Aku menang, dan kau
kalah!”
“Bodoh!”
Dengan suara lirih si wanita. Tak berdaya.
***
Mendengar
kabar Pasutri itu, kakek saya shok. Saya merasa bersalah sudah menceritakannya.
Sekarang sudah empat puluh harinya.
Surabaya, 2015
0 comments:
Post a Comment