Blogroll

Thursday, November 8, 2012

Sepasang Sajak Goenawan Mohammad

Photobucket


Kali ini, SARBI ingin mengunggah sepasang puisi panjang Goenawan Mohammad. Budayawan yang juga dikenal dengan Kolom Catatan Pinggir di Majalah Tempo ini tahun lalu genap merayakan ulang tahunnya yang ke 70. Bertepatan dengan peringatan itulah, diterbitkan 11 buku GM. Di antaranya tentu saja buku puisi. Dua puisi yang diunggah oleh SARBI kali ini berasal dari kumpulan puisi Misalkan Kita di Sarajevo. Selamat Membaca.

Untuk Frida Kahlo

Frida Kahlo menulis dalam catatan hariannya: ”Hidup yang
diam, pemberi dunia, apa yang paling penting ialah tiada
harap.” Di sana disebutnya juga fajar, pagi, rekan-rekan merah,
ruang besar biru, daun-daun di tangan, burung yang gaduh …

Apakah yang kita mengerti sebenarnya, tadi: kesederhanaan
lagu tentang nasib, atau arus tak sadar pada tinta, darah dalam
dawat, deretan kata-kata murung? Apa penanda, apa petanda?

Frida tak pernah menjawab. Berhari-hari yang nampak adalah
lelaki, tamu-tamu, yang berdatangan, melalui beranda Rumah
Biru, menyapanya, duduk-duduk, minum teh, mencicipi kue,
dan berceloteh dan melucu, sambil berdiskusi tentang tuhan
yang mereka ingkari dan kedatangan Trotsky
Mereka berkata, ‘Tidak, Frida, kau tak apa-apa’
Tapi di alis itu …

di alismu langit berkabung
dengan jerit hitam
dua burung

di ragamu tiang patah
di kamar narkose, ampul tertebar:
sisa sakit dan sejarah

tapi kijang yang tak menjerit di hutan
pada luka lembing penghabisan
adalah seorang perempuan

uluhati yang tercerabut
tapi terbang, menjemput Maut
adalah seorang perempuan

Kemudian akan datang lusa: dari Cayougan orang-orang akan
pulang, dan akan datang pula orang lain. Ada yang telah
berangkat mengurus revolusi atau kembali menenteng tas dan
kertas-kertas – manifesto yang kehilangan bunyi. Tapi semua
berkata, “Tidak, Frida, kau, kita, juga Diego Riviera, telah
berusaha untuk setia, tapi kita bukan apa-apa lagi. Dunia
sudah tak seperti dulu.”

Bukan apa-apa …

tapi di matamu kaulihat
piramid-piramid sakit
mencari air kaktus
pada pucat langit

Lalu kaulukiskan airmatamu,
seperti mutiara dan
putih cuka
di tembikar kulitmu

Di atasnya para santo
dan wajah Diego: praba dan cahaya
yang membakar kekal
mimpi Meksiko


Di ruang Meksiko itu, dengan gaun putih Tehuana, Frida
menghentikan kursi rodanya. Kamar berubah suhu, tapi hidup,
seperti dulu, adalah kini yang berganti-ganti. Kekekalan – yang
telah mengalami semua, dan akan menyaksikan semua – tak
ada. Palet yang memamerkan luka, paras Judas, rangka dari
kertas, buket kembang lavender yang tertahan di tangan:
elemen waktu yang berakhir setiap hari, setiap kali.

Terkadang ia tergoda juga untuk lupa: dilukisnya korsase putih
yang tetap bersih dan Noguchi (di dada seorang perempuan, di
Manhattan, yang jatuh dari gedung-gedung, dengan raut
cemerlang, bunuh diri).

Apakah mati sebenarnya? Konon di tempat tidurnya – sebelum
orang mengangkatnya ke api kremasi – ada seorang yang
datang dan mencium parasnya, penghabisan kali, “Frida, kau
adalah ketakjuban kepada harum brendi, senyum di
percakapan dan ranum pisang dalam sajikan makan malam.
Kau tergetar kepada apa yang sebentar.”

Barangkali mati adalah transformasi, perjalanan ramarama
yang sedih yang menghilang ke arah roh: keabadian yang tak
tahu telah berubah lazuardi.

“Apa yang akan kulakukan tanpa yang absurd dan yang
sementara?”
Benar, begitulah ia pernah bertanya.

1993-1994


Misalkan Kita di Sarajevo

Buat B.B dan kawan-kawan

Misalkan kita di Sarajevo; mereka akan mengetuk
dengan kanon sepucuk
dan bertanya benarkah ke Sarajevo
ada secelah pintu masuk.

Misalkan kita di Sarajevo: tembok itu,
dengan luka-luka peluru,
akan bilang “tidak”,
selepas galau.

Tapi kau tahu musim, di Sarajevo
akan mematahkan engsel,
dingin akan menciutkan tangan,
dan listrik lindap.

Orang-orang akan kembali
dari kedai minum,
dan memandangi hangus
di loteng-loteng.

Apakah yang mereka saksikan sebenarnya
di Sarajevo: sebentang samun,
tanah yang redam?
Apakah yang mereka saksikan sebenarnya?

Keyakinan dipasak
di atas mihrab dan lumbung gandung
dan tak ada lagi
orang membaca.

Hanya mungkin pada kita
masih ada seutas tilas,
yang tak terseka. Atau barangkali
sebentuk asli katahati?

Misalkan, misalkan, di Sarajevo: bulan
tak meninggalkan replika,
di dekat menara, tinggal warna putih
yang hilang dari azan

Misalkan angin juga kehilangan
perangai
di pucuk-pucuk poplar kuning
dan taman yang tak bergerak.

Pasti nenek peri, dengan suara kanker di perut,
akan berkata,
“Tinggal cobaan dalam puasa
di padang gurun, di mana kau tak bisa.”

Mengapa kita di Sarajevo?
Mengapa gerangan kita pertahankan kota ini?
Seperti dalam sebuah kisah film,
Sarajevo tak bisa takluk.

Kita tak bisa takluk
Tapi keluar dari gedung rapat umum,
orang-orang sipil
akan mengenakan baju mereka yang terbaik,

mencium pipi para isteri, ramah tapi gugup,
meskipun mereka, di dalam saku,
menyembunyikan teks yang gaib itu:
“Bukan roti, melainkan firman.”

Batu-batu di trotoar ini
memang tak akan bisa jadi roti
cahaya salju di kejauhan itu
juga tak akan jadi firman

Tapi misalkan kita di Sarajevo
Di dekat museum itu kita juga akan takzim
membersihkan diri: Biarkan aku mati
dalam warna kirmizi.”

Lalu aku pergi
kau pergi, berangkat, tak memucat
seperti awal pagi
di warna kirmizi

1994



Tentang Goenawan Mohamad
Goenawan Mohamad lahir di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941. Mengikuti pendidikan di Fakultas Psikologi UI (1960-1964), di College d’Europa, Brugge, Belgia (1965/1966), juga mendapatkan fellowship di Universitas Harvard, AS (1989-1990). Karyanya: Parikesit (kump. Puisi, 1971), Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin Kundang (kumpulan esai, 1972), Interlude (kump. Puisi, 1973), Seks, Sastra, Kita (kumpulan esai, 1980), Catatan Pinggir. Menerima hadiah sastra ASEAN (1981).



0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post