Blogroll

Friday, September 21, 2012

DENGAN MATA KEPALA SENDIRI

Photobucket

R.A. Hartyanto*
        Dengan mata kepala sendiri, Fadly melihat bagaimana malaikat itu mengakhiri hidup tuannya. Orang bilang karena stroke, tapi baginya tetap saja malaikat tadi yang mengakhiri hidup tuannya. Tak ada sayap, tak ada lingkaran di atas kepalanya, bajunya pun juga tak berwarna putih seperti yang biasa dilambangkan kesucian. Yang Fadli tahu, dia datang dan pergi secepat kita menarik nafas dan menghembuskannya kembali.
Ф
        Fadli hanya seorang supir pribadi, sekolah dasar baginya ialah pendidikan tertinggi. Pernah mencuri dan masuk bui saat keluarganya mati kelaparan akibat gempa bumi, selanjutnya hidup di panti sampai remaja sampai ada yang mengadopsi sampai pekerjaan dia cari sampai akhirnya diangkat jadi sopir pribadi.
        Sasongko, pengusaha besi tua, beranak lima wanita semua, istrinya tak ada, sudah mati katanya. Sekarang Sasongko hidup sebatangkara, sudah berumur lima puluh lima, kelima anaknya meninggalkannya pula. Anak pertama ikut suami kerja di Malaysia, anak kedua jadi istri tentara dinas di Papua, anak ketiga pengusaha batik di Jakarta, sedang anak keempat-kelima sampai saat ini tak ada yang tahu rimbanya.
Ф
        Nafasnya tersengal, matanya meronta tajam mengharap pembebasan. Sungguh Sasongko tidak bisa berbuat apa-apa dalam keadaan seperti itu. Semakin parah penyakitnya, semakin mati syarafnya. Hanya erangan rasa sakit yang bisa dirasakannya, tak ada makanan yang bisa masuk melalui kerongkongan, semuanya harus melalui selang yang menancap di hidung juga mulut. Sementara tubuhnya yang lemah semakin menyusut. Pelipisnya juga semakin tirus. Sungguh tak ada kesempatan bagi Sasongko untuk tetap hidup. Fadly yang berada di samping tempat tidurnya hanya terdiam sambil sesekali menghela nafas panjang.
        Apa yang Fadly lihat saat itu, sama persis seperti saat kedua adiknya meninggal karena kelaparan, tatapan matanya kosong, kerutan di dahi semakin mengendur dan dia sudah tidak mengenali siapa-siapa bahkan sudah tak mampu mengingat apa-apa. Kepada Fadly pun Sasongko sudah tak mengenalinya. Seperti tanda-tanda orang bakal mati, mereka mulai tak mengenali siapa-siapa, dan tak mengingat apa-apa.
        “Saya mohon Tuan bersabar, Tuan harus kuat melawan penyakit ini”. Kata-kata yang selalu Fadly sampaikan ketika tuannya melepas erangan. Tapi kali ini kata-kata itu terdengar lebih berat, diiringi air mata di pipi sebelah kiri yang mendera lebih cepat dari air mata di pipi sebelahnya lagi. Yang dirasakannya semakin merinding saat nafas-nafas terakhir tuannya itu, dan dengan mata kepala sendiri Fadly melihat bagaimana Malaikat itu datang mengakhiri hidup tuannya. Tak ada sayap, tak ada lingkaran di atas kepalanya, bajunya pun juga tak berwarna putih seperti yang biasa dilambangkan kesucian. Yang Fadly tahu, dia datang dan pergi secepat kita menarik nafas dan menghembuskannya kembali
Ф
        Tak banyak kerabat yang datang dalam pemakaman tuan Sasongko, hanya beberapa tetangga serta rekanan usaha. Fadly sendiri sibuk menyiapkan segala sesuatunya mulai dari peti jenazah hingga membayar tukang gali kubur. Acara pemakaman memang tak perlu semeriah pesta pernikah tapi jumlah para ta’ziah bagi masyarakat setempat dipercaya menunjukkan seberapa luas pergaulan orang yang meninggal. Semakin banyak para ta’ziah yang datang berarti kehidupan sosial bermasyarakat orang yang meninggal sangat tinggi. Berarti pula banyak kenalan semasa hidupnya, dan baik pula tingkah pola semasa hidupnya.
        Sesuatu yang ajaib terjadi, selang beberapa menit jenazah dimasukkan ke dalam peti mati, ada bunyi gaduh dari dalam, seperti seseorang berusaha untuk keluar, spontan orang-orang melarikan diri. Serasa takut bercampur heran, Fadly yang mulai gemetar terpaksa membuka kembali peti mati itu.
        Didapatinya Tuan Sasongko yang kembali bernyawa, matanya yang keheranan bergerilya ke setiap sudut ruangan dan semakin membuat ricuh acara pemakaman yang sepertinya tidak jadi terlaksana itu. Rasa takut dalam diri Fadly telah dikalahkan oleh rasa tidak percayanya sendiri. Kembali dia mendekati peti setelah sebelumnya mendadak memalingkan diri.
        “Tuan tidak apa-apa ?” Ucapnya dengan nada bergetar. Mayat hidup itu hanya mengangguk seraya berusaha berdiri. Sementara Fadly masih meneruskan rasa tidak percayanya. Bagaimana Tuan Sasongko bisa berdiri jika mengingat penyakit yang diderita sebelumnya. Sepertinya tidak mungkin. Fadly harus menyimpan kembali rasa heran setelah kemudian Tuan Sasongko berkata, “Bawa aku ke kamar!”
Ф
        Pikiran Fadly tak surut mencari-cari jawaban, apa yang telah terjadi pada tuannya ? meski kini tuannya bisa berjalan dan bicara, tapi saat ditanya perihal kematiannya maka jawabnya hanya geleng kepala, sedang jika malam telah larut maka terdengar suara-suara dari kamarnya seperti orang gila berbicara dengan Tuhannya.
        Sementara itu tak ada yang tahu pengalaman singkat Sasongko di alam yang bernama baka, bahwa mungkin telah terjadi kekeliruan tentang kematiannya dan dia akan dijemput kembali setelah diberitahu bakal hari kematiannya.
        Hingga suatu sore masih dari dalam kamarnya, Sasongko meminta Fadly untuk membuat sebuah ruang kosong berdinding tebal dari bahan besi pilihan, tak ada celah tak ada lubang.
Ф
        Hari itu sampai juga, hari yang diketahui Sasongko sebagai bakal hari kematiannya, dijauhi semua hal yang kiranya dapat membahayakan dan merenggut nyawanya. Kali ini Sasongko benar-benar siap lari dari kematiannya, dia tidak ingin mati lagi hari ini, dia tidak ingin menemui malaikat yang akan menjemputnya hari ini, dia ingin lari, dia ingin sendiri. Dan masuklah Sasongko ke ruang besi itu, sendiri tanpa ada yang menemani. Pikirnya malaikat takkan mampu menembus dinding besi ini.
        Di luar, Fadly hanya mengamati kegilaan tuannya itu, mungkinkah dia bisa lari dari mati seperti beberapa waktu yang lalu ? Sepertinya tidak. Dengan mata kepala sendiri, Fadly melihat bagaimana malaikat itu mengakhiri hidup tuannya. Orang bilang karena kehabisan oksigen, tapi baginya tetap saja malaikat tadi yang mengakhiri hidup tuannya. Tak ada sayap, tak ada lingkaran di atas kepalanya, bajunya pun juga tak berwarna putih seperti yang biasa dilambangkan kesucian. Yang Fadly tahu, dia datang dan pergi secepat kita menarik nafas dan menghembuskannya kembali.
        Fadly hanya bergumam dalam hati bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan kematian. Bagaimana cara kita akan mati bergantung pada bagaimana sikap kita melewati kematian sendiri, tak perlu lari dari kematian karena tak ada tempat untuk bersembunyi dari malaikat pengantar mati, sekalipun itu ruang tertutup tanpa lubang, malaikat tetap datang menyampaikan salam Tuhan. Maka ikhlaskan…!



Kalibutuh, 27 Oktober
Untuk abah Chambali yang meninggal dunia karena stroke
Setelah delapan tahun berjuang untuk hidup



*) RA Hartyanto, cerpenis muda, saat ini tinggal di Bangkalan


Dimuat lembar sastra SARBI edisi 2, Oktober 2010


0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post