Blogroll

Tuesday, August 13, 2013

Gingsul

 photo gingsulcopy_zps8dc9c817.jpg
Karya Deni Dessastra, a.k.a Doeasembilanpro

Cerpen Salamet Wahedi

“Dokter, sebelum dokter memeriksa gigi saya. Saya ingin mengutarakan duduk persoalan yang saya hadapi. Seperti kata dokter, dua bulan lalu, saat saya memutuskan mencabut gigi saya, saya sebenarnya tidak ingin mengutak-atik gigi saya. Seperti kata dokter pula, saya sebenarnya tidak ingin membuang satu-satunya barang saya yang paling berharga. Saya selalu teringat kata-kata dokter, selalu mengandaikan hidup dengan kata-kata dokter. Dalam hidup kita harus memiliki ‘harga’. Harus berharga”
Pagi ini, 06.00, sebelum dentang jam kerja berseru di setiap kepala, Evi Joe seperti ingin menumpahkan segala isi kepalanya di meja dokter Zopick. Evi Joe, pasien nomor antri lima. Nomor antri terakhir pasien praktik pribadi Dokter Zopick sebelum berangkat ke rumah sakit. Rumah dokter Zopick bertemu dengan semua orang dari semua lapisan.
Evi Joe, dara yang duapuluh empat tahun lalu tangisnya pecah di sebuah rumah sakit. Tangis yang lebih muda kira-kira dua tahun dibanding tangis dokter Zopick. Joe tumbuh kembang di sebuah keluarga sederhana. Keluarga yang pagi-pagi sudah harus menyela dingin embun dan udara bukit Padike. Keluarga yang bersetia dengan lenguh kerbau. Dengan arit. Dengan keranjang. Dengan rumputan yang segar.
Tapi tidak dengan Joe. Ia tidak ingin mencecap dingin embun. Ia tidak ingin bersetia dengan ritus lereng bukit Padike. Ritus yang menyanggulkan hidup pada perjalanan berangkat-pagi-pulang-sore hanya demi selenguh kerbau. Ritus Sisiphus yang ketika mendongakkan kepala hanya kesederhanaan yang paling purna membayang.
Setelah lulus SMP, setelah usia muda mulai diintai pernikahan pedesaan, Joe memutuskan melanjutkan sekolah. Joe, yang tumbuh sebagai gadis belia, tumbuh dengan sederhana. Ia hanya ingin sekolah ke jenjang yang paling tinggi. Jenjang sekolah yang tidak akan lagi memedulikan atau mempermasalahkan penampilannya. Joe, tidak seperti temannya, tidak dikaruniai wajah yang wah. Bentuk tubuh yang aduhai. Atau suara solek yang membangkitkan sejuta cerita dan gairah.

***
“Masalah apa yang Anda hadapi? Sehingga Anda bolak-balik ke sini hanya memeriksakan gigi yang menurut saya sudah wajar. Gigi anda sungguh bagus. Dapat memperindah senyum Anda”, setengah menggoda setengah kesal, Dokter Zopick menanggapi cerita pasien terakhirnya pagi ini. Cerita yang seolah membentang seribu rupa kesibukan. Bermacam kebisingan. Sedang jam menunjuk pukul 06:15.
“Gigi saya sebenarnya tidak bermasalah. Saya sangat bersyukur dikaruniai gigi seperti ini. Tapi gigi saya yang gingsul ini, yang kata dokter bisa menambah harga diri saya, ternyata menimbulkan masalah. Membuat orang-orang yang melihat saya, jadi gelisah. Mereka gelisah. Lebih tepatnya sering bergairah”
Kali pertama orang jatuh cinta pada Joe, adalah ketika Joe duduk di kelas 2 SMA. Adalah Ahmad Mubassir, teman sekelasnya, orang yang pertama mengungkapkan kekagumannya pada keistimewaan gigi gingsul Joe. Waktu itu, Joe dan teman-temannya baru usai mengikuti mata pelajaran olahraga. Lari-lari kecil dan jalan jarak jauh.
“Joe, ke kantin yuk”, seperti biasa, Mubassir selalu mengajak Joe makan bareng. Joe selalu tidak punya alasan untuk menolak. Joe selalu sendirian. Tapi kali ini Joe merasakan ajakan Mubassir tidak seperti biasanya. Nada suara Mubassir menyiratkan hawa yang membuat dada Joe bergetar.
“Joe”, setengah ragu, sambil melahap dua helai mie ayam, dan dengan raut yang memancar rona kemalu-maluan, Mubassir menatap mata Joe. Ia seolah-olah sedang mencari kata-kata yang pas, mengulur waktu hingga saatnya tiba. “Joe aku suka kamu Joe” setengah tersedak, Joe membalas tatapan Mubassir. Tapi cuma sebentar. Joe buru-buru berpikir. Mencar-cari alasan apakah yang membuat Mubassir nekad. Nekad, sebab pilihan ini, menurut Joe, di luar kewajaran anak-anak yang jatuh cinta. Joe dalam hitungan detik, seolah masih ingin menyadarkan diri, bahwa tak ada yang istimewa dari penampilannya. Joe, juga ingin menyadarkan Mubassir, tidak salahkah ia mengucapkan kata-kata yang ‘sakral’, melegenda dan bahkan memenuhi setiap cerita besar anak manusia. Joe sekali lagi ingin memastikan bahwa Mubassir lagi bergurau.
Tapi sayang Mubassir tidak bergurau. “Joe aku serius. Kalau kau tanya kenapa aku suka kamu, karena kau bergingsul. Gingsulmu yang telah membuatku kepincut

***
“Apakah karena cinta teman Anda, Anda gelisah dan merasa bersalah dengan gigi Anda? Sehingga Anda mencabut gigi gingsul Anda?”, dokter Zopick membetulkan letak kaca-matanya. Tangannya meraih ballpaint dan menuliskan beberapa keterangan Joe yang dianggap perlu. Nama lengkap Joe. Usia Joe. Juga tidak lupa alamat lengkap Joe.
Mendengar pertanyaaan yang dilempar dengan nada menggoda dan bercanda, Joe agak sedikit tersipu. Wajahnya sejenak merona. Tapi buru-buru ditepis Joe dengan senyum menidakkan.
Setelah lulus SMA, Joe benar-benar sadar bahwa Mubassir memang suka padanya. Mubassir melamar Joe untuk menjalin hubungan yang diikat dengan tali kasih. Hubungan yang direstui oleh kedua orang tua terkasih. Tapi Joe menolaknya dengan halus. Joe masih bingung. Sebab selain Mubassir, ternyata sudah banyak orang-orang yang bisik-bisik ke orang tuanya. Dengan alasan melanjutkan sekolah, Joe meminta waktu untuk hidup sebagai remaja sederhana.
Tapi sayang, untung tak dapat dikejar, malang tak dapat ditolak. Keputusan Joe menolak Mubassir, ternyata seperti tombol nyala bom waktu. Dalam hitungan menit siap meledak. Tersiarlah kabar Joe menolak pinangan Mubassir. Meledaklah bom watu itu. Orang-orang yang selama ini sembunyi-sembunyi mencintai Joe, atau enggan mendekati Joe karena sungkan pada Mubassir, anak kepala desa Padike, mulai menampakkan diri. Bahkan tak jarang mereka mulai berdebat tentang siapa yang bisa meluluhkan hati Joe. Bisa mendapatkan cinta Joe. Bisa menikmati gigi gingsul Joe seutuhnya.
Kaum lelaki Desa Padike; para pemuda, orang yang sduah beristri dan jenis lelaki lainnya semisal duda; mulai ramai memperbincangkan Joe. Mereka mulai menimbang kekurangan dan kelebihan Joe. Mengukur kekuatan mendapatkan Joe. Atau bahkan terang-terangan melakukan lobi untuk saling menjinakkan. Sehingga bermacam-macamlah rupa orang-orang yang mencintai Joe. Ada yang terang-terangan mengakui dan menyebut Joe  sebagi pujaan hati. Joe pemilik gigi gingsul yang melukai hati. Juga ada yang masih sembunyi-sembunyi mengakui keunikan gigi gingsul Joe.
Setiap hari, orag-orang pecinta Joe terus mendebatkan Joe. Tiada henti mereka mencari dan mengurai jejak-rekam hidup Joe. Maka tidak heranlah, kalau suatu waktu mereka terpilih sebagai anggota dewan, akan berputar-putar menyelesaikan suatu masalah. Mereka akan hadir sebagai empu kata-kata. Sebagai generasi bangsa yang malas kerja.
Joe resah. Joe gelisah. Joe juga merasa bersalah. Joe akhirnya mencabut gigi gingsulnya untuk mengakhiri masalah.

***
“Keperluan Anda sekarang? Ingin mencabut gigi lagi?”, dokter Zopick memastikan keperluan pasien terakhirnya. Pasien yang dua bulan lalu, membuatnya melemparkan pertanyaan-pertanyaan gelisah dan menggoda. Sedang jam sudah menunjuk pukul 06: 45.
“Itulah masalahnya Dokter. Saya ke sini masih bingung. Saya tidak tahu mesti berbuat apa-apa”, Joe tampak gelisah. Rasa bersalah begitu membuncah. “Setelah saya cabut gigi gingsul saya, orang-orang, yang konon katanya mencintai saya, jadi marah. Saya bingung dengan tetangga saya. Dengan masyarakat desa saya”.
“Lantas?”
“Saya minta pendapat Dokter. Apa yang sebaiknya saya lakukan? Atau bagaimana saya mesti bersikap dan mengambil keputusan? Atau … Saya bingung bagaimana cara menyelesaikan masalah ini. Tolong beri saya saran Dokter?”
“Lantas?”
“Menurut dokter, saya harus bagaimana?”
“Saya hanya seorang dokter gigi”
“Lantas?”
“Anda bingung dengan masyarakat Anda?
“Ya. Lantas?”
“Bagaimana kalau Anda jadi istri saya?” dokter Zopick benar-benar membetulkan letak kaca-matanya. Ia menatap lurus ke mata Joe yang berkaca-kaca. Joe tak bisa berkata ‘lantas’ dengan tanda baca lagi.
Sedang jam menunjuk pukul 06:59. Pukul untuk berangkat kerja. Dan deru mobil di depan rumah dokter Zopick, seolah ingin memastikan pagi yang tidak biasa. Pagi yang membuat Joe tambah gelisah.

Lidahwetan, 2010

Salamet Wahedi, lahir di Sumenep, 3 Mei 1984. Alumnus Ponpes Mathali'ul Anwar.

Dimuat Lembar Sastra SARBI edisi #4, Agustus 2011

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post