Menyimak Ancangan Lesat
-
Teruntuk
Midori Makibao
Demi
depan belaka, demi yang tak mau terdahulukan,
demi
yang enggan dilampaui bayangan sekalipun, kau
berwasiat
tentang kebaikan cepat.
Percayalah, dengan kekukuhan kayuhan kaki. Langit
di
kepala mungkin tak lebih dari buah jatuh yang makin
dekat.
Percayalah, dengan kaki kiri kanan
yang lihai
menggagahi
pedal. Tanah di bawah seolah bersyahadat
mengangkat
yang gemar berbalap.
Katakanlah,
apa ini perilaku penyampai yang bermunajat
menibakan
yang cepat dengan segenap keajaiban?
Sekali
lagi, ingin kutampik pelbagai perihal gaib
dari
pandangan sebelum kumulakan ibadah perlesatan.
Maka,
sah dan halal kata-kata : segeralah menyingkir
tiga
memedi di belakang, harus ngacir lima pocong yang baris
di
pertengahan lintasan, lebih-lebih, wajib tersalip sepasang
danyang
yang mengurus laju jalan depan.
Sebab,
lawan yang sesungguh sebenarnya kegamangan
saat
badan diterabas angin liar. Oh, anasir gila sasar
yang
merusuhi rima dan langgam jalan sebelum belokan.
(2013)
Pit Ontel
Kami
Selaku
tukang besi terberkatilah engkau. Telah terperdaya lempeng
di
depan pandang. Tak akan ia melawan dan mengacungkan diri
serupa
semua perihal tajam. Ia bukan lagi sebilah yang berdalih
menggurat
yang mengganti anak muda itu di sesembahan. Bukan pula
ia
yang menggores wajah, badan, hingga segala yang tak terlindung
dengan
kekebalan.
Kini
engkau yang tangguh dan sungguh hendak memberinya berkah.
Dengan
tempahan panas namun mesra. Dengan pukulan bertenaga
lagi
berirama. Dengan kerapian lekuk paling sopan yang pernah diraba
kaum
penjelajah maka tertatalah ia sebagai yang menerima lagi tabah
di
bawah. Kau itikadkan ia selaku yang yang harus tertaklukkan,
yang
harus menerima dorong dan kayuhan.
Maka,
terberkatilah kini separuh jalan kami. Telah pasrah ia dipasungi
rantai
paling damai. Sepasang yang memutar bakal santai mengantar
tubuh
kami. Tak sampai ia laknat meski pantat tambun kami menuntunnya
pada
laju berbatu paling jahat di depan makam. Hingga, kami bersua
yang
mendongak, jalan menanjak itu, yang gemar menyembunyikan petang
dan
menyiapkan kuburan untuk kami yang sedikit nakal dan sesekali lupa
jalan
ke rumah.
(2013)
Tuntunan
Menjelang Balap
Cukupkan
dengan yang di bawah merasa terkangkang. Gairahkan
gerak
selaras kiri dan kanan. Kerik selalu lidah agar diksi basmalah
tak
luput terucap. Bila telah purna benar semua dan tak ada yang
beranjak
makar, maka lantangkan sesumbar pertama. Seru nama
penunggang
yang tepat berada di seberang mata. Jangan lupa itikadkan
sabar
meski lobang di gelanggang sudah piawai berjalan-jalan.
Lipatgandakan
tingkah kencang sebagaimana kau pernah berkejaran
dengan
seteru yang percaya pit ontel dan jaran afrika. Jangan berubah
jadi
jago gagap walau yang kau tantang gemar bernawak anasir liar
dan
perangkap gelap. Bila sampai putaran ini pada belokan tajam,
kenang
kembali kitab segala pelan dan perlahan. Cergaslah mengingat
wasiat
mengeja. Dari huruf pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya
betapa
terentang semesta jarak. Pantang pula kau berlaku serupa yang
tergesa.
Pacu daya di sekitar. Seimbangkan, seolah kaki ini lihai meniti.
Tuntun
dan lanjutkan arah pada depan belaka. Tak ada yang harus kau
takutkan
dari gelibat cepat ini. Yakinlah, ia sekadar angin yang lepas
dan
terhempas di bidang dada.
(2013)
Kidung
Bolt
Mulialah
sepasang kaki jenjang dan kuat ini. Betapa tegak
Ia
menapak, menyentak, serta mengantar badan dengan langgam
Paling
lesat. Terberkati sungguh lajur mulus nan suci dari segala
Kerikil
dan debu nyasar yang kurang ajar. Tertuntunlah sepasang kaki ini
Seolah
ia menyapa kembaran di bawah sana, mengucap salam lagi melepas
Sekian
safaat agar yang menjejak lekas tiba di garis sana. Selalulah siaga
Ancangan
yang bersekutu dengan angin. Tak akan pusaran tak kasat mata
Itu
berani menggempur kencang. Bukankah bidang dada seteguh baja ini
Akan
menabrak, memecahnya, mengantar anasir lewat itu pulang
Ke
segala arah. Lekas-lekas saja tersungkur dan terbelakang seteru
Di
kiri kanan. Semoga pandang mereka disamarkan, disesatkan, serta
Dicanggungkan
hingga taklah jauh berbeda garis akhir dan awalan.
(2013)
Muslihat Menelikung Kuda
Kuda tetaplah kuda. Untuk meredakannya, aku harus bersekutu
dengan
angin. Tapi, rupanya bulan tak hendak jatuh dan angin
hanya
serupa tetes terakhir hujan. Maka kupinjam bahasa rahasia
dari
pawang. Hentaklah kaki berkali-kali. Batu mencoba melayang,
tapi
tetap tak punya kehendak. Debu keluar terbang, tapi tak punya
luncur
yang menghentak. Hingga yang paling tepat, aku bersiasat
dengan
kerikil. Bisikan sederhana adalah peribahasanya. Memang
tak
harus si cepat ditaklukkan dengan keliatan.
Tapi kuda tetaplah kuda. Aku harus mengakhirkannya. Benarlah.
Kaki
lemah ini harus menerima sembur mesra dalam sekerjapan
malam.
Oh, yang menjaga air segala air : kusambut air tujuh lautan,
sumur
tua paling dalam, rawa remang tempat kunti bersarang.
Biar
yang menunggu tanah tak lekas gegabah menyesap dan menahan
tapak
dalam-dalam. Agar langkah ke depan seolah mengawang
tak
menjejak. Dan jin iprit di genggaman gemar-gemarlah berucap
sawan.
Semata demi menghambat langkah sang kuda yang tak terkawal
mata,
yang harus dibikin lamat-lamat, yang tak harus menyentuh
akhiran
lebih cepat.
Tapi benarlah, kuda tetaplah kuda.
(2013)
0 comments:
Post a Comment