Blogroll

Friday, September 21, 2012

SAJAK-SAJAK DADANG ARI MURTONO

Photobucket


ihwal kerikil dan sedompol jambu air

kerikil
segalanya terasa jauh
bagi langkah yang hilang kayuh.

begitu basah
matanya yang memandang marah

kekasihnya di atas sana
dicumbu codot yang dahaga.

teramat lama ingin ia
menyentuh dan membuat jatuh cintanya

untuk menyenang-kenyangkan si anak
yang lapar dan tak kenal bapak.

sebab sungguh ia tahu
surga hanya terletak di atas bagi yang tak beribu.

seperti ia
yang senantiasa mendongak waktu berdoa

juga menyampaikan doa si anak
yang merunut surga di jejak kaki ibu sambil merangkak.

alangkah bahagia ia
ketika si anak memungut dan melemparnya

ke atas
ke tempat surga menunggu netas.

sedompol jambu air
seperti mintanya
tubuhnya gemuk penuh cinta

dan tak pernah ia pilah
kerikil atau codot yang lebih dulu singgah.

dan memang tak masalah ia
dua pencemburu itu selalu terburu mencumbunya.

serupa ayat yang merawatnya
ingin ia kuat dan rela

berakhir di yang lapar
dikunyah taring yang bergetar.

sungguh baginya
surga hanyalah doa

dari mereka yang bersyukur
telah membuatnya lebur

dan menjadikannya daging yang lain
daging dari adzan yang lebih dingin.


seperti cabai yang capai

dan kini tinggal rabuk lapuk
yang gagal menggapai
reranting yang rela cerai
dari ia.

alangkah masai senyumnya
ketika jatuh lalu terurai.

sungguh sengaja dipilihnya
luruh sepanjang jalan landai itu
sebab enggan ia bertikai
dengan latung yang tak kenal damai

sebab teramat lambat petani itu
merabai dan merasai
doa-doa yang penuh ia rangkai
di sekujur tubuh.

ia pilih menyemai bebijinya
walau tubuhnya segera terberai
dalam humus yang pernah ia cintai
yang pernah mencintai ia

agar suatu waktu
lebih banyak yang membiak
dan petani itu beroleh cinta
yang lebih jamak dan tak terjarak.

seperti itulah aku
menjatuhkan diri pada cintamu
lalu menjauhkan diri dari engkau.


kepada bunga yang sering membuat kita lupa

bahwa dedaun adalah surga yang mempertemukan humus dan cahaya, sepasang pencinta yang mengingatkan kita kepada adam dan hawa yang banyak bercinta setelah lama tak berjumpa lalu melahirkan warna, para putra yang hanya pandai meng-indahkan dan tak serupa para putra bapa kita yang mahir mengindahkan sabda, mereka tak perlu berebut kelopak yang akan dijejak dan sungguh tak usah saling membunuh untuk menyepuh merah yang cerah.

bahwa warna itu telah menyajakkan dirinya sejak mula kita belum mengenal aksara  dan jejaknya membentang panjang menjadi bait-bait yang seringkali gagal kita mengerti selain ia beserta tangkainya sekadar pembujuk cinta yang marah, serupa puisi-puisi kita yang pasrah menangisi lelah dan kalah memamah gelisah dengan sempurna.


*) Dadang Ari Murtono, lahir dan tinggal di Mojokerto.


 Dimuat lembar sastra SARBI edisi 2, Oktober 2010

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung ke

SARBI

Tentang Kami

Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI) adalah kelompok diskusi yang bergiat mendiskusikan perihal isu sastra, seni, dan kebudayaan terkini dengan mengambil sudut pandang alternatif. Selain itu, SARBI juga banyak menggali pemikiran tradisi negeri sendiri dan konsepsi mancanegara yang diharapkan dapat bersinergi sehingga menghasilkan pandangan kontemporer yang segar. Untuk membuktikan perihal tersebut, kami melahirkan lembar SARBI untuk ikut menghiasi keriuhan dunia sastra, seni, dan budaya serta berharap dapat menjadi oase untuk memenuhi dahaga kita •

Redaksi

Pemimpin Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Sidang Redaksi Penata Artistik

Tinggalkan Pesan

Dokumen Post