Blogroll

Monday, August 5, 2013

Puisi-Puisi Muhamad Aris

 photo Artists_JakeChapman_born1966__DinosChapman_born1962__Title_ExquisiteCorpse_FromExquisiteCorpse_Date_2000_Medium_Etchingonpap_zpsb18e36c8.jpg 
Karya: Jake Chapman & Dinos Chapman. Berjudul: Exquisite Corpse From Exquisite Corpse. Tahun 2000. Media: Etching on paper. Dimensi: 228 x 78 mm. Koleksi: Tate

Rawe Makan Kepala
Kepala-kepala teracak bangku. Menebarkan suara
menghancurkan kristal hitam
penutup salju dan hangat matahari
di atas karpet semut merah merambat, berbaris
lampu memberi pentunjuk di atas data garis-garis
terkaman kaki di sekitarnya
karpet menyebar asam sulfat bagi rawe yang mulai
menjaja kulit, tangan-tangan mengumpat, gesekan kuku
memukul malam dengan sapu lidi

Ngilu Peju
angin
angin engkau runtuh
seperti ingin
dengus-geliat malam penuh gendam

mulai engkau telanjang
ndedar tiap liuk-lekuk badang

sering jadi pedang

diri sengaja cipta sepi
sejak gerisik ranting lukis pincang jejak

"aku mantra
aku mantra!"

seruak bau lebus
dari sela selangkangan

farji

teman kasih
setia tak pernah lengah

mancar
haru biru hari-hari

cakap cuma lubang kecil
gelap
ruang tampak
pengap
kubur dan jasat
lanskap

renik-renik suntuk terus
tembak lurus gema firdaus

acak-acak wujud sang bagus

segala rupa pedas dibelah
raut diraut hingga tinggal kata

"tak ada
tak ada!"

seperti ia pernah musnah

"hampa!"
katanya

harus kembali mulus
jadi tanah atau njelma sperma

2000


 Tertimbun Seribu Lumpur
“bila hati hilang api
pikiranpun tak penting lagi!”
ketika hujan tinggal gemuruh
seperti derap bayang-bayang
dari semak-semak yang jauh
mungkin ruang yang berdenting
dengan warna kecapi
melarung masa lalu, barisan waktu
tanggal di antara debu dan tanah-tanah ungu
retak dengan jejak
tak lagi nampak
aku kupas pikiranku lewat sayap serangga
di hening angin
saat malam mencambuk kelamin
di kertas-kertas buram; puisi mabuk!
lihatlah, O! aku gerakkan jari-jari hingga gelombang
tenang. menjahit daun-daun kering yang terbang
di bau-bau bangkai, mayat tanpa tubuh juga nama
tertimbun seribu lumpur dan terlempar
jadi puing-puing. asing.
O! dalam mata terkapar aku lontarkan mimpi
sejarah hitam seperti tetes embun
memecah jalan-jalan elan. dan aku
bekukan darahku melukis asap-angin
hingga aku tahu
seribu malaikat pelan mendekat
dan mati

Lamongan, 2005

Musik Dendam Musik Kambang
sebab gelengan kepalaku adalah musik yang membakar
dendam ruh-ruh purba hadir dan berteriak
melaknat para khianat: kaum telanjang
pemuja pantat dan selangkang
ya widi ya tragedi
inilah sejarah tulang, musik yang kambang
batu-batu perburuan terukir di gua
asing. juga warna lumut paling maut
berputar di kepala seperti nasib di tengah manuskrib
api di dalam kutang yang menantang
ah! seperti itulah irama
semisal kutuk atas tubuh tanpa ampun
tanggal. luruh di tanah terkalang jadi sampah
dan diantara deretan makam
ada yang terloncat, mencelat
susuri lagu-lagu masa lalu
masa penuh peluru yang menghalau
gegap silau. matahari yang hijau
membentuk ruang dan salju-salju neraka
ya widi ya bir-birahi
simak segala aib di kutub-guruh senggama; senja
cekik jantung lewat pusat-pusaran gelombang
ah! tangis hentikan gerimis
dan O! segala lentik-petikan jari-jari
hilang. hilangkan hari-hari sunyi; wujud langit
waktu yang berhenti dan segera
gegas bunuh diri

Lamongan, 2005

Batu Dingin di Dalam Api
ombak pun meleleh
menggelegak!
dan tubuhku terhunjam
seribu tombak
kitapun harus pulang susuri tanah-tanah retak
persemaian pertama saat matahari merah
dan hujan penggal luka
duka yang masih basah
datang dan terus berdentang sepanjang musim
airmata
hingga jauh membentuk lubang
kubang sumur yang gembur
kita tanggalkan mata dalam mimpi
terjaga seperti batu dingin di dalam api
meluncur dan berputaran di kepala kita
terbang-tembus tubuh
lelap
gemerlap cabik-cucuki gunung
batu-karang
semua tiba-tiba menelan hari penuh elan
ombak pecah, garang meloncat di atap rumah
dan nyawa begitu gundah
seperti kita dengan jantung lepas
berdegup menghitung warna detik di telinga
ah, kitapun membuat asap dari debu
dari keringat di setiap bangkai
penuh dan bergemuruh oleh gempa
atas laut yang gelegar
selangut lagu-lagu kalut
lalu tangan seperti juga kulit tipis dalam gerimis
kita letakkan di rami-rami jerami
menghapus setiap nafas-nafas sunyi
dan pelan-pelan
memungut maut hingga impas
dan balik ke tanpa sungut

Lamongan, 2005

Mayat yang Pulang
“adakah duka ngalir pada airmata
saat angin sembur bau bangkai
mayat yang pulang, berseragam
dan ketuk pintu
ibu?”
malam bakar suara, erangan
seribu sajadah berarak lewat tetes air
dalam mimpi ngukir luka
seribu sihir dengan tubuh
berkubang darah
dari denting gerimis
aku saksikan jalan-jalan mekar
nggergaji setiap puisi, tubuh
terpenggal dan menjalar jadi aksara-aksara
mursal bergerak di antara sakal
matahari seperti taifun, tahun-tahun
kembali meledak sekaligus diam
mematung-pancari pusara-pusara panjang
berlumut dengan ilalang ditumbuhi sperma
“adakah duka?”
mungkin api
berdentam dengan janggut putih
meremas nafas bayi-bayi yang tumbuh
dan mati dengan derap
para pencuri kitab; sang keris
pukul-patahkan kaki pengelana
di padang paling gilap
rumput-rumput meranggas
tanah-tanah meluncur dari kuncup payudara
gunung berapi yang hunjam gung dan gaung
lalu kampung
menghisap gagap-gelagap irama asap
dan segala
lenyap-melesap di batas
batang-batang padi dan aku
gasak-santap penuh gegap
“mayat yang pulang, berseragam
ketuk pintu
ibu?”

Lamongan, 2005


Hujan pun Langut
hujan pun langut
angin berkibar-kobar penuh sikut
lalu diam
seperti batu apung
tenggelam
waktu kembali menetes
teriaki lubang-lubang jalan
jalan bermuara dengan serakan puing
dan bau obat yang sangat pesing
pelan-pelan cerita dimulai
menetes dari kilau lembab gua
jadi warna airmata; sebotol keringat
urung dilempar sebab terlanjur memar
semua tertikam di garis-garis ritmis
laut dan gelombang seperti rindu
gagap berlari dalam lagu lindu
gegap dan melontar tubuh lebih gemuruh
dari segala guruh dan peluru
ah, ruang hanya hitam
bayang-bayang selalu tampak saat merah
racun di sisik panah berloncatan
dan putihkan usia
seperti maut selalu luput
selalu bergelut

Lamongan, 2005


Muhamad Aris lahir di Lamongan, 19 Agustus 1975. Direktur Lembaga Pengkajian Agama, Sastra, dan Sosial (LePASS) dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP). Karyanya berupa puisi, cerpen, dan esai tersiar pada beberapa media dan antologi bersama. Bersama W Haryanto, Indra Tjahyadi, dan Mashuri, Aris merupakan salah satu eksponen puisi gelap di Surabaya. Beberapa puisi di atas dicuplik dari blog intjah.blogspot.com dan sajak-sajak-pertiwi.blogspot.com.

Redaktur SARBI: Dody Kristianto

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post