Blogroll

Monday, September 3, 2012

Irasionalitas dan Kekuasaan: Menziarahi Novel Mantra Pejinak Ular karya Kuntowijoyo





Oleh Tri Shubhi A*

Indonesia, sobongkah batu yang dicampakkan dari surga ini, sedang merangkak, belajar mengerti arti demokrasi. Pemilihan Umum merupakan kendaraannya. Bahan bakarnya partisipasi politik rakyat. Pemilihan Presiden secara langsung merupakan tonggak asasi berdirinya demokrasi di Indonesia.
Dunia memuji, Indonesia berhasil menjalankan demokrasi. Pemilihan umum tahun 2004 berjalan relatif lancar tanpa kerusuhan. Presiden yang terpilih secara langsung dianggap menunjukan kecerdasan politik rakyat yang mulai meningkat. Konon rakyat tidak lagi terikat kekuatan partai, calon presiden yang berasal dari partai medioker pun ternyata bisa menang.
Setelah Pemilu 2004, beberapa daerah melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung pula. Sekali lagi, Indonesia dianggap berhasil menjalankan demokrasi di tingkat daerah. Dunia kembali angkat topi dan tersenyum manis untuk Indonesia kita.
Hanya saja ‘sukses’ tersebut sepertinya ilusi belaka. Paling tidak sukses itu baru tercapai di tataran formal. Artinya masih sukses sebatas pelaksanaan Pemilu atau Pilkada saja. Sesungguhnya demokrasi di Indonesia masih tetap seperti dulu, seperti zaman orde baru. Demokrasi tanpa logika, politik irasional.
Harus digarisbawahi bahwa ukuran-ukuran keberhasilan demokrasi Indonesia yang selama ini diberlakukan merupakan ukuran formal belaka. Artinya keberhasilan itu masih diukur dengan angka dan statistik semata. Pada kenyataannya Pemilu dan juga Pilkada tetap saja gagal menghasilkan pemimpin yang dapat memperbaiki kondisi bangsa.
Rakyat masih saja memilih pemimpin dengan tendensi tertentu. Fanatisme terhadap suatu hal biasa menjadi landasan bagi rakyat dalam memilih seseorang. Uang tentu saja masih memegang peranan penting dalam dinamika politik kita. Hal lain yang tak bisa dilupakan: mistik!
Partisipasi rakyat? Rakyat memang datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Rakyat memang menggunakan hak pilihnya. Akan tetapi tetap saja, mereka (sebagian besar) memilih dengan menanggalkan logika. Datangnya rakyat ke TPS lebih tepat dikatakan sebagai mobilisasi politik oleh kekuatan politik (partai/kekuasaan), bukan partisipasi politik yang berlandaskan kesadaran.
Penyakit ini bukan penyakit sistem politik atau cara memilih, tetapi ini merupakan penyakit budaya. Penyakit ini bukan penyakit hari ini saja melainkan sudah lama dan mengendap bertahun-tahun. Kuntowijoyo ‘menggambar’ fakta-fakta ini dengan cukup apik dalam novelnya Mantra Pejinak Ular (Penerbit Kompas: 2000).
Bagaimana yang dinamakan politik dan politik yang bagaimana yang ada di Indonesia digambarkan melalui sepak terjang tokoh bernama Abu Kasan Sapari. Walau mengambil latar zaman Orde Baru tetapi cerita yang disajikan masih tetap relefan untuk dibahas. Politik kita yang irasional dan demokrasi kita yang tanpa logika digambarkan dalam beberapa bagian novel ini.
Hal pertama yang sangat berpengaruh dalam perpolitikan kita ialah kekuatan yang sering dinamakan mesin politik. Mesin politik ini yang biasanya mempertahankan keterbelakangan rakyat untuk kepentingan kelompoknya. Mereka memanfaatkan para kiai, pondok pesantren, tokoh masyarakat, pejabat dan apa saja yang dapat mendatangkan suara. Mesin politik ini pun tak segan untuk melakukan penipuan, manipulasi, dan cara-cara curang guna meraih kemenangan dalam pemilihan. Kunto menggambarkan tingkah mesin politik ini sebagai berikut:

Mesin Politik menghendaki agar jarak waktu antara pengumuman dan waktu pelaksanaan pemilihan singkat saja, umpamanya tiga hari, sehingga hanya orang-orang pilihan Mesin Politik yang akan menang, sebab merekalah yang paling siap, paling terorganisir,  orang-orangnya pasti lulus ujian, dan mesin politik itu weruh sakdurunge winarah (tahu sebelum kejadian) karena ada rekayasa. Menang sebelum pemilihan. (hlm 91).

Banyak kenyataan yang dapat disebut untuk membuktikan kutipan cerita di atas. Contohnya ulah mesin politik salah satu partai di sebuah desa, Ciamis, Jawa Barat. Desa itu sedikit terpencil dan jauh dari hiruk pikuk kota. Kebetulan jalan di desa itu rusak berat. Beberapa hari sebelum Pemilu 2004 mesin politik sebuah partai datang ke desa itu membawa 2 buah drum aspal. Padahal aspal yang dibutuhkan untuk memperbaiki jalan kurang lebih 10 drum. Mereka mengatakan 8 drum sisanya akan diberikan setelah Pemilu berlangsung. Syaratnya partai mereka harus 100 % di desa itu. Semua berjalan lancar. Rakyat mendapatkan 8 drum aspal dan partai itu menang 100 %.
Begitu lah politik kita. Begitu lah ‘partisipasi’ rakyat kita. Nah jumlah angka pemilih yang cukup tinggi tentu saja tidak dapat menjadi ukuran tingginya partisipasi dan kesadaran politik rakyat kita. Oleh karena itu kesimpulan demokrasi berjalan dengan baik di Indonesia, harus ditinjau ulang.
Kekuatan kedua setelah mesin politik ialah uang. Kasus dana nonbudgeter Depertemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang baru-baru ini muncul (untuk kemudian tenggelam lagi ditelan waktu) merupakan bukti nyata bagaimana uang memainkan peran yang penting dalam dinamika politik kita.
Sogokan dalam Pemilu atau Pilkada merupakan rahasia umum yang telah sekian lama dianggap lumrah. Partai atau calon yang waras ialah mereka yang menggunakan uang untuk mendapatkan suara. Mereka yang tidak waras ialah yang ‘mengemis’ kesadaran politik rakyat dalam pemilihan. Terbalik dan mengkhianati logika tampaknya, tetapi itulah kenyataan politik kita hari ini.
Hal seperti itu tak berbeda jauh dengan apa yang dikisahkan Kunto dalam novelnya. Walau berada dalam dimensi imajinasi (yang tentu saja memiliki banyak perbedaan dengan dunia nyata) tetapi Mantra Pejinak Ular  seolah bertutur tentang kenyataan menyebalkan itu. Perhatikan kutipan berikut ini:

…Soalnya ada kabar bahwa para botoh dari kota telah menjadikan pilihan lurah sebagai arena perjudian. Mereka menyuplai uang untuk kampanye, dan membagi uang pada tokoh-tokoh kunci… (halaman 96)

Rakyat kita masih banyak yang miskin. Konsekuensi dari kemiskinan adalah keterbelakangan dan kebodohan. Rakyat yang miskin dan bodoh ini tentu saja bersedia disogok barang Rp 50.000,- untuk memilih seorang calon atau sebuah partai dalam pemilihan. Sekali lagi, politik kita ialah politik tanpa rasional, demokrasi ini ialah demokrasi tanpa logika.
Kekuatan ketiga yang mempengaruhi dinamika politik kita ialah takhayul, mistik, atau khurafat. Ini bukan bualan. Banyak pejabat dan calon pejabat yang bersedia datang ke kuburan atau melakukan hal-hal mistis sejenis. Memang aneh, tetapi begitulah kenyataannya.
Hal-hal aneh dan tidak bisa dinalar ini justru menjadi hal yang sangat tidak aneh dalam dinamika perpolitikan kita. Laku atau ritual  tertentu sering kali dilakukan oleh seorang calon guna meraih kemenangan dalam pemilihan. Sebagian masyarakat kita memang masih mengandalkan mistik dalam berpikir. Pola mikir mistik ini masih digunakan dalam sistem politik yang (konon katanya) modern dan berlandaskan logika. Tak heran jika terjadi banyak kontradiktif dalam politik nasional kita.
Pensakralan seorang tokohan (baik yang masih hidup atau pun sudah meninggal), isu-isu mistik yang tak pernah dibuktikan, dan ‘kicauan’ dukun senantiasa menghiasai dunia politik kita. Sekali lagi, hal ini justru menjadi sebuah keanehan yang sangat lumrah. Justru aneh kalau dalam sebuah pemilihan tak ada bau mistik. Dalam novel Kunto, laku politik yang irasional ini digambarkan sebagai berikut:

Pada hari-H, pagi sekali sebelum matahari terbit dan sebelum orang-orang datang, sesuai dengan anjuran dukun seorang calon lurah berangkat menuju sendang. Ia lalu mencopot pakaian dan menceburkan diri di sendang. Biasanya orang mandi dengan cara menciduk air sendang. Sebenarnya dingin juga mandi dengan cara itu. Tapi dia mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Ia yakin betul akan memenangkan suara, karena dukun sudah menjamin…..

Dukun telah memilih gambar yang tepat, yaitu “obor”. Dia juga telah memenuhi saran dukun untuk nyekar di makam cikal bakal desa. (halaman 98).

Mungkin irasionalitas semacam ini sudah jarang ditemukan di perkotaan. Akan tetapi diam-diam banyak juga anggota DPR, DPRD, bahkan menteri yang masih percaya pada mistik. Kita tentu belum lupa kasus penggalian situs purbakala di daerah Bogor yang dilakukan oleh seorang menteri beberapa tahun lalu. Entah kenapa hal semacam ini begitu banyak terjadi di Indonesia. Pendidikan formal dan teknologi ternyata tak mampu mengikis semua itu.
Kekuatan keempat yang masih mempengaruhi politik kita iaitu kesenian. Dangdutan atau wayangan tentu masih sering ‘dipesan’ oleh kekuatan politik tertentu. Tentu saja saat ini yang pertama lebih sering ‘dipesan’ dari pada yang kedua. ‘Partisipasi’ kesenian dalam kancah perpolitikan kita digambarkan oleh Kunto dalam kutipan beriku ini:

Seorang calon lurah mengadakan wayangan semalam suntuk, dalangnya Abu Kasan Sapari. Pertunjukan wayang kulit dimulai. Tetapi, kursi-kursi  disediakan masih kosong, tenda yang dipasang seolah-olah tak berguna. Kursi-kursi depan hanya diisi tamu undangan dan kader. Kursi belakang yang disediakan bagi penonton umum nyaris kosong, ketika calon lurah berpidato. Juga ketika dia menyerahkan wayang pada Abu –upacara penyerahan wayang yang jelas-jelas meniru para pembesar yang diketahui melalui TV. Orang-orang ngumpet di rumah, barangkali sungkan kalau-kalau ketahuan kaki-tangan Mesin Politik. Menonton wayang berarti mengkhianati janji, sebab mereka sudah terima uang. Mereka hanya mendengarkan pidato calon lurah dari dalam rumah-rumah, karena pengeras suara yang keras dapat mencapai telinga mereka.
Namun, menjelang tengah malam, orang satu per satu keluar rumah, mula-mula dengan bungkus sarong. Bunyi gamelan sungguh tak terlawan. Setelah mereka yakin isu tentang adanya kaki tangan Mesin Politik ternyata hanya satu cara memenangkan pemilihan, mereka membuka sarong dan makin mendekat. Penonton makin lama makin banyak, akhirnya mbludag sampai jalanan. Bagi mereka yang memilih wayang, amanatnya jelas: Pilihlah Kipas, meskipun wayangnya sama sekali tak menyinggung. (halaman 95-96)

Posisi kesenian dalam politik memang rumit. Suatu pertunjukan kesenian tentu dapat menarik orang untuk datang. Ketika banyak orang sudah berkumpul, kampanye tentu mudah dilakukan. Salah satu prinsip pemilihan menyatakan bahwa yang banyak dipilihlah yang menang. Tak heran jika kesenian, yang dapat menarik banyak orang, seringkali aktif ‘berpartisipasi dalam kancah politik.
Sebagian orang berpendapat bahwa kesenian harus dijauhkan dari politik sisanya justru menggunakan kesenian untuk politik. Kunto menggambarkan kerumitan itu (mungkin juga menyatakan pendapatnya) sebagai berikut:

Sejak saat itulah Abu Kasan Sapari selalu bertanya-tanya bagaimana mendudukan kesenian, supaya kesenian terbebas dari politik, atau sebaliknya politik dari kesenian, pendek kata keduanya terpisah: kesenian itu otonom. Kesenian adalah keindahan, sedangkan politik adalah kekuasaan. Biarlah orang lain mengotori politik, asal bukan kesenian. Mesin Politik mengotori hati nurani dengan jabatan, botoh dengan uang, dukun dengan klenik, dan ada kemungkinan kesenian mengotori hati nurani justru dengan keindahan. Mengotori dengan keindahan? Keindahan harus membuat orang bijaksana, mempertajam hati nurani, bukan membuat hati nurani tumpul. (halaman 99-100).

Kesenian memang merupakan keindahan. Keindahan selayaknya membuat orang menjadi bijaksana. Kesenian yang masuk ke dalam arus politik praktis yang tidak sehat bisa jadi telah kehilangan keindahannya.
Dinamika politik kita hari ini belum lah sehat. Demokrasi yang diagung-agungkan telah nyata tidak dapat menghasilkan pemimpin yang tepat bagi bangsa ini. Kualitas demokrasi kita tentu masih pada kedudukan demokrasi irasional. ‘Partisipasi’ politik rakyat masih diwarnai dengan kecurangan, uang, klenik, dan eksploitasi budaya bahkan agama.
Novel Mantra Pejinak Ular setidaknya dapat menjadi peringatan bagi kita untuk menunda kesimpulan “Demokrasi telah berjalan dengan baik di Indonesia”. Ada hal-hal lain di luar kesuksesan pelaksanaan Pemilu/Pilkada yang tidak dapat dihitung dengan angka atau pun statistik.

*) Tri Subhi Abdillah, mahasiswa FIB UI. Bergiat pada Komunitas Nuun.

Dimuat lembar sastra SARBI edisi 2,  Oktober 2010 
      

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post