Kali ini, SARBI ingin mengunggah sepasang puisi panjang Goenawan Mohammad. Budayawan yang juga dikenal dengan Kolom Catatan Pinggir di Majalah Tempo ini tahun lalu genap merayakan ulang tahunnya yang ke 70. Bertepatan dengan peringatan itulah, diterbitkan 11 buku GM. Di antaranya tentu saja buku puisi. Dua puisi yang diunggah oleh SARBI kali ini berasal dari kumpulan puisi Misalkan Kita di Sarajevo. Selamat Membaca.
Untuk Frida Kahlo
Frida Kahlo menulis dalam catatan hariannya: ”Hidup yang
diam, pemberi dunia, apa yang paling penting ialah tiada
harap.” Di sana disebutnya juga fajar, pagi, rekan-rekan
merah,
ruang besar biru, daun-daun di tangan, burung yang gaduh
…
Apakah yang kita mengerti sebenarnya, tadi: kesederhanaan
lagu tentang nasib, atau arus tak sadar pada tinta, darah
dalam
dawat, deretan kata-kata murung? Apa penanda, apa petanda?
Frida tak pernah menjawab. Berhari-hari yang nampak
adalah
lelaki, tamu-tamu, yang berdatangan, melalui beranda
Rumah
Biru, menyapanya, duduk-duduk, minum teh, mencicipi kue,
dan berceloteh dan melucu, sambil berdiskusi tentang
tuhan
yang mereka ingkari dan kedatangan Trotsky
Mereka berkata, ‘Tidak, Frida, kau tak apa-apa’
Tapi di alis itu …
di alismu langit
berkabung
dengan jerit hitam
dua burung
di ragamu tiang
patah
di kamar narkose,
ampul tertebar:
sisa sakit dan
sejarah
tapi kijang yang
tak menjerit di hutan
pada luka lembing
penghabisan
adalah seorang
perempuan
uluhati yang
tercerabut
tapi terbang,
menjemput Maut
adalah seorang
perempuan
Kemudian akan datang lusa: dari Cayougan orang-orang akan
pulang, dan akan datang pula orang lain. Ada yang telah
berangkat mengurus revolusi atau kembali menenteng tas
dan
kertas-kertas – manifesto yang kehilangan bunyi. Tapi
semua
berkata, “Tidak, Frida, kau, kita, juga Diego Riviera,
telah
berusaha untuk setia, tapi kita bukan apa-apa lagi. Dunia
sudah tak seperti dulu.”
Bukan apa-apa …
tapi di matamu
kaulihat
piramid-piramid
sakit
mencari air kaktus
pada pucat langit
Lalu kaulukiskan
airmatamu,
seperti mutiara
dan
putih cuka
di tembikar
kulitmu
Di atasnya para
santo
dan wajah Diego:
praba dan cahaya
yang membakar
kekal
mimpi Meksiko
Di ruang Meksiko itu, dengan gaun putih Tehuana, Frida
menghentikan kursi rodanya. Kamar berubah suhu, tapi
hidup,
seperti dulu, adalah kini yang berganti-ganti. Kekekalan
– yang
telah mengalami semua, dan akan menyaksikan semua – tak
ada. Palet yang memamerkan luka, paras Judas, rangka dari
kertas, buket kembang lavender yang tertahan di tangan:
elemen waktu yang berakhir setiap hari, setiap kali.
Terkadang ia tergoda juga untuk lupa: dilukisnya korsase
putih
yang tetap bersih dan Noguchi (di dada seorang perempuan,
di
Manhattan, yang jatuh dari gedung-gedung, dengan raut
cemerlang, bunuh diri).
Apakah mati sebenarnya? Konon di tempat tidurnya –
sebelum
orang mengangkatnya ke api kremasi – ada seorang yang
datang dan mencium parasnya, penghabisan kali, “Frida,
kau
adalah ketakjuban kepada harum brendi, senyum di
percakapan dan ranum pisang dalam sajikan makan malam.
Kau tergetar kepada apa yang sebentar.”
Barangkali mati adalah transformasi, perjalanan ramarama
yang sedih yang menghilang ke arah roh: keabadian yang
tak
tahu telah berubah lazuardi.
“Apa yang akan kulakukan tanpa yang absurd dan yang
sementara?”
Benar, begitulah ia pernah bertanya.
1993-1994
Misalkan Kita di Sarajevo
Buat B.B dan kawan-kawan
Misalkan kita di Sarajevo; mereka akan mengetuk
dengan kanon sepucuk
dan bertanya benarkah ke Sarajevo
ada secelah pintu masuk.
Misalkan kita di Sarajevo: tembok itu,
dengan luka-luka peluru,
akan bilang “tidak”,
selepas galau.
Tapi kau tahu musim, di Sarajevo
akan mematahkan engsel,
dingin akan menciutkan tangan,
dan listrik lindap.
Orang-orang akan kembali
dari kedai minum,
dan memandangi hangus
di loteng-loteng.
Apakah yang mereka saksikan sebenarnya
di Sarajevo: sebentang samun,
tanah yang redam?
Apakah yang mereka saksikan sebenarnya?
Keyakinan dipasak
di atas mihrab dan lumbung gandung
dan tak ada lagi
orang membaca.
Hanya mungkin pada kita
masih ada seutas tilas,
yang tak terseka. Atau barangkali
sebentuk asli katahati?
Misalkan, misalkan, di Sarajevo: bulan
tak meninggalkan replika,
di dekat menara, tinggal warna putih
yang hilang dari azan
Misalkan angin juga kehilangan
perangai
di pucuk-pucuk poplar kuning
dan taman yang tak bergerak.
Pasti nenek peri, dengan suara kanker di perut,
akan berkata,
“Tinggal cobaan dalam puasa
di padang gurun, di mana kau tak bisa.”
Mengapa kita di Sarajevo?
Mengapa gerangan kita pertahankan kota ini?
Seperti dalam sebuah kisah film,
Sarajevo tak bisa takluk.
Kita tak bisa takluk
Tapi keluar dari gedung rapat umum,
orang-orang sipil
akan mengenakan baju mereka yang terbaik,
mencium pipi para isteri, ramah tapi gugup,
meskipun mereka, di dalam saku,
menyembunyikan teks yang gaib itu:
“Bukan roti, melainkan firman.”
Batu-batu di trotoar ini
memang tak akan bisa jadi roti
cahaya salju di kejauhan itu
juga tak akan jadi firman
Tapi misalkan kita di Sarajevo
Di dekat museum itu kita juga akan takzim
membersihkan diri: Biarkan aku mati
dalam warna kirmizi.”
Lalu aku pergi
kau pergi, berangkat, tak memucat
seperti awal pagi
di warna kirmizi
1994
Tentang Goenawan Mohamad
Goenawan Mohamad lahir di Batang, Jawa
Tengah, 29 Juli 1941. Mengikuti pendidikan di Fakultas Psikologi UI
(1960-1964), di College d’Europa, Brugge, Belgia (1965/1966), juga mendapatkan
fellowship di Universitas Harvard, AS (1989-1990). Karyanya: Parikesit (kump. Puisi, 1971), Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin
Kundang (kumpulan esai, 1972), Interlude
(kump. Puisi, 1973), Seks, Sastra, Kita
(kumpulan esai, 1980), Catatan Pinggir.
Menerima hadiah sastra ASEAN (1981).
sumber: www. kepadapuisi.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment