ihwal kerikil dan
sedompol jambu air
kerikil
segalanya terasa jauh
bagi langkah yang hilang kayuh.
begitu basah
matanya yang memandang marah
kekasihnya di atassana
dicumbu codot yang dahaga.
teramat lama ingin ia
menyentuh dan membuat jatuh cintanya
untuk menyenang-kenyangkan si anak
yang lapar dan tak kenal bapak.
sebab sungguh ia tahu
surga hanya terletak di atas bagi yang tak beribu.
seperti ia
yang senantiasa mendongak waktu berdoa
juga menyampaikan doa si anak
yang merunut surga di jejak kaki ibu sambil merangkak.
alangkah bahagia ia
ketika si anak memungut dan melemparnya
ke atas
ke tempat surga menunggu netas.
sedompol jambu air
seperti mintanya
tubuhnya gemuk penuh cinta
dan tak pernah ia pilah
kerikil atau codot yang lebih dulu singgah.
dan memang tak masalah ia
dua pencemburu itu selalu terburu mencumbunya.
serupa ayat yang merawatnya
ingin ia kuat dan rela
berakhir di yang lapar
dikunyah taring yang bergetar.
sungguh baginya
surga hanyalah doa
dari mereka yang bersyukur
telah membuatnya lebur
dan menjadikannya daging yang lain
daging dari adzan yang lebih dingin.
segalanya terasa jauh
bagi langkah yang hilang kayuh.
begitu basah
matanya yang memandang marah
kekasihnya di atas
dicumbu codot yang dahaga.
teramat lama ingin ia
menyentuh dan membuat jatuh cintanya
untuk menyenang-kenyangkan si anak
yang lapar dan tak kenal bapak.
sebab sungguh ia tahu
surga hanya terletak di atas bagi yang tak beribu.
seperti ia
yang senantiasa mendongak waktu berdoa
juga menyampaikan doa si anak
yang merunut surga di jejak kaki ibu sambil merangkak.
alangkah bahagia ia
ketika si anak memungut dan melemparnya
ke atas
ke tempat surga menunggu netas.
sedompol jambu air
seperti mintanya
tubuhnya gemuk penuh cinta
dan tak pernah ia pilah
kerikil atau codot yang lebih dulu singgah.
dan memang tak masalah ia
dua pencemburu itu selalu terburu mencumbunya.
serupa ayat yang merawatnya
ingin ia kuat dan rela
berakhir di yang lapar
dikunyah taring yang bergetar.
sungguh baginya
surga hanyalah doa
dari mereka yang bersyukur
telah membuatnya lebur
dan menjadikannya daging yang lain
daging dari adzan yang lebih dingin.
seperti cabai yang capai
dan kini tinggal
rabuk lapuk
yang gagal menggapai
reranting yang rela cerai
dari ia.
alangkah masai senyumnya
ketika jatuh lalu terurai.
sungguh sengaja dipilihnya
luruh sepanjang jalan landai itu
sebab enggan ia bertikai
dengan latung yang tak kenal damai
sebab teramat lambat petani itu
merabai dan merasai
doa-doa yang penuh ia rangkai
di sekujur tubuh.
ia pilih menyemai bebijinya
walau tubuhnya segera terberai
dalam humus yang pernah ia cintai
yang pernah mencintai ia
agar suatu waktu
lebih banyak yang membiak
dan petani itu beroleh cinta
yang lebih jamak dan tak terjarak.
seperti itulah aku
menjatuhkan diri pada cintamu
lalu menjauhkan diri dari engkau.
yang gagal menggapai
reranting yang rela cerai
dari ia.
alangkah masai senyumnya
ketika jatuh lalu terurai.
sungguh sengaja dipilihnya
luruh sepanjang jalan landai itu
sebab enggan ia bertikai
dengan latung yang tak kenal damai
sebab teramat lambat petani itu
merabai dan merasai
doa-doa yang penuh ia rangkai
di sekujur tubuh.
ia pilih menyemai bebijinya
walau tubuhnya segera terberai
dalam humus yang pernah ia cintai
yang pernah mencintai ia
agar suatu waktu
lebih banyak yang membiak
dan petani itu beroleh cinta
yang lebih jamak dan tak terjarak.
seperti itulah aku
menjatuhkan diri pada cintamu
lalu menjauhkan diri dari engkau.
kepada bunga yang sering
membuat kita lupa
bahwa dedaun
adalah surga yang mempertemukan humus dan cahaya, sepasang pencinta yang
mengingatkan kita kepada adam dan hawa yang banyak bercinta setelah lama tak
berjumpa lalu melahirkan warna, para putra yang hanya pandai meng-indahkan dan
tak serupa para putra bapa kita yang mahir mengindahkan sabda, mereka tak perlu
berebut kelopak yang akan dijejak dan sungguh tak usah saling membunuh untuk
menyepuh merah yang cerah.
bahwa warna itu
telah menyajakkan dirinya sejak mula kita belum mengenal aksara dan jejaknya membentang panjang menjadi
bait-bait yang seringkali gagal kita mengerti selain ia beserta tangkainya
sekadar pembujuk cinta yang marah, serupa puisi-puisi kita yang pasrah
menangisi lelah dan kalah memamah gelisah dengan sempurna.
*) Dadang Ari Murtono, lahir dan tinggal
di Mojokerto.
Dimuat lembar sastra SARBI edisi 2, Oktober 2010
0 comments:
Post a Comment