Blogroll

Thursday, November 8, 2012

Puisi Dody Kristianto, Koran Tempo 21 Oktober 2012


Pencak Walang

sungguh perilaku santun itu
menyimpan racun, menyimpan segala
yang akan meredupkan degup jantung
kala serangan pertama tiba

ia memang gemar datang tiba-tiba
kamu tentu akan terpesona dengan awalan
yang ia tunjukkan

sungguh tenang, begitu tenang
dan tak akan gegar
pada gertak para penghadang

ia yang kamu kira bercakar
sebenarnya hanya mengandalkan genggam
genggaman terkencang, genggaman
yang kamu pandang sederhana saja
namun ia dapat menyobek belulangmu
dan membuat tulangmu tampak di luaran

kamu yang tak waspada, tentu menduga
perilakunya remeh saja
siap-siap saja menerima sentakannya
di kepalamu

yang akan membuatmu rubuh
dan tak akan mampu kamu mengingat lagi
arak apa yang kamu tenggak pagi tadi

(2012)


Mengumpulkan Tenaga Dalam

Tentu tuntas jika jurus itu langsung
menyentuh jantung atau paru yang kamu lindungi.
Tapi, ia lebih memilih bersabar. Ia menyatukan
segala di sekitaran : kayu, api, air, tanah, logam,
semua yang tiba dari atas, bawah,
samping kiri, kanan.

Bahkan, ia tetap diam bila sepasukan berkuda
melaju bersama, mengarahkan apa yang mereka
genggam ke penjuru badan.

Ia bergeming.

Tapi ia tahu, sungguh tahu
kapan ia akan melangkah,
langkah-langkah serupa dalam kitab
yang ia simpan di ingatan.
Langkah seorang perenung, yang pasti
tak takluk pada sebatang tombak.

Ia tahu, bila tusukan hanya sekadar arah
yang layu bersama angin.
Ia mengerti bila sayatan tak lebih
dari lempeng besi yang lemah
di depan dada.

Sampai ia merasa, segala di sekitaran membaja,
menjadi satu gerak yang akan menghantam,
yang pasti keras, melebihi kekerasan baja
yang kamu tempa

(2012)


Menantang Sang Badra

pasti kau menyangka
pertarungan ini singkat
dan tak imbang

kau mengayun gobang
dengan baju baja
yang tak akan mempan
ditembus segala logam

sangat lantang menantang ia,
yang selalu tenang,
yang melangkahkan kaki
dengan tuntunan angin,
dengan bantuan segala bunyi
yang tak dapat kau ikuti

telah kau gelar jurus termahirmu,
siasat andalan, juga polah gobangmu
yang ingin mengupas kulitnya,
juga segala awalanmu
yang sudah menganggap ia tumpas
dalam sekali tebas

semoga saja kau tak salah
menata langkah
ia yang terlihat diam
sudah mengira
dengan ancangan apa
kau akan menyerang

dengan jurus tusukan
yang terbagi dalam tiga bayangan
atau semacam sabetan
yang menimbulkan
sepasang gelombang tipuan

kau tak mengira bukan
ia mengenali semua
dari entak kakimu
ia juga mengerti
dengan langkah apa
ia membikinmu jatuh

seketika kau merasakan bau tanah
dan membuat sepasang matamu
tak lagi dapat dibuka

ia benar mengerti titik lemahmu
sejak kau ucap sumbar pertama
dan telinganya dengan sabar
menangkap getar gertakmu

(2012)

Membangkitkan Pesilat Kadal

Kamu yang melepas langkah dari musim semi
yang lantang menantang jawara di tanah selatan
tunggulah tunggu. aku yang telah kamu taklukkan
sekian petang lalu akan menumpahkan dendam.

Aku, yang sudah berguru pada pesilat sepi
di pucuk gunung itu, menyimpan beragam siasat
dan hantaman yang tak pernah kamu rasa sebelumnya.

Lidah racunmu takkan sanggup menyengat aku lagi.
Telah kutempa beraneka ilmu kulit kebal,
mulai dari ajian badak hingga perihal belulang buaya.

Jika kamu gunakan tenung pamungkasmu, aih,
tak akan gentar, aku tak gemetar. Segala pukulan gaib
dan jurus tameng selubung tubuh aku pegang penuh.

Hingga tak gegar aku tamatkan bermacam sesumbar,
semua pendekar yang berlalu di depan pandang.
Termasuk engkau, yang menepi dan sembunyi
di padasan rawa-rawa kering 

(2012)

Tentang Tarung Terakhir

Yang berlalu bersama sajak
tentu tak cuma tombak

kapak dan segala yang tak bijak
akan turut beranjak.

Juga ia, sang jemawa yang mennyambut laga dengan pencak mahagalak. Aih, jawara selatan, yang tak mempan ditembus segala tajam, yang tak hangus dijilat lidah panas. Datang. Datanglah seliat dan segila peneguk arak.

Malam ini tarung penghabisan. Kita gelar semua jurus : gerak ancang, pukulan, tendangan, cabikan, hingga semua pitingan yang kau kulik dari hikayat kitab kerahasiaan.

Pukul di samping dan kau mengelak,
cakaranmu berbuah garis,

tapi tendanganku berakhir lebam
yang tak dapat kau sembunyikan.

Bila bulan itu tak lagi bundar di mata, segera akhirkan saja pertarungan. Langkah panjang tak sanggup lagi kita lakukan. Hunuskan, tembuskan segala pedang atau gelar saja sengat berbisa yang tak mungkin lagi diterawang mata.  

(2012)


Biodata :
Dody Kristianto, lahir di Surabaya, 3 April 1986. Saat ini ia tinggal di Sidoarjo dan bergiat bersama Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI).



2 comments:

ada foto medianya sebagai bukti pemuatan, terus ada naskah puisi-puisinya pula. ini sangat lengkap. dan menjadi sungguh sangat bisa dinikmati. keren, mas dody kristianto. suka sekali dengan model postingan yang seperti ini. semoga tradisi ini bisa berlanjut. sukses untuk blognya. juga para awak redakturnya.

terimakasih banyak telah mengapresiasi yang kami kerjakan

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post